Bandul sejarah terpental ke belakang, catatan sejarah pun kemudian kembali terkuak, “embrio” dari lahirnya hari ibu, bukan cinta kasih semata, tetapi “motif” dari para perempuan untuk merengkuh kemerdekaan.
Kongres yang terselengggara pada 22 Desember 1928 di gedung Dalem Jayadipuran itu, bahkan tidak disebutkan sebagai kongres Ibu Indonesia. Akan tetapi diberi nama Kongres Perempuan Indonesia.
Boleh jadi kongres tersebut, dipecut semangat dari pertemuan para anak muda terpelajar (Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi) yang terkenal dengan “Hari Sumpah Pemuda.” Selain substansinya memang mendambakan kemerdekaan, acara ini juga terentet dalam selang satu bulan saja ke kongres Perempuan Indonesia. Dari 27 Oktober 1928 ke 22 Desember 1928.
Prasangka yang lain bisa juga tersimpul dalam kalimat, kongres perempuan yang pertama kali itu sebagai antitesa dari “Sumpah Pemuda.” Bahwa bukan saja pemuda atau laki-laki yang dapat menggelagarkan kemerdekaan, para wanita juga bisa dan punya kekuatan.
Kira-kira ungkapan perasaan yang sedang terluap dari perkumpulan wanita kala itu (Wanita Oetomo, Poetri Indonesia, Wanita Katolik, Aisyiyah, Wanita Moeljo, Darmo Laksmi, Wanita Taman Siswa, juga sayap perempuan dari berbagai organisasi pergerakan seperti Sarekat Islam, Jong Java, Jong Islamieten Bond), “emang laki-laki saja yang bisa, kami para wanita bisa juga kok.” Jangan disoal jenis kelaminnya, tapi mari melihat esensi dari gerakan yang sama-sama diperjuangkan, dari tanah hindia Belanda menjadi tanah air Indonesia.
Hari Ibu
Dengan memaknai hari ibu sebagai ajang memberi cinta untuk wanita yang pernah mengandung dan melahirkan kita. Tidak salah juga. Hanya saja, patut dipahami bahwa selain pentingnya cinta kepada ibu, berdasarkan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama kali itu, juga sedang mendeklarasikan perkumpulannya untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Kongres I tersebut beragendakan pada persatuan perempuan nusantara, peranan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan, peranan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa, perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita, hingga pencegahan pernikahan usia dini bagi perempuan.
Yang pasti kongres tidak sedang menuntut “agar dicintai dan dihormati” seorang ibu oleh anaknya (afeksi). Tapi perempuan yang berkumpul menuntut perlakuan berdasarkan kondisi natural dan keadaan biologisnya. Naturalnya ia hamil dan melahirkan, maka penting perlakuan istimewa atas kesehatan bagi seorang ibu, terlebih lagi kepada anak balitanya. Soal nikah dini, itu jelas berhubungan pula dengan fakta-fakta biologis yang dapat dinilai, kalau fungsi biologis mereka belum matang.
Kemudian, pada Kongres Perempuan Indonesia II (Juli 1935). Perkumpulan itu lagi-lagi mengangkat isu natural, nasib perempuan sebagai pekerja serabutan (buruh pabrik) harus diberikan keistimewaan, seperti cuti hamil.
Barulah pada kongres Perempuan Indonesia III (1938) di Bandung, disepakati kalau 22 Desember sebagai hari ibu. Sungguh pertimbangan Presiden Soekarno yang kemudian menetapkan 22 Desember sebagai hari ibu berdasarkan Dekrit Presiden Nomor 316 tahun 1959, memiliki pijakan historis yang jelas. Kongres itu secara defacto sudah jauh hari telah memancangkan “hari ibu,” sang presiden hanya menguatkannya secara dejure.
Pemilu 2019
Historisitas “hari ibu” telah membuka agenda otentisitasnya dari setiap perhelatan kongres. I, II, dan III. Nama-nama yang tersebut dalam panitia kongres I: seperti R.A. Soekonto, Nyi Hadjar Dewantara, dan Soejatin adalah perempuan yang sedang “menginginkan kaumnya” memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara.
Apa yang dimaksud dengan kesadaran berbangsa dan bernegara? Tentu tepat kalau dihubungkan pada suatu peran untuk memajukan kepentingan ekonomi dan pembangunan nasional. Dan salah satu jalannya, adalah perempuan harus memiliki kesadaran untuk terjun ke panggung politik.
Hari ibu dalam otentisitasnya yaitu mengetuk kesadaran batin perempuan untuk turut serta dalam pemerintahan. Partai politik tidak akan dibadan-hukumkan jika tidak mencukupi kepengurusan perempuan, dalam kuota 30 persen. Partai politik tidak akan diloloskan bakal calon anggota DPR dan DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota yang diajukannya, dalam penetapan Daftar Calon Sementara (DCS) dan penetapan Daftar Calon Tetap (DCT), kalau kuota 30 persen perempuan tidak terpenuhi (1 banding 3, dalam 3 bakal calon berjenis kelamin laki-laki, harus ada 1 perempuan). Bakal calon anggota legislatif yang berjenis kelamin perempuan kalau mengundurkan diri, masih ada penggantian dengan bakal calon perempuan pula, tapi tidak berlaku untuk laki-laki.
Pemilu 2019 sudah menyediakan wadah bagi perempuan untuk menarasikan maksud dan tujuan diorbitkannya hari ibu, yaitu perempuan dapat (bahkan menjadi wajib) berperan serta dalam pembangunan nasional. Tidak ada lagi kolonialisme yang perlu ditakuti, negara berdaulat sudah ada, bukan lagi dalam status negara jajahan, namun apa daya, animo perempuan untuk mengajukan diri sebagai calon anggota legislatif masih tergolong rendah.
Ada perempuan yang dicatut namanya sebagai bakal calon hingga lolos sebagai calon anggota legislatif, pun pada kenyataannya hanya menjadi pelengkap penderita. Basis massa tidak ada, elektabilitas rendah, itulah faktanya perempuan menggugurkan calon laki-laki yang jelas punya peluang besar untuk terpilih.
Pemilihan umum anggota legislatif bukan hanya representasi politik (DPR dan DPRD) dan teritorial (DPD), namun dikenal pula apa yang disebut sebagai representasi afirmatif. Perempuan mendapatkan perlakuan istimewa (afirmasi) dalam kuota 30 persen calon anggota legislatif. Perempuan diberikan kedudukan istimewa di hadapan politik dan pemerintahan, karena kiasannya mengatakan “surga di bawah telapak kaki ibu.”
Selamat Hari Ibu, Selamat Berpemilu.*