Apes bagi Jon Riah Ukur alias Jonru Ginting alias Jonru pasca menghadiri undangan acara ILC dalam tema “Halal-Haram Saracen'” yang diselenggarakan oleh salah salah satu stasiun TV swasta. Dia pasti tidak pernah menduga kalau postingannya di berbagai laman media sosial yang banyak menyudutkan Presiden Jokowi akan terseret dalam buntut persoalan hukum semakin panjang.
Jika dilacak beberapa postingan Jonru yang kini mengancamnya dalam jerat pidana, setidak-tidaknya terindikasi dalam dua tindak pidana Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pertama, sebagai penggiat media sosial yang memiliki 1,47 juta follower, saat menuliskan status yang menyatakan bahwa asal-usul orang tua Jokowi tidak jelas, dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana penghinaan melalui ITE (Pasal 27 ayat 3 UU ITE).
Perbuatannya tidak dapat dikualifikasi sebagai penghinaan terhadap Presiden, sebab selain tempus delicti-nya, yakni saat Jokowi masih dalam status sebagai calon Presiden, juga ketentuan penghinaan terhadap Presiden dalam KUHP sudah dibatalkan melalui Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Jadi, pun kemudian kalau Jonru di jerat dengan tindak pidana penghinaan, hanya penghinaan terhadap individu dengan instrumen elektronik.
Kedua, dalam salah satu postingan lainnya Jonru menyebut “PBNU diduga menerima uang sogokan Rp1,5 triliun terkait dengan terbitnya Perppu Ormas.” Jika dilihat dari content postingan ini, selain dapat memenuhi tindak pidana penghinaan dalam hal yang berhubungan dengan agama dan penghinaan terhadap golongan penduduk Indonesia tertentu, juga memenuhi sebagai tindak pidana penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA dengan menggunakan media elektronik (Pasal 28 ayat 2 UU ITE).
Ujaran Kebencian
Jika ditelusuri kemudian perundangan-undangan yang terkait dengan ujaran kebencian, yang menggunakan istilah ujaran kebencian, hanya terdapat dalam Surat Edaran Kapolri Nomor SE 6/X/2016 tentang Penanganan Ujaran kebencian (hate speech).
Di dalam ICCPR 1966 yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005 hanya terdapat frasa “menganjurkan kebencian,” beda halnya dalam Pasal 16 UU 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Dikriminasi Ras dan Etnis menggunakan frasa “menunjukan kebencian.” Lain pula dengan Pasal 28 ayat 2 UU ITE yang menggunakan frasa “menimbulkan rasa kebencian.”
Dalam KBBI (1995:1096) ujaran diartikan kalimat atau bagian kalimat yang dilisankan, sehingga kalau mau diartikan hate speech, ialah suatu kalimat yang dilisankan mengandung kebencian. Agak susah kemudian defenisi ini digunakan jika suatu perbuatan menyebarkan informasi yang mengandung kebencian dilakukan melalui ITE, sebab perbuatan yang menyebarkan informasi melalui elektronik lazimnya dengan cara tertulis.
Kendatipun Jonru dapat pula dijerat dengan UU tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan etnis, dalam ancaman pidana penjara 5 tahun dan/atau denda lima juta rupiah, akan tetapi dengan menggunakan asas hukum lex specialist sistematis, maka yang lebih khusus memenuhi dugaan perbuatan pidananya hanya dengan tindak pidana berdasarkan UU ITE.
Sementara kalau berdasarkan Pasal 20 ayat 2 UU No. 12 Tahun 2005 mustahil untuk menjerat si pelaku, oleh karena ketentuan tersebut tidak memiliki ancaman hukuman (lex imperfecta).
Setepat-tepatnya, Jonru hanya bisa dijerat dengan tindak pidana ITE dalam dua kualifikasi sebagaimana yang telah disebutkan di atas, yaitu penghinaan berkualifikasi Penistaan tertulis (smaad schrift) terhadap individu melalui elektronik (Pasal 27 ayat 3 UUITE) dan penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian (Pasal 28 ayat 2 UU ITE).
Jika dua-duanya perbuatan teresebut terbukti di hadapan persidangan, maka dengan menggunakan sistem kumulasi verscherpingsstelsel, maksimun pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepadanya, yaitu 8 tahun. Angka 8 tahun tersebut, didapat dari pidana terberat adalah tindak pidana penyebaran informasi yang menimbukan kebencian 6 tahun, di tambah sepertiga dari 6 tahun, yakni 2 tahun.
Unsur Delik
Dari segi bestandel delict, atau unsur deliknya mudah saja untuk membuktian bahwa perbuatan Jonru telah memenuhi Pasal 28 ayat 2 UU ITE. Mengenai unsur kesengajaan, yaitu cukup sipembuat mengetahui dan menghendaki perbuatannya (willen en weeten).
Sipelaku dalam kasus a quo sudah pasti mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa dari perbuatan menulis status di laman media sosial akan tersebar ke khalayak, juga akan menimbulkan rasa kebencian berlatar SARA.
Demikian halnya dengan menggunakan teori menghendaki, bahwa apa yang dilakukan si pembuat dalam keadaan sadar, tidak ada pihak yang melakukan pemaksaan agar perbuatan pidana itu terwujud secara sempurna.
Jika kemudian si pelaku beralasan bahwa perbuatannya belum menimbulkan akibat. Pun sipelaku dalam konteks itu tidak dapat berlindung dibalik alibinya, sebab selain ketentuan tersebut merupakan delik formil, juga berlaku asas hukum “kesengajaan dapat dihukum walaupun kehendak atau tujuan tidak tercapai (affectus punitur licet non sequator effectus).”
Patut disayangkan jerat hukum yang kini sedang membuntuti pegiat kondang media sosial tenar itu karena kontranya dengan setiap kebijakan Presiden Jokowi. Kepolisian baru bertindak setelah ada pihak yang melaporkan perbuatan Jonro, Muannas Al Aidid. Padahal tindak pidana yang diduga dilakukan oleh Jonro, selain merupakan delik biasa, seharusnya diupayakan tindakan preventif terlebih dahulu (Vide: SE Kapolri SE No 6/X/2015).
Kemalangan harus diterima Jonru seorang diri, jemarimu adalah jerujimu. Bukan hanya mulut berlisan yang bisa mengantarmu ke balik jeruji, tetapi jemari yang mampu menuliskan kalimat penghinaan dan kebencian di media sosial dapat pula mengantarkanmu untuk merasakan “nikmatnya” hotel prodeo. Waspadalah...!!!
Telah Muat di Harian Tribun Timur, 3 Septmber 2017
Telah Muat di Harian Tribun Timur, 3 Septmber 2017
DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI |