Tibalah diharibaan persada Indonesia menapaki usianya yang ke 72. Dan di-usia yang tergolong menua itu, kiranya menjadi penting untuk kembali mengukir jejak-jejak para pejuang kemerdekaan.
Satu hal yang tak dapat dipungkiri bahwa terengkuhnya kemerdekaan adalah peran besar dari founding leaders yang kebanyakan menghabiskan hidupnya dengan literasi. Tirto, Tjokroaminoto, Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Syarifudin Parawinegara, Supomo, Natsir, Agus Salim, dan Kasman Singodimedjo, mereka semuanya adalah orang yang tekun dalam dunia tulis-menulis. Mereka punya gaya dan ciri khas masing-masing dalam menuangkan gagasan, sebagai gerbong melawan penjajah.
Piagam Jakarta yang kemudian melahirkan pula dasar negara bernama Pancasila, tentunya tidak akan tercipta Indonesia sebagai negara secara dejure andaikata panitia sembilan bukan orang-orang yang mahir dalam menulis.
Pada intinya, kemerdekaan tidaklah dapat diraih tanpa peran dan pengaruh yang amat besar dari para pejuang yang lihai, cekatan, dan pintas waktu dalam menata kata perkata, kalimat perkalimat.
Sayangnya, profesi menulis hingga kini belum mendapatkan kemerdekaan sejati. Pekerjaan menulis dianggap tidak akan mendatangkan kekayaan. Mereka yang terus melanjutkan hobi menulisnya, pun kalau ada yang bertahan dengan profesi itu, hanyalah orang-orang yang betul-betul ingin mengabdikan diri sebagai penyumbang gagasan untuk negerinya semata, bukan pengusaha yang ingin kaya selama-lamanya.
Salah Pemerintah
Ada yang salah, dan tidak pernah kita sadari. Kita semua, termasuk pemerintah adalah bahagian dari kesatuan entitas bangsa yang suka meratap dan mengeluh, tanpa mentotalkan diri untuk berbenah.
Hanya terbiasa, dan itu selalu terulang-ulang menghakimi bangsa sendiri dengan mengatakan minat baca sangat rendah. Yaitu berdasarkan studi “Most Litered Nation In The Word” yang dilakukan oleh Central Connencticut State University, pada Maret 2016 lalu, kita dinyatakan menduduki posisi buncit di peringkat ke 60 soal minat baca.
Tak cukup sampai di situ, kita lebih terlena dalam soal keluh kesah lainnya lagi. Sungguh terbiasa pula kita mengeluh dengan minimnya produksi buku di negeri ini. Ialah berdasarkan International Standar Book Number (ISBN), Indonesia hanya memproduksi buku 64 ribu pertahun. Amat tetinggal jauh dengan Cina yang memproduksi 440 ribu buku pertahun.
Apa yang salah dengan itu semua? Minat baca rendah dan produksi buku juga rendah. Yang salah ialah kebijakan pemerintah yang belum memberikan kemerdekaan berarti bagi seorang penulis. Penulis yang ingin menerbitkan bukunya, tak pernah sedikit pun menjadi perhatian pemerintah. Jika ingin menerbitkan buku, seorang penulis yang harus berjuang sendiri, mati-matian dan jatuh sempoyongan mencari dana agar bukunya bisa terbit.
Buku-buku yang terbit, secara kasat mata dibiarkan oleh pemerintah dalam arena pasar, laku atau diminati diserahkan kepada pasar dan minat baca kebanyakan orang. Sehingga buku-buku yang terjual di pasaran, di toko-toko, di mall seperti gramedia, oleh karena dikelola pasar penerbitan dan percetakan secara bebas, harganyanya pun kadang selangit.
Kurang daya jangkau beli, hal mana orang lebih memilih mengutamakan membeli kebutuhan pokok (primer) dibandingkan membeli buku. Itu yang harus disadari oleh pemerintah, bahwa kurangnya minat baca karena penulis tidak pernah diberikan kemerdekaan melalui perhatian lebih dalam soal penerbitan buku berbiaya murah, agar berbanding lurus dengan harga buku murah, sehingganya orang mau membeli dan membaca buku karena harga yang cukup terjangkau.
Para penulis buku dijajah, dibiarkan mati sendiri dalam karya-karyanya, sebelum karya itu dikecap dan didaras oleh khalayak. Ini jelas-jelas terlihat dari beleid yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 123/2013, yang menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) buku dikisaran 10 persen. Dan jika PPN buku tinggi, sudah pasti biaya produksi buku juga akan semakin mahal, dan para penulis buku yang mau menerbitkan karya-karyanya hanya bisi gigit jari sambil menatap karya-karyanya mengendap sebagai naskah purba di file komputer.
Aneh bin ajaib. Pemerintah selalu menyalahkan rakyatnya yang kurang minat baca, kurang minat menulis. Padahal dari pemerintah sendiri yang nyata-nyata salah total dalam menghidupkan budaya baca bagi rakyatnya.
Sesekali pemerintah hanya kebiasaan menjadi pahlawan di siang bolong. Langsung memberikan apresiasi, sedikit bintang penghargaan bagi mereka yang menjadi pustakawan berjalan di desa-desa terpencil. Padahal kalau mau dipikir, sewaktu pustakawan berjalan itu menyusuri pelosok-pelosok desa, satu sen pun tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah.
Tiba saatnya pustakawan berjalan disorot media, berdatanganlah para politisi yang mengatasnamakan pemerintah terkait, untuk merebut citra. Bak pahlawan di siang bolong, baru mau nyumbang kalau atensi publik sudah kian ramai.
Kemerdekaan Penulis
Tidak ada kemerdekaan yang dberikan oleh negara terhadap seorang penulis. Hanya pemanis hati dan penghibur diri, untuk dirinya seorang. Teringat saya dengan kata-kata dari seorang sastrawan lokal Dul Abdul Rahman, “jika ingin merdeka menulislah, anda bisa mengata-ngatai dan mencaci maki tentara, polisi, politisi, pemerintah dengan menulis.”
Yah...benar, kita merdeka soal kemahakaryaan, tetapi terjajah karena ketulusan dan keikhlasan untuk menebarkan gagasan tidak segampang membalikan telapak tangan. Kita merdeka soal ide, soal gagasan, tetapi kita miskin dalam materi. Sampai-sampai karya yang telah diusahakan semaksimal mungkin, satu kali pun kadang tidak dihargai. Wajar, kalau di hati para penulis selalu termaktub adagium, menjadi penulis anda harus rela miskin, dan rela menahan lapar sepanjang hari, sepanjang malam.
Orang boleh pandai setinggi langit. Tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Cetus Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca (1988).
Pram bisalah beralibi demikian, karena karyanya telah menembus banyak teritori dan cakrawala waktu. Tetapi penulis di zaman ini, di zaman yang kita sebut sudah merdeka, sudah merdeka 72 tahun, menemukan seorang penulis hidup dalam kemewahan, kesejahteraan berlipat ganda. Maaf kalau saya hanya bisa mengatakan, dekat di angan, namun jauh di harapan.
Sebagai penghibur diri, penulis juga berhak bahagia, adalah sudah cukup dengan sekadar merindukan kemerdekaannya. Dirgahayu RI ke-72.
Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
Penulis & Owner negarahukum.com
TELAH MUAT DI HARIAN TRIBUN TIMUR, 17 AGUSTUS 2017
Damang Averroes Al-Khawarizmi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar