Sabtu kemarin (20 Mei 2017), hari kebangkitan nasional telah menapaki usianya yang ke-69. Usia yang sudah tergolong menua, sejak pertama kali diperingati pada 20 Mei 1948 atas inisiatif Soekarno saat mana Republik Indonesia (RI) diterpa prahara politik dari dalam. Suatu kondisi ketika RI belum lama terikat perjanjian Renville (17 Januari 1948), wilayahnya terus mengecil hingga hanya Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan sebagian Sumatera.
Hingga saat ini, boleh jadi sangat kurang yang mengetahui kalau penarikan tanggal dan sosio histori hari kebangkitan nasional, dari organisasi pergerakan nasional yang diprakarsai oleh Dr. Wahidin Sudiro Husodo (1857 - 1917), pernah digugat oleh seorang sastrawan kelahiran Blora (6 Februari 1925). Sastrawan yang bisa dikata hampir separuh hidupnya habis di penjara dalam status sebagai tahanan politik orde baru.
Dialah yang bernama lengkap Pramoedya Ananta Toer {PAT – (1925-2006)}, dari karya maha agungnya: “Sang Pemula (1985) dan Tetralogi Buru (Bumi Manusia: 1980, Anak Semua Bangsa: 1981, Jejak Langkah: 1985, Rumah Kaca: 1988)” terungkap kalau setahun sebelum berdirinya organisasi Budi Utomo (BU), yaitu 1906 telah berdiri “Sarikat Priyayi” atas prakarsa Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (1880 – 1918).
Nama Tirto jarang sekali diketemukan dalam sejarah nasional, termasuk pada mata pelajaran Sejarah di tingkat SMP dan tingkat SMA. Dan dibalik itu semua, adakah memang yang sengaja menghilangkan nama Tirto? Sampai-sampai hanya satu refrensi terpercaya akan kebenaran sejarah dapat ditemui di karya penulis dalam negeri yaitu Pramoedya Ananta Toer (PAT), baik dalam nama asli Tirto maupun dalam nama rekaan hasil oleh PAT sendiri di “Tetralogi Buru”, Minke.
Mengapa BU ?
Baik dalam konstruk ideologi maupun dalam konstruk gerakan, ketika dilakukan penelusuran dari karya-karya bernas PAT, memang tidak ada alasan yang bisa membantah kalau “Sarikat Priyayi-lah” yang seharusnya menjadi peletak dasar pertama era kebangkitan atau kebangunan nasional.
Struktur keanggotaan Sarikat Priyayi (SP), menampung bukan hanya priyayi, tetapi juga masyarakat biasa (pribumi), juga dalam skala gerakan dengan mendirikan sekolah dasar (fro’bel onderwijs), berani menerima anak murid yang tidak dapat diterima di sekolah Belanda. Sementara organisasi Budi Utomo (BU), dapat dikatakan sebagai organisasi inklusif, oleh karena hanya menampung kenggotaan dari kalangan priyayi. Belum lagi, sekolah-sekolah yang didirikannya hanya menampung anak-anak dari kalangan priyayi pula.
Dengan geram dan bernada emosi, marah, PAT mengkritik organisasi Budi Utomo sebagai kaki tangan Belanda. Organisasi Budi Utomo (BU) mustahil dapat memerdekakan Hindia Belanda dari kolonialisme dan imprealisme, sebab gerakannya hanya ditujukan untuk kepentingan penjajah. Tak kurang, beberapa anggota Budi Utomo (BU) banyak juga yang anti Islam.
Sayangnya, kita tidak bisa melacak dan menemukan tanggal dan bulan pendirian Sarikat Priyayi (SP), bahkan dalam buku PAT “Sang Pemula,” PAT hanya mencantumkan tahun pendirian SP, minus tanggal dan bulan berapa? Sehingganya, kalau pendirian Sarikat Priyayi hendak dijadikan dasar hari peringatan kebangkitan nasional, tentulah tidak akan ada namanya peringatan hari kelahiran atau hari ulang tahun, sebab yang selalu menjadi penarikannya, yaitu tanggal dan bulan, soal tahunnya memang juga penting, tapi itu belakangan.
Berdasarkan umur organisasi, kuat dugaan pula kalau hanyalah organisasi Budi Utomo yang pada kenyatannya bisa menjadi cikal-bakal kebangkitan nasional dalam merengkuh kemerdekaan pada waktu itu.
Sarikat Priyayi tidak bisa bertahan lama, baik karena persoalan finansial maupun pencekalan izin resmi dari pemerintah Belanda. Bisa diperkirakan umur Sarikat Priyayi hanya berumur dikisaran 3 sd. 4 tahun. Ini bisa dilacak dari pertama berdirinya (1906) lalu Tirto ikut pula dalam pendirian Sarikat Dagang Islam (1909). Saat Gerakan Budi Utomo berdiri, Sarikat Priyayi masih eksis karena tanpa dipinta ia menyediakan ruangan terbitan untuk ikut mempropagandakan anti penjajah. Bahkan ia sendiri (Tirto) menjadi anggota pergerakan Budi Utomo afdelling di Bandung (PAT, Sang Pemula, Halaman 115)
Kendatipun demikian, pergerakan Budi Utomo (BU) jelas-jelas sudah dimasuki kepentingan politik penjajah, umurnya tetaplah tergolong menua, 27 tahun (1908 – 1935). Karenanya itu, sedikit tidaknya banyak memacu adrenalin anak-anak muda terpelajar di dalam dan luar negeri untuk bersatu; Jong Java, Jong Sumatra, Jong Celebes hingga dideklarasikannya “Sumpah Pemuda” -1928- banyak dipengaruhi oleh pergerakan nasional Budi Utomo (BU).”
Beberapa nukilan sejarah, juga ada yang menginginkan kalau penarikan hari kebangkitan nasional dari pendirian SDI dan sebagian lagi ada yang menginginkannya dari pendirian National Indische Partij (NIP).
Gampang saja mematahkan pendapat ini, walau kedua-duanya merupakan organisasi yang tidak perlu diragukan niatnya untuk kemerdekaan Hindia Belanda dibandingkan pergerakan Budi Utomo (BU). SDI berdiri pada 5 April 1909 dan NIP berdiri pada 25 Desember 1912 oleh tiga serangkai (E.F.E Dowes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara). Sudah jelas, pendiriannya belakangan dibandingkan pergerakan Budi Utomo.
Ada yang mengatakan kalau SDI berdiri pada 16 Oktober 1905. Informasi tersebut kiranya telah terbantahkan. Pertama, oleh Delian Noer “Gerakan Modern Islam Indonesia” (LP3ES, Jakarta, 1980) sebagaimana dituliskan oleh PAT (Sang Pemula: Halaman 139) dikatakan bahwa itu tidak benar, bahkan penanggalan itu bahagian dari strategi, agar jejak Tirto yang sengaja dihilangkan dari sejarah. Kedua, dalam sejarah yang dituliskan oleh PAT, dikatakan bahwa sebelum SDI berdiri diawali dari sebuah pertemuan di rumah Tirto di Bogor, 27 Maret 1909. Hal lain lagi, jika Tirto saja sebagai sekretaris-advisor di SDI, rasa-rasanya tidak mungkin ia masuk di SDI, kalau Sarikat Priyayi-nya masih eksis kala itu.
Sikap Kita
Sejarah tetaplah sejarah, sejarah tidak pernah salah, tetapi penulis sejarah wajar kalau dicurigai ada kemungkinannya salah. Salah karena subjektifitasnya lebih dominan ketimbang objektivitasnya. Terpaksa salah karena regim yang menghendakinya.
Soal hari, dan kapan sebaiknya kebangkitan nasional diperingati tidak perlu diperdebatkan lagi. Jauh lebih penting dari semuanya itu, adalah “angel” dari kebangkitan nasional tetap bisa kita pelihara sepanjang zaman, kebhinekaan yang dipersatukan dalam wadah satu nusa, satu bangsa, dan satu Indonesia.
Sikap kita, kebenaran sejarah harus diceritakan. Tirto harus dikembalikan jasa-jasanya dalam memoar anak-anak kita di masa mendatang. Bukan hanya ada nama Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Dowes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara, Samanhoedi, Tjokroaminoto, akan tetapi ada juga nama Tirto.
Bahwa dari Tirto - lah pertama kali lahir surat kabar (Medan Prijaji 1907) berbahasa melayu, dan seluruh pekerja mulai dari pengasuh, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia. Sebuah media yang berani pula melancarkan kritik terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Gerakan nasionalisme yang tiada perlu dan tidak patut lagi dipertanyakan. Bahwa dari Tirto pulalah pergerakan nasional pertama kali digelorakan melalui Sarikat Priyayi-nya.
Buku-buku sejarah haruslah direvisi demi mengenang jasa Tirto untuk Indonesia, dengan memasukkan nama, institusi dan peran beliau dalam pendirian beberapa organisasi pergerakan nasional {Budi Utomo (BU), Sarikat Dagang Islam (SDI), Sarikat Islam (SI)}. Tak perlulah memperdebatkan hari kebangkitan nasional, apalagi mau menggugatnya.