“Jika engkau ingin mengetahui kedalaman hati seseorang, bacalah karya-karyanya, sekali-kali mungkin tokoh utama dalam cerita itu tentang dirinya.”
Perkenankan saya memohon maaf sebelumnya kepada penulis novel yang berjudul “Kau, Aku, Bukan Kita.” Betapa saya mengalami kekecewaan berat setelah membacanya, hanya dalam waktu dua jam pasca novel tersebut tiba di tangan saya.
Dan sebab kekecewaan itu, ibarat kita pernah membaca sebuah novel, kemudian menonton cerita dari novel tersebut dalam sebuah potret “film.” Ternyata tidak sama dengan cerita di dalam novel.
Memang berbahaya jika kita punya sikap selalu membanding-bandingkan, tidak akan pernah sampai pada kesempurnaan. Seperti sikap seorang Rara yang selalu membanding-bandingkan Randi dan Fandi. Fandi dominan dalam hal kekayaan, tetapi soalnya ia datang terlambat mengisi relung hati Rara. Sebaliknya, Randi berasal dari keluarga yang kurang berada, tetapi soal rasa, rasa itu tak perlu dipertanyakan, sebab sedemikian lamanya telah tertancap di sana.
Saya dilanda penyakit “Rara” dengan sangat terpaksa membanding-bandingkan pula antara “Purnama di Langit Bissorang” dengan “Kau, Aku, Bukan Kita.”
Harapan saya, sebelum membaca novel “Kau, Aku, Bukan Kita” saya menginginkan terlempar ke sebuah dunia yang tidak pernah kukenali sebelumnya. Sangat menginginkan sebuah situasi: sepi dan akut. Ringkasnya, kehendak saya adalah ingin meleburkan diri dalam situasi penuh emosional sebagaimana yang sedang melanda sang toko utama.
Ternyata Rara tidaklah mengalami guncangan batin yang sedemikian hebatnya seperti yang pernah dialami oleh “Purnama,” adalah separuh hidupnya dilampiaskan dengan berpuasa, tidak akan pernah melihat “matahari.” Rara hanya orang biasa, kaya, anak semata wayang, dan segala hal yang berbau materi dengan gampang ia bisa mendapatkannya, kecuali dalam hal “cinta,” mungkin itu terasa sulit baginya.
Pertemuan Rara dan Randi tidaklah seheboh atau semewah, pertemuannya Mentari dengan Purnama. Memang empat insan manusia itu sama-sama diikat oleh tali-temali persahabatan. Jika Rara dan Randi bersahabat, itu diluar kebiasaan, karena jenis kelamin yang berbeda, was-was akan ada benih cinta yang tumbuh di sana. Tidak berlaku demikian, antara Mentari dengan Purnama, sama-sama sebagai kaum hawa, persahabatannya sulit melahirkan cinta. Aneh namun itu terjadi, jutru kebencianlah yang melahirkan cinta diantara mereka.
Rara dan Randi bersahabat tidak memiliki “rahasia” yang sama. Kemudian rahasia itu pada akhir cerita akan terungkap semuanya. Berbeda antara Purnama dengan Mentari, keduanya adalah wanita yang pernah diceraikan oleh rupa lelaki nan sama. Dan pada akhirnya, rahasia itu terbongkar juga.
Membaca novel Purnama di langit Bissorang seakan-akan saya diseret dalam oase, sebuah cerita dari novel yang berjudul “Penantian Seorang Perempuan” karya Aguk Irawan. Ada rahasia di atas rahasia yang akan terbongkar dengan sendirinya diakhir cerita. Ada seorang perempuan yang dimadu oleh lelaki, dan ternyata “madunya” itu adalah saudara sekandung bapaknya sendiri di tanah seberang. Di Novel “Purnama di langit Bissorang:” ada seorang perempuan yang bersahabat, bahkan hidup seolah-olah sebagai saudara kandung, dan ternyata keduanya adalah wanita yang pernah dihianati oleh “hidung belang lelaki” yang sama.
“Kau, Aku, Bukan Kita” adalah kredo yang bisa menjadi pilihan kepada muda-mudi untuk menyatakan rasa yang amat sulit terkatakan. Kredo tersebut jika dipositifkan maka akan berbunyi: “Kau dan aku adalah kita.” Di saat yang sama kredo tersebut dapat pula menjadi kalimat yang bermuatan penghormatan, bagi suku Bugis – Makassar dalam kedudukan sama satu dengan lainnya.
“Kau, Aku, Bukan Kita” adalah sebuah pengingkaran, sebuah penghianatan terhadap rasa yang tidak menghendaki “tabungan” kebencian. Sebab benci itu beda tipis dengan cinta, kalaupun tidak bisa, apa boleh buat, sahabat pun tidak mengapa.
“Kau, Aku, Bukan Kita” tidak mampu melempar sang pembaca dalam dualitas kehidupan. Tidak ada rasa mencekam yang sekali-kali datang mengiris hati, hingga berakhir pilu. Itu, yang tidak ada di novel “Kau, Aku, Bukan Kita” sebagaimana hadirnya kecaman dunia dan ummat manusia kepada seorang perempan yang bernama Purnama.
Bagi mereka yang pernah membaca Novel: “Bukan Pasar Malam” karya PAT, mungkin bisa membandingkan cerita dan geliatnya, bahwa suasana ketakutan itu kadang-kadang berperan pentiing dalam mengaduk ruah dan rasanya para pembaca.
Jika di Novel: “Purnama di Langit Bissorang” kak Mira memilih untuk mengunci pintu cerita seerat-eratnya, Purnama dan mentari berbahagia, menjelma dalam kerabat keluarga, ada barter nama diantara anak-anaknya.
Berbeda halnya di Novel: “Kau, Aku, Bukan Kita” kak Mira jauh lebih egaliter, menyerahkan kisah Rara ke pada para pembaca. Apakah Rara akan menikah dengan Fandi? Ataukah Rara akan menikah dengan Randi? Ataukah Rara akan meninggal sebagai tokoh utama? Akh… mungkin tidak, karena Kak Mira, bukanlah Kak dul abdul rahman, walau keduanya lebih banyak kukenal berkat karya-karya spektakulernya.
Makassar, 4 November 2012
Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi