10 sd. 11 Oktober 2016, karibku Muh. Nursal NS, hari, tanggal, bulan, dan tahun itu merupakan peristiwa penting bagimu. Jangan pernah kita “menghakimi” waktu, karena sesungguhnya pada waktulah kita banyak belajar tentang diri kita.
Seringkali saya mengatakan, bahwa salah satu yang sering dilupakan oleh manusia, adalah perkara “jodoh.” Soal kelahiran dan kematian janganlah ditanya, semua orang tahu pastinya kalau demikian sudah menjadi “sunnatullah.” Dengan melihatmu kawanku bersanding dengan wanita pilihanmu, semakin saya percaya jikalau yang namanya “jodoh” pun adalah kekuasaan Tuhan yang tiada dapat dielakkan.
Sekalipun hari bisa menjadi gelap, pastilah ia akan disiangi dengan cahaya mentari. Dan sekalipun langit merintihkan “hujannya” pada akhirnya juga akan redah pada waktunya.
Pada alam kita dapat belajar segala kemahaagungan-Nya. Diriku yang terlalu banyak “tidak tahunya” bahkan banyak belajar darimu. Engkaulah yang pernah menerangkan kepadaku jalan seorang “yuris” sehingga ia kemudian layak dikatakan sebagai yuris. Untuk konteks ini, sulit kututupi masih banyak hal yang harus kupelajari dirimu. Suatu waktu masih akan meminta waktumu, walau tidak sebanyak dahulu lagi, terangkanlah kepadaku jika ada soal dan perkara yang dalam nalarmu berbeda dengan pendapat dan pengamatanku.
Saya termasuk “kawan” yang paling inklusif, untuk perkara “pernikahan” sayalah (mungkin) pantas untuk dikatakan “egois” dan tidak pernah memerhatikannya sebagai “kebahagiaan” yang harus dirajut bersama. Hanya dan baru kali ini, seorang kawan yang baru kenal akrab setelah saya dan dirimu sarjana, betapa pentingnya bagi diriku untuk hadir di pesta pernikahanmu. Sebab mengapa? Saya sangat dan betapa percayanya pada yang namanya kekuatan doa, lamat-lamat doa yang selalu diutarakan kepada-Nya, yakin dan percaya pastilah ia akan menjawab-Nya.
Untukmu teman yang maaf jika saya harus mengatakan kalau dirimu terkadang “keras kepala,” egois, dengan pendapatmu sendiri yang tidak mau dianggap “salah.” Saya selalu “memakluminya” sebab dalam “sendiriku,” selalu dan selalu merenungkan kembali kata-katamu yang cukup dibalut dengan ‘argumentasi” logis, kerap memang harus demikian adanya.
Jika dirimu dalam keadaan “marah” pun saya tahu rumus pamungkasnya, engkau tak perlu dilawan, cukup dengan nada diam, beberapa saat setelah itu, engkau akan menyesalinya jika perbuatan dan tutur demikian memang tidaklah pantas. Berdosa dan kualat mungkin diriku, jika saya harus mengatakan kalau hal yang seperti ini haruslah dipelajari dan dipahami oleh istrimu.
Bukan teman, bukan sahabat, jika diantaranya tidak pernah berselisih paham, lalu setelah itu kembali menjadi akrab, tanpa menyimpan lagi rasa dendam di hatinya. Janganlah pernah menuntut maaf dari orang yang pernah membuatmu kesal, tetapi “maafkanlah” saja, sebab potensi teragung yang dimiliki oleh manusia, adalah merenungi kembali apa yang pernah diperbuatnya.
Sebagaimana lazimnya, ketika orang pada ramai mengucapkan selamat dan dendangan doa kepada dua insan yang dipertemukan dalam kasih dan sayangnya, maka terimalah jua ucapan dan doaku, berbahagialah dirimu selamanya, walau rasa-rasanya kata-kata ini sangat dan teramat miskin pada kenyataannya.
Sudah engkau tunjukan, bahwa “pernikahan” itu hanya butuh kesungguhan dan kemauan, bukan soal “finansial.” Akh..engkau terlalu berani kawan, tetapi apapun itu, saya harus percaya sebab di depan mataku sendiri, engkau mampu membuktikannya. Maka dari itu, jika memang saya harus melewati fase demikian, silahkanlah menyelipkan hasratku pula dalam setiap doamu. Sebab pada kekuatan doa-lah yang tidak akan pernah memisahkan diantara kita semua, yang kerap dimaknai waktu dan tempat selalu membatasinya.
Berlebihan anganku, kalaulah kebersamaan akan dipertemukan pada waktunya dalam “turunan” anak manusia yang jauh lebih dari kita pada hari-hari kemarin, saling adu “ilmu” dan pengetahuan, tentunya mereka itu jangan sampai melupakan “kuasa” di atas “kusa-Nya.”
Mengguruimu soal istri yang harus banyak belajar “agama Islam,” keluarga yang selalu berikrar “syukur” kepada-Nya, itu sangat berlebihan jika saya yang menyampaikannya. Engkaulah yang lebih banyak makan garam dan matang untuk soal demikian, lebih-lebih lagi engkau sudah menjalaninya, sementara diriku ini masih dalam batas rencana.
Kawanku...! pada hari-hari selanjutnya bukan lagi saya yang akan mengingatkan dirimu, mengurus makan siang dan malammu, sebab di sana sudah ada yang lebih berkapasitas untuk mengurusinya. Namun sewaktu-waktu jika engkau merasa kangen dengan “masakanku” yang ala kadarnya, datanglah sekali-kali berkunjung bersama dengan istrimu. Tak ada salahnya manusia mengingat “kenangannya” asal itu kebaikan dan menjalin silaturahmi toh akan bernilai “ibadah” di sisi-Nya.
Tak perlulah engkau mendengarkan mereka, soal “suami-istri” harus begini, harus begitu, termasuk sayapun ada-ada saja perkataan yang tidak pantas soal itu. Jalani saja, asal engkau selalu mengedepankan agama Islam di pundakmu, maka ridho dan syafaat-Nya pastilah akan melimpahkan kurnia untukmu, terus-menerus.
Ada-ada saja “peristiwa” keluarga yang menjadi gonjang-ganjing di luar sana. Tetapi satu yang dapat kupelajari darimu kawan, janganlah sampai pertengkaran itu diketahui oleh orang-orang di luar sana. Untuk konteks ini, saya harus mengatakan sungguh memang benar dan lebih pantas jika harus dirahasiakan.
Tiada kebahagiaan, kalaulah tidak pernah dilanda kesedihan, dan tiada manfaatnya manusia dikaruniai kelebihan kalau tiada mampu belajar dari masa lalunya. Jangan pernah menghakimi masa lalu, sebab dengan masa lalu seorang akan menjadi pembelajar yang baik guna menyingkap segala tirai kemanfaatan yang dilimpahkan Allah yang maha kuasa.
Katanya, jika berselisih paham dengan pasanganmu, janganlah lelaki mengadu kepada wanita lain, demikian juga sebaliknya, janganlah wanita mengadu kepada lelaki lain. Kumandangkanlah adzan dan tunaikanlah shalat berjamaah bersamanya, mengadulah kepada Allah. Setelah itu silahkan bersitatap dengannya, di sana engkau akan menemui damai, cinta, dan kasih-sayang yang telah dianugerahkan kepadamu.
Semoga Allah menganugerahi anak dan cucu yang berpegang di tali agama, “Islam.” Perjuangan ini adalah perjuangan menegakkan kalimat “tidak ada Tuhan selain Allah.” Allah SWT, Tuhan penjaga semesta dan pemberi jalan yang akan menerangi hamba yang selalu memuji-Nya.
Kawanku, Muhammad Nursal NS, maaf aku masih terbiasa menuliskan nama NS di belakang namamu, nama kedua orang tuamu, saya bangga dengan huruf itu (NS) sebab tanpa dia kita tidak akan pernah besar seperti ini. Hargai dia selalu, doakan dia selalu, penerangan jalan itu sungguh sangat berpengaruh berkat jasa dan segala amal baktinya, yang tiada pernah menagih balas budi.
Maafkan saya, jika anak yang junior ini terlalu banyak memberi nasihat. Pandanglah nasihatku sebagai doa. Saya harap engkau pula akan selalu berkenan menasihatiku ke jalan yang benar, doamu kuharap selalu menyertai juga niat baikku.
Berbahagilah selalu kawanku, saudaraku.
Pinrang ---- Makassar, 12 Oktober 2016
Responses
0 Respones to "Nursal NS, Selamat Berbahagia Kawanku"
Posting Komentar