Kala malam merangkak fajar, riuh ayam jantan perkasa kini kembali menjagakan anak rantau dengan mersik kokoknya. Dari timur sedang terlirih bait-bait rindu, mereka yang telah melangkah jauh, perlahan dan pasti terpanggil kembali, tuk menemui tanah lapang dan kampung halamannya, di Universitas Hasanuddin (Unhas). Kampus kebanggaan kita semua.
Dan biarpun duka mendekam dalam nestafa, sekalipun layar terbentang surut kita berpantang, tetapi siapalah anak yang dibesarkan dalam rahim gagah berani, selama usia belum diusaikan oleh maut, tiada tenggelam di lautan, semuanya pasti akan rindu untuk merajut pertemuan di altar suci nan menawan itu.
Cerita kemudian meruah nan asa masa lalu, enam puluh tahun silam, 10 September 1956, Universitas Hasanuddin pertama kalinya diresmikan oleh wakil presiden RI pertama pula, Drs. Muhammad Hatta. Momentum 10 September itu kemudian tak pernah disia-siakan, dirayakan tetapi tidak menjadi lupa untuk selalu memancangkan Unhas yang jaya selalu.
Seakan menguak segala memori itu, Wakil Presiden RI, H. Mumahammad Jusuf Kalla, walau Makassar juga Unhas sebagai tanah permai kelahirannya, ia kembali merajut memori 60 tahun silam, antara JK dan Hatta sama-sama Wakil Presiden datang berkunjung ke markas ayam jantan dari timur itu. JK dan Hatta juga memiliki kesepadanan sebagai ekonom yang namanya sudah mendunia.
Entah mengapa, sang proklamator kemerdekaan itu pula, Ir. Soekarno yang begitu dikenal lihai menggali falsafah kebangsaan, ketika berpidato di Gubernuran Makassar (1954) menyarankan agar nama “Sultan Hasanuddin” yang tiada lain sebagai pahlawan nasional sekaligus raja Gowa XVI (1654-1670) kepincut untuk mengabadikannya dalam pendirian universitas negeri yang pertama itu di Ujung Pandang (sekarang Makassar). Demikianlah sebab-musabab sehingga orang di kampung, orang di kota, pada ramai menuntun anaknya agar menjadi bahagian dari Universitas Hasanuddin.
Universitas Hasanuddin telah menghapus segala dinding perbedaan, anak kampung dan anak kota sama-sama berhak mengenakan jas merah kebesaran guna memanggul cita-cita nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa. Tak ada lagi permusuhan, kebencian; Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar dipertemukan dalam satu gelanggang merah, raihlah cita-citamu, tunjukan keberanian dan akal cerdasmu, terampil demi pertiwi Indonesia.
Sekelumit fakta telah tersaji di depan mata, anak-anak Unhas, alumni Unhas selalu dan selalu memperteguh kehormatannya, paentengi sirimu, malu jika tidak behasil. Falsafah itu kemudian telah mengantarkan banyak alumni Unhas memegang jabatan strategis di segala lini, mulai dari tingkatan lokal hingga nasional.
Sederet nama dan cerdik pandai Universitas Hasanuddin telah membahanakan kokok ayam jantan seanteror Indonesia, Jusuf Kalla dengan kemahiran pikirnya sebagai Wapres RI, Amran Sulaiman Menteri Pertanian di Kabinet Kerja Jokowi-JK, Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si, D.fm sebagai Hakim Konstitusi RI, Sir Laode Syarif sebagai komisioner anti rasyuah (KPK).
Tak kurang dan tak lebih, telah banyak pula anak-anak muda Unhas sebagai sastrawan cukup dikenal di medan nasional. Siapa yang tak kenal dengan AAN Mansur ketika salah satu puisinya diabadikan dalam film AADC II, siapa pula yang tak kenal dengan novelis seperti dul abdul rahman dengan beberapa karyanya (Pohon-pohon Rindu, Daun-daun Rindu, Perempuan Poppo, Sarifa, Sabda laut, La Galigo) telah menjadi bacaan menarik untuk seluruh anak-anak Indonesia. Ada lagi, lelaki penggenggam puisi postmo dengan pintas kearifan wajah Bugis Makassar, Aslan Abidin. Inilah yang semakin memadatkan kalau anak-anak jebolan dari kampus berlogo ayam jantan perkasa itu, sukses di luar sana. Sayangnya, kerap kita lupa melirik mereka, di saat Unhas menaburkan segala rindu syahdu kejayaannya.
Tepian Rindu
Ayam jantan bertadu syahdu, bukan hanya milik para petinggi yang kuasa. Suara dan ringkih kokoknya tak ada garis perbedaan untuk membangunkan semua “majikannya.” Di altar tepian rindu, ada alumni Unhas yang sukses membangun rumah tangga yang sakinah, ada alumni Unhas yang menggoreskan penanya untuk ibu pertiwi, ada alumni Unhas memancangkan tangan manusiawinya menolong rakyat papa.
Dan tepian rindu itu akan memecah haru bahagia, seandainya mereka, semuanya berbaur dalam satu nama kebesaran, kampus merah, Universitas Hasanuddin. Di sini ada pemimpin, di sini ada pujangga, di sini ada politikus, di sini ada negarawan, di sini ada ibu rumah tangga, di sini ada rohaniwan. Tampilkanlah mereka semua, sebab kerinduannya akan menaburkan semangat pemberani untuk calon generasi muda berikutnya.
Walau mentari memanas, keringat mengucur dahi, anak-anak Unhas tak pernah dilanda putus asa. Indonesia adalah ibu pertiwi, Unhas juga adalah ibu pertiwi. Wajah kemayunya akan memintas segala perbedaan, ibu cantik yang rindu pada anaknya, anak yang rindu pada ibunya, hendak kembali dalam pelukan sang bunda tapi karena “egoisme” apa daya pertemuannya tak kesampaian.
Mari melepaskan segala ego kepalsuan, singkirkan setiap pagar-pagar pembatas diantara kita. Unhas sudah jaya, Unhas sudah mandiri, Unhas sudah juara, Unhas sudah populer, Unhas tidak lama lagi akan mendunia. Kelak jika ia menjadi “World Class University” jangan kita memicingkan mata, lalu di belakang diam-diam kita tersenyum sambil mengelus dada, Unhasku aku rindu padamu yang dahulu.
Kembang akan selalu mekar dan menyebarkan semerbak mewanginya dimanapun ia tumbuh. Ayam jantan tak akan pernah berhenti “mengumandangkan” kokok “cerdas dan gagah beraninya” selama mentari masih terbit dari ufuk timur juga cahaya kebenaran dan kejujuran masih kita genggam erat bersama di tepian rindu itu. Ayam jantan penabur rindu, di pagi cerah senja nan teduh, nyiur beringin memancangkan bakti padamu selalu, terima, terimalah cinta dan cita kami.
Met Milad Unhas ke-60. *
Dan biarpun duka mendekam dalam nestafa, sekalipun layar terbentang surut kita berpantang, tetapi siapalah anak yang dibesarkan dalam rahim gagah berani, selama usia belum diusaikan oleh maut, tiada tenggelam di lautan, semuanya pasti akan rindu untuk merajut pertemuan di altar suci nan menawan itu.
Cerita kemudian meruah nan asa masa lalu, enam puluh tahun silam, 10 September 1956, Universitas Hasanuddin pertama kalinya diresmikan oleh wakil presiden RI pertama pula, Drs. Muhammad Hatta. Momentum 10 September itu kemudian tak pernah disia-siakan, dirayakan tetapi tidak menjadi lupa untuk selalu memancangkan Unhas yang jaya selalu.
Seakan menguak segala memori itu, Wakil Presiden RI, H. Mumahammad Jusuf Kalla, walau Makassar juga Unhas sebagai tanah permai kelahirannya, ia kembali merajut memori 60 tahun silam, antara JK dan Hatta sama-sama Wakil Presiden datang berkunjung ke markas ayam jantan dari timur itu. JK dan Hatta juga memiliki kesepadanan sebagai ekonom yang namanya sudah mendunia.
Entah mengapa, sang proklamator kemerdekaan itu pula, Ir. Soekarno yang begitu dikenal lihai menggali falsafah kebangsaan, ketika berpidato di Gubernuran Makassar (1954) menyarankan agar nama “Sultan Hasanuddin” yang tiada lain sebagai pahlawan nasional sekaligus raja Gowa XVI (1654-1670) kepincut untuk mengabadikannya dalam pendirian universitas negeri yang pertama itu di Ujung Pandang (sekarang Makassar). Demikianlah sebab-musabab sehingga orang di kampung, orang di kota, pada ramai menuntun anaknya agar menjadi bahagian dari Universitas Hasanuddin.
Universitas Hasanuddin telah menghapus segala dinding perbedaan, anak kampung dan anak kota sama-sama berhak mengenakan jas merah kebesaran guna memanggul cita-cita nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa. Tak ada lagi permusuhan, kebencian; Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar dipertemukan dalam satu gelanggang merah, raihlah cita-citamu, tunjukan keberanian dan akal cerdasmu, terampil demi pertiwi Indonesia.
Sekelumit fakta telah tersaji di depan mata, anak-anak Unhas, alumni Unhas selalu dan selalu memperteguh kehormatannya, paentengi sirimu, malu jika tidak behasil. Falsafah itu kemudian telah mengantarkan banyak alumni Unhas memegang jabatan strategis di segala lini, mulai dari tingkatan lokal hingga nasional.
Sederet nama dan cerdik pandai Universitas Hasanuddin telah membahanakan kokok ayam jantan seanteror Indonesia, Jusuf Kalla dengan kemahiran pikirnya sebagai Wapres RI, Amran Sulaiman Menteri Pertanian di Kabinet Kerja Jokowi-JK, Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si, D.fm sebagai Hakim Konstitusi RI, Sir Laode Syarif sebagai komisioner anti rasyuah (KPK).
Tak kurang dan tak lebih, telah banyak pula anak-anak muda Unhas sebagai sastrawan cukup dikenal di medan nasional. Siapa yang tak kenal dengan AAN Mansur ketika salah satu puisinya diabadikan dalam film AADC II, siapa pula yang tak kenal dengan novelis seperti dul abdul rahman dengan beberapa karyanya (Pohon-pohon Rindu, Daun-daun Rindu, Perempuan Poppo, Sarifa, Sabda laut, La Galigo) telah menjadi bacaan menarik untuk seluruh anak-anak Indonesia. Ada lagi, lelaki penggenggam puisi postmo dengan pintas kearifan wajah Bugis Makassar, Aslan Abidin. Inilah yang semakin memadatkan kalau anak-anak jebolan dari kampus berlogo ayam jantan perkasa itu, sukses di luar sana. Sayangnya, kerap kita lupa melirik mereka, di saat Unhas menaburkan segala rindu syahdu kejayaannya.
Tepian Rindu
Ayam jantan bertadu syahdu, bukan hanya milik para petinggi yang kuasa. Suara dan ringkih kokoknya tak ada garis perbedaan untuk membangunkan semua “majikannya.” Di altar tepian rindu, ada alumni Unhas yang sukses membangun rumah tangga yang sakinah, ada alumni Unhas yang menggoreskan penanya untuk ibu pertiwi, ada alumni Unhas memancangkan tangan manusiawinya menolong rakyat papa.
Dan tepian rindu itu akan memecah haru bahagia, seandainya mereka, semuanya berbaur dalam satu nama kebesaran, kampus merah, Universitas Hasanuddin. Di sini ada pemimpin, di sini ada pujangga, di sini ada politikus, di sini ada negarawan, di sini ada ibu rumah tangga, di sini ada rohaniwan. Tampilkanlah mereka semua, sebab kerinduannya akan menaburkan semangat pemberani untuk calon generasi muda berikutnya.
Walau mentari memanas, keringat mengucur dahi, anak-anak Unhas tak pernah dilanda putus asa. Indonesia adalah ibu pertiwi, Unhas juga adalah ibu pertiwi. Wajah kemayunya akan memintas segala perbedaan, ibu cantik yang rindu pada anaknya, anak yang rindu pada ibunya, hendak kembali dalam pelukan sang bunda tapi karena “egoisme” apa daya pertemuannya tak kesampaian.
Mari melepaskan segala ego kepalsuan, singkirkan setiap pagar-pagar pembatas diantara kita. Unhas sudah jaya, Unhas sudah mandiri, Unhas sudah juara, Unhas sudah populer, Unhas tidak lama lagi akan mendunia. Kelak jika ia menjadi “World Class University” jangan kita memicingkan mata, lalu di belakang diam-diam kita tersenyum sambil mengelus dada, Unhasku aku rindu padamu yang dahulu.
Kembang akan selalu mekar dan menyebarkan semerbak mewanginya dimanapun ia tumbuh. Ayam jantan tak akan pernah berhenti “mengumandangkan” kokok “cerdas dan gagah beraninya” selama mentari masih terbit dari ufuk timur juga cahaya kebenaran dan kejujuran masih kita genggam erat bersama di tepian rindu itu. Ayam jantan penabur rindu, di pagi cerah senja nan teduh, nyiur beringin memancangkan bakti padamu selalu, terima, terimalah cinta dan cita kami.
Met Milad Unhas ke-60. *
Sumber Gambar: http: makassar.tribunnews.com |