Sebelum saya mendeda haru-birunya sederet petani Sinjai yang masih sengsara, belumlah ia merdeka. Izinkan saya memohon lagi berterima kasih pula kepada Harian Tribun Bone atas dimuatnya tulisan ini. Seribu maaf pula kepada semua warga Bone atas pemberian kesempatan kepada penulis, mengurai segala pekik permasalahan petani Sinjai yang masih jauh dari kata sejahtera. Penulis bukanlah anak yang dilahirkan di tanah Bone, akan tetapi sepengatahuan saya selama ini, Harian Tribun Bone juga beredar di Sinjai, sebagai harian yang terbaca oleh jajaran Pemkab Sinjai (Bupati dan DPRD), sehingganya menjadi layak kalau melalui media ini saya kembali “berkhalwat” dengan mereka.
Toh antara Kabupaten Bone dan Kabupaten Sinjai dua keturunan serumpun (Bugis), bertetangga, juga banyak mengandalkan petani sebagai penopang ekonomi daerahnya. Oleh karena itu, menceritakan nasib derita petani Sinjai sama saja hikmatnya memperjuangkan senasib sepenanggungan dari mereka, ditakdirkan sebagai petani (di bone dan di Sinjai) dalam mengelola kekayaan alam yang melimpah ruah di negerinya sendiri.
Petani Sinjai
Fokus ke petani Sinjai. Di daerah ini (Kabupaten Sinjai), walaupun luas wilayahnya dalam keadaan secukupnya (sijai-jai) harus diakui kalau kebesaran Ridho Allah Yang Maha Kuasa, dengan iklim panas-dingin, curah hujan tinggi, maka potensiallah pengembangan cocok bertanamnya.
Di tahun 1990-an hingga tahun 2003, banyak petani di Sinjai mengalami kejayaan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya petani membangun rumah bertingkat, rumah batu permanen, ada yang membeli mobil, ada yang naik haji, hingga tak bisa terhitung berapa jumlah anak-anak petaninya berderap langkah menuju kota Makassar, Jakarta, Yogyakarta, bahkan ke luar negeri menimba ilmu di beberapa perguruan tinggi ternama.
Dan sayup-sayup kejayaan itu perlahan runtuh, memudar. Lahan pertanian yang dulunya menjadi “pergantungan nasib” mereka, tidak dapat diandalkan lagi. Berpuluh-puluh hektar tanaman pertanian terserang hama dan penyakit. Tanaman kakao mereka diserang hama penggerek buah, buah kakao menghitam sehingga tidak layak panen dan dijual lagi. Demikian juga yang terjadi pada tanaman lada (merica), juga diserang busuk akar, sehingga pohonnya tiba-tiba mati kering mengenaskan.
Dalam keadaan itu, banyaklah petani yang beralih menanam cengkeh, tapi apa daya pohon cengkeh kadang juga mati sebelum masa panennya tiba, sebab tidak dapat bertahan dikala musin kemarau tiba yang berlangsung selama 2 (dua) hingga 3 (tiga) bulan.
Saya sebagai anak petani, pastinya merasa tak punya pemimpin di negeri kami sendiri, walaupun selalu datang memilih mereka yang mengatasnamakan calon Bupati dan Calon Anggota DPRD. Dua jajaran dalam institusi pemerintahan itu, kerap saya merasakan bukanlah wakil kami. Perhatian yang ditunjukan melalui kinerja untuk warganya yang berprofesi petani, sama sekali tidak ada. Berkali-kali saya atas nama pribadi, sebagai warga, anak petani yang sudah sarjana, menyurati sang Bupati Bapak Sabirin Yahya melalaui media sosial, facebook, twitter, tapi respon dan aksi kebijakannya seakan dihempas angin lalu. Dengan pongahnya Kabag Humas & Protokol Setdakab. Sinjai, Muh. Sabir Syur, S.Sos, malah saya dicap kekanak-kanakan di suatu harian lokal. Ternyata hanya anak-anak yang bisa berjiwa emas memikirkan nasib dan derita sesamanya yang ditakdirkan sebagai petani. Pemimpin yang dihujani amanah, ia memang dewasa, tapi menghuni rumah jabatan pun kadang tak dapat, ia sempatkan diri.
Kapan Merdeka?
Maka melalui hari kemerdekaan Indonesia yang ke -71 kemarin, inilah momentum yang tepat bagi saya mengingatkan kembali amanah yang diemban oleh sang Bupati Sinjai, Sabirin Yahya beserta dengan Anggota DPRD-nya. Kita bolehlah merayakan kemerdekaan sebagaimana pusat dan seluruh daerah menasbihkannya, dengan segala ritual doa lagi penghormatan kepada pahlawan yang telah membebaskan kita dari belenggu penjajahan.
Anda sebagai pemerintah daerah sebagaimana tercatat dalam undang-undang an sich, sebagai Bupati dan DPRD memegang tanggung jawab untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan bagi warga petani di daerah sendiri, yang nasibnya masih terseok-seok, bahkan jalan ditempat.
Kapanlah warga Sinjai yang berprofesi sebagai petani dikatakan merdeka, kalau lahan pertanian yang menjadi penopang keluarga dan anak cucunya tak pernah diperhatikan oleh pemimpin daerahnya sendiri? Mereka tak ada kata kemerdekaan, hidupnya sengsara, pohon kakao, lada, karena diserang hama dan penyakit, mereka tak pernah patah arang. Ada yang menebang pohon kakaonya digantikan dengan tanaman lada dan/atau tanaman cengkeh, tetapi nasib deritanya sama saja, belum tiba masanya dipanen, mati lagi.
Apalah arti kemerdekaan bagi mereka, jikalau musim kemarau tiba, banyak petani yang mencari air guna menyiram tanaman pertaniannya. Berpuluh-puluh kilometer mereka berjalan sambil membawa air demi mempertahankan tanamannya dari ancaman kekeringan, badannya menjadi letih, tulang belakang terasa patah, demi tanaman pertanian yang diharapkan bisa menghidupi sanak keluarganya.
Seolah warga Sinjai tak punya Bupati, tak punya wakil di dewan. Kemerdekaan dari “perut yang masih kosong” ditentukan oleh warga Sinjai sendiri, bukan ditentukan oleh Bupatinya, bukan pula oleh anggota DPRD-nya. Jalan tani yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah daerah, justru petani sendiri yang bergotong-royong membangun jalan tani yang bisa memudahkan mengangkut hasil pertaniannya. Sama sekali tak ada peran dari kedua institusi yang terhormat itu.
Maka saat ini, wahai Bupatiku, anggota DPRD-ku, anda semuanya tidak dapat lagi mengelak, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan petani masih dalam perencanaan, dengan dalih usia pemerintahan masih seumur jagung.
Khusus untuk bapak Bupati, Sabirin Yahya, masa jabatan anda tinggal 1 (satu) tahun lebih. Saya mewakili seluruh warga Sinjai yang berprofesi sebagai petani, dua kebijakan yang perlu anda prioritaskan: Pertama, aktifkan Dinas Pertanian dan PTH Kabupaten Sinjai guna mengatasi hama dan penyakit tanaman lada, kakao dan cengkeh. Bimbing dan arahkan para petani Sinjai, cara bercocok tanam, cara mencegah penyakit yang selalu menimpa tanaman pertaniannya. Kedua, pemerintah Kabupaten Sinjai perlu pengadaan mobil tangki, sebagai persiapan menjemput musim kemarau, silakan dengan mobil tangki itu anda menjual air ke beberapa petani dengan harga terjangkau, sebab memang banyak petani yang butuh air untuk menyiram tanaman pertaniannya di kala musin kemarau sedang tiba.
Terima kasih yang sebesar-besarnya jika permintaan tersebut ditindaklanjuti, tapi kalau sebaliknya saya hanya dianggap “radio rusak,” kekanak-kanakan, nasib anda ditentukan pada 2018 nanti. Baik Bupati maupun calon yang sudah menggadang-gadang diri untuk memimpin Sinjai, anda semua perlu tahu, bahwa destinasi dan pariwisata di daerah sebaiknya ditempatkan diurutan kedua. Hasil pertanianlah yang bisa membesarkan dan memerdekakan Sinjai, sehingganya Pendapatan Asli Daerah (PAD) bertambah, guna pembangunan selanjutnya (seperti pariwisata). Tea temmakua, pada idipa najaji.*
Toh antara Kabupaten Bone dan Kabupaten Sinjai dua keturunan serumpun (Bugis), bertetangga, juga banyak mengandalkan petani sebagai penopang ekonomi daerahnya. Oleh karena itu, menceritakan nasib derita petani Sinjai sama saja hikmatnya memperjuangkan senasib sepenanggungan dari mereka, ditakdirkan sebagai petani (di bone dan di Sinjai) dalam mengelola kekayaan alam yang melimpah ruah di negerinya sendiri.
Petani Sinjai
Fokus ke petani Sinjai. Di daerah ini (Kabupaten Sinjai), walaupun luas wilayahnya dalam keadaan secukupnya (sijai-jai) harus diakui kalau kebesaran Ridho Allah Yang Maha Kuasa, dengan iklim panas-dingin, curah hujan tinggi, maka potensiallah pengembangan cocok bertanamnya.
Di tahun 1990-an hingga tahun 2003, banyak petani di Sinjai mengalami kejayaan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya petani membangun rumah bertingkat, rumah batu permanen, ada yang membeli mobil, ada yang naik haji, hingga tak bisa terhitung berapa jumlah anak-anak petaninya berderap langkah menuju kota Makassar, Jakarta, Yogyakarta, bahkan ke luar negeri menimba ilmu di beberapa perguruan tinggi ternama.
Dan sayup-sayup kejayaan itu perlahan runtuh, memudar. Lahan pertanian yang dulunya menjadi “pergantungan nasib” mereka, tidak dapat diandalkan lagi. Berpuluh-puluh hektar tanaman pertanian terserang hama dan penyakit. Tanaman kakao mereka diserang hama penggerek buah, buah kakao menghitam sehingga tidak layak panen dan dijual lagi. Demikian juga yang terjadi pada tanaman lada (merica), juga diserang busuk akar, sehingga pohonnya tiba-tiba mati kering mengenaskan.
Dalam keadaan itu, banyaklah petani yang beralih menanam cengkeh, tapi apa daya pohon cengkeh kadang juga mati sebelum masa panennya tiba, sebab tidak dapat bertahan dikala musin kemarau tiba yang berlangsung selama 2 (dua) hingga 3 (tiga) bulan.
Saya sebagai anak petani, pastinya merasa tak punya pemimpin di negeri kami sendiri, walaupun selalu datang memilih mereka yang mengatasnamakan calon Bupati dan Calon Anggota DPRD. Dua jajaran dalam institusi pemerintahan itu, kerap saya merasakan bukanlah wakil kami. Perhatian yang ditunjukan melalui kinerja untuk warganya yang berprofesi petani, sama sekali tidak ada. Berkali-kali saya atas nama pribadi, sebagai warga, anak petani yang sudah sarjana, menyurati sang Bupati Bapak Sabirin Yahya melalaui media sosial, facebook, twitter, tapi respon dan aksi kebijakannya seakan dihempas angin lalu. Dengan pongahnya Kabag Humas & Protokol Setdakab. Sinjai, Muh. Sabir Syur, S.Sos, malah saya dicap kekanak-kanakan di suatu harian lokal. Ternyata hanya anak-anak yang bisa berjiwa emas memikirkan nasib dan derita sesamanya yang ditakdirkan sebagai petani. Pemimpin yang dihujani amanah, ia memang dewasa, tapi menghuni rumah jabatan pun kadang tak dapat, ia sempatkan diri.
Kapan Merdeka?
Maka melalui hari kemerdekaan Indonesia yang ke -71 kemarin, inilah momentum yang tepat bagi saya mengingatkan kembali amanah yang diemban oleh sang Bupati Sinjai, Sabirin Yahya beserta dengan Anggota DPRD-nya. Kita bolehlah merayakan kemerdekaan sebagaimana pusat dan seluruh daerah menasbihkannya, dengan segala ritual doa lagi penghormatan kepada pahlawan yang telah membebaskan kita dari belenggu penjajahan.
Anda sebagai pemerintah daerah sebagaimana tercatat dalam undang-undang an sich, sebagai Bupati dan DPRD memegang tanggung jawab untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan bagi warga petani di daerah sendiri, yang nasibnya masih terseok-seok, bahkan jalan ditempat.
Kapanlah warga Sinjai yang berprofesi sebagai petani dikatakan merdeka, kalau lahan pertanian yang menjadi penopang keluarga dan anak cucunya tak pernah diperhatikan oleh pemimpin daerahnya sendiri? Mereka tak ada kata kemerdekaan, hidupnya sengsara, pohon kakao, lada, karena diserang hama dan penyakit, mereka tak pernah patah arang. Ada yang menebang pohon kakaonya digantikan dengan tanaman lada dan/atau tanaman cengkeh, tetapi nasib deritanya sama saja, belum tiba masanya dipanen, mati lagi.
Apalah arti kemerdekaan bagi mereka, jikalau musim kemarau tiba, banyak petani yang mencari air guna menyiram tanaman pertaniannya. Berpuluh-puluh kilometer mereka berjalan sambil membawa air demi mempertahankan tanamannya dari ancaman kekeringan, badannya menjadi letih, tulang belakang terasa patah, demi tanaman pertanian yang diharapkan bisa menghidupi sanak keluarganya.
Seolah warga Sinjai tak punya Bupati, tak punya wakil di dewan. Kemerdekaan dari “perut yang masih kosong” ditentukan oleh warga Sinjai sendiri, bukan ditentukan oleh Bupatinya, bukan pula oleh anggota DPRD-nya. Jalan tani yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah daerah, justru petani sendiri yang bergotong-royong membangun jalan tani yang bisa memudahkan mengangkut hasil pertaniannya. Sama sekali tak ada peran dari kedua institusi yang terhormat itu.
Maka saat ini, wahai Bupatiku, anggota DPRD-ku, anda semuanya tidak dapat lagi mengelak, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan petani masih dalam perencanaan, dengan dalih usia pemerintahan masih seumur jagung.
Khusus untuk bapak Bupati, Sabirin Yahya, masa jabatan anda tinggal 1 (satu) tahun lebih. Saya mewakili seluruh warga Sinjai yang berprofesi sebagai petani, dua kebijakan yang perlu anda prioritaskan: Pertama, aktifkan Dinas Pertanian dan PTH Kabupaten Sinjai guna mengatasi hama dan penyakit tanaman lada, kakao dan cengkeh. Bimbing dan arahkan para petani Sinjai, cara bercocok tanam, cara mencegah penyakit yang selalu menimpa tanaman pertaniannya. Kedua, pemerintah Kabupaten Sinjai perlu pengadaan mobil tangki, sebagai persiapan menjemput musim kemarau, silakan dengan mobil tangki itu anda menjual air ke beberapa petani dengan harga terjangkau, sebab memang banyak petani yang butuh air untuk menyiram tanaman pertaniannya di kala musin kemarau sedang tiba.
Terima kasih yang sebesar-besarnya jika permintaan tersebut ditindaklanjuti, tapi kalau sebaliknya saya hanya dianggap “radio rusak,” kekanak-kanakan, nasib anda ditentukan pada 2018 nanti. Baik Bupati maupun calon yang sudah menggadang-gadang diri untuk memimpin Sinjai, anda semua perlu tahu, bahwa destinasi dan pariwisata di daerah sebaiknya ditempatkan diurutan kedua. Hasil pertanianlah yang bisa membesarkan dan memerdekakan Sinjai, sehingganya Pendapatan Asli Daerah (PAD) bertambah, guna pembangunan selanjutnya (seperti pariwisata). Tea temmakua, pada idipa najaji.*
Oleh:
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Petani Sinjai yang Sudah Sarjana
Opini: Tribun Bone, 19 Agustus 2017
DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI |
Responses
0 Respones to " Petani Sinjai, Kapan Merdeka?"
Posting Komentar