Sederet pahlawan nasional gugur di medan peperangan, bersimbah darah demi kemerdekaan tanah air dan tekad kuat mengibarkan sang merah putih. Kini, tibalah pengulangan hari kemerdekaan itu yang ke-71. Tetapi sayang seribu sayang, eforia kemerdekaan Republik Indonesia juga bersamaan dengan kabar duka yang melanda sang dewi themis keadilan.
Air mata para “direh” mengucuri sang dewi themis (Θέμις), pedang di tangan kanannya menjadi tumpul dan tak bisa menebas penjahat kelas kakap, bandar besar Narkoba di negeri ini. Dengan mata tertutup, ia menjadi gampang diperdaya, cukup meraba duit milyaran, kelembutannya disalahgunakan. Harapan kemudian terjungkirbalikan, sedianya dengan mata tertutup, akan mengayomi dan memperlakukan semua orang sama di muka hukum, tetapi malah melindungi beberapa bandar besar ternama. Timbangannya tidak lagi adil, melainkan sudah miring “ke kiri” sebab mendahulukan kepentingan materi dan kuasa.
Perlahan-lahan spirit kemerdekaan guna menumbuhkan elat vital kepribadian bangsa oleh para printis sekaligus founding fathers kita terdahulu, terancam “jalan di tempat.” Legacy kemerdekaan yang ditinggalkannya tercabik-cabik oleh ulah para oknum penegak hukum dengan mengatasnamakan sang dewi iustitia.
Laksana halilintar di siang bolong, tulisan Haris Azhar “Pengakuan Busuk Seorang Bandit” yang tersebar di berbagai viral media sosial mengusik permadani segala lini penegakan hukum. BNN meradang, TNI melemas, Polri memanas, Ditjen Bea Cukai terluka teriris sembilu.
Pun ring satu di istana turut prihatin, masing-masing onderdil penegakan hukum dipaksa membuka “kotak pandora” yang bermain mata dengan beberapa bandar Narkoba. Hari kemerdekaan untuk yang kesekian kalinya, kembali ternoda dengan suara berisik Haris Azhar yang membeberkan pengakuan Freddy Budiman, ada bandit yang sudah memereteli penegakan hukum, hingga ratusan milyar mengalir ke ATM para pendekar keadilan.
Merdeka
Sudah berpuluh-puluh tahun negeri ini lepas dari kolonialisme, tetapi roh kebangsaan dan kerakyatan yang termanifestasikan dalam tubuh Pancasila makin tandus, ia tak pernah disiangi lagi dengan hujan keadaban.
Jangan pernah mengaku merdeka, kalau rasa kebangsaan hanya terurai dengan kibaran sang merah putih. Tetapi lupa untuk mengokohkannya dari merah putih yang melambangkan kekuatan gagah berani, suci lahir batin. Manalah Polri dikatakan berani, kalau beraninya hanya menangkap pengedar, tetapi takut pada bandit kakap alias bandar Narkoba. Pun harapan hanya akan menjadi “kembang tidur” jika suara hanya bergelora keras, menggelegar, di saat TNI melangsungkan upacara bendera, dan di saat yang sama mulutnya malah terkatup, senyap, alih-alih tersimpan sejuta asa mempertahankan kedaulatan negeri, tetapi faktanya melalui ujaran Freddy Budiman ke Haris Azhar : “TNI juga teman para Bandar.”
Dari sabang sampai Merauke, bolehlah berteriak kemerdekaan untuk sang merah putih, asalkan tubuh dan jiwanya tidak terjajah oleh kerasnya pengaruh Narkoba. Sebab mengapa? Narkoba kini bermutasi sebagai kolonialisme modus baru, melawannya bukan dengan semangat “bambu runcing,” bukan pula dengan bedil, meriam, tank, ataukah pesawat tempur. Siapa yang paling kuat menahan nafsu dan godaan, mereka inilah yang bisa berteriak merdeka, merdeka dari Narkoba. Tubuhnya kuat, punya visi, wataknya kemandirian, yang akan menerjang penjajahan para bandit Narkoba. Dialah generasi emas yang memikirkan nasib anak cucunya sebagai calon pemegang estafet kebangsaan.
Penjajahan Narkoba
Air mata para “direh” mengucuri sang dewi themis (Θέμις), pedang di tangan kanannya menjadi tumpul dan tak bisa menebas penjahat kelas kakap, bandar besar Narkoba di negeri ini. Dengan mata tertutup, ia menjadi gampang diperdaya, cukup meraba duit milyaran, kelembutannya disalahgunakan. Harapan kemudian terjungkirbalikan, sedianya dengan mata tertutup, akan mengayomi dan memperlakukan semua orang sama di muka hukum, tetapi malah melindungi beberapa bandar besar ternama. Timbangannya tidak lagi adil, melainkan sudah miring “ke kiri” sebab mendahulukan kepentingan materi dan kuasa.
Perlahan-lahan spirit kemerdekaan guna menumbuhkan elat vital kepribadian bangsa oleh para printis sekaligus founding fathers kita terdahulu, terancam “jalan di tempat.” Legacy kemerdekaan yang ditinggalkannya tercabik-cabik oleh ulah para oknum penegak hukum dengan mengatasnamakan sang dewi iustitia.
Laksana halilintar di siang bolong, tulisan Haris Azhar “Pengakuan Busuk Seorang Bandit” yang tersebar di berbagai viral media sosial mengusik permadani segala lini penegakan hukum. BNN meradang, TNI melemas, Polri memanas, Ditjen Bea Cukai terluka teriris sembilu.
Pun ring satu di istana turut prihatin, masing-masing onderdil penegakan hukum dipaksa membuka “kotak pandora” yang bermain mata dengan beberapa bandar Narkoba. Hari kemerdekaan untuk yang kesekian kalinya, kembali ternoda dengan suara berisik Haris Azhar yang membeberkan pengakuan Freddy Budiman, ada bandit yang sudah memereteli penegakan hukum, hingga ratusan milyar mengalir ke ATM para pendekar keadilan.
Merdeka
Sudah berpuluh-puluh tahun negeri ini lepas dari kolonialisme, tetapi roh kebangsaan dan kerakyatan yang termanifestasikan dalam tubuh Pancasila makin tandus, ia tak pernah disiangi lagi dengan hujan keadaban.
Jangan pernah mengaku merdeka, kalau rasa kebangsaan hanya terurai dengan kibaran sang merah putih. Tetapi lupa untuk mengokohkannya dari merah putih yang melambangkan kekuatan gagah berani, suci lahir batin. Manalah Polri dikatakan berani, kalau beraninya hanya menangkap pengedar, tetapi takut pada bandit kakap alias bandar Narkoba. Pun harapan hanya akan menjadi “kembang tidur” jika suara hanya bergelora keras, menggelegar, di saat TNI melangsungkan upacara bendera, dan di saat yang sama mulutnya malah terkatup, senyap, alih-alih tersimpan sejuta asa mempertahankan kedaulatan negeri, tetapi faktanya melalui ujaran Freddy Budiman ke Haris Azhar : “TNI juga teman para Bandar.”
Dari sabang sampai Merauke, bolehlah berteriak kemerdekaan untuk sang merah putih, asalkan tubuh dan jiwanya tidak terjajah oleh kerasnya pengaruh Narkoba. Sebab mengapa? Narkoba kini bermutasi sebagai kolonialisme modus baru, melawannya bukan dengan semangat “bambu runcing,” bukan pula dengan bedil, meriam, tank, ataukah pesawat tempur. Siapa yang paling kuat menahan nafsu dan godaan, mereka inilah yang bisa berteriak merdeka, merdeka dari Narkoba. Tubuhnya kuat, punya visi, wataknya kemandirian, yang akan menerjang penjajahan para bandit Narkoba. Dialah generasi emas yang memikirkan nasib anak cucunya sebagai calon pemegang estafet kebangsaan.
Penjajahan Narkoba
Tanah tumpah darah Indonesia sudah kita renggut dari bangsa penjajah, tetapi perang belum usai dengan hanya cukup sampai di sini. Pengakuan Freddy Budiman melalui Haris Azhar seyogianya menjadi peringatan bahwa lonceng peperangan Narkoba, harus dideringkan keras, sekeras-kerasnya, kalau niat dan perbuatan jahat para bandit Narkoba tak lama lagi akan berakhir. Benteng mereka harus segera diruntuhkan, taktik penyerangannya juga sudah harus dilumpuhkan.
Sudah saatnya BNN, TNI, Polri, dan Ditjen Bea Cukai menumbuhkan rasa kebangsaan. Nasionalisme atas kedaulatan Negara Republik Indonesia segera dipulihkan dengan menerapkan taktik jitu, tidak ada maaf dan ampun bagi para Bandit Narkoba, tutup semua pintu yang menjadi lahan peredaran barang haram mereka. Maka dengan sendirinya pabrik ekstasi dan shabu gulung tikar. Itulah masa benteng pertahanannya runtuh sebagai tanda kita telah menuai kemerdekaan dari ekspansi terselubung para penjahat Narkoba.
Konsistensi memerangi peredaran Narkoba perlu pula diketahui, tidak hanya dengan kata yang minim aksi, sebab tidak mungkin bebas dari penjajahan zat adiktif berbahaya, jikalau masih ada oknum penegak hukum yang berkonspirasi dengan para “big boss” Narkoba. Oknum yang seperti inilah harus dicari “batang hidungnya.” Hasil audit PPATK terkait adanya transaksi mencurigakan di salah satu oknum penegak hukum, sudah menjadi alarm bagi tiap-tiap institusi tersebut untuk bersih-bersih dari “mata-mata” para bandit Narkoba.
Ingat! Perang terhadap Narkoba tidak akan menuai kemerdekaan dari segala ancaman kehancuran anak bangsa, jikalau kita tidak berhasil mendeteksi “mata-mata” yang diselipkan oleh para bandit jahanam itu. Seorang pengkhianat pastilah berjiwa pengecut, tahunya hanya akan membocorkan rahasia, dan pada akhirnya kita bisa kalah di medan peperangan melawan Narkoba.
Freddy Budiman memang telah “dihabisi” di tiang eksekusi. Syukur-syukur karena hajatan perang atas darurat Narkoba, mau tidak mau Freddy harus menerima kematiannya, dan ia sudah mengenduskan sejumlah “pengkhianat” yang membuat kita semua bisa-bisa mati tersungkur karena kalah dalam memerangi Narkoba. Pun Haris Azhar tidak mendiamkan sejumlah pengakuan Freddy, ia rela dihujat, dimaki, dicaci, bahkan diancam akan dikirim ke “bui” karena mencemarkan nama baik beberapa badan umum yang ditudingnya memelihara sejumlah mata-mata para bandit.
Merah putih berkibar menyambut kemerdekaan dalam menapaki usianya yang ke-71, para pejuang kemerdekaan kita dahulu mati dalam kemuliaan karena peluru bedil, demi tanah dan tumpah darahnya. Maka warisan tanah air yang telah ditinggalkannya untuk kita semua, jangan sampai direnggut oleh para bandar besar Narkoba, di saat para penghuninya “tewas” mengenaskan gara-gara efek kecanduan Narkoba.
Tangkap dan penjarakan para “pengkhianat” itu. Warga negara bersatu padu dengan TNI, Polri, semuanya, untuk mempertahankan kedaulatan negeri dari segala akal bulus dan modus operandi para penjahat Narkoba. Merdeka dari penjajahan Narkoba, suci-bersih, lahir-batin, dengan tidak mengonsumsi Narkoba.
*Selamat HUT ke-71 untuk Indonesia.*
Sudah saatnya BNN, TNI, Polri, dan Ditjen Bea Cukai menumbuhkan rasa kebangsaan. Nasionalisme atas kedaulatan Negara Republik Indonesia segera dipulihkan dengan menerapkan taktik jitu, tidak ada maaf dan ampun bagi para Bandit Narkoba, tutup semua pintu yang menjadi lahan peredaran barang haram mereka. Maka dengan sendirinya pabrik ekstasi dan shabu gulung tikar. Itulah masa benteng pertahanannya runtuh sebagai tanda kita telah menuai kemerdekaan dari ekspansi terselubung para penjahat Narkoba.
Konsistensi memerangi peredaran Narkoba perlu pula diketahui, tidak hanya dengan kata yang minim aksi, sebab tidak mungkin bebas dari penjajahan zat adiktif berbahaya, jikalau masih ada oknum penegak hukum yang berkonspirasi dengan para “big boss” Narkoba. Oknum yang seperti inilah harus dicari “batang hidungnya.” Hasil audit PPATK terkait adanya transaksi mencurigakan di salah satu oknum penegak hukum, sudah menjadi alarm bagi tiap-tiap institusi tersebut untuk bersih-bersih dari “mata-mata” para bandit Narkoba.
Ingat! Perang terhadap Narkoba tidak akan menuai kemerdekaan dari segala ancaman kehancuran anak bangsa, jikalau kita tidak berhasil mendeteksi “mata-mata” yang diselipkan oleh para bandit jahanam itu. Seorang pengkhianat pastilah berjiwa pengecut, tahunya hanya akan membocorkan rahasia, dan pada akhirnya kita bisa kalah di medan peperangan melawan Narkoba.
Freddy Budiman memang telah “dihabisi” di tiang eksekusi. Syukur-syukur karena hajatan perang atas darurat Narkoba, mau tidak mau Freddy harus menerima kematiannya, dan ia sudah mengenduskan sejumlah “pengkhianat” yang membuat kita semua bisa-bisa mati tersungkur karena kalah dalam memerangi Narkoba. Pun Haris Azhar tidak mendiamkan sejumlah pengakuan Freddy, ia rela dihujat, dimaki, dicaci, bahkan diancam akan dikirim ke “bui” karena mencemarkan nama baik beberapa badan umum yang ditudingnya memelihara sejumlah mata-mata para bandit.
Merah putih berkibar menyambut kemerdekaan dalam menapaki usianya yang ke-71, para pejuang kemerdekaan kita dahulu mati dalam kemuliaan karena peluru bedil, demi tanah dan tumpah darahnya. Maka warisan tanah air yang telah ditinggalkannya untuk kita semua, jangan sampai direnggut oleh para bandar besar Narkoba, di saat para penghuninya “tewas” mengenaskan gara-gara efek kecanduan Narkoba.
Tangkap dan penjarakan para “pengkhianat” itu. Warga negara bersatu padu dengan TNI, Polri, semuanya, untuk mempertahankan kedaulatan negeri dari segala akal bulus dan modus operandi para penjahat Narkoba. Merdeka dari penjajahan Narkoba, suci-bersih, lahir-batin, dengan tidak mengonsumsi Narkoba.
*Selamat HUT ke-71 untuk Indonesia.*
Oleh:
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Mahasiswa PPs Hukum UMI & Owner negarahukum.com
Telah Muat di Harian Tribun Timur, 17 Agustus 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar