Pernahkah terbenak kembali di pikiran anda, sejak kapan bisa membaca abjad dengan lancar? Sejak kapankah Anda pula bisa merangkai huruf-huruf itu hingga dapat melafalkannya dalam kata? kemudian kata perkata sehingga terangkai kalimat, anda dapat melafalkannya juga dengan fasih.
Untuk kasus ini, saya punya pengalaman tersendiri dengan guru kelas satu saya di sekolah dasar dulu. Namanya guruku, Abdul Muin.
Terus terang, ibu saya memasukkan di sekolah dasar umur masih tergolong belia, beda dengan anak kebanyakan saat ini yang dipatok harus berumur 6-7 tahun baru memenuhi syarat masuk sekolah dasar, itupun syaratnya harus selesai dengan pendidikan usia dini (TK). Saya masuk sekolah dasar, umur baru menapaki 5 tahun, juga tidak pernah mengikuti pendidikan taman kanak-kanak.
Konon ibu saya memasukkan secepatnya ke sekolah dasar dengan alasan, katanya saya adalah anak yang susah diatur, sedikit-sedikit menangis padahal tidak ada penyebabnya. Itu sih menurut ibu saya, tapi setelah saya kemudian menjelang remaja, saya akhirnya mengungkapkan penyebabnya selalu menangis waktu itu, bahwa waktu kecil dulu seringkali didatangi oleh dua wanita yang berpakaian “kebaya” kadang ingin mengambil saya. Dan ternyata apa yang saya lihat (dua wanita itu), satupun dari keluarga saya tidak pernah melihatnya.
Itu pengalaman kecil saya, kadang kalau mengingatnya begitu suram dan mengerikan. Masuk ke sekolah dasar, usia makin bertambah, akhirnya dua hantu wanita yang sering menganggu hidup saya, saya lupa entah sejak kapan tidak pernah lagi datang menggangguku.
Masuk sekolah dasar, ternyata permintaan ibuku kepada guru SD waktu itu, sebelumnya guru yang menerimaku bukanlah Abdul Muin, tetapi namanya Rahmawati (bu Rahma). Nama saya tidak di daftar dalam absesnsi kelas, karena disekolahkan katanya hanya percobaan dulu.
Dan sungguh betapa bodohnya saya, sejak pertama kalinya masuk di kelas, hanya duduk, tidak pernah melaksanakan perintah guruku (Ibu Rahma). Teman sebangku saya yang bernama Mujetahid, sudah dengan giatnya menulis kembali barisan-barisan kalimat yang ditulis oleh guruku di papan tulis. Saya hanya menatapnya melongo, diam, tidak melakukan apa-apa.
Patut kuhargai pula perjuangan guruku ini, Bu Rahma, sebab dalam keadaan saya tidak pernah mau menulis kembali apa yang sudah ditulisnya di papan tulis, dia datang menegur saya, “nak kenapa tidak menulis” lagi-lagi saya Cuma diam. Akhirnya guruku yang menulis sendiri di buku catatan saya, lucunya kemudian dari hasil tulisannya itu, dia berikan nilai untuk saya “100” (seratus). Pulang ke rumah ditanya oleh ibu saya, apa yang kau bikin di sekolah dan berapa nilaimu? Kujawab “saya mendapat nilai “100” mak-ku”
He—he….he..he… dan ternyata ibuku melihat buku catatanku, ia menimpalku, hala…h ini bukan tulisanmu, ini gurumu yang menulis, bukan juga nilaimu ini.
Satu hal yang kuingat juga dari guruku yang satu ini (Ibu Rahma), namaku yang saat ini “Damang” dia juga punya keterlibatan di dalamnya. Dirumah saya dipanggil Emmang, nama lengkap saya berdasarkan kemauan ibuku harusnya “Darman.” Waktu itu, Ibu Rahma bertanya siapa namaku, kujawab “Darman.” Akan tetapi mungkin karena salah dengar, dikiranya saya menyebut nama “Daman” dan seingatku kemudian kutambahkan akhiran “g” menjelang kelulusan SD, sehingga menjadi “Damang.” Alasanku agar pelafalan ini memudahkan bagi orang bugis yang terbiasa mengakhiri semua kalimat, biasanya dengan “NG”.
Singkat kata, singkat cerita, belum selesai catur wulan pertama, datanglah guru baru, energik, suka berbahasa bugis, menggantikan Ibu Rahma mengajar di kelas satu, dialah Abdul Muin. Guru inilah guru yang terhebat bagi saya, sebab darinyalah kemudian saya bisa membaca, dibantu dengan kegigihan ibu saya mengajari di rumah mengajari membaca, pada akhirnya saya benar-benar bisa lancar membaca.
Satu keunikan dari Abdul Muin, yang sering kusapa Puang Muin, dalam mengajari anak-anaknya membaca, dia lebih suka berbahasa bugis, sehingga anak didiknya yang kurang mengerti bahasa Indonesia, pasti tahu perintah dan kemauannya.
Benar-benar unik Puang Muin ini, bahkan bagi saya kata yang tepat menyanjungnya adalah dia guru SD-ku yang hebat. Cara mengajari kami membaca, berbeda dengan yang diajarkan saya di rumah.
Dikalah ibu dan tanteku sering mengajari membaca di rumah, saya malah bengong, pusing, tetap susah melafalkan kata, padahal semua huruf abjad saya sudah bisa menyebutnya.
Contohnya begini, membaca kalimat: “Nana Bersama Ibu”
Kalau dirumah saya diajari: N ditambah A maka dibaca Na, N ditambah A dibaca Na, jadi “Nana.” Puang Muin mengajariku cara yang lain dengan cara melafalkannya di bibir sehingga akan kedengaran: EN- EN-EN- Na- Na-Na (Nana) Eb-EB-EB-EBeR-ES-Sa-Ma (Bersama) ib-ib-ib-ib-u (Ibu). Cara mengajari membaca bagi puang Muin, ternyata bermain pada huruf vocal dan konsonan, sehingga dengan gampang ternyata anak didiknya akan membaca dengan lancar.
Puang muin semenjak menjadi Guru SD di kelas 1, di sekolahku itu merupakan guru yang selalu sukses mengajari anak-anaknya pintar membaca. Waktu keluar main (9.30), ternyata di luar kelas, dengan bangku yang disuruh kepada anak-anaknya diangkat keluar ruangan, lagi-lagi ingin mengajari anak-anak yang tidak bisa membaca. Moga amal jariyah guruku ini mengalir terus, subehanalloh.
Kalau ada anak yang sudah naik di kelas dua, ternyata ia hafal anak-anaknya juga yang belum lancar membaca. Sehingga kadang ia panggil kembali belajar membaca di saat waktu keluar main. Baginya, semua anak didiknya tidak boleh ada yang buta huruf.
Berkat Puang Muin pula, kami dari semua anak didiknya banyak mengenali kisah epic para pahlawan nasional, seperti Pangeran Diponegero, Tuanku Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, dan Jenderal Soedirman. Oleh karena dia selalu menutup pelajaran, pada saat akhir-akhir kepulangan dengan cerita beberapa pahlawan. Sehingga dari cerita itu saya tahu kalau Pengeran Dipongoro pernah menipu Belanda dengan mengambil semua senjatanya. Saya kenal Jenderal Soedirman yang ditandu dalam peperangan, karena tetap bertempur walau sakit keras sedang menderah tubuhnya.
Sejak kepintaranku membaca, Puang Muin mengajariku tampil di depan umum. Beliau mengusulkan agar saya menjadi pembaca teks “janji murid” di acara upacara bendera yang diselenggarakan tiap hari senin di sekolahku. Bahkan saat momentum upacara bendera itu, dia mengawal berdiri di belakangku. Tujuannya, agar di saat waktu sudah diperintahkan membaca teks “janji murid” dia langsung menyuruhku.
Gara-gara kepintaranku menulis, sampai suatu waktu saya pernah bandel kepada guruku itu. Saya menulis namanya “Muin” di sadel motor Honda-nya. Kepikiran saya akan dimarahi olehnya, ternyata esoknya dia tidak memarahiku. Kalau ibuku tahu kejadian ini, mungkin aku sudah dipukul, tapi Puang Muin tahu perangainya, yang namanya anak-anak.
Catur wulan satu, catur wulan dua, di saat penerimaan rapor, terkadang saya kecewa, sebab teman-teman saya menerima rapor, ternyata saya tidak kebagian rapor. Semua karena saya katanya masih dalam percobaan sekolah. Barulah pada Catur Wulan ketiga, akhirnya saya menerima rapor, dan betapa bahagianya saya waktu itu. Mungkin nilai saya di catur wulan sebelumnya hanya direkayasa, tetapi saya tidak peduli, yang jelas saya sudah pintar membaca, dan kulihat di raporku yang bersampulkan wana merah, yang dicoret kata “tidak” artinya saya sudah naik kelas. Awalnya hanya “dicoba-coba-kan” sekolah, ternyata bisa juga naik ke kelas dua. Betapa girang bahagianya diriku, termasuk ibuku di rumah sangat bahagia dikala berita itu kusampaikan kepadanya.
Puang muin, juga adalah guruku yang besar rasa iba dan kasih sayangnya. Suatu waktu di saat penerimaan rapor akhir catur wulan pertama, ibuku tidak membekali saya dengan makanan ke sekolah, padahal ibuku tahu kalau kebiasaan di sekolah setiap peneriman rapor dirangkai dengan acara makan-makan. Ibuku beralibi: tidak usah dibekali makanan, toh sekolahnya hanya coba-coba. Waktu itu, saya menatap-natap saja teman-temanku yang sedang mencicipi makanannya. Dan tak tunggu waktu, tidak berlama-lama, songkolo yang digenggam kecil oleh Puang Muin, juga diberikan kepadaku. Pasca kejadian ini, Puang Muin berpesan kepada ibuku: “bikinkanlah makanan juga untuk anakta, tidak enak kalau dia cuma melihat-lihat temanya yang makan.” Ibuku pun akhirnya membekaliku dengan makanan, pada penerimaan rapor di catur wulan kedua, walau saya lagi-lagi tidak menerima rapor.
Kuungkapkan kejujuran ini sebagai pengalaman pribadiku, tak kurasa kemudian leleh air mataku tidak terasa meniti membasah. Guruku, Puang Muin, kini sudah menjalani usia pensiun. Guruku yang sangat besar penghargaan kepada anak didiknya yang sudah pintar membaca, sehingga kadang ia berteriak: …. Iyaaaa…. Maccccani… (iya sudah pintar). Teriaknya girang sebagai tanda kesuksesannya dalam mengajar, ia merayakan kesuksesannya.
Tahun ini, Puang Muin akan menunaikan Ibadah Haji, namanya sudah teregister sebagai Calon Jamaah Haji periode 2016. Cukup lama dia menunggu untuk menunaikan ibadah haji, uangnya baru mencukupi, sebab dulunya ia menjadi pengajar SD kawakan, juga menyekolahkan semua “buah hatinya” ke pendidikan tinggi.
Semoga engkau menjadi haji mabrur, wahai guruku. Karena engkaulah aku bisa membaca, karena engkau kini kubisa melahap beberapa buku, dan karena engkaulah aku juga bisa mencatatkan namaku sebagai penulis di beberapa kolom harian lokal, media cetak. Benarlah, jasamu tiada tara.
Untuk kasus ini, saya punya pengalaman tersendiri dengan guru kelas satu saya di sekolah dasar dulu. Namanya guruku, Abdul Muin.
Terus terang, ibu saya memasukkan di sekolah dasar umur masih tergolong belia, beda dengan anak kebanyakan saat ini yang dipatok harus berumur 6-7 tahun baru memenuhi syarat masuk sekolah dasar, itupun syaratnya harus selesai dengan pendidikan usia dini (TK). Saya masuk sekolah dasar, umur baru menapaki 5 tahun, juga tidak pernah mengikuti pendidikan taman kanak-kanak.
Konon ibu saya memasukkan secepatnya ke sekolah dasar dengan alasan, katanya saya adalah anak yang susah diatur, sedikit-sedikit menangis padahal tidak ada penyebabnya. Itu sih menurut ibu saya, tapi setelah saya kemudian menjelang remaja, saya akhirnya mengungkapkan penyebabnya selalu menangis waktu itu, bahwa waktu kecil dulu seringkali didatangi oleh dua wanita yang berpakaian “kebaya” kadang ingin mengambil saya. Dan ternyata apa yang saya lihat (dua wanita itu), satupun dari keluarga saya tidak pernah melihatnya.
Itu pengalaman kecil saya, kadang kalau mengingatnya begitu suram dan mengerikan. Masuk ke sekolah dasar, usia makin bertambah, akhirnya dua hantu wanita yang sering menganggu hidup saya, saya lupa entah sejak kapan tidak pernah lagi datang menggangguku.
Masuk sekolah dasar, ternyata permintaan ibuku kepada guru SD waktu itu, sebelumnya guru yang menerimaku bukanlah Abdul Muin, tetapi namanya Rahmawati (bu Rahma). Nama saya tidak di daftar dalam absesnsi kelas, karena disekolahkan katanya hanya percobaan dulu.
Dan sungguh betapa bodohnya saya, sejak pertama kalinya masuk di kelas, hanya duduk, tidak pernah melaksanakan perintah guruku (Ibu Rahma). Teman sebangku saya yang bernama Mujetahid, sudah dengan giatnya menulis kembali barisan-barisan kalimat yang ditulis oleh guruku di papan tulis. Saya hanya menatapnya melongo, diam, tidak melakukan apa-apa.
Patut kuhargai pula perjuangan guruku ini, Bu Rahma, sebab dalam keadaan saya tidak pernah mau menulis kembali apa yang sudah ditulisnya di papan tulis, dia datang menegur saya, “nak kenapa tidak menulis” lagi-lagi saya Cuma diam. Akhirnya guruku yang menulis sendiri di buku catatan saya, lucunya kemudian dari hasil tulisannya itu, dia berikan nilai untuk saya “100” (seratus). Pulang ke rumah ditanya oleh ibu saya, apa yang kau bikin di sekolah dan berapa nilaimu? Kujawab “saya mendapat nilai “100” mak-ku”
He—he….he..he… dan ternyata ibuku melihat buku catatanku, ia menimpalku, hala…h ini bukan tulisanmu, ini gurumu yang menulis, bukan juga nilaimu ini.
Satu hal yang kuingat juga dari guruku yang satu ini (Ibu Rahma), namaku yang saat ini “Damang” dia juga punya keterlibatan di dalamnya. Dirumah saya dipanggil Emmang, nama lengkap saya berdasarkan kemauan ibuku harusnya “Darman.” Waktu itu, Ibu Rahma bertanya siapa namaku, kujawab “Darman.” Akan tetapi mungkin karena salah dengar, dikiranya saya menyebut nama “Daman” dan seingatku kemudian kutambahkan akhiran “g” menjelang kelulusan SD, sehingga menjadi “Damang.” Alasanku agar pelafalan ini memudahkan bagi orang bugis yang terbiasa mengakhiri semua kalimat, biasanya dengan “NG”.
Singkat kata, singkat cerita, belum selesai catur wulan pertama, datanglah guru baru, energik, suka berbahasa bugis, menggantikan Ibu Rahma mengajar di kelas satu, dialah Abdul Muin. Guru inilah guru yang terhebat bagi saya, sebab darinyalah kemudian saya bisa membaca, dibantu dengan kegigihan ibu saya mengajari di rumah mengajari membaca, pada akhirnya saya benar-benar bisa lancar membaca.
Satu keunikan dari Abdul Muin, yang sering kusapa Puang Muin, dalam mengajari anak-anaknya membaca, dia lebih suka berbahasa bugis, sehingga anak didiknya yang kurang mengerti bahasa Indonesia, pasti tahu perintah dan kemauannya.
Benar-benar unik Puang Muin ini, bahkan bagi saya kata yang tepat menyanjungnya adalah dia guru SD-ku yang hebat. Cara mengajari kami membaca, berbeda dengan yang diajarkan saya di rumah.
Dikalah ibu dan tanteku sering mengajari membaca di rumah, saya malah bengong, pusing, tetap susah melafalkan kata, padahal semua huruf abjad saya sudah bisa menyebutnya.
Contohnya begini, membaca kalimat: “Nana Bersama Ibu”
Kalau dirumah saya diajari: N ditambah A maka dibaca Na, N ditambah A dibaca Na, jadi “Nana.” Puang Muin mengajariku cara yang lain dengan cara melafalkannya di bibir sehingga akan kedengaran: EN- EN-EN- Na- Na-Na (Nana) Eb-EB-EB-EBeR-ES-Sa-Ma (Bersama) ib-ib-ib-ib-u (Ibu). Cara mengajari membaca bagi puang Muin, ternyata bermain pada huruf vocal dan konsonan, sehingga dengan gampang ternyata anak didiknya akan membaca dengan lancar.
Puang muin semenjak menjadi Guru SD di kelas 1, di sekolahku itu merupakan guru yang selalu sukses mengajari anak-anaknya pintar membaca. Waktu keluar main (9.30), ternyata di luar kelas, dengan bangku yang disuruh kepada anak-anaknya diangkat keluar ruangan, lagi-lagi ingin mengajari anak-anak yang tidak bisa membaca. Moga amal jariyah guruku ini mengalir terus, subehanalloh.
Kalau ada anak yang sudah naik di kelas dua, ternyata ia hafal anak-anaknya juga yang belum lancar membaca. Sehingga kadang ia panggil kembali belajar membaca di saat waktu keluar main. Baginya, semua anak didiknya tidak boleh ada yang buta huruf.
Berkat Puang Muin pula, kami dari semua anak didiknya banyak mengenali kisah epic para pahlawan nasional, seperti Pangeran Diponegero, Tuanku Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, dan Jenderal Soedirman. Oleh karena dia selalu menutup pelajaran, pada saat akhir-akhir kepulangan dengan cerita beberapa pahlawan. Sehingga dari cerita itu saya tahu kalau Pengeran Dipongoro pernah menipu Belanda dengan mengambil semua senjatanya. Saya kenal Jenderal Soedirman yang ditandu dalam peperangan, karena tetap bertempur walau sakit keras sedang menderah tubuhnya.
Sejak kepintaranku membaca, Puang Muin mengajariku tampil di depan umum. Beliau mengusulkan agar saya menjadi pembaca teks “janji murid” di acara upacara bendera yang diselenggarakan tiap hari senin di sekolahku. Bahkan saat momentum upacara bendera itu, dia mengawal berdiri di belakangku. Tujuannya, agar di saat waktu sudah diperintahkan membaca teks “janji murid” dia langsung menyuruhku.
Gara-gara kepintaranku menulis, sampai suatu waktu saya pernah bandel kepada guruku itu. Saya menulis namanya “Muin” di sadel motor Honda-nya. Kepikiran saya akan dimarahi olehnya, ternyata esoknya dia tidak memarahiku. Kalau ibuku tahu kejadian ini, mungkin aku sudah dipukul, tapi Puang Muin tahu perangainya, yang namanya anak-anak.
Catur wulan satu, catur wulan dua, di saat penerimaan rapor, terkadang saya kecewa, sebab teman-teman saya menerima rapor, ternyata saya tidak kebagian rapor. Semua karena saya katanya masih dalam percobaan sekolah. Barulah pada Catur Wulan ketiga, akhirnya saya menerima rapor, dan betapa bahagianya saya waktu itu. Mungkin nilai saya di catur wulan sebelumnya hanya direkayasa, tetapi saya tidak peduli, yang jelas saya sudah pintar membaca, dan kulihat di raporku yang bersampulkan wana merah, yang dicoret kata “tidak” artinya saya sudah naik kelas. Awalnya hanya “dicoba-coba-kan” sekolah, ternyata bisa juga naik ke kelas dua. Betapa girang bahagianya diriku, termasuk ibuku di rumah sangat bahagia dikala berita itu kusampaikan kepadanya.
Puang muin, juga adalah guruku yang besar rasa iba dan kasih sayangnya. Suatu waktu di saat penerimaan rapor akhir catur wulan pertama, ibuku tidak membekali saya dengan makanan ke sekolah, padahal ibuku tahu kalau kebiasaan di sekolah setiap peneriman rapor dirangkai dengan acara makan-makan. Ibuku beralibi: tidak usah dibekali makanan, toh sekolahnya hanya coba-coba. Waktu itu, saya menatap-natap saja teman-temanku yang sedang mencicipi makanannya. Dan tak tunggu waktu, tidak berlama-lama, songkolo yang digenggam kecil oleh Puang Muin, juga diberikan kepadaku. Pasca kejadian ini, Puang Muin berpesan kepada ibuku: “bikinkanlah makanan juga untuk anakta, tidak enak kalau dia cuma melihat-lihat temanya yang makan.” Ibuku pun akhirnya membekaliku dengan makanan, pada penerimaan rapor di catur wulan kedua, walau saya lagi-lagi tidak menerima rapor.
Kuungkapkan kejujuran ini sebagai pengalaman pribadiku, tak kurasa kemudian leleh air mataku tidak terasa meniti membasah. Guruku, Puang Muin, kini sudah menjalani usia pensiun. Guruku yang sangat besar penghargaan kepada anak didiknya yang sudah pintar membaca, sehingga kadang ia berteriak: …. Iyaaaa…. Maccccani… (iya sudah pintar). Teriaknya girang sebagai tanda kesuksesannya dalam mengajar, ia merayakan kesuksesannya.
Tahun ini, Puang Muin akan menunaikan Ibadah Haji, namanya sudah teregister sebagai Calon Jamaah Haji periode 2016. Cukup lama dia menunggu untuk menunaikan ibadah haji, uangnya baru mencukupi, sebab dulunya ia menjadi pengajar SD kawakan, juga menyekolahkan semua “buah hatinya” ke pendidikan tinggi.
Semoga engkau menjadi haji mabrur, wahai guruku. Karena engkaulah aku bisa membaca, karena engkau kini kubisa melahap beberapa buku, dan karena engkaulah aku juga bisa mencatatkan namaku sebagai penulis di beberapa kolom harian lokal, media cetak. Benarlah, jasamu tiada tara.
di sinilah sekolah dasarku, SDN No. 54 Batuleppa, Sinjai Selatan, kondisinya sekarang sudah lebih bagus gedungnya. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar