Ibarat bola salju yang terus menggelending, riak dari berbagai kalangan yang menuntut penonaktifan Bupati Barru Idris Syukur (IS) hingga saat ini kembali lagi menjadi trending topic, sebagaimana dilansir pada laman utama harian Tribun Timur, edisi Jumat 22 Juli 2016 kemarin.
Betapa tidak, sebab sudah lama isu ini mencuat ke publik, tetapi disaat yang sama Mendagri belum juga menonaktifkan IS dalam statusnya sebagai pemangku jabatan Kepala Daerah (Bupati) Kabupaten Barru, padahal ia sudah lama menyandang status terdakwa.
Persoalan mengenai pengisian dan pelepasan jabatan (ambtenaar) sebagai negara yang menyandarkan diri pada maxim “negara hukum,” mau tidak mau hukum positiflah (hukum tertulis) yang menjadi acuannya dalam mengatur lebih lanjut tentang keadaan jabatan yang dipersonifikasikan oleh pribadi manusia (person) itu.
Perundang-undangan bisa saja mengatur Bupati nanti diberhentikan kalau terbukti bersalah berdasarkan putusan pengadilan inkra, tidak perlu penonaktifan kalau masih dalam status terdakwa. Ataukah sebaliknya dapat saja diberhentikan secara permanen, walau masih dalam status tersangka misalnya. Sepanjang hal itu, Undang-Undang menentukan demikian.
Akan tetapi tidak seperti itu nyatanya, Undang-Undang Pemerintahan Daerah (Pemda) yang menjadi acuan justru memberikan otoritas kepada Mendagri untuk menonaktifkan Bupati ketika ia sudah berstatus terdakwa.
Hukum positiflah yang menjadi pijakan dalam mempersonifikasikan jabatan itu, sebagaimana yang pernah disatir oleh pakar hukum tata negara yang namanya sudah mendunia, yakni J.H.A. Logeman (1984) dalam bukunya yang berjudul “over de theorie van een stelling staatrecht”. Dalam konteks itu, jelas kita memiliki acuan yang terkait dengan keadaan ini, apalagi kalau bukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Rekomendasi Gubernur
Pasal 83 Undang-Undang Pemda sudah jelas mengaturnya, bahwa Bupati yang berstatus terdakwa dalam ihwal perbuatan korupsi, harus dinonaktifkan dari jabatannya. Agar tidak terjadi kesimpangsiuran, saya kutip bunyi pasal tersebut: “(1) Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2)Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di Pengadilan.”
Dalam hal penonaktifan Bupati tersebut, perlukah meminta persetujuan Gubernur? Dengan jeli membaca UU Pemda sudah pasti tidak perlu. Memang dalam Pasal 126 ayat 4 PP Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, mengamanatkan penonaktifan Bupati terdakwa harus melalui usulan atau rekomendasi Gubernur, lalu Mendagri dapat memberhentikannya. Namun perlu dipahami, dengan revisi terbaru UU Pemda, tampaknya tidak mewajibkan lagi, harus melalui pengusulan Gubernur (Vide: Pasal 83 ayat 4). Artinya PP tersebut bertentangan dengan UU Pemda yang terbaru. Jika bertentangan, pastilah PP demikian harus dikesampingkan, sebagaimana UU Pemda sendiri menyatakan hal itu.
Selain permintaan agar menonaktifkan IS yang harus menunggu persetujuan Gubernur, terdapat juga kalangan yang meminta, agar Bupati IS mengundurkan diri secara sukarela. Bisa saja hal itu terjadi, tetapi tidak menjadi kewajiban baginya untuk mengundurkan diri. Pun kalau ia mengundurkan diri, praktis bukan lagi namanya penonaktifan (pemberhentian sementara), tetapi ia berhenti secara permanen. Konsekuensinya, Wakil Bupatilah yang selanjutnya diangkat sebagai Bupati.
Konsekuensi hukumnya tentu berbeda kalau IS dinonaktifkan, andai saja putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) menyatakan ia tidak bersalah, kembali ia dapat memangku jabatannya, kendatipun perkara yang melilitnya masih melalui proses banding atau kasasi. Barulah ia dapat diberhentikan secara permanen kalau saja dalam proses banding atau kasasi itu menyatakannya bersalah in qasu putusan pengadilannya sudah inkra. Singkatnya, tidak ada kewajiban hukum bagi IS agar mengundurkan diri, tetapi kewajiban hukumnya terletak di tangan Mendagri untuk menonaktifkan IS tanpa memerlukan rekomendasi Gubernur.
Langkah Hukum
Pada sesungguhnya langkah hukum yang telah diambil oleh Ombdusman pasca pengaduan wakil ketua DPRD Barru bersama dengan sejumlah LSM dalam proses penoanktifan IS, yang terkesan diulur-ulur oleh Mendagri, sudah tepat. Yang jadi soal, Mendagri melalui Dirjen Otda-nya malah beralibi, menunggu rekomendasi dari Gubernur, padahal Undang-undang tidaklah mensyaratkan demikian.
Andaikata waktu 14 hari yang telah diberikan kepada Mendagri untuk menonaktifkan Bupati IS, di simpangi atas surat yang dilayangkan oleh Ombdusman. Dan melewati sebagaimana limit waktu tersebut, langka hukum selanjutnya masih ada, yakni perwakilan LSM yang berkapasitas atas itu, dapat saja mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN), dengan menuntut Mendagri segera menetapkan penonaktifan Bupati IS dalam ihwal gugatan Keputusan TUN negatif.
Pun harus dipahami bersama, bahwa langkah mengajukan gugatan ke PTUN dengan menempatkan Mendagri sebagai tergugat, juga tidak ada artinya kalau ternyata putusan PN yang mengadili kasus IS, menyatakannya tidak bersalah. Sudah pasti gugatan TUN ini akan menjadi ilusoir. Diterimanya misalnya tutntutan itu, tidak akan mempengaruhi lagi status IS sebagai Bupati Barru.
Oleh sebab itu, ke depannya guna menghindari perkara yang semakin berbelit-belit ini, sembari tidak menjadi preseden buruk pada kasus selanjutnya. Seyogianya penetapan penonaktifan Bupati terdakwa yang menjadi otoritas Mendagri dibatasi dalam limit waktu tertentu dari masa registrasi perkara di pengadilan. Dan kalau telah lewat waktu, Mendagri tidak menetapkannya, status Bupati bersangkutan harus dimaknai dalam keadaan nonaktif, sehingga untuk sementara tidak dapat lagi bertindak dalam kewenangannya, otomatis Wakil Bupatilah yang melaksanakan kewenangannya.
Kini, kita hanya bisa menunggu, hanyalah Mendagri yang dapat mengakhiri kesimpangisuran di balik kasus ini. segeralah nonaktifkan IS. Sebab isunya bisa merembes dalam isu yang tak berkesudahan. Mendagri sebagai kaki tangan Presiden bisa saja dituding seolah-olah mempermainkan hukum. Kemungkinannya, Mendagri sudah tahu kalau IS akan dibebaskan, sehingga tak apa mengulur penoaktifannya. IS bebas, tak ada guna pula penonaktifannya.*
Baca juga di negarahukum.com
Betapa tidak, sebab sudah lama isu ini mencuat ke publik, tetapi disaat yang sama Mendagri belum juga menonaktifkan IS dalam statusnya sebagai pemangku jabatan Kepala Daerah (Bupati) Kabupaten Barru, padahal ia sudah lama menyandang status terdakwa.
Persoalan mengenai pengisian dan pelepasan jabatan (ambtenaar) sebagai negara yang menyandarkan diri pada maxim “negara hukum,” mau tidak mau hukum positiflah (hukum tertulis) yang menjadi acuannya dalam mengatur lebih lanjut tentang keadaan jabatan yang dipersonifikasikan oleh pribadi manusia (person) itu.
Perundang-undangan bisa saja mengatur Bupati nanti diberhentikan kalau terbukti bersalah berdasarkan putusan pengadilan inkra, tidak perlu penonaktifan kalau masih dalam status terdakwa. Ataukah sebaliknya dapat saja diberhentikan secara permanen, walau masih dalam status tersangka misalnya. Sepanjang hal itu, Undang-Undang menentukan demikian.
Akan tetapi tidak seperti itu nyatanya, Undang-Undang Pemerintahan Daerah (Pemda) yang menjadi acuan justru memberikan otoritas kepada Mendagri untuk menonaktifkan Bupati ketika ia sudah berstatus terdakwa.
Hukum positiflah yang menjadi pijakan dalam mempersonifikasikan jabatan itu, sebagaimana yang pernah disatir oleh pakar hukum tata negara yang namanya sudah mendunia, yakni J.H.A. Logeman (1984) dalam bukunya yang berjudul “over de theorie van een stelling staatrecht”. Dalam konteks itu, jelas kita memiliki acuan yang terkait dengan keadaan ini, apalagi kalau bukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Rekomendasi Gubernur
Pasal 83 Undang-Undang Pemda sudah jelas mengaturnya, bahwa Bupati yang berstatus terdakwa dalam ihwal perbuatan korupsi, harus dinonaktifkan dari jabatannya. Agar tidak terjadi kesimpangsiuran, saya kutip bunyi pasal tersebut: “(1) Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2)Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di Pengadilan.”
Dalam hal penonaktifan Bupati tersebut, perlukah meminta persetujuan Gubernur? Dengan jeli membaca UU Pemda sudah pasti tidak perlu. Memang dalam Pasal 126 ayat 4 PP Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, mengamanatkan penonaktifan Bupati terdakwa harus melalui usulan atau rekomendasi Gubernur, lalu Mendagri dapat memberhentikannya. Namun perlu dipahami, dengan revisi terbaru UU Pemda, tampaknya tidak mewajibkan lagi, harus melalui pengusulan Gubernur (Vide: Pasal 83 ayat 4). Artinya PP tersebut bertentangan dengan UU Pemda yang terbaru. Jika bertentangan, pastilah PP demikian harus dikesampingkan, sebagaimana UU Pemda sendiri menyatakan hal itu.
Selain permintaan agar menonaktifkan IS yang harus menunggu persetujuan Gubernur, terdapat juga kalangan yang meminta, agar Bupati IS mengundurkan diri secara sukarela. Bisa saja hal itu terjadi, tetapi tidak menjadi kewajiban baginya untuk mengundurkan diri. Pun kalau ia mengundurkan diri, praktis bukan lagi namanya penonaktifan (pemberhentian sementara), tetapi ia berhenti secara permanen. Konsekuensinya, Wakil Bupatilah yang selanjutnya diangkat sebagai Bupati.
Konsekuensi hukumnya tentu berbeda kalau IS dinonaktifkan, andai saja putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) menyatakan ia tidak bersalah, kembali ia dapat memangku jabatannya, kendatipun perkara yang melilitnya masih melalui proses banding atau kasasi. Barulah ia dapat diberhentikan secara permanen kalau saja dalam proses banding atau kasasi itu menyatakannya bersalah in qasu putusan pengadilannya sudah inkra. Singkatnya, tidak ada kewajiban hukum bagi IS agar mengundurkan diri, tetapi kewajiban hukumnya terletak di tangan Mendagri untuk menonaktifkan IS tanpa memerlukan rekomendasi Gubernur.
Langkah Hukum
Pada sesungguhnya langkah hukum yang telah diambil oleh Ombdusman pasca pengaduan wakil ketua DPRD Barru bersama dengan sejumlah LSM dalam proses penoanktifan IS, yang terkesan diulur-ulur oleh Mendagri, sudah tepat. Yang jadi soal, Mendagri melalui Dirjen Otda-nya malah beralibi, menunggu rekomendasi dari Gubernur, padahal Undang-undang tidaklah mensyaratkan demikian.
Andaikata waktu 14 hari yang telah diberikan kepada Mendagri untuk menonaktifkan Bupati IS, di simpangi atas surat yang dilayangkan oleh Ombdusman. Dan melewati sebagaimana limit waktu tersebut, langka hukum selanjutnya masih ada, yakni perwakilan LSM yang berkapasitas atas itu, dapat saja mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN), dengan menuntut Mendagri segera menetapkan penonaktifan Bupati IS dalam ihwal gugatan Keputusan TUN negatif.
Pun harus dipahami bersama, bahwa langkah mengajukan gugatan ke PTUN dengan menempatkan Mendagri sebagai tergugat, juga tidak ada artinya kalau ternyata putusan PN yang mengadili kasus IS, menyatakannya tidak bersalah. Sudah pasti gugatan TUN ini akan menjadi ilusoir. Diterimanya misalnya tutntutan itu, tidak akan mempengaruhi lagi status IS sebagai Bupati Barru.
Oleh sebab itu, ke depannya guna menghindari perkara yang semakin berbelit-belit ini, sembari tidak menjadi preseden buruk pada kasus selanjutnya. Seyogianya penetapan penonaktifan Bupati terdakwa yang menjadi otoritas Mendagri dibatasi dalam limit waktu tertentu dari masa registrasi perkara di pengadilan. Dan kalau telah lewat waktu, Mendagri tidak menetapkannya, status Bupati bersangkutan harus dimaknai dalam keadaan nonaktif, sehingga untuk sementara tidak dapat lagi bertindak dalam kewenangannya, otomatis Wakil Bupatilah yang melaksanakan kewenangannya.
Kini, kita hanya bisa menunggu, hanyalah Mendagri yang dapat mengakhiri kesimpangisuran di balik kasus ini. segeralah nonaktifkan IS. Sebab isunya bisa merembes dalam isu yang tak berkesudahan. Mendagri sebagai kaki tangan Presiden bisa saja dituding seolah-olah mempermainkan hukum. Kemungkinannya, Mendagri sudah tahu kalau IS akan dibebaskan, sehingga tak apa mengulur penoaktifannya. IS bebas, tak ada guna pula penonaktifannya.*
Baca juga di negarahukum.com
Damang, "Menonaktifkan Bupati Terdakwa" Tribun Timur, 26 Juli 2016 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar