Jika dicermati lebih mendalam, perombakan kabinet (reshuffle) jilid kedua kali ini menegaskan perubahan narasi dan strategi politik Presiden Jokowi dibandingkan pada tahun pertama pemerintahannya. Ketika dilantik pada Oktober 2014, Jokowi memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk membentuk formasi kabinet berdasarkan kabinet minimalis.
Ketika dilantik pada Oktober 2014, Jokowi memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk membentuk formasi kabinet berdasarkan kabinet minimalis. Secara politik, Jokowi hanya bertumpu pada empat partai (PDI Perjuangan, Nasdem, PKB, dan Hanura) dengan jumlah total kursi 37 persen di DPR.
Jokowi menjadi "presiden minoritas" dalam tiga lapis sekaligus (triple minority): figur baru yang langsung melejit di pentas nasional, tidak memiliki kendali atas partainya sendiri, dan hanya mengandalkan koalisi ramping di parlemen.
Ketika Jokowi berkomitmen lepas dari perangkap kartel, dia justru terbelenggu oleh segelintir oligarki (Muhtadi, 2013). Tahun pertama membuktikan bahwa menjadi triple minority president tidaklah mudah.
Bulan madu Jokowi dengan publik berakhir lebih cepat dari seharusnya setelah kontroversi penunjukan Kapolri pada awal 2015. Jokowi bukan hanya berhadapan dengan kekuatan oposisi yang dominan di DPR, melainkan juga tekanan yang mengimpit dari koalisi pendukungnya sendiri. Tingkat kepuasan publik merosot hingga 41 persen pada Juni 2015.
Meminjam istilah mantan Gubernur New York Mario Cuomo, Jokowi baru menyadari bahwa menjalankan pemerintahan tidaklah semudah membuat "puisi", tetapi juga harus mampu menarasikan "prosa".
Perombakan kabinet jilid kedua ini menjadi pertanda menguatnya kembalinya the ruling cartel (politik kartel) yang sejak lama menjadi karakter perpolitikan pasca reformasi (Slater 2004; Ambardi 2008). Sejak bergabungnya Golkar, PAN, dan PPP dalam koalisi pemerintah, Jokowi mengulang lagu politik lama dengan mendesain koalisi pemerintah yang mendapat dukungan mayoritas di DPR hingga mencapai 69 persen.
Namun, Jokowi tak punya banyak pilihan. Kehadiran Golkar dengan kekuatan 91 kursi di DPR mampu digunakan Jokowi untuk mengurangi dominasi PDI Perjuangan sehingga dia punya ruang manuver yang lebih leluasa untuk menjalankan agenda- agendanya agar sesuai dengan ekspektasi masyarakat.
Lebih presidensial
Setidaknya ada tiga signifikansi mengapa perombakan kabinet jilid kedua ini dilakukan. Pertama, dari sisi politik Jokowi perlu mengakomodasi dan "mengikat" Golkar dan PAN dalam jajaran kabinet. Kedua, dari segi timing Jokowi juga perlu segera melakukan perombakan kabinet karena waktu yang tersedia makin menipis sebelum lonceng berbunyi pada 2019 nanti.
Tak semua menterinya mampu menerjemahkan visi dan misi Jokowi dan mengikuti ritme kerja Presiden. Terakhir, saat ini adalah momentum yang tepat bagi Jokowi seiring dengan keberhasilan Jokowi memulihkan kepercayaan publik. Survei Saiful Mujani Research and Consulting pada Juni 2016 menunjukkanapproval rating Jokowi mencapai 67 persen.
Kabinet hasil perombakan kabinet menunjukkan titik tekan Jokowi pada masalah-masalah ekonomi. Pidato pengantar Jokowi kemarin yang menekankan masalah ekonomi, mengatasi kesenjangan dan pengangguran, membuktikan bahwa Jokowi secara politik sudah berhasil melakukan rekonsolidasi kekuasaan, baik di tingkat elite maupun massa, sehingga punya kepercayaan diri untuk lebih fokus mengurusi agenda ekonomi.
Masuknya nama besar, seperti Sri Mulyani sebagai menteri keuangan, plus dipertahankannya muka-muka lama, seperti Darmin Nasution dan Bambang Brodjonegoro, memberi semacam garansi bagi pelaku usaha dan dunia internasional. Dalam pidato yang sama, Jokowi juga menekankan soliditas kabinet dan keinginan agar semua jajaran kabinet bisa bekerja dalam sunyi tanpa mengumbar kegaduhan yang tidak perlu. Ini pula yang mungkin menjelaskan mengapa nama-nama menteri yang sebelumnya dianggap menjadi biang kegaduhan terkena palu godam perombakan kabinet.
Ada komitmen kuat dari Jokowi untuk mengurangi kegaduhan (noise) sehingga publik dan dunia usaha mampu menangkap sinyal yang lebih jernih dan seragam dari pemerintah.
Menariknya, nama-nama menteri dari kalangan partai politik yang direkrut juga relatif ramah pasar. Airlangga Hartarto dan Enggartiasto Lukita bukanlah politisi nirkompetensi dan mereka memiliki jam terbang lama dalam bidangnya masing-masing. Perombakan kabinet terutama pada jajaran ekonomi seperti tepat menjawab pekerjaan rumah yang selama ini menjadi perhatian publik. Naiknya approval rating Jokowi hanya disokong oleh kemampuan pemerintah dalam menekan laju inflasi, meningkatkan infrastruktur dan fasilitas kesehatan. Rapor Jokowi dalam mengurangi pengangguran, kemiskinan, menyediakan lapangan pekerjaan dan menciptakan pemerataan masih dinilai merah oleh publik.
Meskipun memberi perhatian besar pada masalah-masalah ekonomi, perombakan kabinet kali ini juga tak mengabaikan faktor politik. Golkar dan PAN masing-masing mendapat satu menteri, sedangkan mitra koalisi lama Jokowi juga tidak dikurangi jatahnya, kecuali Hanura. Terkesan Jokowi bermain aman ketika menyangkut konstelasi politik koalisi.
Masuknya Golkar dan PAN tidak mengambil jatah mitra koalisi yang sejak awal mengusung Jokowi. Nama-nama menteri dari parpol yang dirombak digantikan oleh figur dari partai yang sama tetapi memiliki kualifikasi yang diharapkan lebih mumpuni.
Lepas dari kesan main aman ini, Jokowi juga tak serta-merta tunduk pada keinginan partai pendukungnya. Nama Rini Soemarno yang sering kali diteriakkan oleh sebagian politisi PDI Perjuangan agar diganti ternyata masih dipertahankan. Golkar menjadi kekuatan terbesar kedua di parlemen juga hanya mendapat satu kementerian.
Seperti kurva pembelajaran, setelah hampir dua tahun menjadi presiden, Jokowi seperti makin memahami bagaimana melakukan komunikasi politik tanpa menciptakan riak-riak yang mengganggu konsolidasi kekuasaan. Seiring kesuksesan Jokowi melakukan rekonsolidasi politik di tingkat elite dan massa, sudah seharusnya dia tampil lebih presidensial dalam mengambil keputusan penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Bahaya politik kartel
Namun, alarm ancaman politik kartel tetap perlu dibunyikan. Katz dan Mair (2009, 755) menyatakan: "The cartel party is a type that is postulated to emerge in democratic politics that are characterized by the interpenetration of party and state and by a tendency towards inter-party collusion.... Competition between cartel parties focuses less on differences in policy and more on provision of spectacle, image, and theater."
Intinya, politik kartel akan membuat partai-partai cenderung melakukan kolusi kolektif untuk memperebutkan rente.
Terjadilah apa yang disebut Dan Slater sebagai "jebakan akuntabilitas" (accountability trap) di mana parlemen yang dikuasai oleh kubu pemerintah gagal melakukan fungsi-fungsi check and balances.
Dalam politik kartel, terjadi perselingkuhan antara eksekutif dan legislatif, aroma promiscuous power-sharing (pembagian kue kekuasaan) terjadi dalam ruang-ruang tertutup secara masif dan anggaran publik menjadi bancakan bersama.
Sudah semestinya Jokowi menyadari potensi bahaya ini karena politik kartel ini justru malah menjauhkan Jokowi dari publik yang banyak menaruh harapan kepadanya. Koalisi pemerintah yang terdiri tujuh partai dan mencapai 69 persen atau 386 kursi dari 560 kursi di parlemen berpotensi menjadi kekuatan hegemonik yang bisa melumpuhkan sikap kritis DPR terhadap pemerintah.
Untuk itu, Jokowi tak perlu tergoda lagi menambah armada baru koalisi. Koalisi yang terlalu besar malah membuat langkah Jokowi kurang lincah karena harus menegosiasikan setiap kebijakan yang mau diambil kepada aktor yang makin banyak. Jokowi cukup melakukan disiplin koalisi yang kuat agar koalisi pemerintah yang mendukungnya efektif dalam menjalankan agenda pemerintahan.
Saat yang sama, Gerindra, PKS, dan Partai Demokrat juga tak perlu tergiur untuk masuk dalam pemerintahan karena menjadi oposisi dan penyeimbang juga memiliki nilai kebajikan yang sama dalam berdemokrasi. Di atas segalanya, kalangan masyarakat madani (civil society) dan media juga harus terus-menerus menjadi watchdog agar pemerintahan Jokowi sukses mewujudkan janji-janjinya.
BURHANUDDIN MUHTADI
Ketika dilantik pada Oktober 2014, Jokowi memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk membentuk formasi kabinet berdasarkan kabinet minimalis. Secara politik, Jokowi hanya bertumpu pada empat partai (PDI Perjuangan, Nasdem, PKB, dan Hanura) dengan jumlah total kursi 37 persen di DPR.
Jokowi menjadi "presiden minoritas" dalam tiga lapis sekaligus (triple minority): figur baru yang langsung melejit di pentas nasional, tidak memiliki kendali atas partainya sendiri, dan hanya mengandalkan koalisi ramping di parlemen.
Ketika Jokowi berkomitmen lepas dari perangkap kartel, dia justru terbelenggu oleh segelintir oligarki (Muhtadi, 2013). Tahun pertama membuktikan bahwa menjadi triple minority president tidaklah mudah.
Bulan madu Jokowi dengan publik berakhir lebih cepat dari seharusnya setelah kontroversi penunjukan Kapolri pada awal 2015. Jokowi bukan hanya berhadapan dengan kekuatan oposisi yang dominan di DPR, melainkan juga tekanan yang mengimpit dari koalisi pendukungnya sendiri. Tingkat kepuasan publik merosot hingga 41 persen pada Juni 2015.
Meminjam istilah mantan Gubernur New York Mario Cuomo, Jokowi baru menyadari bahwa menjalankan pemerintahan tidaklah semudah membuat "puisi", tetapi juga harus mampu menarasikan "prosa".
Perombakan kabinet jilid kedua ini menjadi pertanda menguatnya kembalinya the ruling cartel (politik kartel) yang sejak lama menjadi karakter perpolitikan pasca reformasi (Slater 2004; Ambardi 2008). Sejak bergabungnya Golkar, PAN, dan PPP dalam koalisi pemerintah, Jokowi mengulang lagu politik lama dengan mendesain koalisi pemerintah yang mendapat dukungan mayoritas di DPR hingga mencapai 69 persen.
Namun, Jokowi tak punya banyak pilihan. Kehadiran Golkar dengan kekuatan 91 kursi di DPR mampu digunakan Jokowi untuk mengurangi dominasi PDI Perjuangan sehingga dia punya ruang manuver yang lebih leluasa untuk menjalankan agenda- agendanya agar sesuai dengan ekspektasi masyarakat.
Lebih presidensial
Setidaknya ada tiga signifikansi mengapa perombakan kabinet jilid kedua ini dilakukan. Pertama, dari sisi politik Jokowi perlu mengakomodasi dan "mengikat" Golkar dan PAN dalam jajaran kabinet. Kedua, dari segi timing Jokowi juga perlu segera melakukan perombakan kabinet karena waktu yang tersedia makin menipis sebelum lonceng berbunyi pada 2019 nanti.
Tak semua menterinya mampu menerjemahkan visi dan misi Jokowi dan mengikuti ritme kerja Presiden. Terakhir, saat ini adalah momentum yang tepat bagi Jokowi seiring dengan keberhasilan Jokowi memulihkan kepercayaan publik. Survei Saiful Mujani Research and Consulting pada Juni 2016 menunjukkanapproval rating Jokowi mencapai 67 persen.
Kabinet hasil perombakan kabinet menunjukkan titik tekan Jokowi pada masalah-masalah ekonomi. Pidato pengantar Jokowi kemarin yang menekankan masalah ekonomi, mengatasi kesenjangan dan pengangguran, membuktikan bahwa Jokowi secara politik sudah berhasil melakukan rekonsolidasi kekuasaan, baik di tingkat elite maupun massa, sehingga punya kepercayaan diri untuk lebih fokus mengurusi agenda ekonomi.
Masuknya nama besar, seperti Sri Mulyani sebagai menteri keuangan, plus dipertahankannya muka-muka lama, seperti Darmin Nasution dan Bambang Brodjonegoro, memberi semacam garansi bagi pelaku usaha dan dunia internasional. Dalam pidato yang sama, Jokowi juga menekankan soliditas kabinet dan keinginan agar semua jajaran kabinet bisa bekerja dalam sunyi tanpa mengumbar kegaduhan yang tidak perlu. Ini pula yang mungkin menjelaskan mengapa nama-nama menteri yang sebelumnya dianggap menjadi biang kegaduhan terkena palu godam perombakan kabinet.
Ada komitmen kuat dari Jokowi untuk mengurangi kegaduhan (noise) sehingga publik dan dunia usaha mampu menangkap sinyal yang lebih jernih dan seragam dari pemerintah.
Menariknya, nama-nama menteri dari kalangan partai politik yang direkrut juga relatif ramah pasar. Airlangga Hartarto dan Enggartiasto Lukita bukanlah politisi nirkompetensi dan mereka memiliki jam terbang lama dalam bidangnya masing-masing. Perombakan kabinet terutama pada jajaran ekonomi seperti tepat menjawab pekerjaan rumah yang selama ini menjadi perhatian publik. Naiknya approval rating Jokowi hanya disokong oleh kemampuan pemerintah dalam menekan laju inflasi, meningkatkan infrastruktur dan fasilitas kesehatan. Rapor Jokowi dalam mengurangi pengangguran, kemiskinan, menyediakan lapangan pekerjaan dan menciptakan pemerataan masih dinilai merah oleh publik.
Meskipun memberi perhatian besar pada masalah-masalah ekonomi, perombakan kabinet kali ini juga tak mengabaikan faktor politik. Golkar dan PAN masing-masing mendapat satu menteri, sedangkan mitra koalisi lama Jokowi juga tidak dikurangi jatahnya, kecuali Hanura. Terkesan Jokowi bermain aman ketika menyangkut konstelasi politik koalisi.
Masuknya Golkar dan PAN tidak mengambil jatah mitra koalisi yang sejak awal mengusung Jokowi. Nama-nama menteri dari parpol yang dirombak digantikan oleh figur dari partai yang sama tetapi memiliki kualifikasi yang diharapkan lebih mumpuni.
Lepas dari kesan main aman ini, Jokowi juga tak serta-merta tunduk pada keinginan partai pendukungnya. Nama Rini Soemarno yang sering kali diteriakkan oleh sebagian politisi PDI Perjuangan agar diganti ternyata masih dipertahankan. Golkar menjadi kekuatan terbesar kedua di parlemen juga hanya mendapat satu kementerian.
Seperti kurva pembelajaran, setelah hampir dua tahun menjadi presiden, Jokowi seperti makin memahami bagaimana melakukan komunikasi politik tanpa menciptakan riak-riak yang mengganggu konsolidasi kekuasaan. Seiring kesuksesan Jokowi melakukan rekonsolidasi politik di tingkat elite dan massa, sudah seharusnya dia tampil lebih presidensial dalam mengambil keputusan penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Bahaya politik kartel
Namun, alarm ancaman politik kartel tetap perlu dibunyikan. Katz dan Mair (2009, 755) menyatakan: "The cartel party is a type that is postulated to emerge in democratic politics that are characterized by the interpenetration of party and state and by a tendency towards inter-party collusion.... Competition between cartel parties focuses less on differences in policy and more on provision of spectacle, image, and theater."
Intinya, politik kartel akan membuat partai-partai cenderung melakukan kolusi kolektif untuk memperebutkan rente.
Terjadilah apa yang disebut Dan Slater sebagai "jebakan akuntabilitas" (accountability trap) di mana parlemen yang dikuasai oleh kubu pemerintah gagal melakukan fungsi-fungsi check and balances.
Dalam politik kartel, terjadi perselingkuhan antara eksekutif dan legislatif, aroma promiscuous power-sharing (pembagian kue kekuasaan) terjadi dalam ruang-ruang tertutup secara masif dan anggaran publik menjadi bancakan bersama.
Sudah semestinya Jokowi menyadari potensi bahaya ini karena politik kartel ini justru malah menjauhkan Jokowi dari publik yang banyak menaruh harapan kepadanya. Koalisi pemerintah yang terdiri tujuh partai dan mencapai 69 persen atau 386 kursi dari 560 kursi di parlemen berpotensi menjadi kekuatan hegemonik yang bisa melumpuhkan sikap kritis DPR terhadap pemerintah.
Untuk itu, Jokowi tak perlu tergoda lagi menambah armada baru koalisi. Koalisi yang terlalu besar malah membuat langkah Jokowi kurang lincah karena harus menegosiasikan setiap kebijakan yang mau diambil kepada aktor yang makin banyak. Jokowi cukup melakukan disiplin koalisi yang kuat agar koalisi pemerintah yang mendukungnya efektif dalam menjalankan agenda pemerintahan.
Saat yang sama, Gerindra, PKS, dan Partai Demokrat juga tak perlu tergiur untuk masuk dalam pemerintahan karena menjadi oposisi dan penyeimbang juga memiliki nilai kebajikan yang sama dalam berdemokrasi. Di atas segalanya, kalangan masyarakat madani (civil society) dan media juga harus terus-menerus menjadi watchdog agar pemerintahan Jokowi sukses mewujudkan janji-janjinya.
BURHANUDDIN MUHTADI
DIREKTUR EKSEKUTIF INDIKATOR POLITIK INDONESIA DAN KANDIDAT PHD AUSTRALIAN NATIONAL UNIVERSITY (ANU)
Artikel ini telah terbit di harian Kompas dalam versi cetak, edisi 28 Juli 2016.