The power of kepepet merupakan slogan yang sering “ditempelkan” kepada mahasiswa, yang hobinya baru mau belajar, manakala ujian akhir semester telah mepet waktunya. Model ini sering pula dinamakan program Sistem Kebut Semalam (SKS).
Entah ada hubungannya atau tidak, antara mahasiswa zaman dulu yang boleh jadi telah berstatus sebagai stake holder bangsa, dengan kondisi republik dewasa ini, sepertinya mereka terjebak, mungkin juga keenakan, menempu jalan keselamatan dengan dalih “sedang kepepet.”
Jadilah kita bangsa kepepet, setiap permasalahan yang datang menyemai, menghadang, menjadi perbincangan alot di media sosial, pemerintah dengan “bersikeras,” lalu gegas menyikapinya sebagai kegentingan memaksa.
Ya…! Benar-benar kepepet, maka lahirlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang dianggap sebagai solusi jitu, untuk mengatasi darurat kekerasan seksual terhadap anak. Lagi dan lagi, keadaan kepepet lainnya juga terjadi dengan revisi Undang-Undang Pilkada secara “maraton,” konon “dipercepat” demi Pilkada 2017 yang tidak lama lagi akan diselenggarakan tahapannya pada bulan ini.
Pertanyaannya, betulkah kita sebagai bangsa yang lupa diri, kalau waktu itu berjalan cepat dan kita tidak mau memanfaatkan seefektifnya? Betulkah pula kalau harga otak dari jutaan rakyat di negeri ini jauh lebih mahal dengan otak orang-orang barat, sebab anugerah teristimewa itu, kita malas menggunakannya, kita malas mencari akar penyebab meningkatnya kejahatan seksual di negeri beradab dan bersopan santun ini.
Bodohkah orang-orang kepercayaan kita di Senayan, sehingga hasil revisinya tentang UU Pilkada terkesan setengah hati? Yang pasti, kita patut merenunginya semua keadaan itu, mumpung ibadah puasa sering “menyandera” hampir semua ummat muslim, berikut dengan segala ritualnya, “seolah-olah” sadar akan menemui Tuhan-Nya yang maha agung ketika bulan suci ramadhan sedang tiba.
Terapi Kebangsaan
Bulan ramadhan yang mewajibkan bagi kaum muslim, menahan lapar dan dahaga di siang hari, jika ditinjau secara mendalam, pada hakikatnya memliki banyak manfaat bagi yang menjalankannya.
Konon, dunia kedokteran mendaulat kalau iabdah puasa mampu menyembuhkan segala jenis penyakit yang terdapat di dalam tubuh. Senada dengan itu, dalam wilayah teologik, puasa tidak hanya bermanfaat dalam ‘terapi kesehatan” akan tetapi berdayaguna pula dalam membersihkan segala pikiran-pikiran tercela. Jiwa akan kembali dalam asalinya, untuk selalu menyemburkan kebaikan dan kebenaran buat sesama.
Kalau saja, dengan ibadah yang kita jalankan itu setulus-tulusnya, seikhlas-ikhlasnya, jadilah kita manusia yang serba penyabar. Dengan sabar, kita bisa menjadi teliti, cermat, tidak gegabah, serta solutif dalam menyikapi setiap permasalahan.
Dan tak ada yang menafikan kalau di negeri ini, ummat Islam-lah yang menjadi mayoritas. Tak perlu dinanya pula, kalau dari setiap perangkat kekuasaan pulik adalah pejabat yang rata-rata beragama Islam. Oleh sebab itu, para pejabat yang dirinya mengaku “Iam Moslem,” tak mengapa kita memiliki harapan yang sama, semoga puasa mereka dapat menjadi terapi untuk bangsa ini. Sepintar-pintarnya-lah mereka, merebut manfaat dan hikmat dari puasa yang dilakoninya.
Mereka harus tahu, mengerti, dan memahaminya, bahwa ibadah puasa tidak sekedar menahan lapar dan dahaga, tidak sekedar melantunkan ayat suci al-qur’an sepanjang waktu, tidak sekedar memberi buka puasa kepada kaum fakir. Lebih dari itu semua, ibadah puasa yang pada sesungguhnya melatih kesabaran, membersihkan jiwa dan pikiran, seharusnya kelak ia menjadi pejabat yang cermat dan hati-hati. Tidak boleh lagi bekerja dengan “asal,” apalagi kebablasan karena “situasi mepet” sedang menyerempetnya.
Tidak! mereka tidak boleh gagal dalam menyelami manfaat dan dahsyatnya bulan suci ramadhan. Ia harus menghantarkan bangsa ini keluar dari krisis multidemensi yang melandanya.
Pelipur Lara
Bulan suci ramadhan harus menjadi “terapi kebangsaan” buat mereka, agar bisa menemukan dirinya yang hilang. Sebab boleh jadi, diri meraka yang sejati belumlah ia peroleh, sehingga nyatanya kita menjadi bangsa serba adanya, bangsa yang serba kepepet.
Di pundak mereka inilah, di pundak para pejabat kita, wakil-wakil kita di sana. Ada terpantik asa, dengan ibadah puasa sebulan penuh, “revolusi mental” tidak hanya fasih di lisan saja, tetapi dapat dibuktikan dengan kerja, dan kerja.
Kerjanya, jangan kebablasan, jangan karena kepepet, sebab hasilnya pasti tiada guna. Itulah yang dimaksudkan, kalau banyak orang yang merugi, hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja dari puasanya. Sebab dari puasa yang telah dijalankannya itu, tidak memberikan manfaat dan terapi dalam kehidupannya.
Semoga saja, dengan ramadhan yang akan menemui kita di awal bulan ini, mampu mengembalikan para pejabat dalam kebangsaannya. Bangsa yang di ridhoi, bangsa yang mengutamakan hajat bersama, bangsa yang senantiasa mendapat syafaat dari Allah SWT.
Sekali lagi, semoga dengan puasa yang kita jalankan, kita tidak lagi menjadi bangsa yang kepepet, sebab kita telah menjadikan ibadah tersebut, sebagai terapi kebangsaan di negeri ini. Ingat! Puasa dan pejabat bukan sekedar pelipur lara.*
Entah ada hubungannya atau tidak, antara mahasiswa zaman dulu yang boleh jadi telah berstatus sebagai stake holder bangsa, dengan kondisi republik dewasa ini, sepertinya mereka terjebak, mungkin juga keenakan, menempu jalan keselamatan dengan dalih “sedang kepepet.”
Jadilah kita bangsa kepepet, setiap permasalahan yang datang menyemai, menghadang, menjadi perbincangan alot di media sosial, pemerintah dengan “bersikeras,” lalu gegas menyikapinya sebagai kegentingan memaksa.
Ya…! Benar-benar kepepet, maka lahirlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang dianggap sebagai solusi jitu, untuk mengatasi darurat kekerasan seksual terhadap anak. Lagi dan lagi, keadaan kepepet lainnya juga terjadi dengan revisi Undang-Undang Pilkada secara “maraton,” konon “dipercepat” demi Pilkada 2017 yang tidak lama lagi akan diselenggarakan tahapannya pada bulan ini.
Pertanyaannya, betulkah kita sebagai bangsa yang lupa diri, kalau waktu itu berjalan cepat dan kita tidak mau memanfaatkan seefektifnya? Betulkah pula kalau harga otak dari jutaan rakyat di negeri ini jauh lebih mahal dengan otak orang-orang barat, sebab anugerah teristimewa itu, kita malas menggunakannya, kita malas mencari akar penyebab meningkatnya kejahatan seksual di negeri beradab dan bersopan santun ini.
Bodohkah orang-orang kepercayaan kita di Senayan, sehingga hasil revisinya tentang UU Pilkada terkesan setengah hati? Yang pasti, kita patut merenunginya semua keadaan itu, mumpung ibadah puasa sering “menyandera” hampir semua ummat muslim, berikut dengan segala ritualnya, “seolah-olah” sadar akan menemui Tuhan-Nya yang maha agung ketika bulan suci ramadhan sedang tiba.
Terapi Kebangsaan
Bulan ramadhan yang mewajibkan bagi kaum muslim, menahan lapar dan dahaga di siang hari, jika ditinjau secara mendalam, pada hakikatnya memliki banyak manfaat bagi yang menjalankannya.
Konon, dunia kedokteran mendaulat kalau iabdah puasa mampu menyembuhkan segala jenis penyakit yang terdapat di dalam tubuh. Senada dengan itu, dalam wilayah teologik, puasa tidak hanya bermanfaat dalam ‘terapi kesehatan” akan tetapi berdayaguna pula dalam membersihkan segala pikiran-pikiran tercela. Jiwa akan kembali dalam asalinya, untuk selalu menyemburkan kebaikan dan kebenaran buat sesama.
Kalau saja, dengan ibadah yang kita jalankan itu setulus-tulusnya, seikhlas-ikhlasnya, jadilah kita manusia yang serba penyabar. Dengan sabar, kita bisa menjadi teliti, cermat, tidak gegabah, serta solutif dalam menyikapi setiap permasalahan.
Dan tak ada yang menafikan kalau di negeri ini, ummat Islam-lah yang menjadi mayoritas. Tak perlu dinanya pula, kalau dari setiap perangkat kekuasaan pulik adalah pejabat yang rata-rata beragama Islam. Oleh sebab itu, para pejabat yang dirinya mengaku “Iam Moslem,” tak mengapa kita memiliki harapan yang sama, semoga puasa mereka dapat menjadi terapi untuk bangsa ini. Sepintar-pintarnya-lah mereka, merebut manfaat dan hikmat dari puasa yang dilakoninya.
Mereka harus tahu, mengerti, dan memahaminya, bahwa ibadah puasa tidak sekedar menahan lapar dan dahaga, tidak sekedar melantunkan ayat suci al-qur’an sepanjang waktu, tidak sekedar memberi buka puasa kepada kaum fakir. Lebih dari itu semua, ibadah puasa yang pada sesungguhnya melatih kesabaran, membersihkan jiwa dan pikiran, seharusnya kelak ia menjadi pejabat yang cermat dan hati-hati. Tidak boleh lagi bekerja dengan “asal,” apalagi kebablasan karena “situasi mepet” sedang menyerempetnya.
Tidak! mereka tidak boleh gagal dalam menyelami manfaat dan dahsyatnya bulan suci ramadhan. Ia harus menghantarkan bangsa ini keluar dari krisis multidemensi yang melandanya.
Pelipur Lara
Bulan suci ramadhan harus menjadi “terapi kebangsaan” buat mereka, agar bisa menemukan dirinya yang hilang. Sebab boleh jadi, diri meraka yang sejati belumlah ia peroleh, sehingga nyatanya kita menjadi bangsa serba adanya, bangsa yang serba kepepet.
Di pundak mereka inilah, di pundak para pejabat kita, wakil-wakil kita di sana. Ada terpantik asa, dengan ibadah puasa sebulan penuh, “revolusi mental” tidak hanya fasih di lisan saja, tetapi dapat dibuktikan dengan kerja, dan kerja.
Kerjanya, jangan kebablasan, jangan karena kepepet, sebab hasilnya pasti tiada guna. Itulah yang dimaksudkan, kalau banyak orang yang merugi, hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja dari puasanya. Sebab dari puasa yang telah dijalankannya itu, tidak memberikan manfaat dan terapi dalam kehidupannya.
Semoga saja, dengan ramadhan yang akan menemui kita di awal bulan ini, mampu mengembalikan para pejabat dalam kebangsaannya. Bangsa yang di ridhoi, bangsa yang mengutamakan hajat bersama, bangsa yang senantiasa mendapat syafaat dari Allah SWT.
Sekali lagi, semoga dengan puasa yang kita jalankan, kita tidak lagi menjadi bangsa yang kepepet, sebab kita telah menjadikan ibadah tersebut, sebagai terapi kebangsaan di negeri ini. Ingat! Puasa dan pejabat bukan sekedar pelipur lara.*
Sumber Gambar: newponsel.com |
Kami adalah perusahaan yang terdaftar, meminjamkan uang kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan keuangan mendesak, dan mereka yang telah ditolak kredit dari sana bank karena skor rendah kredit, pinjaman bisnis, pinjaman Pendidikan, mobil pinjaman, kredit rumah, kredit perusahaan (dll), atau untuk membayar utang buruk atau tagihan, atau yang telah scammed oleh pemberi pinjaman sebelum uang palsu? Selamat, Anda berada di tempat yang tepat, dapat diandalkan Pinjaman Perusahaan Ibu Kelly untuk memberikan pinjaman dengan tingkat bunga yang sangat rendah dari 2% telah datang untuk mengakhiri semua masalah keuangan Anda sekali dan untuk semua, untuk informasi lebih lanjut dan pertanyaan hubungi kami melalui email perusahaan kami: kellywoodloanfirm@gmail.com
BalasHapusTerima kasih
Terima kasih dan Tuhan memberkati
Ibu kelly
KESAKSIAN BAGAIMANA SAYA MENDAPATKAN PINJAMAN SAYA DARI PERUSAHAAN PINJAMAN DAN TERPERCAYA. Saya bernama Theresia Widiyasari dan saya tinggal di Australia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman agar berhati-hati karena ada penipu di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu saya tegang secara finansial, dan karena keputusasaan saya, saya dibohongi oleh beberapa pemberi pinjaman online dengan nilai Rp75.890.000. Saya hampir kehilangan harapan sampai seorang teman saya yang merupakan seorang polisi merujuk saya ke sebuah perusahaan pinjaman yang sangat andal bernama DONNAHALL FUNDING LLC yang meminjamkan saya pinjaman tanpa jaminan sebesar Rp950.000.000 dalam 24 Jam tanpa tekanan. Jika Anda membutuhkan pinjaman apa pun, cukup hubungi mereka sekarang melalui email: (donnahallfundingllc@gmail.com). Saya menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman karena saya melewati di tangan para pemberi pinjaman palsu.
BalasHapusJika Anda memiliki pertanyaan, hubungi saya: {theresiawidiyasari@gmail.com}