Panitia kerja (Panja) Dewan Perwakilan Rakyat telah mengumumkan hasil revisi Undang-Undang Pilkada untuk penyelenggaraan pemilihan 2017 mendatang. Kerja tuntas dewan kehormatan kita lekas usai dikala tamu agung, bulan suci ramadhan itu kian dekat di titiannya. Dan bersamaan dengan itu pula, momentum ibadah puasa sebulan penuh akan turut “terwarnai” dengan perhelatan akbar Euro 2016 yang resmi di buka 10 Juni, di Prancis.
Dua even inilah, puasa dan Piala Eropa 2016 dapat menjadi pelajaran berharga dalam menyongsong Pilkada 2017 nanti. DPR telah menunjukan keseriusannya untuk melahirkan Pilkada demokratis, dengan mengokohkan pelanggaran berupa money politik harus ditindak secara tegas bagi pelakunya. Tak pandang pemberi janji atau materinya saja kepada pemilih yang akan mendapatkan hukuman, pun dengan getolnya pemilih juga dihadang ancaman pidana, kalau dengan sengaja menerima “materi” berupa uang atau yang dipersamakan dengan itu, siap-siap saja akan menjadi penghuni Lapas, binaan masyarakat yang kurang lebih 7 tahun lamanya.
Puasa vs Money Politic
Akan tetapi perlulah diingat, bahwa setegas-tegasnya dan sekerasnya hukuman yang mengancam para calon pelakunya, ada kalanya pelaku jauh lebih cerdik dan lihai menyusun “kedok” agar tidak terjerat laku jahatnya sebagai peristiwa pidana.
Bahwa demokrasi electoral yang diharapkan, agar ceruk pasar pemilih menjauh dari praktik jual beli suara, ada-ada saja kondisi dilematis yang menyanderanya, sehingga tetap mendapat imbalan dari “kandidat” yang mencari dukungan.
Sebuah fakta yang selalu berkutat dengan carut marutnya penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Belum ada kesadaran pemilih menjadi pendukung Paslon tertentu, datang mendegarkan visi-misi Paslon, bahkan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), jika tidak ada insentif yang diperolehnya secara langsung.
Tengoklah alotnya sidang DPR ketika membahas “kriminalisasi” jual beli suara ini. Terpaksa biaya makan dan biaya transportasi untuk mengundang simpatisan pemilih dalam ajang helat kampanye, dikecualikan sebagai money politic Pilkada. Konon ketentuan demikian muncul demi menyesuaikan kondisi masyarakat kita.
Kalau memang demkian ceritanya, mari kita belajar dari tujuan dasarnya dalam melakoni ibadah puasa selama satu bulan penuh ini. Adakah orang yang mengaku dirinya sebagai hamba beriman di hadapan Tuhannya, menunggu bayaran baru merasa wajib menunaikannya? Saya kira tidak. Setiap orang yang menjalankan rukun Islam yang ketiga itu, pastinya dengan ketulusan dan keikhlasan semata, demi meraih syafaat Allah SWT.
Dengan ibadah puasa, di situlah kejujuran dan sportivitas manusia sedang di uji oleh Tuhannya. Ada tidaknya orang yang menyaksikan kita, lapar dan dahaga tetap ditahan sepanjang hari. Di sinilah sportivitas manusia sedang diuji, jika kepada sang khalik saja mampu berlaku ikhlas, qanaah, mengapa tidak perwujudan hak politik untuk memilih, agar memerankan diri secara “ikhlas” pula; dalam memberi dukungan, mendengarkan visi-misi calon, sebab merupakan kewajiban memilih pemimpin yang amanah untuk sesama.
Lalu siapakah termasuk orang yang berbuat aniaya, dan perbuatannya itu malah menganiaya dirinya sendiri? Demikianlah orang-orang yang dalam menjalankan kewajibannya tetapi mengharapkan imbalan, bukan karena ridho dan syafaat-Nya Allah SWT ia berbuat.
Menetukan pilihan, kepada siapa hati berlabuh untuk dipilih sebagai pemimpin, haruslah dengan ketulusan dan keihlasan di atas segala-galanya. Money politic pilkada tidak punya ruang dalam hal mengantarkan calon pemimpin amanah.
Piala Eropa Vs Money Politic
Berbanding lurus dengan itu, tak jauh beda pula dengan perhelatan akbar sepak bola, Euro 2016 ini, sebuah kontestasi yang lagi-lagi jatuh tempo bersamaan dengan masa bulan suci ramadhan.
Karakter, fair play, dan sportivitas merupakan tiga kredo dalam sepak bola yang selalu dijunjung tinggi. Masih ingat dengan kisah kelam sepak bola Gajah antara PSS Sleman vs PSIS Semarang dua tahun lalu. Gara-gara dituding menghancurkan prinsip fair play dalam sepak bola, akhirnya didiskualifikasi oleh komisi disiplin PSSI. Kedua tim kawakan itu memerankan sepak bola alah hara kiri, sama-sama mencari kekalahan sebab tidak mau ketemu dengan tim kuat Borneo FC di fase berikutnya. Simak pula kisah terhormat, Presiden FIFA lima kali terpilih, Sepp Blatter yang akhirnya mengundurkan diri sebagai pemimpin sepak bola dunia, karena sorotan kasus tajam korupsi yang menyeret-nyeret namanya. Semuanya kisah kelam dan kisah memiriskan itu, terkunci dalam satu kalimat: “kompetisi atau kontestasi menolak adanya praktik curang.”
Puasa dan Piala Eropa 2016, di sanalah ketulusan sedang diuji bersama, tulus beribadah semata kepada Allah SWT, feat kompetisi sepakbola menjadi wajib pula untuk tulus menerima kekalahan. Dan pemilih sebagai “bandul” utama demokrasi, juga diuji ketulusannya untuk mengantarkan pemimpin dalam singgasananya, tanpa laku curang ala money politic pilkada.
Sembari merebut hikmat dan puncak iman dalam bulan suci ramadhan nanti, menjadi hamba yang suci, bersih dari segala dosa. Semoga republik yang selalu dihujani duka: bencana alam, korupsi, pemerkosaan, dan berbagai bentuk ujian lainnya. Kelak, akan melahirkan pemimpin lokal yang jujur, bersih, dan amanah di hadapan Tuhannya.
Selamat Memasuki Bulan Suci Ramadhan.
Dua even inilah, puasa dan Piala Eropa 2016 dapat menjadi pelajaran berharga dalam menyongsong Pilkada 2017 nanti. DPR telah menunjukan keseriusannya untuk melahirkan Pilkada demokratis, dengan mengokohkan pelanggaran berupa money politik harus ditindak secara tegas bagi pelakunya. Tak pandang pemberi janji atau materinya saja kepada pemilih yang akan mendapatkan hukuman, pun dengan getolnya pemilih juga dihadang ancaman pidana, kalau dengan sengaja menerima “materi” berupa uang atau yang dipersamakan dengan itu, siap-siap saja akan menjadi penghuni Lapas, binaan masyarakat yang kurang lebih 7 tahun lamanya.
Puasa vs Money Politic
Akan tetapi perlulah diingat, bahwa setegas-tegasnya dan sekerasnya hukuman yang mengancam para calon pelakunya, ada kalanya pelaku jauh lebih cerdik dan lihai menyusun “kedok” agar tidak terjerat laku jahatnya sebagai peristiwa pidana.
Bahwa demokrasi electoral yang diharapkan, agar ceruk pasar pemilih menjauh dari praktik jual beli suara, ada-ada saja kondisi dilematis yang menyanderanya, sehingga tetap mendapat imbalan dari “kandidat” yang mencari dukungan.
Sebuah fakta yang selalu berkutat dengan carut marutnya penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Belum ada kesadaran pemilih menjadi pendukung Paslon tertentu, datang mendegarkan visi-misi Paslon, bahkan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), jika tidak ada insentif yang diperolehnya secara langsung.
Tengoklah alotnya sidang DPR ketika membahas “kriminalisasi” jual beli suara ini. Terpaksa biaya makan dan biaya transportasi untuk mengundang simpatisan pemilih dalam ajang helat kampanye, dikecualikan sebagai money politic Pilkada. Konon ketentuan demikian muncul demi menyesuaikan kondisi masyarakat kita.
Kalau memang demkian ceritanya, mari kita belajar dari tujuan dasarnya dalam melakoni ibadah puasa selama satu bulan penuh ini. Adakah orang yang mengaku dirinya sebagai hamba beriman di hadapan Tuhannya, menunggu bayaran baru merasa wajib menunaikannya? Saya kira tidak. Setiap orang yang menjalankan rukun Islam yang ketiga itu, pastinya dengan ketulusan dan keikhlasan semata, demi meraih syafaat Allah SWT.
Dengan ibadah puasa, di situlah kejujuran dan sportivitas manusia sedang di uji oleh Tuhannya. Ada tidaknya orang yang menyaksikan kita, lapar dan dahaga tetap ditahan sepanjang hari. Di sinilah sportivitas manusia sedang diuji, jika kepada sang khalik saja mampu berlaku ikhlas, qanaah, mengapa tidak perwujudan hak politik untuk memilih, agar memerankan diri secara “ikhlas” pula; dalam memberi dukungan, mendengarkan visi-misi calon, sebab merupakan kewajiban memilih pemimpin yang amanah untuk sesama.
Lalu siapakah termasuk orang yang berbuat aniaya, dan perbuatannya itu malah menganiaya dirinya sendiri? Demikianlah orang-orang yang dalam menjalankan kewajibannya tetapi mengharapkan imbalan, bukan karena ridho dan syafaat-Nya Allah SWT ia berbuat.
Menetukan pilihan, kepada siapa hati berlabuh untuk dipilih sebagai pemimpin, haruslah dengan ketulusan dan keihlasan di atas segala-galanya. Money politic pilkada tidak punya ruang dalam hal mengantarkan calon pemimpin amanah.
Piala Eropa Vs Money Politic
Berbanding lurus dengan itu, tak jauh beda pula dengan perhelatan akbar sepak bola, Euro 2016 ini, sebuah kontestasi yang lagi-lagi jatuh tempo bersamaan dengan masa bulan suci ramadhan.
Karakter, fair play, dan sportivitas merupakan tiga kredo dalam sepak bola yang selalu dijunjung tinggi. Masih ingat dengan kisah kelam sepak bola Gajah antara PSS Sleman vs PSIS Semarang dua tahun lalu. Gara-gara dituding menghancurkan prinsip fair play dalam sepak bola, akhirnya didiskualifikasi oleh komisi disiplin PSSI. Kedua tim kawakan itu memerankan sepak bola alah hara kiri, sama-sama mencari kekalahan sebab tidak mau ketemu dengan tim kuat Borneo FC di fase berikutnya. Simak pula kisah terhormat, Presiden FIFA lima kali terpilih, Sepp Blatter yang akhirnya mengundurkan diri sebagai pemimpin sepak bola dunia, karena sorotan kasus tajam korupsi yang menyeret-nyeret namanya. Semuanya kisah kelam dan kisah memiriskan itu, terkunci dalam satu kalimat: “kompetisi atau kontestasi menolak adanya praktik curang.”
Puasa dan Piala Eropa 2016, di sanalah ketulusan sedang diuji bersama, tulus beribadah semata kepada Allah SWT, feat kompetisi sepakbola menjadi wajib pula untuk tulus menerima kekalahan. Dan pemilih sebagai “bandul” utama demokrasi, juga diuji ketulusannya untuk mengantarkan pemimpin dalam singgasananya, tanpa laku curang ala money politic pilkada.
Sembari merebut hikmat dan puncak iman dalam bulan suci ramadhan nanti, menjadi hamba yang suci, bersih dari segala dosa. Semoga republik yang selalu dihujani duka: bencana alam, korupsi, pemerkosaan, dan berbagai bentuk ujian lainnya. Kelak, akan melahirkan pemimpin lokal yang jujur, bersih, dan amanah di hadapan Tuhannya.
Selamat Memasuki Bulan Suci Ramadhan.
Sumber Gambar: http: inikata.com |
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus