Sayang seribu sayang, sebagai ummat Islam, acapkali kita hanya merasa wajib untuk menunaikan ibadah puasa selama bulan suci ramadhan. Banyak puasa sunnah, jenis dan keadaan lainnya luput dari perhatian kita.
Tidak salah, dan barangkali dapat diterima sebagai sosio-empiris kalau setiap datangnya bulan suci ramadhan, terdapat sebuah pertunjukan, parade, dagelan, sandiwara, yang menghantarkan “manusia” agar meninggalkan masa-masa jahiliyanya.
Kebijakan pemerintah menjadi seiya-sekata dengan beberapa perusahaan swasta, bahwa segala macam usaha dan kegiatan yang dapat merusak afdal-nya orang yang sedang berpuasa harus dihentikan. Tempat prostitusi diliburkan, bersamaan dengan itu, rumah-rumah hiburan lainnya, seperti tempat karoke juga harus ditutup.
Pada akhirnya, suasana tontonan media televisi kita pun di rumah, berubah 180 derajat. Semua siaran pertelevisian tersaji dalam konten Islami. Tidak ada lagi konten agak atau sedikit “porno,” yang menghiasi media pertelevisian. Artis yang dulunya tampil seronok, ayak-ayakan, tiba-tiba “dijatuhi” iman, berpose ala islami, menutup aurat.
Merindukan
Mungkin masih terang di ingatan publik semua, fenomena kekerasan seksual terhadap anak yang banyak memenuhi pemberitaan akhir-akhir ini. Banyak yang menuding, bahkan kita mungkin ikut pula mengamini tudingan tersebut, bahwa penyebab dari banyaknya kasus kekerasan seksual sedemikian itu, semua karena imbas dan perannya media yang banyak menyajikan konten yang tak ayal dinikmati oleh orang yang belum dewasa.
Silahkan diantara kita semua, melakukan perbandingan pada setiap konten media antara masa bulan suci ramadhan dengan masa yang 11 bulan, bukan masanya bulan suci ramadhan. Boleh jadi hanya pada bulan suci ramadhan, kita terhindar dari serangan media yang berbau “porno,” namun selebihnya, di luar bulan suci ramadhan itu, lagi-lagi kita “terperangkap,” terjurumus dalam gelimang dosa yang diparadekan oleh berbagai media.
Jika memang benar adanya, peran media begitu tajam mempengaruhi setiap lini kehidupan kita. Saya termasuk pihak yang mau menggugat, bagaimana kalau ummat Islam menjalankan ibadah puasa selama setahun penuh saja?
Terus terang, dan jujur, sejujur-jujurnya, acapkali saya selalu merindukan bulan puasa agar dijalankan selamanya saja. Biar saja pemerintah beserta dengan perusahaan sekuler tak punya lagi ruang, mengembalikan kehidupan dalam keadaan bebas ibarat kehidupan jahiliya. Biar saja kita punya alasan, agar setiap tempat prostitusi, tempat hiburan, tempat penjualan minuman keras, ditutup pula untuk selama-lamnya. Biar saja, media pertelevisian, media cetak, dan media online, menyesuaikan diri dengan masa “keberimanan” ummat manusia yang tak lagi terikat oleh ruang dan waktu.
Memang menjadi kewajiban, kalau pesona bulan suci ramadhan, harus memberi manfaat bagi hamba yang menjalankannya. Ia yang suci dan bersih dari segala dosa, tidak lagi akan mengulangi “perbuatan dosa” pada waktu yang lainnya. Menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, akan menghantarkan manusia dalam “pertaubatan” penuh pula. Tidak mau lagi bersentuhan dengan “kejahatan” yang akan merusak imannya.
Tapi apa yang terjadi? Keadaannya justru berbalik dari yang diharapkan. Dalam konteks ini, masa-masa jahiliya memang kembali seperti sedia kala. Sebuah titik poin yang harus menjadi peringatan bagai pengemban amanah di negeri ini. Dirinya mengaku sebagai khalifah, tentunya punya peran dan andil besar menjaga manfaat dan konsistensinya setiap orang dalam menjalankan puasa, selama sebulan penuh.
Sekeras-kerasnya seorang menahan godaan dan mengindari perbuatan mungkar pada bulan di luar ramadhan, toh pada akhirnya tidak mampu kalau sang pemimpinnya masih mengizinkan dan membolehkan kembalinya segala instrumen pemicu kemungkaran, pasca bulan suci ramadhan itu.
Tentu “dosa” dan beratnya tanggungan seorang pemimpin memang maha berat. Tatkala banyaknya orang yang menjadi rugi dengan puasa yang pernah dijalankannya, tidak memberikan manfaat apa-apa, dalam perubahan kehidupannya. Lalu ternyata pemimpinlah yang telah membawa mereka dalam pusaran kenistaan, sang pemimpin itulah yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Selamanya
Tidak dibutuhkan pekerjaan yang ekstra bagi pemimpin di negeri ini, andai ingin mengantarkan warga dan penduduknya menjadi damai dan tenteram. Penduduk yang nihil kekerasan, kejahatan, pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, dan segala bentuk kedukaan negeri lainnya. Hanya dibutuhkan keseriusan, seberapa besar kemauan itu untuk mengakhiri dan menutup segala tindak-tanduk jahilia, yang menyebabkan banyaknya orang menjadi bengis dan culas dalam tata lakunya.
Hukuman kebiri tak perlu dihadirkan untuk para pelaku kekerasan seksual anak, andai saja rakyat dan pemimpin republik ini, bersatu padu menjalankan tata-tertib saluran pemberitaan, TV, media cetak, media online, seperti keadaannya di bulan suci ramadhan itu.
Puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga, puasa bukan hanya menahan untuk berkata dan berpikiran kotor, sebab akan merusak kadar “amal” yang diperoleh dari ibadah tersebut. Ibadah puasa, seharusnya, bukan hanya orang sadar menjauhi perbuatan dosa pada bulan itu-itu juga. Tetapi di luar bulan lainnya, ia sudah dianggap, akan terbiasa dengan perbuatan amal kebajikan. Semuanya amal kebajikan itu menjadi gampang untuk dikerjakan, sebab ia sudah menjalani fase latihan selama sebulan.
Kalau begitu, Mengapa pula segala kebijakan jahiliya masih tampak setelah ramadhan berakhir di peraduannya? Padahal segala kebijakan itu juga telah “dipuasakan,” televisi berpuasa, artis berpuasa, dan tak kurang pula iklan menyajikan menu hidangan puasa.
Apa yang kurang dari semuanya? Gagalkah kita memeroleh manfaat dari yang kesemuanya itu? Sehingga pada akhirnya ibadah puasa tidak memberi apa-apa, sedikitpun, kecuali lapar dan dahaga saja.
Kehidupan kembali kacau-balau, muncul kembali kasus pemerkosaan, kasus korupsi, kasus pembunuhan, pemalakan, hingga kasus perselingkuhan yang melibatkan nama-nama beken dari mereka yang menjadi wakil kita di sana. Pada intinya, saya merindukan bulan suci ramadhan, selamanya. Bulan yang akan mengebiri nafsu birahi, sehingga tak ada lagi, laku culas dan bengis di bumi persada ini.*
Tidak salah, dan barangkali dapat diterima sebagai sosio-empiris kalau setiap datangnya bulan suci ramadhan, terdapat sebuah pertunjukan, parade, dagelan, sandiwara, yang menghantarkan “manusia” agar meninggalkan masa-masa jahiliyanya.
Kebijakan pemerintah menjadi seiya-sekata dengan beberapa perusahaan swasta, bahwa segala macam usaha dan kegiatan yang dapat merusak afdal-nya orang yang sedang berpuasa harus dihentikan. Tempat prostitusi diliburkan, bersamaan dengan itu, rumah-rumah hiburan lainnya, seperti tempat karoke juga harus ditutup.
Pada akhirnya, suasana tontonan media televisi kita pun di rumah, berubah 180 derajat. Semua siaran pertelevisian tersaji dalam konten Islami. Tidak ada lagi konten agak atau sedikit “porno,” yang menghiasi media pertelevisian. Artis yang dulunya tampil seronok, ayak-ayakan, tiba-tiba “dijatuhi” iman, berpose ala islami, menutup aurat.
Merindukan
Mungkin masih terang di ingatan publik semua, fenomena kekerasan seksual terhadap anak yang banyak memenuhi pemberitaan akhir-akhir ini. Banyak yang menuding, bahkan kita mungkin ikut pula mengamini tudingan tersebut, bahwa penyebab dari banyaknya kasus kekerasan seksual sedemikian itu, semua karena imbas dan perannya media yang banyak menyajikan konten yang tak ayal dinikmati oleh orang yang belum dewasa.
Silahkan diantara kita semua, melakukan perbandingan pada setiap konten media antara masa bulan suci ramadhan dengan masa yang 11 bulan, bukan masanya bulan suci ramadhan. Boleh jadi hanya pada bulan suci ramadhan, kita terhindar dari serangan media yang berbau “porno,” namun selebihnya, di luar bulan suci ramadhan itu, lagi-lagi kita “terperangkap,” terjurumus dalam gelimang dosa yang diparadekan oleh berbagai media.
Jika memang benar adanya, peran media begitu tajam mempengaruhi setiap lini kehidupan kita. Saya termasuk pihak yang mau menggugat, bagaimana kalau ummat Islam menjalankan ibadah puasa selama setahun penuh saja?
Terus terang, dan jujur, sejujur-jujurnya, acapkali saya selalu merindukan bulan puasa agar dijalankan selamanya saja. Biar saja pemerintah beserta dengan perusahaan sekuler tak punya lagi ruang, mengembalikan kehidupan dalam keadaan bebas ibarat kehidupan jahiliya. Biar saja kita punya alasan, agar setiap tempat prostitusi, tempat hiburan, tempat penjualan minuman keras, ditutup pula untuk selama-lamnya. Biar saja, media pertelevisian, media cetak, dan media online, menyesuaikan diri dengan masa “keberimanan” ummat manusia yang tak lagi terikat oleh ruang dan waktu.
Memang menjadi kewajiban, kalau pesona bulan suci ramadhan, harus memberi manfaat bagi hamba yang menjalankannya. Ia yang suci dan bersih dari segala dosa, tidak lagi akan mengulangi “perbuatan dosa” pada waktu yang lainnya. Menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, akan menghantarkan manusia dalam “pertaubatan” penuh pula. Tidak mau lagi bersentuhan dengan “kejahatan” yang akan merusak imannya.
Tapi apa yang terjadi? Keadaannya justru berbalik dari yang diharapkan. Dalam konteks ini, masa-masa jahiliya memang kembali seperti sedia kala. Sebuah titik poin yang harus menjadi peringatan bagai pengemban amanah di negeri ini. Dirinya mengaku sebagai khalifah, tentunya punya peran dan andil besar menjaga manfaat dan konsistensinya setiap orang dalam menjalankan puasa, selama sebulan penuh.
Sekeras-kerasnya seorang menahan godaan dan mengindari perbuatan mungkar pada bulan di luar ramadhan, toh pada akhirnya tidak mampu kalau sang pemimpinnya masih mengizinkan dan membolehkan kembalinya segala instrumen pemicu kemungkaran, pasca bulan suci ramadhan itu.
Tentu “dosa” dan beratnya tanggungan seorang pemimpin memang maha berat. Tatkala banyaknya orang yang menjadi rugi dengan puasa yang pernah dijalankannya, tidak memberikan manfaat apa-apa, dalam perubahan kehidupannya. Lalu ternyata pemimpinlah yang telah membawa mereka dalam pusaran kenistaan, sang pemimpin itulah yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Selamanya
Tidak dibutuhkan pekerjaan yang ekstra bagi pemimpin di negeri ini, andai ingin mengantarkan warga dan penduduknya menjadi damai dan tenteram. Penduduk yang nihil kekerasan, kejahatan, pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, dan segala bentuk kedukaan negeri lainnya. Hanya dibutuhkan keseriusan, seberapa besar kemauan itu untuk mengakhiri dan menutup segala tindak-tanduk jahilia, yang menyebabkan banyaknya orang menjadi bengis dan culas dalam tata lakunya.
Hukuman kebiri tak perlu dihadirkan untuk para pelaku kekerasan seksual anak, andai saja rakyat dan pemimpin republik ini, bersatu padu menjalankan tata-tertib saluran pemberitaan, TV, media cetak, media online, seperti keadaannya di bulan suci ramadhan itu.
Puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga, puasa bukan hanya menahan untuk berkata dan berpikiran kotor, sebab akan merusak kadar “amal” yang diperoleh dari ibadah tersebut. Ibadah puasa, seharusnya, bukan hanya orang sadar menjauhi perbuatan dosa pada bulan itu-itu juga. Tetapi di luar bulan lainnya, ia sudah dianggap, akan terbiasa dengan perbuatan amal kebajikan. Semuanya amal kebajikan itu menjadi gampang untuk dikerjakan, sebab ia sudah menjalani fase latihan selama sebulan.
Kalau begitu, Mengapa pula segala kebijakan jahiliya masih tampak setelah ramadhan berakhir di peraduannya? Padahal segala kebijakan itu juga telah “dipuasakan,” televisi berpuasa, artis berpuasa, dan tak kurang pula iklan menyajikan menu hidangan puasa.
Apa yang kurang dari semuanya? Gagalkah kita memeroleh manfaat dari yang kesemuanya itu? Sehingga pada akhirnya ibadah puasa tidak memberi apa-apa, sedikitpun, kecuali lapar dan dahaga saja.
Kehidupan kembali kacau-balau, muncul kembali kasus pemerkosaan, kasus korupsi, kasus pembunuhan, pemalakan, hingga kasus perselingkuhan yang melibatkan nama-nama beken dari mereka yang menjadi wakil kita di sana. Pada intinya, saya merindukan bulan suci ramadhan, selamanya. Bulan yang akan mengebiri nafsu birahi, sehingga tak ada lagi, laku culas dan bengis di bumi persada ini.*
Sumber Gambar: beritacenter.com |
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus