Nama lengkapnya Mabah bin Budzkhasyan bin Mousilan bin Bahbudzan bin Fairuz bin Sahrk Al-Isfahani. Lahir di Persia dan Ia lebih dikenal dengan nama Salman Al-Farisi. Nama panggilannya adalah Abu Abdillah dan digelari dengan Salman Al-Khair.
Al-kisah, sebuah situasi yang amat getir sedang melanda Salman Al-Farisi. Dalam keadaan drinya yang papa ternyata ibunya “sangat berkeinginan” naik haji. Terlebih-lebih lagi bukan hanya uang yang tidak dipunya, tetapi ibu yang hendak menunaikan haji di tanah suci itu sudah dalam keadaan sekarat, sakit, tiada ia lagi mampu berjalan.
Namun kemudian Salman Al-Farisi mengandalkan ototnya yang kuat. Ia mengantar sang ibu naik haji dengan cara menggendongnya, ia melintasi sengatnya panas di atas gurun pasir.
Singkat kata singkat cerita, ketika akhirnya Salman Al-Farisi dan ibunya sampai di kota Mekah, dengan wajah sumringah, masih dilanda kelelahan, tiba-tiba ia bertemu dengan rasululullah. Alangkah bahagianya sang anak beserta ibunya itu, ketika mereka bertemu dengan utusan Allah yang sangat mereka cintai dan mereka selalu rindukan.
Hingga terjadilah percakapan antara Salman Al-Farisi dengan Rasulullah. Sang anak bertanya kepada Rasul: “wahai Rasul, apakah saya sudah berbakti kepada orang tua saya, saya menggendong ibu saya, dipundak saya sambil berjalan dari Madinah sampai kota Mekah untuk menunaikan niatnya beribadah haji”
Lalu denga seketika itu Rasulullah menangis. Rasul menjawab dengan suara tangis yang masih tersedu-sedu: “wahai saudaraku, engkau sungguh anak yang luar biasa, engkau benar-benar anak sholeh, tetapi maaf, apapun yang engkau lakukan di dunia ini untuk membahagiakan orang tuamu, apapun usaha kerasmu untuk menyenangkan orag tuamu, tidak akan pernah bisa membalas jasa orang tuamu yang telah membesarkanmu.”
Kendatipun demikian dalam sejarahnya, Rasulullah juga mengakui kalau Salman Al-Farisi adalah orang yang paling disayangi oleh Allah SWT, tetapi perjuangan gigih dari sang anak penuh bakti itu. Lagi-lagi dalam pengakuan Rasulullah pula “sungguh perbuatannya tiadalah sebanding dengan jasa orang tuanya.”
Hari Ibu
Maka dalam konteks itu, merayakan hari ibu dalam momen 22 Desember pun rasanya tidak akan pantas dapat mewakili apa yang telah dilakukan oleh seorang ibu untuk anak-anaknya. Mengapa kita tidak jadikan saja semua hari adalah hari untuk mendermakan bakti kepada ibu? Mengapa hanya sehari saja, kepadanya ia patut direnungi segala pengorbanannya. Tidak! semua hari, detik, jam, bulan dan tahun harus dijadikan cambuk untuk terus mencintai dan menyayangi ibu yang telah melahirkan dan membesarkan kita semua.
Bayangkan saja saat sosok ibu yang dengan kelemahan fisiknya. Ia kuat dengan segala daya upayanya; kita bisa lahir dari rahimnya yang juga harus ditanggung berbulan-bulan. Ia bisa menjadi tersenyum walau segala peluhnya telah habis, untuk melahirkan anak yang disayanginya. Dan tidak hanya itu, kadang pula ia tidak bisa tertidur karena menjaga anaknya dari “suara rintihan” hingga larut malam.
Dan kepadanyalah, dengan segala kelemahlembutan yang tersemat dalam dirinya. Natural seksual yang meniscayakan sebagai sunnatulloh, maka hanyalah sosok ibu yang bisa melahirkan. Pada titik itu, Tuhan telah mengangkat derajat wanita dalam titisannya sebagai “ibu” yang lebih “agung” dari pada laki-laki yang tidak bisa mengandung dan tidak bisa melahirkan.
Rasulullah SAW, junjungan kita semua tak salah pula menyampaikan risalah ketuhanan kepada ummatnya. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari No. 5971 dan Muslim No. 2548).
Betapa dahsyatnya sabda Rasulullah tersebut, hingga Imam Al-Qurthubi menjelaskan, “Hadits tersebut menunjukkan bahwa kecintaan dan kasih sayang terhadap seorang ibu, harus tiga kali lipat besarnya dibandingkan terhadap seorang ayah. Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menyebutkan kata ibu sebanyak tiga kali, sementara kata ayah hanya satu kali. Bila hal itu sudah kita mengerti, realitas lain bisa menguatkan pengertian tersebut. Karena kesulitan dalam menghadapi masa hamil, kesulitan ketika melahirkan, dan kesulitan pada saat menyusui dan merawat anak, hanya dialami oleh seorang ibu. Ketiga bentuk kehormatan itu hanya dimiliki oleh seorang ibu, seorang ayah tidak memilikinya. (Tafsir Al-Qurthubi X : 239. al-Qadhi Iyadh menyatakan: “bahwa ibu memiliki keutamaan yang lebih besar dibandingkan ayah.”)
Pelita Harapan
Selain itu, terdapat pula sebuah misteri “kegaiban” Tuhan telah menghadirkan sosok ibu di muka bumi ini. Penting kiranya bagi kita semua menangkap pesan ketuhanan itu, ada apa sehingga sosio historisnya Nabi Adam as yang begitu gagah perkasa ditemani dengan wanita yang maha sempurna dengan kelemahlembutannya? Apakah makna dibalik itu semua sehingga Allah SWT menciptakan dua insan yang saling berkasih sayang, lalu diturunkan “kekuatannya”, dua manusia pertama itu dari generasi ke generasi?
Selemah-lemahnya nalar kita. Semua peristiwa itu menjadi tanda “rahman” dan “rahim-nya” Tuhan kepada Hamba-Nya. Andai tiada wanita, tiada ibu, siapalah yang bisa melunakan hati seorang lelaki, seorang ayah, jikalau dirinya selalu mendahulukan “perselisihan” ketimbang rasa untuk saling mengasihi bersama? Andaikata tiada Ibu yang dengan syahdunya meninabobohkan anak-anaknya yang saban hari akan menjadi pemegang “tongkat estafet” kepemimpinan di negeri ini, maka sanggupkah kita mengecap rasa kedamaian tanpa ajaran dan nilai kasih sayang yang telah dititiskan kepada oleh sang ibu?
Bilik-bilik keluarga, rumah tangga, masyarakat, bangsa, dan negara. Semuanya, menjadi damai sentosa, karena “wajah kedirian” Tuhan sungguh telah dianugerahkan kepada Ibu, dengan rasa cintanya kita semua bisa saling mengasihi.
Pun air mata, derita, luka, kepiluan, haru dan bahagia, semuanya rasa itu hadir dari sosok ibu untuk selalu optimis menyalakan “pelita harapan” bagi segenap ummat manusia. Mari bersyukur kepada Allah SWT, karenanya kita punya sosok ibu yang membuat hidup ini selalu menjadi bermakna. Selamat hari ibu. *
Al-kisah, sebuah situasi yang amat getir sedang melanda Salman Al-Farisi. Dalam keadaan drinya yang papa ternyata ibunya “sangat berkeinginan” naik haji. Terlebih-lebih lagi bukan hanya uang yang tidak dipunya, tetapi ibu yang hendak menunaikan haji di tanah suci itu sudah dalam keadaan sekarat, sakit, tiada ia lagi mampu berjalan.
Namun kemudian Salman Al-Farisi mengandalkan ototnya yang kuat. Ia mengantar sang ibu naik haji dengan cara menggendongnya, ia melintasi sengatnya panas di atas gurun pasir.
Singkat kata singkat cerita, ketika akhirnya Salman Al-Farisi dan ibunya sampai di kota Mekah, dengan wajah sumringah, masih dilanda kelelahan, tiba-tiba ia bertemu dengan rasululullah. Alangkah bahagianya sang anak beserta ibunya itu, ketika mereka bertemu dengan utusan Allah yang sangat mereka cintai dan mereka selalu rindukan.
Hingga terjadilah percakapan antara Salman Al-Farisi dengan Rasulullah. Sang anak bertanya kepada Rasul: “wahai Rasul, apakah saya sudah berbakti kepada orang tua saya, saya menggendong ibu saya, dipundak saya sambil berjalan dari Madinah sampai kota Mekah untuk menunaikan niatnya beribadah haji”
Lalu denga seketika itu Rasulullah menangis. Rasul menjawab dengan suara tangis yang masih tersedu-sedu: “wahai saudaraku, engkau sungguh anak yang luar biasa, engkau benar-benar anak sholeh, tetapi maaf, apapun yang engkau lakukan di dunia ini untuk membahagiakan orang tuamu, apapun usaha kerasmu untuk menyenangkan orag tuamu, tidak akan pernah bisa membalas jasa orang tuamu yang telah membesarkanmu.”
Kendatipun demikian dalam sejarahnya, Rasulullah juga mengakui kalau Salman Al-Farisi adalah orang yang paling disayangi oleh Allah SWT, tetapi perjuangan gigih dari sang anak penuh bakti itu. Lagi-lagi dalam pengakuan Rasulullah pula “sungguh perbuatannya tiadalah sebanding dengan jasa orang tuanya.”
Hari Ibu
Maka dalam konteks itu, merayakan hari ibu dalam momen 22 Desember pun rasanya tidak akan pantas dapat mewakili apa yang telah dilakukan oleh seorang ibu untuk anak-anaknya. Mengapa kita tidak jadikan saja semua hari adalah hari untuk mendermakan bakti kepada ibu? Mengapa hanya sehari saja, kepadanya ia patut direnungi segala pengorbanannya. Tidak! semua hari, detik, jam, bulan dan tahun harus dijadikan cambuk untuk terus mencintai dan menyayangi ibu yang telah melahirkan dan membesarkan kita semua.
Bayangkan saja saat sosok ibu yang dengan kelemahan fisiknya. Ia kuat dengan segala daya upayanya; kita bisa lahir dari rahimnya yang juga harus ditanggung berbulan-bulan. Ia bisa menjadi tersenyum walau segala peluhnya telah habis, untuk melahirkan anak yang disayanginya. Dan tidak hanya itu, kadang pula ia tidak bisa tertidur karena menjaga anaknya dari “suara rintihan” hingga larut malam.
Dan kepadanyalah, dengan segala kelemahlembutan yang tersemat dalam dirinya. Natural seksual yang meniscayakan sebagai sunnatulloh, maka hanyalah sosok ibu yang bisa melahirkan. Pada titik itu, Tuhan telah mengangkat derajat wanita dalam titisannya sebagai “ibu” yang lebih “agung” dari pada laki-laki yang tidak bisa mengandung dan tidak bisa melahirkan.
Rasulullah SAW, junjungan kita semua tak salah pula menyampaikan risalah ketuhanan kepada ummatnya. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari No. 5971 dan Muslim No. 2548).
Betapa dahsyatnya sabda Rasulullah tersebut, hingga Imam Al-Qurthubi menjelaskan, “Hadits tersebut menunjukkan bahwa kecintaan dan kasih sayang terhadap seorang ibu, harus tiga kali lipat besarnya dibandingkan terhadap seorang ayah. Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menyebutkan kata ibu sebanyak tiga kali, sementara kata ayah hanya satu kali. Bila hal itu sudah kita mengerti, realitas lain bisa menguatkan pengertian tersebut. Karena kesulitan dalam menghadapi masa hamil, kesulitan ketika melahirkan, dan kesulitan pada saat menyusui dan merawat anak, hanya dialami oleh seorang ibu. Ketiga bentuk kehormatan itu hanya dimiliki oleh seorang ibu, seorang ayah tidak memilikinya. (Tafsir Al-Qurthubi X : 239. al-Qadhi Iyadh menyatakan: “bahwa ibu memiliki keutamaan yang lebih besar dibandingkan ayah.”)
Pelita Harapan
Selain itu, terdapat pula sebuah misteri “kegaiban” Tuhan telah menghadirkan sosok ibu di muka bumi ini. Penting kiranya bagi kita semua menangkap pesan ketuhanan itu, ada apa sehingga sosio historisnya Nabi Adam as yang begitu gagah perkasa ditemani dengan wanita yang maha sempurna dengan kelemahlembutannya? Apakah makna dibalik itu semua sehingga Allah SWT menciptakan dua insan yang saling berkasih sayang, lalu diturunkan “kekuatannya”, dua manusia pertama itu dari generasi ke generasi?
Selemah-lemahnya nalar kita. Semua peristiwa itu menjadi tanda “rahman” dan “rahim-nya” Tuhan kepada Hamba-Nya. Andai tiada wanita, tiada ibu, siapalah yang bisa melunakan hati seorang lelaki, seorang ayah, jikalau dirinya selalu mendahulukan “perselisihan” ketimbang rasa untuk saling mengasihi bersama? Andaikata tiada Ibu yang dengan syahdunya meninabobohkan anak-anaknya yang saban hari akan menjadi pemegang “tongkat estafet” kepemimpinan di negeri ini, maka sanggupkah kita mengecap rasa kedamaian tanpa ajaran dan nilai kasih sayang yang telah dititiskan kepada oleh sang ibu?
Bilik-bilik keluarga, rumah tangga, masyarakat, bangsa, dan negara. Semuanya, menjadi damai sentosa, karena “wajah kedirian” Tuhan sungguh telah dianugerahkan kepada Ibu, dengan rasa cintanya kita semua bisa saling mengasihi.
Pun air mata, derita, luka, kepiluan, haru dan bahagia, semuanya rasa itu hadir dari sosok ibu untuk selalu optimis menyalakan “pelita harapan” bagi segenap ummat manusia. Mari bersyukur kepada Allah SWT, karenanya kita punya sosok ibu yang membuat hidup ini selalu menjadi bermakna. Selamat hari ibu. *
Artikel ini juga muat di koran Amanah Makassar, 21 Desember 2015
Damang Averroes Al-Khawarizmi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar