Tanpa disadari sekelumit kehidupan dasawarsa ini, ada banyak orang yang lebih senang menggunakan jalan pintas, metode instan, dalam meraih kehormatan guna meningkatkan status sosialnya di hadapan publik. Meski kemudian tindakan-tindakan yang dilakukannya itu tidaklah sesuai dengan kapasitasnya.
Inilah penyakit “kronis” yang rata-rata melanda “generasi pelanjut” bangsa. Tak pernah merasakan harga diri, nama baik dan kehormatannya menjadi terhina kalau hanya menggunakan cara-cara instan, agar dirinya bisa menggunakan prestisenya dalam mengumpulkan “puing-puing” rupiah.
Jalan Pintas
Saya merasa gelisah ketika hendak mendobrak “tradisi haram” demikian. Tat kala merelakan harapan, cita-cita, impian, harus menjadi pupus. Dengan keluar dari kelaziman, tidak perlulah merengkuh kehormatan kalau harus melalui jalan pintas.
Ironisnya, setiap kali memberi peringatan kepada mereka yang hobinya memakai jalan pintas, sekonyong-konyong pembelaan datang dari mereka; “bukankah itu memang yang lazim dilakukan saat ini?” Dan rupa-rupanya mereka malah menenggelamkan diri dalam kubangan ‘sistem” yang sudah diketahuinya, dari awal sudah rusak.
Ada berapa banyak calon Sarjana, calon Magister, bahkan calon Doktor tak pernah peduli dengan proses, untuk belajar sendiri dalam rangka meningkatkan kapasitas keilmuannya. Lebih asyik menggunakan formulasi pamungkas, mencari orang yang bisa menyelesaikan tugas akhir mereka. Kerjanya, hanya tampil di ruang sidang ujian dengan sikap, “seolah-olah” sudah mengikuti semua alur penetian yang digariskan, hingga tersaji karyanya di hadap para penguji.
Sebuah kondisi yang mengisyaratkan bahwa calon Sarjana itu, calon Magister itu, calon Doktor itu, harus rela berlaku jujur, kalau kapasitasnya memang tidak bisa merengkuh gelar prestisius yang diharapkannya. Harus memilih mengundurkan diri. Dan itu lebih baik. Karena kejujurannya yang memang “tidak mampu” bisa menjaga kehormatannya.
Apa lacur yang terjadi. Mereka malah bangga. Sesuatu yang tidak sepantasnya menjadi teladan toh menjadi rujukan untuknya. Jangankan memburu gelar akademik yang sungguh prestisius itu dianggap “haram” untuk diperbuat. In casu pimpinan paling terhormat saja yang bernama “wakil rakyat” sudah terpentaskan segala “perbuatan” yang merusak kehormatannya, juga tidak berani berhenti di tengah jalan walau publik mendesaknya.
Mungkin kita krisis keteladanan. Ada benarnya. Lagian guru besar saja yang marah tat kalah tidak dipanggil sebagai Profesor, sulit menjadikannya sebagai sosok teladan. Banyak guru besar tetapi tak ada bedanya dengan calon-calon pemburu kehormatan tadi, juga tak punya kapasitas untuk menelorkan “buah karya” terbaru. Tetapi karena berburu tunjangan, pada akhirnya memaksakan diri menyuruh orang lain menuliskan karya-karya inovatif. Lalu, diklaim “buah karya” itu sebagai miliknya, pribadi. Ironis!
Menghinakan Kehormatan
Sungguh tak sepadan dengan tuntutan yang selayaknya, terwakilkan dalam pertahanan diri, selalu dan selalu menjaga kehormatan dan nama baik. Acapkali dilanda sifat menggebu-gebu melawan terhadap seorang yang datang secara tiba, menuduhkan suatu perbuatan (meskipun itu benar). Lalu, memperoteksinya dengan subjektifitas; “orang itu telah merusak nama baik dan kehormatan anda.”
Kalau orang lain menghinakannya, cepatlah ia bersikap. Tetapi Ia lupa bersikap kalau kehormatannya itu menjadi rusak, karena alih-alih berburuh”kehormatan absurd” yang tidak disanggupi oleh kapasitasnya. Tidak pernah menjadi malu, kalau “kehormatan” yang sudah diburu berada dalam genggamannya, walau menunjukan “kapabilitasnya” tiadalah Ia mampu.
Pada intinya, memang anda harus kehilangan harapan, kehilangan cita-cita. Manakala berniat sungguh-sungguh mengembalikan kehormatan karena kapasitas yang dimiliki tidak mumpuni.
Anda tidak perlu meraih Sarjana, Magister, Doktor, kalau merasa memang tidak pantas. Tidak perlu dipaksakan. Silahkan melepaskan semua harapan itu kalau harus melalui jalan pintas. Harga diri anda akan terenggut, kehormatan anda akan menjadi jatuh dititik nadir kalau tetap kukuh bertahan pada “semunya” kehormatan itu.
Lalu diluar sikap kerelaan itu, mengembalikan harkat dan martabat anda, kendati telah melepaskan semua atribut kehormatan yang absurd. Anda tidak perlu putus asa. Binalah, didiklah diri anda dalam sebuah proses! Silahkan meningkatkan kemampuan diri secara perlahan untuk meraih kehormatan yang selayaknya untuk direngkuh.
Kalau anda merasa sebagai Pengajar, Guru, Dosen, yang pada sesungguhnya telah melalui jalan pintas sehingga tahta kehormatan justru membuatmu menjadi terhina. Saatnya berani mengundurkan diri dari profesi bermartabat itu. Tak perlu takut kehilangan kehormatan, tinggalkan saja. Sebab buat apa berlama-lama kalau situasi demikian justru membuat kehormatanmu menjadi terhina.
Dan pada akhirnya, inilah juga yang harus menjadi pegangan. Kalau tidak mau menjadikannya sebagai “pegangan”, cukup menjadi peringatan dini bagi diri anda. Buat apa kukuh memaksakan diri menjadi Pasangan Calon (Paslon) Kepala Daerah dalam perhelatan “demokrasi electoral” akhir tahun ini, kalau sudah pernah divonis sebagai “terpidana korupsi” dan publik sebagai rakyat pemilih sudah pada mengetahuinya.
Dimana kehormatan dan nama baik yang selalu anda pertahankan selama ini? Kenapa justru anda sendiri yang merusak pribadi dan nama baikmu? Kemanakah “muka malu” anda disimpan sebagai mantan “perampok” uang rakyat, sehingga tetap merasa berbangga diri disaksikan di bilik-bilik suara?
Anda mau terhormat, tidak mempermalukan diri anda , semua tergantung dari sikap anda untuk menghargai proses. Ingat! Tradisi instan dengan motif berburu kekuasaan semata, sama saja menghinakan kehormatan dan nama baik anda.*
Inilah penyakit “kronis” yang rata-rata melanda “generasi pelanjut” bangsa. Tak pernah merasakan harga diri, nama baik dan kehormatannya menjadi terhina kalau hanya menggunakan cara-cara instan, agar dirinya bisa menggunakan prestisenya dalam mengumpulkan “puing-puing” rupiah.
Jalan Pintas
Saya merasa gelisah ketika hendak mendobrak “tradisi haram” demikian. Tat kala merelakan harapan, cita-cita, impian, harus menjadi pupus. Dengan keluar dari kelaziman, tidak perlulah merengkuh kehormatan kalau harus melalui jalan pintas.
Ironisnya, setiap kali memberi peringatan kepada mereka yang hobinya memakai jalan pintas, sekonyong-konyong pembelaan datang dari mereka; “bukankah itu memang yang lazim dilakukan saat ini?” Dan rupa-rupanya mereka malah menenggelamkan diri dalam kubangan ‘sistem” yang sudah diketahuinya, dari awal sudah rusak.
Ada berapa banyak calon Sarjana, calon Magister, bahkan calon Doktor tak pernah peduli dengan proses, untuk belajar sendiri dalam rangka meningkatkan kapasitas keilmuannya. Lebih asyik menggunakan formulasi pamungkas, mencari orang yang bisa menyelesaikan tugas akhir mereka. Kerjanya, hanya tampil di ruang sidang ujian dengan sikap, “seolah-olah” sudah mengikuti semua alur penetian yang digariskan, hingga tersaji karyanya di hadap para penguji.
Sebuah kondisi yang mengisyaratkan bahwa calon Sarjana itu, calon Magister itu, calon Doktor itu, harus rela berlaku jujur, kalau kapasitasnya memang tidak bisa merengkuh gelar prestisius yang diharapkannya. Harus memilih mengundurkan diri. Dan itu lebih baik. Karena kejujurannya yang memang “tidak mampu” bisa menjaga kehormatannya.
Apa lacur yang terjadi. Mereka malah bangga. Sesuatu yang tidak sepantasnya menjadi teladan toh menjadi rujukan untuknya. Jangankan memburu gelar akademik yang sungguh prestisius itu dianggap “haram” untuk diperbuat. In casu pimpinan paling terhormat saja yang bernama “wakil rakyat” sudah terpentaskan segala “perbuatan” yang merusak kehormatannya, juga tidak berani berhenti di tengah jalan walau publik mendesaknya.
Mungkin kita krisis keteladanan. Ada benarnya. Lagian guru besar saja yang marah tat kalah tidak dipanggil sebagai Profesor, sulit menjadikannya sebagai sosok teladan. Banyak guru besar tetapi tak ada bedanya dengan calon-calon pemburu kehormatan tadi, juga tak punya kapasitas untuk menelorkan “buah karya” terbaru. Tetapi karena berburu tunjangan, pada akhirnya memaksakan diri menyuruh orang lain menuliskan karya-karya inovatif. Lalu, diklaim “buah karya” itu sebagai miliknya, pribadi. Ironis!
Menghinakan Kehormatan
Sungguh tak sepadan dengan tuntutan yang selayaknya, terwakilkan dalam pertahanan diri, selalu dan selalu menjaga kehormatan dan nama baik. Acapkali dilanda sifat menggebu-gebu melawan terhadap seorang yang datang secara tiba, menuduhkan suatu perbuatan (meskipun itu benar). Lalu, memperoteksinya dengan subjektifitas; “orang itu telah merusak nama baik dan kehormatan anda.”
Kalau orang lain menghinakannya, cepatlah ia bersikap. Tetapi Ia lupa bersikap kalau kehormatannya itu menjadi rusak, karena alih-alih berburuh”kehormatan absurd” yang tidak disanggupi oleh kapasitasnya. Tidak pernah menjadi malu, kalau “kehormatan” yang sudah diburu berada dalam genggamannya, walau menunjukan “kapabilitasnya” tiadalah Ia mampu.
Pada intinya, memang anda harus kehilangan harapan, kehilangan cita-cita. Manakala berniat sungguh-sungguh mengembalikan kehormatan karena kapasitas yang dimiliki tidak mumpuni.
Anda tidak perlu meraih Sarjana, Magister, Doktor, kalau merasa memang tidak pantas. Tidak perlu dipaksakan. Silahkan melepaskan semua harapan itu kalau harus melalui jalan pintas. Harga diri anda akan terenggut, kehormatan anda akan menjadi jatuh dititik nadir kalau tetap kukuh bertahan pada “semunya” kehormatan itu.
Lalu diluar sikap kerelaan itu, mengembalikan harkat dan martabat anda, kendati telah melepaskan semua atribut kehormatan yang absurd. Anda tidak perlu putus asa. Binalah, didiklah diri anda dalam sebuah proses! Silahkan meningkatkan kemampuan diri secara perlahan untuk meraih kehormatan yang selayaknya untuk direngkuh.
Kalau anda merasa sebagai Pengajar, Guru, Dosen, yang pada sesungguhnya telah melalui jalan pintas sehingga tahta kehormatan justru membuatmu menjadi terhina. Saatnya berani mengundurkan diri dari profesi bermartabat itu. Tak perlu takut kehilangan kehormatan, tinggalkan saja. Sebab buat apa berlama-lama kalau situasi demikian justru membuat kehormatanmu menjadi terhina.
Dan pada akhirnya, inilah juga yang harus menjadi pegangan. Kalau tidak mau menjadikannya sebagai “pegangan”, cukup menjadi peringatan dini bagi diri anda. Buat apa kukuh memaksakan diri menjadi Pasangan Calon (Paslon) Kepala Daerah dalam perhelatan “demokrasi electoral” akhir tahun ini, kalau sudah pernah divonis sebagai “terpidana korupsi” dan publik sebagai rakyat pemilih sudah pada mengetahuinya.
Dimana kehormatan dan nama baik yang selalu anda pertahankan selama ini? Kenapa justru anda sendiri yang merusak pribadi dan nama baikmu? Kemanakah “muka malu” anda disimpan sebagai mantan “perampok” uang rakyat, sehingga tetap merasa berbangga diri disaksikan di bilik-bilik suara?
Anda mau terhormat, tidak mempermalukan diri anda , semua tergantung dari sikap anda untuk menghargai proses. Ingat! Tradisi instan dengan motif berburu kekuasaan semata, sama saja menghinakan kehormatan dan nama baik anda.*
Sumber Gambar: wongalus.files.wordpress.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar