Tulisan ini tidaklah dimaksudkan untuk menasbihkan materialime dialektika historis yang terdapat dalam karya bernas “Das Capital” Karl Marx. Bahwa pada akhirnya kapitalisme akan runtuh dengan revolusi yang dilakukan oleh proletariat, dan saban waktu kapitalisme akan menggali liang kuburnya sendiri. Maka hancur leburlah kapitalisme di atas bendera sosialisme.
Sungguh berbeda dengan peristiwa yang sedang melanda DPR saat ini, menggali kuburannya yang bernama Undang-Undang (UU) “lembaga anti rasuah” (KPK) justeru ditujukan untuk melanggengkan kekuasaan dan kepentingan kapitalisnya. Bagaimana tidak? kalau kuburan itu telah banyak menelan korban dari rekan sejawat pada periode-periode sebelumnya. Siapa pula yang mau menjadi korban selanjutnya di nisan anti rasuah itu?
Dan tentunya kalau mereka sendiri yang menjadi perancang UU KPK, lalu sedari awal sudah diketahui kalau lembaga tersebut pada akhirnya akan memangsa dirinya. Suatu hal yang tidak perlu kemudian khalayak menjadi kaget manakalah sedikit demi sedikit DPR kukuh untuk kembali menggali liang lahat UU KPK. Agar jangan terlalu gampang menyeret sejumlah anggota legislatif ke nisan UU anti rasuah itu.
Liang Kubur
DPR kembali menggali liang kuburnya. Mengecek satu persatu korban pesakitan korupsi yang sudah terseret ke sana. Mengapa mereka dengan mudahnya dilucuti satu persatu dari tempat terhormatnya yang sudah mengatasnamakan perwakilan dari seluruh rakyat Indonesia?
Perlahan dan pasti, satu persatu fakta historis dijadikan sebagai pengalaman berharga. Lalu pengalaman itu dintrodusir oleh DPR dalam draf RUU KPK: “Wahai KPK, anak yang tidak tahu diri, anak durhaka, sudah menjadi mali kundang, kini segala hak-hak dan kewenanganmu harus dikurangi agar jangan terlalu ambisius menahan dan menyandera orang tuamu sendiri.”
Maka dalam keadaan demikianlah, memunculkan beberapa niatan agar KPK dibatasi usianya hingga 12 tahun saja. Agar KPK cukup melakukan penyelidikan dan penyidikan, tidak perlu berada dalam proses acara sebagai jaksa penuntut umum.
Dalam wilayah penyelidikan memang KPK masih diberi kewenangan untuk melakukan penyadapan, tetapi haruslah denga izin hakim pengadilan. Demikian juga dengan lex specialis atas kewenangannya menangani hanya pada kasus tindak pidana korupsi, pada kewenangan a quo masihlah dipertahankan, namun sedikit diperlemah dengan batas untuk melakukan penindakan kasus korupsi pada nilai 50 milyar ke atas. Ini berbeda dengan “succes story” KPK di masa-masa sebelumnya, ketika garang menindak satu persatu koruptor dengan standar penindakan kasus korupsi pada nilai 1 milyar ke atas.
Wajar kemudian, ketika sikap DPR dalam niatan memperlemah KPK bukan berdiri di atas nalar kepentingan publik, tetapi justeru sebaliknya lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya saja.
Dalam nuansa kepercayaan publik yang sudah terdegradasi terhadap anggota DPR, nyatanya DPR “tuli” dari teriakan publik agar tetap mempertahankan marwah KPK. DPR adalah kumpulan wakil rakyat yang dimuliakan dalam kata, tetapi dihinakan dalam perbuatan.
Menjadi terhina, oleh karena rasa kepekaannya akan kepentingan rakyat terkalahkan oleh nafsu keserakahannya menumpuk lembaran rupiah. Sebuah fakta yang tidak bisa dinafikan, anggota legislatif yang duduk manis di senayan, mereka rata-rata berasal dari kalangan pengusaha. Kalau bukan dirinya sebagai direksi dalam sebuah perusahaan, mereka memiliki kerabat yang berprofesi sebagai pengusaha.
Lokalisasi anggaran negara sengaja dialirkan kepada kerabatnya, dengan niatan jahatan pun keuntungan akan mengalir kepadanya. Dan ingat! Dalam keadaan demikian dengan tetap mepertahankan UU KPK saat ini, sudah pasti berkualifikasi korupsi yang rentan menyeret anggota DPR kita yang sungguh terhormat itu ke nisannya sendiri, UU KPK.
Terompet Maut
Ada suatu waktu, ketika KPK dalam juntrungnya segala kewennagan extra sudah dilucuti oleh DPR. Kabut kegelapan akan menyelimuti senayan dari praktik korupsi yang bergerak secara liar.
DPR tak perlu takut untuk melakukan korupsi dalam batas 50 milyar ke bawah. DPR tidak akan merasa was-was lagi menelephon kerabat dari pengusaha ternama untuk melakukan konspirasi jahat dalam menyalahgunakan keuangan negara. Sebab KPK tidak segampang dulunya menyadap gadgate dari pejabat negara yang terindikasi korupsi.
Prasyarat penyadapan harus mendapat izin dari hakim pengadilan, lalu KPK memiliki “legalitas” dalam melakukan penyadapan, pada sesungguhnya menyimpan sejumlah peluang besar bagi oknum DPR ketika melakukan transaksi korupsi via elektronik akan menghilangkan jejak-jejak kejahatannya.
Dan kalaupun DPR melakukan korupsi kecil-kecilan saja. Mereka tak perlu pobhia dengan anti rasuah KPK. Regim bisa saja berganti, tetapi pada waktunya mustahil KPK akan mendapat kekuatan politik untuk mengirim koruptor masa lalu menuju liang pekuburan UU KPK untuk mempertanggungjwabkan segala perbuatan tercelanya. Sebab apa daya! Usia KPK akan terhenti dalam denyut nafasnya 12 tahun di masa yang akan datang.
DPR silahkan korupsi! Silahkan menumpuk harta dengan keserakahanmu! Sebab perjuanganmu sendirilah menggali liang lahat UU KPK dari korban koruptor kelas kakap. Sehingga usahamu kian mendekati keberhasilan untuk membunuh anak durhaka yang bernama KPK. Dan selanjutnya lembaga anti rasuah (KPK), yang akan diseret keliang lahat itu. Tidak lama lagi terompet sangkakala untuk KPK akan berdendang dari senayan, dalam masa penantian 12 tahun, itu bukanlah waktu yang lama.*
Sumber Gambar:bantenflash.com/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar