Rabu, 14 Oktober 2015

Surat Kemarau Untuk Bupatiku, Sabirin Yahya

Surat Kemarau Untuk Bupatiku, Sabirin Yahya

Di Sinjai



Bapak Sabirin Yahya, tak terasa umur pemerintahanmu, tak lagi dapat dielakkan seperti sedia kala ketika engkau bersama Humasmu (Bpk Sabir Syur) membela diri, terhadap segala kritik saya waktu itu. Engkau mengatakan bahwa tak pantaslah aku mempertanyakan kebijakanmu karena pada waktu itu pemerintahan yang engkau emban barulah seumur jagung.

Aku juga tak lupa ketika Bpk Sabir Syur mengatakan kalau sesungguhnya suratku dahulu adalah kekanak-kanakan. Aku sadar Pak, ternyata kanak-kanak itu jauh lebih mengasyikan dari pada menjadi pemimpin yang dituakan. Bahwa menjadi anak-anak, apalagi anak petani lebih peka akan diriku melihat nasib penduduk di kampungku sendiri. Dibandingkan Bapak-Bapak yang asyik-masuk mempersalahkan saja sikap kritisku.

Hingga hari ini, apa yang pernah kutagih dahulu dari Bapak Bupatiku, sudahkah engkau realisasikan. Mari kita berkata jujur Pak: tidak khan? Adakah perbaikan jalan dari jalan tani yang pernah kutagih dari kampung saya? Adakah kebijakan di sektor pendidikan untuk mereka yang berasal dari keluarga tidak mampu, padahal mereka itu besar pengharapannya juga untuk lanjut di Perguruan Tinggi? Adakah program di sektor pertanian untuk membantu Petani Lada dan Kakao, karena tanaman mereka diserang hama?

Lagi-lagi, mata tidak dibutakan dengan kenyataan wahai Bapak Bupatiku. Semua pertanyaan-pertanyaan itu, terlalu gampang untuk kita bersama-sama dan serentak mengatakan: “belum ada”

Jalan tani yang kuharap dirimu agar memperhatikannya, hanya sekedar janji, dan janji. Sudah beruntunglah Bapak Bupatiku, warga di kampung saya (di Batuleppa) sudah membangun sendiri jalan yang menuju pada lahan pertaniannya, tetapi pengerasan saja yang diharapkan melalui kebijakanmu, engkau nyatanya tidak mampu.

Terlebih-lebih jika saya harus mempertanyakan untuk sektor pendidikan. Betapa mirisnya hati ini, ketika saya membuka lembaran Koran Harian Tribun Timur, ternyata di salah satu Desa (kecamatan Sinjai Tengah), rupa-rupanya masih ada sekolah yang beratapkan rumbiah dan berdinding papan saja. Tidakkah engkau pernah jalan-jalan ke daerah itu. Sehingga hatimu yang kutahu juga adalah gampang tersentuh, tapi membiarkan saja Calon-calon penerus Sinjai menimba ilmu dalam keadaan yang tidak layak demikian. Ah… mungkin saja aku lagi-lagi mau dicap kekanak-kanakan.

Lantas bagaimana dengan kondisi perkebununan lada dan kakao yang pernah kuminta agar engkau juga memperhatikannya? Ketika Lada dan Kakao mereka sudah tak produktif lagi, gara-gara hama yang merusak semuanya. Kemanakah semua Pegawai Dinas Pertanian yang engkau miliki? Malaskah dia mengunjungi Petani-petani tersebut? Ataukah mereka juga acuh seperti dirimu, hingga aku harus memelas dan selalu memohon akan pengabdian pada masyarakatmu sendiri. Walau pada akhirnya permintaan itu, hilang disapu ‘angin lalu”, kami hanya dibiarkan dalam keadaan menanti, kapan dan kapan?

Bapak Bupatiku, Sabirin Yahya, yang kuhormati, bahkan aku memuliakanmu. Kita sama-sama pada tahu, kampung kita, kini sedang dilanda kekeringan,tengoklah masyarakat di sana yang lagi berjalan hingga berpuluh-puluh kilo, mencari persediaan air untuk kebutuhan rumah tangganya. Pedulikah engkau dengan penderiataan mereka dari keadaan betapa susahnya memperoleh air bersih.

Pun dirimu, wahai Bapak Bupatiku, andaikata engkau tak mampu menyediakan air bersih untuk mereka. Air kotor pun yang bisa diambil dari air sungai yang tak pernah kering, engkau bisa mengambil kebijakan, manfaatkan Dinas Pertanian untuk menyediakan mobil tangki bagi Petani yang sudah kepayahan mencari air agar bisa menyiram tanaman pertanian mereka.

Engkau harus tahu, dan kalau belum dirimu tahu akan hal ini. Lagi-lagi aku harus menyampaikan kepadamu melalui surat ini. Semoga engkau tidak lagi mengabaikannya ibarat angin lalu saja. 

Di kampung saya, di Batuleppa, sungguh banyak Petani Lada dan Petani Cengkeh yang butuh air untuk menyiram tanaman-tanaman pertanian mereka. Dan alangkah menderitanya mereka Bapak Bupatiku, sebab mencari air saja masih susah. Padahal harus Bapak Bupatiku ketahui, mereka memikul air dari jalan yang berpuluhan kilo, demi menjaga tanamannya dari kematian. 

Mereka tidak mau miskin Bapak Bupatiku. Mereka tidak mau menolak kalau anak-anaknya yang lagi kuliah di Perguruan Tinggi, lalu meminta pembayaran SPP, gara-gara tanamannya yang mengering akibat kemarau panjang, dan harus mengatakan kepada anaknya; “tidak ada uang nak karena tanaman pertanian kita yang ditujukan untuk membiayai kuliahmu semua sudah pada mati”

Bapak Bupatiku! Saya sangat mengerti akan hal ini, karena sayapun yang pernah merasakan, bahwa dari tanaman pertanianlah yang dirawat oleh orang tua dan saudaraku, hingga aku bisa menyandang anak Petani bergelar sarjana. 

Bapak Bupatiku yang kuhormati! Bahagialah kita, memiliki warga yang memiliki motivasi besar untuk menyekolahkan anak-anaknya hingga ke Perguruan Tinggi. Tapi kalau Bapak selalu saja tak peduli akan nasib pertanian mereka, bagaimana mungkin mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya. Maka dari itu aku selalu kuberharap kepadamu, bahkan aku memelas dalam kasihmu untuk semua warga Sinjai, perhatikanlah semua nasib pertanian para Petani itu.

Saya meminta maaf, bahkan kalau perlu beribu-ribu maaf, sebab lagi-lagi mengusik dirimu yang mengemban amanah sebagai pemimpin kami, untuk menyejahterakan seluruh wargamu. Perhatikanlah mereka disaat sudah memiliki niatan untuk membangun daerahnya sebagai penghasil pertanian yang terpandang dari Kabupaten-Kabupaten lainnya. 

Sebab apa sih! Yang tidak dimiliki oleh kampung kita wahai Bapak Bupatiku! Padi, Jagung, Sayur-Sayuran, Rambutan, Langsat, Durian, Cengkeh, Lada, Kakao. Mungkin Bapak saja yang tidak cermat untuk memberdayakan semua hasil pertanian itu. Padahal aku sudah berkali-kali mengingatkanmu. Masihkah engkau akan tidak peduli lagi sebagaimana dulu aku pernah menyuratimu hingga dua kali.

Di akhir surat ini, saya ingin menyatakan bahwa pada suatu hari pernah saya sangat marah kepadamu. Ketika kudapat kabar, salah satu anak miskin dari kampung kita, nyawanya sudah demikian tidak mampu tertolong, maut sudah menjemputnya tetapi lagi-lagi ada sebuah kebijakan yang salah. Sungguh tak tegah mendengar kejadian ini, mayat yang seharusnya diangkut dengan mobil ambulance tetapi karena SOP yang sudah ditentukan, jadinya mobil ambulance tersebut malah tak digunakan untuk menolong wargamu sendiri. 

Bapak Bupatiku, siapapun harus diperlakukan secara manusiawi. Jasadpun haruslah dihargai hak-haknya. Bukan membiarkan mereka dibonceng dengan sepeda motor, seolah dipaksakan dia harus hidup pada waktu itu. Meleleh air mata ini Pak! Mendengar kejadian itu, ketika jasad dari anak yang orang tuanya dalam keadaan miskin, lalu jasadnya dibonceng dalam keadaan, jarak tempuh yang cukup jauh.

Lalu sekonyong-konyong, Bapak Bupatiku mengambil kebijakan, memutasi Kepala Puskesmas tempat anak yang pernah dirawat itu. Itu kebijakan keliru Pak! Bapaklah yang seharusnya berbenah diri terhadap kebijakan dalam sektor kesehatan untuk warga kita. Mengapa tak disediakan ambulance untuk warga yang bisa digunakan kapan saja? Tindakan demikian seolah-olah hanya mencari kambing hitam, tanpa pernah tahu akan diri, siapa sebenarnya penentu kebijakan.

Kuharap melalui surat ini, kepekaan atas segala nasib kampung kita, kampung Sinjai, untuk semua warga Sinjai, tidak hanya berakhir untuk merasa iba saja. Tetapi ambillah tindakan yang bisa menyelesaikan segala keluh kesah semua warga, yang sudah terbuka semua di hadapan kita. Itulah makna Sinjai Bersatu, bukan Sinjai yang tak peduli, apalagi acuh tak acuh akan nasib warganya.





Dariku, 

yang masih kekanak-kanakan sebab lagi-lagi mengkritikmu, 

dan juga tetap bangga sebagai anak petani yang sudah sarjana


Sumber Gambar: ksdasulsel.org













Tidak ada komentar:

Posting Komentar