Sabtu, 26 September 2015 kemarin di kolom ini (Persepsi Gorontalo Post) ternyata ada yang menyangga artikel saya yang terbit sepekan sebelumnya “Napi Bebas Bersyarat (Tidak dapat) Ikut Pilkada: edisi Kamis, 17 September 2015. Sanggahan tersebut datang dari kolega saya sendiri, yaitu Sdr Apriyanto Nusa yang saat ini sudah konsetrasi mengabdi sebagai tenaga pengajar di Universitas Ichsan Gorontalo, sekaligus di institusi tersebut telah menjadi pengampu mata kuliah hukum pidana.
Sayangnya, bantahan tersebut tidak tepat sasaran dari artikel yang pernah saya tulis di kolom ini. Padahal isi pokok tulisan saya yang sudah disanggah oleh Apriyanto Nusa adalah mencari kesatupaduan antara empat peristilahan dalam hukum pidana, yaitu antara Terpidana dengan Narapidana; dan antara bebas bersyarat dengan lepas bersyarat.
Sejatinya, sebagai seorang ilmuwan harus objektif dalam berpendapat, itulah yang selama ini selalu saya usahakan dalam mempublisakan pendapat saya di berbagai media. Semoga Apriyanto Nusa kiranya juga mengemban amanah ini. oleh karena itu tidak perlulah sdr Apriyanto Nusa kiranya membanding-bandingkan kasus antara Ismet Mile dengan Ely Lasut, cukup memberikan pendapat dari segi hukumnya saja. Apatah lagi menyalahkan salah satu KPUD.
Judul Salah
Sebelum saya membantah satu persatu kekeliruan Sdr Apriyanto Nusa, saya ingin mengingatkan sdr Apriyanto Nusa terkait dengan pilihan judul untuk menyanggah tulisan saya, bahwa sdr telah salah dalam pemilihan judul berdasarkan bacaan teksnya. Judul sdr “Mantan Terpidana (Bukan) Narapidana” apakah maksud dari judul tersebut yang dapat dibaca dari dua model pelafalan? Pertama, akan terbaca “Mantan Terpidana bukan Narapidana”; Kedua, juga akan terbaca “Mantan Terpidana Narapidana”.
Saya tidak mengerti dengan pemilihan judul tersebut, karena yang logis hanya pada pelafalan Mantan Terpidana, bukan Narapidana sebagaimana sdr Apriyanto Nusa sendiri mengatakannya, bahwa tidak tepat untuk kita menggunakan istilah Mantan Terpidana karena dalam KUHP maupun UU Pemasyarakatan tidak dikenal peristilahan tersebut.
Sepertinya sdr Apriyanto tidak konsisten dalam berpendapat, sebab pada tulisannya sendiri sebelumnya, Dia mengutip Pasal 10 UU Pemasyarakatan dan disitulah terminologi Mantan Terpidana Dia temukan, bahwa setelah peralihan status Terpidana menjadi Narapidana maka pada saat itu pula status Terpidana berakhir, sehinggga konklusi yang ditarik oleh pembaca UU Pemasyarakatan bahwa disitulah di mulai lahirnya istilah Mantan Terpidana.
Sdr Apriyanto Nusa manakalah kembali memilih bahwa tidak ada istilah Mantan Terpidana dalam KUHP maupun UU Pemasyarakatan, maka hal itu sama saja telah memilih menyeberang ke garis pemikiran saya. Manakalah tidak ada istilah Mantan Terpidana dalam KUHP maupun UU pemasyarakatan berarti yang dimaksud oleh MK sejatinya memang adalah Mantan Narapidana, bukan Mantan Terpidana sebagaimana yang selama ini sdr Apriyanto kukuh dengan pendapat MK bahwa membolehkan Mantan Terpidana untuk menjadi Calon Kepala Daerah.
Bantahan Saya
Terhadap sanggahan Pertama oleh Apriyanto dalam tulisan saya, sdr mengatakan bahwa “anologi” yang dibuat oleh bapak Damang Averroes “kurang tepat” serta menjadikan kapan berakhirnya status hukum tersebut menjadi “tidak jelas”, Alasannya: jika orang yang sedang menjalani masa hukuman didalam LAPAS atau bebas bersyarat “dimaknai” sebagai Mantan Terpidana seperti dalam amar putusan Mahkamah konstitusi, maka terhadap orang yang menjalani hukuman didalam LAPAS/ bebas bersyarat pun “harus” dimaknai sebagai Mantan tersangka atau terdakwa, yang bukan sebagai “pengecualian” subjek hukum yang dilarang untuk menCalonkan sebagai Kepala Daerah berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi. Sejatinya saya tidak memiliki pendapat yang demikian, sebab pemahaman hukum yang saya bangun dalam tulisan sebelumnya perlu pelurusan makna antara Terpidana dengan Narapidana agar ke depannya tidak lagi terjadi kesalahan tafsir dalam hal penyelenggaraan Pilkada terkait putusan MK a quo. Justru saya berpendapat bahwa yang dimaksud oleh MK adalah Mantan Narapidana sehingga Calon Kepala Daerah yang masih dalam status bebas bersyarat tidak memenuhi syarat sebagai Calon Kepala Daerah, apalagi yang masih berada dalam lembaga pemasyarakatan.
Untuk sanggahan kedua, sudah saya jawab sebelumnya pada awal tulisan ini. Bahwa pendapat sdr Apriyanto Nusa, dengan mengatakan KUHP maupun Undang-Undang pemasyarakatan tidak menggunakan istilah Mantan Terpidana berarti sdr sendiri menyetujui bunyi putusan MK adalah Mantan Narapidana saja yang dapat lolos sebagai Calon Kepala Daerah, tidak untuk Narapidana bebas bersyarat (saya lebih sepakat dengan istilah lepas bersyarat) sebab statusnya masih sebagai Narapidana. Akan berbeda jika sdr Apriyanto Nusa mengatakan putusan MK dimaksudkan untuk Mantan Terpidana, dengan otomatis Narapidana Bebas Bersyarat dapat diloloskan sebagai Kepala Daerah di Pilkada 9 Desember 2015 nanti.
Berlanjut ke sanggahan Ketiga, sdr Apriyanto Nusa membantah tulisan saya sebelumnya, dengan mengatakan saya harus membuka kembali putusan MK Nomor 42/ PUU XIII/2015. Yah … saya membukanya, dan kalau perlu saya menambahkan Putusan MK yang kiranya sdr Apriyanto Nusa perlu baca semuanya sebab relevan dengan permasalahan ini. diantaranya: Putusan Nomor: 14 – 17/ PUU-V/ 2007; Putusan Nomor: 4/ PUU-VII/2009; Putusan Nomor: 120/ PUU-VII/2009; dan Putusan Nomor: 79/ PUU-X/2012.
Sdr Apriyanto tidak perlu memperdebatkan soal ada tidaknya pencabutan hak untuk dipilih harus melalui putusan pengadilan, dalam konsideran Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015, itu benar. Makanya kalau ada Mantan Narapidana pernah dicabut hak pilihnya, tetapi masa menjalani pencabutan hak untuk dipilih tersebut masih berjalan lalu sudah menyandang status Mantan Narapidana, berarti Mantan Narapidana tersebut tidak dapat menjadi konstetan Kepala Daerah. Tetapi jauh lebih penting sdr, untuk dicermati dalam amar putusan MK (terdapat pula dalam empat putusan yang saya anjurkan sdr juga baca semua) yaitu: “berlaku terbatas untuk jangka waktu lima tahun setelah Mantan Terpidana selesai menjalani hukumannya” Lalu pada syarat berikutnya lagi ditegaskan oleh MK: “dikecualikan bagi Mantan Terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik jika yang yang bersangkutan adalah Mantan Terpidana.”
Apakah maksud dari pada harus menunggu lima tahun, dan bisa tidak menunggu lima tahun manakalah Mantan Terpidana tersebut mengumumkan ke publik terkait status dirinya? Tidak lain ditujukan bagi mereka yang sudah menjalani semua masa pemidanaannya (termasuk melewati masa status bebas bersyarat tersebut) sehingga wajib menunggu lima tahun baru bisa mendaftar sebagai Calon Kepala Daerah, atau minimal baru bisa mendafatar sebagai Calon Kepala Daerah jika telah mengumumkan status dirinya ke publik, dalam hal ini ketika Mantan Narapidana tersebut tidak mau terikat dengan masa lima tahun itu.
Tahap Penghukuman
Sdr Apriyanto Nusa perlu ketahui apalagi sebagai penanggung jawab mata kuliah hukum pidana di Perguruan Tinggi, bahwa Penghukuman yang diemban oleh Pemasyarakatan pada dasarnya melalui empat tahap: identifikasi Narapidana, pembinaan mental, asimilasi, dan lepas/pembebasan. Dan ingat! masa bebas bersyarat itu masih berlaku tahap pembinaan (namanya pembinaan eksternal).
Dengan demikian pembebasan bersyarat adalah Narapidana yang sedang menjalani hukumannya berupa pembinaan Narapidana diluar Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini berarti orang yang menyandang status pembebasan bersyarat masih masuk kategori Narapidana. Sehingga mutatis mutandis tidak sesuai dengan nalar hukum pidana kita, kalau ada yang berpendapat Napi Bebas Bersyarat hendak diloloskan sebagai Calon Kepala Daerah.
Kendatipun demikian saya tidak pernah mengatakan dalam tulisan saya sebelumnya bahwa dalam putusan MK perlu adanya penafsiran teologis, tetapi dalam konteks sanggah-menyangga untuk poin ini terdapat juga kekeliruan dari pendapat sdr Apriyanto Nusa.dengan tiba-tiba sdr Apriyanto Nusa menarik kesimpulan kalau MK katanya bukanlah pembuat Undang-Undang. Lantas apa namanya kalau MK menambah klausula dalam sebuah pasal dengan dalil “inkonstitusional bersyarat” sebagaimana yang terjadi dalam Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 itu. Ada baiknya sdr Apriyanto membaca buku Hans Kelsen “Theory Of Law and State” (1973).
Dalam istilah Kelsen pada proses legislasi “recognized the need for an institution with power to control or regulate legislation. Hans Kelsen dalam uraiannya juga mengemukakan “lembaga peradilan berwenang membatalakan suatu Undang-Undang atau menyatakan suatu Undang-Undang tidak mengikat secara hukum. Dalam menjalankan fungsi ini pemegang kekuasaan kehakiman bertindak sebagai negative legislator.” Artinya MK secara negatif bertindak sebagai pembuat Undang-Undang, tetapi tidak dimungkinkan membuat secara keseluruhan dengan nomor, tahun dan nomenklatur UU. Sebab kewenangan demikian adalah fungsi positive legislator yang dimiliki oleh DPR bersama dengan Presiden
Saya tidak bisa membayangkan ke depannya, andaikata kita berdiri di pendapat sdr Apriyanto Nusa, meloloskan semua Calon Kepala Daerah yang masih berstatus bebas bersyarat dan ternyata pada akhirnya terpilih sebagai Kepala Daerah, apalagi kalau Narapidana yang menjalani masa bebas bersyarat hingga 9 bulan misalnya, lalu masih harus berurusan dengan Pihak Lembaga Pemasyarakatan; adakah jaminan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan? Dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Kepala Daerah tersebut lalu tidak lagi menuruti perintah pegawai Lembaga Pemasyarakatan. Ataukah pihak Lembaga Pemasyarakatan bisa jadi berkonspirasi dengan Kepala Daerah tidak lagi tunduk dengan sistem pemasyarakatan yang dijalankannya, karena pihak Kepala Daerah bersangkutan menyogok pembina Lembaga Pemasyarakatan tersebut. Segala kemungkinan-kemungkinan itu harus dihindari melalui pencegahan secara dini. Kita harus bijak berpendapat, agar tidak mencederai pada waktunya segala wewenang pemerintahan, termasuk menjaga kepentingan rakyat di atas konstitusi.
Sayangnya, bantahan tersebut tidak tepat sasaran dari artikel yang pernah saya tulis di kolom ini. Padahal isi pokok tulisan saya yang sudah disanggah oleh Apriyanto Nusa adalah mencari kesatupaduan antara empat peristilahan dalam hukum pidana, yaitu antara Terpidana dengan Narapidana; dan antara bebas bersyarat dengan lepas bersyarat.
Sejatinya, sebagai seorang ilmuwan harus objektif dalam berpendapat, itulah yang selama ini selalu saya usahakan dalam mempublisakan pendapat saya di berbagai media. Semoga Apriyanto Nusa kiranya juga mengemban amanah ini. oleh karena itu tidak perlulah sdr Apriyanto Nusa kiranya membanding-bandingkan kasus antara Ismet Mile dengan Ely Lasut, cukup memberikan pendapat dari segi hukumnya saja. Apatah lagi menyalahkan salah satu KPUD.
Judul Salah
Sebelum saya membantah satu persatu kekeliruan Sdr Apriyanto Nusa, saya ingin mengingatkan sdr Apriyanto Nusa terkait dengan pilihan judul untuk menyanggah tulisan saya, bahwa sdr telah salah dalam pemilihan judul berdasarkan bacaan teksnya. Judul sdr “Mantan Terpidana (Bukan) Narapidana” apakah maksud dari judul tersebut yang dapat dibaca dari dua model pelafalan? Pertama, akan terbaca “Mantan Terpidana bukan Narapidana”; Kedua, juga akan terbaca “Mantan Terpidana Narapidana”.
Saya tidak mengerti dengan pemilihan judul tersebut, karena yang logis hanya pada pelafalan Mantan Terpidana, bukan Narapidana sebagaimana sdr Apriyanto Nusa sendiri mengatakannya, bahwa tidak tepat untuk kita menggunakan istilah Mantan Terpidana karena dalam KUHP maupun UU Pemasyarakatan tidak dikenal peristilahan tersebut.
Sepertinya sdr Apriyanto tidak konsisten dalam berpendapat, sebab pada tulisannya sendiri sebelumnya, Dia mengutip Pasal 10 UU Pemasyarakatan dan disitulah terminologi Mantan Terpidana Dia temukan, bahwa setelah peralihan status Terpidana menjadi Narapidana maka pada saat itu pula status Terpidana berakhir, sehinggga konklusi yang ditarik oleh pembaca UU Pemasyarakatan bahwa disitulah di mulai lahirnya istilah Mantan Terpidana.
Sdr Apriyanto Nusa manakalah kembali memilih bahwa tidak ada istilah Mantan Terpidana dalam KUHP maupun UU Pemasyarakatan, maka hal itu sama saja telah memilih menyeberang ke garis pemikiran saya. Manakalah tidak ada istilah Mantan Terpidana dalam KUHP maupun UU pemasyarakatan berarti yang dimaksud oleh MK sejatinya memang adalah Mantan Narapidana, bukan Mantan Terpidana sebagaimana yang selama ini sdr Apriyanto kukuh dengan pendapat MK bahwa membolehkan Mantan Terpidana untuk menjadi Calon Kepala Daerah.
Bantahan Saya
Terhadap sanggahan Pertama oleh Apriyanto dalam tulisan saya, sdr mengatakan bahwa “anologi” yang dibuat oleh bapak Damang Averroes “kurang tepat” serta menjadikan kapan berakhirnya status hukum tersebut menjadi “tidak jelas”, Alasannya: jika orang yang sedang menjalani masa hukuman didalam LAPAS atau bebas bersyarat “dimaknai” sebagai Mantan Terpidana seperti dalam amar putusan Mahkamah konstitusi, maka terhadap orang yang menjalani hukuman didalam LAPAS/ bebas bersyarat pun “harus” dimaknai sebagai Mantan tersangka atau terdakwa, yang bukan sebagai “pengecualian” subjek hukum yang dilarang untuk menCalonkan sebagai Kepala Daerah berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi. Sejatinya saya tidak memiliki pendapat yang demikian, sebab pemahaman hukum yang saya bangun dalam tulisan sebelumnya perlu pelurusan makna antara Terpidana dengan Narapidana agar ke depannya tidak lagi terjadi kesalahan tafsir dalam hal penyelenggaraan Pilkada terkait putusan MK a quo. Justru saya berpendapat bahwa yang dimaksud oleh MK adalah Mantan Narapidana sehingga Calon Kepala Daerah yang masih dalam status bebas bersyarat tidak memenuhi syarat sebagai Calon Kepala Daerah, apalagi yang masih berada dalam lembaga pemasyarakatan.
Untuk sanggahan kedua, sudah saya jawab sebelumnya pada awal tulisan ini. Bahwa pendapat sdr Apriyanto Nusa, dengan mengatakan KUHP maupun Undang-Undang pemasyarakatan tidak menggunakan istilah Mantan Terpidana berarti sdr sendiri menyetujui bunyi putusan MK adalah Mantan Narapidana saja yang dapat lolos sebagai Calon Kepala Daerah, tidak untuk Narapidana bebas bersyarat (saya lebih sepakat dengan istilah lepas bersyarat) sebab statusnya masih sebagai Narapidana. Akan berbeda jika sdr Apriyanto Nusa mengatakan putusan MK dimaksudkan untuk Mantan Terpidana, dengan otomatis Narapidana Bebas Bersyarat dapat diloloskan sebagai Kepala Daerah di Pilkada 9 Desember 2015 nanti.
Berlanjut ke sanggahan Ketiga, sdr Apriyanto Nusa membantah tulisan saya sebelumnya, dengan mengatakan saya harus membuka kembali putusan MK Nomor 42/ PUU XIII/2015. Yah … saya membukanya, dan kalau perlu saya menambahkan Putusan MK yang kiranya sdr Apriyanto Nusa perlu baca semuanya sebab relevan dengan permasalahan ini. diantaranya: Putusan Nomor: 14 – 17/ PUU-V/ 2007; Putusan Nomor: 4/ PUU-VII/2009; Putusan Nomor: 120/ PUU-VII/2009; dan Putusan Nomor: 79/ PUU-X/2012.
Sdr Apriyanto tidak perlu memperdebatkan soal ada tidaknya pencabutan hak untuk dipilih harus melalui putusan pengadilan, dalam konsideran Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015, itu benar. Makanya kalau ada Mantan Narapidana pernah dicabut hak pilihnya, tetapi masa menjalani pencabutan hak untuk dipilih tersebut masih berjalan lalu sudah menyandang status Mantan Narapidana, berarti Mantan Narapidana tersebut tidak dapat menjadi konstetan Kepala Daerah. Tetapi jauh lebih penting sdr, untuk dicermati dalam amar putusan MK (terdapat pula dalam empat putusan yang saya anjurkan sdr juga baca semua) yaitu: “berlaku terbatas untuk jangka waktu lima tahun setelah Mantan Terpidana selesai menjalani hukumannya” Lalu pada syarat berikutnya lagi ditegaskan oleh MK: “dikecualikan bagi Mantan Terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik jika yang yang bersangkutan adalah Mantan Terpidana.”
Apakah maksud dari pada harus menunggu lima tahun, dan bisa tidak menunggu lima tahun manakalah Mantan Terpidana tersebut mengumumkan ke publik terkait status dirinya? Tidak lain ditujukan bagi mereka yang sudah menjalani semua masa pemidanaannya (termasuk melewati masa status bebas bersyarat tersebut) sehingga wajib menunggu lima tahun baru bisa mendaftar sebagai Calon Kepala Daerah, atau minimal baru bisa mendafatar sebagai Calon Kepala Daerah jika telah mengumumkan status dirinya ke publik, dalam hal ini ketika Mantan Narapidana tersebut tidak mau terikat dengan masa lima tahun itu.
Tahap Penghukuman
Sdr Apriyanto Nusa perlu ketahui apalagi sebagai penanggung jawab mata kuliah hukum pidana di Perguruan Tinggi, bahwa Penghukuman yang diemban oleh Pemasyarakatan pada dasarnya melalui empat tahap: identifikasi Narapidana, pembinaan mental, asimilasi, dan lepas/pembebasan. Dan ingat! masa bebas bersyarat itu masih berlaku tahap pembinaan (namanya pembinaan eksternal).
Dengan demikian pembebasan bersyarat adalah Narapidana yang sedang menjalani hukumannya berupa pembinaan Narapidana diluar Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini berarti orang yang menyandang status pembebasan bersyarat masih masuk kategori Narapidana. Sehingga mutatis mutandis tidak sesuai dengan nalar hukum pidana kita, kalau ada yang berpendapat Napi Bebas Bersyarat hendak diloloskan sebagai Calon Kepala Daerah.
Kendatipun demikian saya tidak pernah mengatakan dalam tulisan saya sebelumnya bahwa dalam putusan MK perlu adanya penafsiran teologis, tetapi dalam konteks sanggah-menyangga untuk poin ini terdapat juga kekeliruan dari pendapat sdr Apriyanto Nusa.dengan tiba-tiba sdr Apriyanto Nusa menarik kesimpulan kalau MK katanya bukanlah pembuat Undang-Undang. Lantas apa namanya kalau MK menambah klausula dalam sebuah pasal dengan dalil “inkonstitusional bersyarat” sebagaimana yang terjadi dalam Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 itu. Ada baiknya sdr Apriyanto membaca buku Hans Kelsen “Theory Of Law and State” (1973).
Dalam istilah Kelsen pada proses legislasi “recognized the need for an institution with power to control or regulate legislation. Hans Kelsen dalam uraiannya juga mengemukakan “lembaga peradilan berwenang membatalakan suatu Undang-Undang atau menyatakan suatu Undang-Undang tidak mengikat secara hukum. Dalam menjalankan fungsi ini pemegang kekuasaan kehakiman bertindak sebagai negative legislator.” Artinya MK secara negatif bertindak sebagai pembuat Undang-Undang, tetapi tidak dimungkinkan membuat secara keseluruhan dengan nomor, tahun dan nomenklatur UU. Sebab kewenangan demikian adalah fungsi positive legislator yang dimiliki oleh DPR bersama dengan Presiden
Saya tidak bisa membayangkan ke depannya, andaikata kita berdiri di pendapat sdr Apriyanto Nusa, meloloskan semua Calon Kepala Daerah yang masih berstatus bebas bersyarat dan ternyata pada akhirnya terpilih sebagai Kepala Daerah, apalagi kalau Narapidana yang menjalani masa bebas bersyarat hingga 9 bulan misalnya, lalu masih harus berurusan dengan Pihak Lembaga Pemasyarakatan; adakah jaminan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan? Dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Kepala Daerah tersebut lalu tidak lagi menuruti perintah pegawai Lembaga Pemasyarakatan. Ataukah pihak Lembaga Pemasyarakatan bisa jadi berkonspirasi dengan Kepala Daerah tidak lagi tunduk dengan sistem pemasyarakatan yang dijalankannya, karena pihak Kepala Daerah bersangkutan menyogok pembina Lembaga Pemasyarakatan tersebut. Segala kemungkinan-kemungkinan itu harus dihindari melalui pencegahan secara dini. Kita harus bijak berpendapat, agar tidak mencederai pada waktunya segala wewenang pemerintahan, termasuk menjaga kepentingan rakyat di atas konstitusi.
Damang Averroes Al-Khawarizmi |