Kolega saya sebagai team penulis dalam mengelola website negarahukum.com, Wiwin Suwandi menulis di harian Media Indonesia, 12/8, “Calon Tunggal dan Kritik Multipartai”. Gagasan inti yang ditawarkan oleh Wiwin Suwandi dalam tulisannya, adalah menawarkan opsi dalam bentuk pemaksaan terhadap Partai Politik agar mengajukan calon Kepala Daerah yang berbeda. Preposisi hukum ini dibangun dengan dalil, “karena Partai Politik menjalankan fungsi “rekrutmen dan kaderisasi” maka konon katanya secara konstitusional, Partai Politik benar adanya jika dilakukan pemaksaan untuk mengusulkan calon-calon mereka.”
Sedikit saya mengoreksi, Wiwin Suwandi hanya menawarkan satu opsi dalam hal menyoroti calon tunggal, yaitu opsi pemaksaan Parpol mengajukan calon-calonnya. Sedangkan revisi Undang-Undang dan Perppu untuk mencari solusi terkait sengkarut calon tunggal Kepala Daerah itu bukan dalam klasifikasi opsi, tetapi jalan untuk mengakomodasi berbagi opsi yang banyak ditawarkan saat ini.
Partai Politik
Bahwa memang benar adanya Partai Politik dalam Undang-Undang yang terkait, telah ditegaskan fungsi Parpol yang telah disebutkan oleh Wiwin Suwandi. Namun mengkaji kepartaian sebagai satu-satunya suprastruktur demokrasi, kendati Parpol yang satu-satunya mendapat legitimasi konstitusional “prevelige constitution”, intervensi negara tidak boleh menimbulkan kesewenang-wenangan terhadap Partai Politik itu. Angin reformasi telah membuka “keran kebebasan” terhadap Partai Politik agar tidak lagi “terlalu” dicampuri oleh kekuasaan.
Partai Politik haruslah dipahami sebagai perpanjangan tangan daulat rakyat, sebagai wajah-wajah dari seluruh rakyat Indonesia kemudian melebur dalam satu lembaga yang bernama Partai Politik. Jika warga negara tidak dapat dipaksakan hak-haknya oleh negara untuk menunaikannya, maka dalam konteks itu Partai Politik sebagai pengejawantahan “individu-individu” yang bergabung dalam sebuah komunitas juga tidak dapat dipaksakan untuk menunaikan hak-haknya. Negara bisa saja membatasi hak-hak warga negaranya, tetapi mustahil dapat memaksakan untuk menunaikan hak-hak dari warga negara itu.
Alhasil, jika kita masih bersikukuh “memaksa parpol agar mengajukan calon-calon mereka, dengan kewajiban harus mengusung calon yang berbeda.” Maka studi yang pertama-tama harus dilakukan, adalah mengubah hak dari Partai Politik itu untuk mengajukan calon Kepala Daerah menjadi sebuah “kewajiban”. Bagaimana caranya? Benang merahnya atau dasar falsafatinya harus digali dari prinsip dasar negara hukum yang membuka “pintu” bagi negara melakukan “intervensi” demi mewujudkan negara hukum demokratis (negara hukum kesejahteraan).
Hanya saja, argumentasi hukum tersebut masih membuka peluang bagi Partai Politik untuk melakukan uji hak konstitusional, manakalah gegabah menerapkan regulasi pemaksaan terhadap mereka untuk mengajukan calon Kepala Daerah. Bukankah konstitusi pun menyebutkan secara tegas “bersamaan kedudukannya dalam pemerintahan”? dan frasa “kedudukan” a quo bermakna sebagai hak.
Terlebih-lebih lagi, kelemahan solusi mengatasi calon tunggal dengan pemaksaan Partai Politik mengajukan calon berbeda, sulit dilepaskan dari munculnya calon boneka. Partai Politik boleh jadi kelihatan “legowo” mengajukan calonnya, tetapi siapa yang bisa menyangka di panggung belakang mereka sudah menjalin transaksi di level elit dengan mengajukan calon boneka, sekedar memenuhi dua pasangan calon saja. Pun model “transaksi” ini harus dipikirkan bersama, bagaimana cara mengatasinya, sebab tindak-tanduk demikian merupakan “anak haram” dari pesta demokrasi yang dicita-citakan untuk mewujudkan daulat rakyat.
Lantik Langsung
Sedikit saya mengoreksi, Wiwin Suwandi hanya menawarkan satu opsi dalam hal menyoroti calon tunggal, yaitu opsi pemaksaan Parpol mengajukan calon-calonnya. Sedangkan revisi Undang-Undang dan Perppu untuk mencari solusi terkait sengkarut calon tunggal Kepala Daerah itu bukan dalam klasifikasi opsi, tetapi jalan untuk mengakomodasi berbagi opsi yang banyak ditawarkan saat ini.
Partai Politik
Bahwa memang benar adanya Partai Politik dalam Undang-Undang yang terkait, telah ditegaskan fungsi Parpol yang telah disebutkan oleh Wiwin Suwandi. Namun mengkaji kepartaian sebagai satu-satunya suprastruktur demokrasi, kendati Parpol yang satu-satunya mendapat legitimasi konstitusional “prevelige constitution”, intervensi negara tidak boleh menimbulkan kesewenang-wenangan terhadap Partai Politik itu. Angin reformasi telah membuka “keran kebebasan” terhadap Partai Politik agar tidak lagi “terlalu” dicampuri oleh kekuasaan.
Partai Politik haruslah dipahami sebagai perpanjangan tangan daulat rakyat, sebagai wajah-wajah dari seluruh rakyat Indonesia kemudian melebur dalam satu lembaga yang bernama Partai Politik. Jika warga negara tidak dapat dipaksakan hak-haknya oleh negara untuk menunaikannya, maka dalam konteks itu Partai Politik sebagai pengejawantahan “individu-individu” yang bergabung dalam sebuah komunitas juga tidak dapat dipaksakan untuk menunaikan hak-haknya. Negara bisa saja membatasi hak-hak warga negaranya, tetapi mustahil dapat memaksakan untuk menunaikan hak-hak dari warga negara itu.
Alhasil, jika kita masih bersikukuh “memaksa parpol agar mengajukan calon-calon mereka, dengan kewajiban harus mengusung calon yang berbeda.” Maka studi yang pertama-tama harus dilakukan, adalah mengubah hak dari Partai Politik itu untuk mengajukan calon Kepala Daerah menjadi sebuah “kewajiban”. Bagaimana caranya? Benang merahnya atau dasar falsafatinya harus digali dari prinsip dasar negara hukum yang membuka “pintu” bagi negara melakukan “intervensi” demi mewujudkan negara hukum demokratis (negara hukum kesejahteraan).
Hanya saja, argumentasi hukum tersebut masih membuka peluang bagi Partai Politik untuk melakukan uji hak konstitusional, manakalah gegabah menerapkan regulasi pemaksaan terhadap mereka untuk mengajukan calon Kepala Daerah. Bukankah konstitusi pun menyebutkan secara tegas “bersamaan kedudukannya dalam pemerintahan”? dan frasa “kedudukan” a quo bermakna sebagai hak.
Terlebih-lebih lagi, kelemahan solusi mengatasi calon tunggal dengan pemaksaan Partai Politik mengajukan calon berbeda, sulit dilepaskan dari munculnya calon boneka. Partai Politik boleh jadi kelihatan “legowo” mengajukan calonnya, tetapi siapa yang bisa menyangka di panggung belakang mereka sudah menjalin transaksi di level elit dengan mengajukan calon boneka, sekedar memenuhi dua pasangan calon saja. Pun model “transaksi” ini harus dipikirkan bersama, bagaimana cara mengatasinya, sebab tindak-tanduk demikian merupakan “anak haram” dari pesta demokrasi yang dicita-citakan untuk mewujudkan daulat rakyat.
Lantik Langsung
Berpijak dengan anasir-anasir di atas, saya menyimpulkan dan berdiri dalam pendapat yang pada hakikatnya berbeda dengan Wiwin Suwandi. Pemaksaan terhadap Parpol untuk mengajukan calon berbeda adalah pengingkaran terhadap hak fundamental yang melekat dalam Parpol. Dalam kondisi apapun mustahil negara dapat memaksakan agar “hak” segera ditunaikan.
Dan setelah saya menimbang-nimbang dengan matang, tampaknya dari semua opsi yang ada saat ini dalam mensiasati calon tunggal Kepala Daerah, adalah melantik langsung menjadi solusi yang lebih kecil mudharatnya. Pelantikan langsung calon dapat mengatasi “konspirasi para elit” untuk menyandera demokrasi. Berikut saya kemukakan “racio legisnya”
Pertama, melalui penafsiran historical, pelantikan langsung calon tunggal dalam regim sepuluh tahun Pilkada, tidak pernah terjadi hanya tersedia calon tunggal Kepala Daerah. Hal ini berarti, asumsi calon tunggal yang bisa langsung dilantik memungkinkan terjadinya “transaksi elit” tidak dapat terverifikasi. Malah sebaliknya, sejumlah Parpol yang hobi “menjegal demokrasi” pada akhirnya memajukan calonnya agar bisa menghambat calon tunggal yang sedianya bisa langsung dilantik. Pada poin ini bisa dikatakan hukum yang menyediakan alternatif pelantikan langsung calon tunggal, dapat mengkonversi Partai Politik kembali kesifat asalinya menjadi demokratis.
Kedua, pelantikan langsung calon tunggal paling cocok dengan regim Pilkada serentak. Dengan melalui pelantikan langsung calon tunggal, tidak akan mengganggu jadwal Pilkada serentak dan anggaran pembiayaan Pilkada dipastikan tidak akan membengkak.
Ketiga, tidak melanggar UUD NRI 1945 oleh karena prinsip demokrasi atas nama daulat rakyat tetap dalam bingkai prinsip negara hukum. Pada sesungguhnya yang harus dipahami bersama, guna meluruskan kesimpangsiuran makna “daulat rakyat” selama ini, adalah terletak pada calon yang tersedia berdasarkan tahapan-tahapan yang telah disediakan oleh perangkat Pilkada (KPU/D), di situlah daulat rakyat hadir dalam maujudnya. Hak untuk memilih hanya akan muncul jika ada hak untuk dipilih. Logikanya jika memang hanya tersedia satu yang bersedia untuk dipilih, itulah pilihan daulat rakyat.
Kiranya jika opsi pelantikan langsung calon tunggal kembali akan dihidupkan regulasinya, seyogianya regulasi untuk pelantikan langsung calon tunggal harus memiliki batasan-batasan.
Batasan-batasannya yaitu: calon tunggal hanya bisa langsung dilantik, dalam ihwal penyelenggara Pilkada telah menurunkan syarat pengetatan verfikasi calon Kepala Daerah, seperti dukungan kursi perwakilan Parpol atau dukungan calon perseorangan telah diturunkan kuantitasnya.*
Dan setelah saya menimbang-nimbang dengan matang, tampaknya dari semua opsi yang ada saat ini dalam mensiasati calon tunggal Kepala Daerah, adalah melantik langsung menjadi solusi yang lebih kecil mudharatnya. Pelantikan langsung calon dapat mengatasi “konspirasi para elit” untuk menyandera demokrasi. Berikut saya kemukakan “racio legisnya”
Pertama, melalui penafsiran historical, pelantikan langsung calon tunggal dalam regim sepuluh tahun Pilkada, tidak pernah terjadi hanya tersedia calon tunggal Kepala Daerah. Hal ini berarti, asumsi calon tunggal yang bisa langsung dilantik memungkinkan terjadinya “transaksi elit” tidak dapat terverifikasi. Malah sebaliknya, sejumlah Parpol yang hobi “menjegal demokrasi” pada akhirnya memajukan calonnya agar bisa menghambat calon tunggal yang sedianya bisa langsung dilantik. Pada poin ini bisa dikatakan hukum yang menyediakan alternatif pelantikan langsung calon tunggal, dapat mengkonversi Partai Politik kembali kesifat asalinya menjadi demokratis.
Kedua, pelantikan langsung calon tunggal paling cocok dengan regim Pilkada serentak. Dengan melalui pelantikan langsung calon tunggal, tidak akan mengganggu jadwal Pilkada serentak dan anggaran pembiayaan Pilkada dipastikan tidak akan membengkak.
Ketiga, tidak melanggar UUD NRI 1945 oleh karena prinsip demokrasi atas nama daulat rakyat tetap dalam bingkai prinsip negara hukum. Pada sesungguhnya yang harus dipahami bersama, guna meluruskan kesimpangsiuran makna “daulat rakyat” selama ini, adalah terletak pada calon yang tersedia berdasarkan tahapan-tahapan yang telah disediakan oleh perangkat Pilkada (KPU/D), di situlah daulat rakyat hadir dalam maujudnya. Hak untuk memilih hanya akan muncul jika ada hak untuk dipilih. Logikanya jika memang hanya tersedia satu yang bersedia untuk dipilih, itulah pilihan daulat rakyat.
Kiranya jika opsi pelantikan langsung calon tunggal kembali akan dihidupkan regulasinya, seyogianya regulasi untuk pelantikan langsung calon tunggal harus memiliki batasan-batasan.
Batasan-batasannya yaitu: calon tunggal hanya bisa langsung dilantik, dalam ihwal penyelenggara Pilkada telah menurunkan syarat pengetatan verfikasi calon Kepala Daerah, seperti dukungan kursi perwakilan Parpol atau dukungan calon perseorangan telah diturunkan kuantitasnya.*
Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
Owner negarahukum.com
Damang Averroes Al-Khawarizmi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar