Pernahkah anda melihat atau minimal terlibat sebagai aktivis Islam; mempropagandakan “save Palestina, save Gaza, save Rohingya”? Pernahkah anda melibatkan diri menggunakan atribut partai, turun ke jalan menyatakan simpati terhadap saudara-saudara kita yang sedang dirampas harta, tanah, negeri dan nyawanya di luar sana karena meraka beragama Islam, sama denga agama anda?
Kendati aksi itu kadang sulit dilepaskan dari panggung untuk mengumpulkan massa elektoral saja. Tapi yang pasti, ini semua berawal dari rasa senasib sepenanggungan dengan mereka. Bahwa kita berasal dari agama, kitab dan keyakinan yang sama.
Hari ini, substansi dasar yang selalu diperjuangkan itu tidak lagi menjadi rumit untuk menunaikannya, dengan sekedar menggalang “isu”. Anda bisa mewujudkan secara langsung janji-janji kemarin yang pernah anda teriakan. Jangan sampai apa yang pernah anda “gelorakan” kini tak mampu dibuktikan dalam dalam wilayah praksis.
Mereka telah datang di negeri ini, di tanah air Indonesia. Meninggalkan tanah kelahirannya, karena di Myanmar hidupnya tak lagi aman. Status kewarganegaraannya tidak jelas hanya karena persoalan agama yang mereka peluk tergolong minoritas ganda.
Perlu kita ketahui bersama bahwa alasan para pengungsi Rohingya berduyun-duyun datang ke Indonesia, tidak sembarang menjatuhkan pilihannya untuk berlabuh di negeri kita. Negeri ini adalah negeri yang menjunjung tinggi persamaan, keluhuran budi, dan keramah-tamahan untuk siapa saja. Bahkan alasan yang paling rasional, bumi persada Indonesia dihuni jutaan penduduknya beragama yang sama (Islam) dengan etnis Rohingya itu.
Oleh karena mereka dikecam di negerinya sendiri, maka tak sudilah Ia bermukim di bawah kendali pemerintahan otoritarian. Kemudi perahu kayu yang tak layak mengarungi samudera tidaklah menjadi penghalang meninggalkan tanah kelahirannya sendiri. Di tengah laut bebas, sekali-kali ombak bisa menghempas dan meretakkan perahunya, sekeping asa tetap tersimpan, kelak ada orang bermurah hati yang akan menyelematkan nyawanya.
Ironisnya, kaum elit di negeri ini kalah simpatik oleh warga negara yang tergolong papa. Hanya berprofesi sebagai nelayan tanpa jaminan pensiun tapi mereka berani menyelamatkan kaum imigran Rohingya. Mereka tak pernah peduli, kalau negaranya tak membolehkan warga negara asing datang tanpa dokumen administrasi yang lengkap. Mereka tak mau tahu tentang Konvensi pengungsi yang tidak pernah kita ratifikasi, tetapi piliahannya “menolong” orang, semata-mata karena persaudaraan.
Pintu Surga
Lalu sebuah kepiluan menyayat hati, ternyata ribuan orang Rohingya yang sempat terselamatkan oleh Nelayan Indonesia. Terselip kabar, tak kurang diantara mereka telah meninggal di tengah perjalanan. Ada yang meninggal karena perahunya dihempas badai gelombang laut. Ada yang menjadi yatim piatu karena kedua orang tuanya telah meninggal gara-gara persediaan bekal sudah habis, kelaparan melanda sehingga maut terpaksa menjemputnya.
Dipuncak kepedihan itulah terbuka pintu surga bagi mereka yang ingin menolong ribuan orang Rohingya. Perlakuan diskriminan yang dialami di negerinya, sehingga memilih berlabuh di Aceh, maka tanah serambi Mekah kini telah berubah menjadi serambi surga bagi siapapun yang peduli dengannya.
Pada sesungguhnya Tuhan tidak hanya menguji kadar keimanan kita dikala mendatangkan kaum yang memiliki persamaan “kiblat” dengan mereka. Lebih dari pada itu, pertanda sebuah peringatan untuk membuktikan dengan tindakan, bagi siapa saja yang selalu bersoloroh akan “membela saudaranya” hanya sebatas kata tapi nihil perbuatan karena terkendala persoalan jarak.
Kini orang-orang yang kau bela dari kemarin, mereka datang dengan kuasa Tuhan, “menuntut” engkau menunaikan janji agar berani membuktikan; benarkah kita bersaudara; benarkah islam diantara pemeluknya akan menjalankan “ukhuwah-islamiah”; apakah kita dapat berpegang pada satu keyakinan: bahwa diantara sesama Islam ibarat satu tubuh; manakalah ada bagian tubuh yang sakit, maka semua tubuh akan terasa sakit pula?
Tuhan tidak hanya memerlukan sembah, namun juga memerlukan empati pada ciptaan-Nya yang paling cerdas terhadap saudaranya yang sedang dirundung duka. Mayoritas Muslim di negeri ini manakalah mengaku percaya kepada Tuhan, maka kesalehannya pun harus dibuktikan dengan aksi kemanusiaan. Kita dituntut untuk mendermakan harta sebanyak-banyaknya kepada ribuan orang Rohingya yang hidupnya tertatih-tatih dalam berebut jatah makan, sehari kadang tidaklah cukup.
Di sinilah momentumnya ummat Islam bisa merasakan kesucian tanah Hajar Aswad tat kala aksi kemanusiaan diujukan untuk orang Rohingya. Rupiah bersayap uang kertas dalam rupa sedekah akan mengalahkan nikmatnya peregukan spiritual dengan mengunjungi tanah Suci sekedar beroleh karomah umrah dan haji. Pintu surga rohingya kini terpancang dekat di hadapan kita. Ada banyak kelompok yang menaruh simpatik, mengajak anda untuk mengulurkan sedekah kepada mereka, anda bisa menyumbang tanpa melalui perantara, anda juga bisa menyumbang melalui dompet duafa; nomor rekening yang terdaftar untuk etnis pengungsi itu.
Etos Malaikat
Mendermakan harta sebagai aksi kemanusiaan yang bisa mengantarkan kepada ummat Islam, tidak sekedar berebut pahala dan jatah surgawi, tetapi sedekah yang diberikan dalam suasana ketulusan hati, menunjukan manusia telah bertindak lebih dari sekedar manusia, manusia telah menunjukan kelebihannya melampaui etos malaikat, karena telah berhasil melawan keserakahan dirinya pada harta.
Hal demikian juga berlaku pada ribuan orang Rohingya yang sedang mengadu peruntungan hidup di negeri kita. Karena agama Islam yang mereka peluk, sungguh akan merasakan kelimpahan rahmat dan berkah Ilahi, dari sesama saudaranya yang berada dalam satu ikatan.
Malaikat penolong sedang datang memenuhi doa dan harapanya selama ini, toh kemana kaki mendayung, seanteror dunia, Islam akan tetap menampakan keistimewaannya untuk berderma sesama.
Kendati Perhimpunan dunia bernama PBB pernah menancapakan deklarasinya: “setiap orang berhak beribadat dan beragama menurut kepercayaannnya.” Organisasi dunia itu seolah tak memiliki kuasa. Bahwa tanpa resoulusi pun warga negara Indonesia ternyata mampu berdiri “dipanggung depan” memperjuangkan hak-hak asasi manusia.
Persetan dengan PBB, omong kosong dengan segala ihwal konvensi dunia, kini tak ada guna memikirkan konvensi pengungsi; Islam tetap Islam. Dimanapun berada, Islam tetaplah suci, Islam tetap damai, Islam selalu mengutamakan persamaan, Islam tak mengenal kebencian. Siapapun diantara kita yang butuh pertolongan dalam hal kebajikan maka tolonglah mereka, jangan pandang suku, ras, bahkan agamanya. Pintu surga dan kebajikan selalu terbuka dimana-mana.*
Kendati aksi itu kadang sulit dilepaskan dari panggung untuk mengumpulkan massa elektoral saja. Tapi yang pasti, ini semua berawal dari rasa senasib sepenanggungan dengan mereka. Bahwa kita berasal dari agama, kitab dan keyakinan yang sama.
Hari ini, substansi dasar yang selalu diperjuangkan itu tidak lagi menjadi rumit untuk menunaikannya, dengan sekedar menggalang “isu”. Anda bisa mewujudkan secara langsung janji-janji kemarin yang pernah anda teriakan. Jangan sampai apa yang pernah anda “gelorakan” kini tak mampu dibuktikan dalam dalam wilayah praksis.
Mereka telah datang di negeri ini, di tanah air Indonesia. Meninggalkan tanah kelahirannya, karena di Myanmar hidupnya tak lagi aman. Status kewarganegaraannya tidak jelas hanya karena persoalan agama yang mereka peluk tergolong minoritas ganda.
Perlu kita ketahui bersama bahwa alasan para pengungsi Rohingya berduyun-duyun datang ke Indonesia, tidak sembarang menjatuhkan pilihannya untuk berlabuh di negeri kita. Negeri ini adalah negeri yang menjunjung tinggi persamaan, keluhuran budi, dan keramah-tamahan untuk siapa saja. Bahkan alasan yang paling rasional, bumi persada Indonesia dihuni jutaan penduduknya beragama yang sama (Islam) dengan etnis Rohingya itu.
Oleh karena mereka dikecam di negerinya sendiri, maka tak sudilah Ia bermukim di bawah kendali pemerintahan otoritarian. Kemudi perahu kayu yang tak layak mengarungi samudera tidaklah menjadi penghalang meninggalkan tanah kelahirannya sendiri. Di tengah laut bebas, sekali-kali ombak bisa menghempas dan meretakkan perahunya, sekeping asa tetap tersimpan, kelak ada orang bermurah hati yang akan menyelematkan nyawanya.
Ironisnya, kaum elit di negeri ini kalah simpatik oleh warga negara yang tergolong papa. Hanya berprofesi sebagai nelayan tanpa jaminan pensiun tapi mereka berani menyelamatkan kaum imigran Rohingya. Mereka tak pernah peduli, kalau negaranya tak membolehkan warga negara asing datang tanpa dokumen administrasi yang lengkap. Mereka tak mau tahu tentang Konvensi pengungsi yang tidak pernah kita ratifikasi, tetapi piliahannya “menolong” orang, semata-mata karena persaudaraan.
Pintu Surga
Lalu sebuah kepiluan menyayat hati, ternyata ribuan orang Rohingya yang sempat terselamatkan oleh Nelayan Indonesia. Terselip kabar, tak kurang diantara mereka telah meninggal di tengah perjalanan. Ada yang meninggal karena perahunya dihempas badai gelombang laut. Ada yang menjadi yatim piatu karena kedua orang tuanya telah meninggal gara-gara persediaan bekal sudah habis, kelaparan melanda sehingga maut terpaksa menjemputnya.
Dipuncak kepedihan itulah terbuka pintu surga bagi mereka yang ingin menolong ribuan orang Rohingya. Perlakuan diskriminan yang dialami di negerinya, sehingga memilih berlabuh di Aceh, maka tanah serambi Mekah kini telah berubah menjadi serambi surga bagi siapapun yang peduli dengannya.
Pada sesungguhnya Tuhan tidak hanya menguji kadar keimanan kita dikala mendatangkan kaum yang memiliki persamaan “kiblat” dengan mereka. Lebih dari pada itu, pertanda sebuah peringatan untuk membuktikan dengan tindakan, bagi siapa saja yang selalu bersoloroh akan “membela saudaranya” hanya sebatas kata tapi nihil perbuatan karena terkendala persoalan jarak.
Kini orang-orang yang kau bela dari kemarin, mereka datang dengan kuasa Tuhan, “menuntut” engkau menunaikan janji agar berani membuktikan; benarkah kita bersaudara; benarkah islam diantara pemeluknya akan menjalankan “ukhuwah-islamiah”; apakah kita dapat berpegang pada satu keyakinan: bahwa diantara sesama Islam ibarat satu tubuh; manakalah ada bagian tubuh yang sakit, maka semua tubuh akan terasa sakit pula?
Tuhan tidak hanya memerlukan sembah, namun juga memerlukan empati pada ciptaan-Nya yang paling cerdas terhadap saudaranya yang sedang dirundung duka. Mayoritas Muslim di negeri ini manakalah mengaku percaya kepada Tuhan, maka kesalehannya pun harus dibuktikan dengan aksi kemanusiaan. Kita dituntut untuk mendermakan harta sebanyak-banyaknya kepada ribuan orang Rohingya yang hidupnya tertatih-tatih dalam berebut jatah makan, sehari kadang tidaklah cukup.
Di sinilah momentumnya ummat Islam bisa merasakan kesucian tanah Hajar Aswad tat kala aksi kemanusiaan diujukan untuk orang Rohingya. Rupiah bersayap uang kertas dalam rupa sedekah akan mengalahkan nikmatnya peregukan spiritual dengan mengunjungi tanah Suci sekedar beroleh karomah umrah dan haji. Pintu surga rohingya kini terpancang dekat di hadapan kita. Ada banyak kelompok yang menaruh simpatik, mengajak anda untuk mengulurkan sedekah kepada mereka, anda bisa menyumbang tanpa melalui perantara, anda juga bisa menyumbang melalui dompet duafa; nomor rekening yang terdaftar untuk etnis pengungsi itu.
Etos Malaikat
Mendermakan harta sebagai aksi kemanusiaan yang bisa mengantarkan kepada ummat Islam, tidak sekedar berebut pahala dan jatah surgawi, tetapi sedekah yang diberikan dalam suasana ketulusan hati, menunjukan manusia telah bertindak lebih dari sekedar manusia, manusia telah menunjukan kelebihannya melampaui etos malaikat, karena telah berhasil melawan keserakahan dirinya pada harta.
Hal demikian juga berlaku pada ribuan orang Rohingya yang sedang mengadu peruntungan hidup di negeri kita. Karena agama Islam yang mereka peluk, sungguh akan merasakan kelimpahan rahmat dan berkah Ilahi, dari sesama saudaranya yang berada dalam satu ikatan.
Malaikat penolong sedang datang memenuhi doa dan harapanya selama ini, toh kemana kaki mendayung, seanteror dunia, Islam akan tetap menampakan keistimewaannya untuk berderma sesama.
Kendati Perhimpunan dunia bernama PBB pernah menancapakan deklarasinya: “setiap orang berhak beribadat dan beragama menurut kepercayaannnya.” Organisasi dunia itu seolah tak memiliki kuasa. Bahwa tanpa resoulusi pun warga negara Indonesia ternyata mampu berdiri “dipanggung depan” memperjuangkan hak-hak asasi manusia.
Persetan dengan PBB, omong kosong dengan segala ihwal konvensi dunia, kini tak ada guna memikirkan konvensi pengungsi; Islam tetap Islam. Dimanapun berada, Islam tetaplah suci, Islam tetap damai, Islam selalu mengutamakan persamaan, Islam tak mengenal kebencian. Siapapun diantara kita yang butuh pertolongan dalam hal kebajikan maka tolonglah mereka, jangan pandang suku, ras, bahkan agamanya. Pintu surga dan kebajikan selalu terbuka dimana-mana.*
Sumber Gambar: republika.co.id |
Responses
0 Respones to "Pintu Surga untuk Rohingya"
Posting Komentar