Bertepatan 17 Juni 2015, genap sudah tiga tahun kepergian Begawan Sosiologi Hukum “berkacamata” itu. Dialah Professor Dr. Achmad Ali, S.H, M.H. (Prof. AA), beribu salut dan rasa kagum kepadamu. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya.
Sungguh! Tak ada alasan untuk tidak merasa “berdecak kagum” kepada beliau, sebab kemanapun dia melangkah semenjak hidupnya, ketenaran dan popularitas tak pernahlah membuatnya “enggan” untuk mengakui kalau dirinya adalah alumni Fakultas Hukum Unhas yang berasal dari Timur, bahwa darah Bugis Makassar-lah senantiasa mengalir dalam dirinya.
Rupa-rupanya benarlah tetuah ternyata selama ini, kehilangan akan benar-benar terasa ketika orang itu telah meninggalkan kita selama-lamanya, mungkin saja saya termasuk berada dalam “jerat” petuah ini. Hingga kini belum ada yang bisa menggantikannya atas jejak-jejak pengabdian untuk Juris merah Fakultas Hukum (FH) Unhas. Itupun kalau sudah ada tokoh pembesar lainnya yang menancapkan kaki di tingkat nasional, terlalu lancang mulut ini kalau “terpaksa” mengatakan “belum setaraf pengabdian Prof. AA yang mengabdikan hidupnya semata-mata untuk pendidikan, bahkan untuk negara ini.”
Menghirup Kembali
Maka dari itu sebuah kesengajaan kemudian saya memilih judul opini melalui tulisan ini “Menghirup Kembali Roh Alm. Prof. AA” karena pertama kali mengenal sosoknya, disela-sela peluncuran tiga karyanya (Meluruskan Jalan Reformasi Hukum, Keterpurukan Hukum Indonesia, & Sosiologi Hukum Kajian Empiris terhadap Pengadilan), waktu itu saya yang masih berkepala “culung” tema peluncuran buku Prof. AA adalah “Menghirup Kembali Roh Alm. Baharuddin Lopa.”
Dugaan saya, Guru Besar bertubuh mungil itu memilih tema demikian, bersamaan dengan peluncuran bukunya, sudah pasti sebagai rangkaian penghormatan besar kepada Gurunya. Setali tiga uang, demikian halnya melalui tulisan ini, semata-mata juga kutujukan kepada Prof. AA sebagai Guru yang bisa dikata belum ada tandingannya di Fakultas hukum Unhas.
Ya..! “menghirup kembali” jasa-jasa dan kebaikan Prof. AA, saat ini sangat pantas untuk kita lakukan, terlebih-lebih FH Unhas, saya kira wajib adanya “menghidupkan kembali” jiwa-jiwa Achmad Ali buat calon-calon pendekar hukum selanjutnya.
Sebab kenapa? Hanyalah Prof. AA, satu-satunya guru besar FH Unhas yang “besar” namanya karena memiliki pembuktian melalui karya-karya melalui 29 judul bukunya. Prof. AA bukanlah guru yang pelit ilmu, semua literatur-literatur asing yang pernah “dilahap” olehnya, sebahagian disadur dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia lalu dibagi-bagikan kepada Mahasiswa dan rekan sejawatnya. Hanyalah dimasa hidupnya Prof. AA juris merah selalu kaya dengan pemikiran hukum kontemporer. Ketika beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia belum banyak yang mempopulerkan “hermeneutika hukum” lebih awal atas keikhlasan dan ketulusannya berbagi ilmu di FH Unhas istilah itu diperkenalkan. Bahkan teori hukum termutakhir sebelum kadung maut menjemputnya, hanya karena kegigihan Prof. AA merogok kocek untuk membeli buku-buku berbahasa asing, maka teori Werner Menski “Triangular Concept of Legal Pluralism” pertama kalinya juga dikenal di FH Unhas.
Lebih dari pada semua itu, termasuk pun kalau anda membenci sosok Prof. AA karena berbeda pendapat dengannya, sulit anda untuk melepaskan diri dari pengaruhnya. Boleh jadi karena Prof. AA-lah anda menjadi hebat, berani, dan lantang bertutur seperti dirinya. Prof. AA adalah guru di atas maha guru, yang mengajarkan kepada anda untuk berani tampil menyampaikan gagasan dan ide-ide cemerlang di hadapan publik.
Prof. AA bukan sekedar pengajar dan pendidik saja, beliau juga adalah motivator ulung yang bisa membuat anda “berbangga diri” dan “merasa beruntung” memilih Fakultas Hukum. Cukuplah sempurna kecerdasan yang dimilikinya; kecerdasan intelektual, kecerdasan psikomotorik dan kecerdasan afektif semuanya hadir dalam dirinya. Sehingga bagi yang pernah melihat dan merasakan diajar oleh Prof. AA, terbukti beliau mengajar, memiliki kemampuan “menghipnotis” sehingga anda serius mendengar segala “celoteh bernasnya”.
Betapa besar pengaruh Prof. AA yang pernah diajar olehnya, dulunya anda Mahasiswa dan kini setelah menjadi alumni, dalam Prof.esi apapun anda ditempatkan saat ini, maka sulit dipungkiri karakter Prof. AA telah bersemayam dalam diri anda secara tidak sadar. Ciri khas Prof. AA dikala mengajar melalui gerakan tangan dan bahu, hingga caranya mengartikulasikan kata-kata, saya berani mengatakan “sebuah kebohongan besar jika tak terimitasi olehnya.”
Mengabadikan Prof. AA
Maka khusus untuk skala lokal, Indonesia bagian Timur (Makassar), dikala kita seolah merasa, “ahli hukum yang sebenar-benarnya ahli kian hari mengalami krisis.” Izinkan saya mengatakan “krisis identitas”. Dengan “menghirup” kembali jiwa-jiwa kebaikan Prof. AA, melalui pengabadian namanya di kota Makassar, itulah penghormatan terbesar dalam mengenang jasa-jasanya.
Tak ada salahnya, setapak lorong yang menuju ke pemukiman Prof. AA yang kini masih dihuni oleh istri tercintanya Dr. Wiwie Heryani, SH. MH diberi nama jalan Achmad Ali. Apalagi FH Unhas akan menjadi sebuah “dosa besar” tat kala orang yang banyak meninggalkan jasa untuk Juris Merah itu, satupun tak ada gedung atau ruangan “terlekang” nama Prof. AA.
Selentingan kabar pernah terucap dari orang dekat dan kerabat Prof. AA, kalau beliau pernah mewasiatkan “separuh buku koleksinya agar disumbangkan untuk Perpustakaan FH Unhas.” Kalau benar adanya wasiat itu, maka melalui tulisan ini, izinkan saya memohon dan bersimpuh di hadapan pimpinan FH Unhas (Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M. Hum.) dan sang wanita lembut Prof. Dwia Aries Tina Palubuhu, M.A. (Rektor Unhas) “aku butuh jiwa muliamu”.
Mungkin tak banyaklah permintaan ini, kalau hanya perpustakaan FH Unhas, tempat gudangnya ilmu agar mengabadikan nama “PERPUSTAKAAN ACHMAD ALI”. Semoga Allah selalu dalam limpahan rahmat-Nya, kepadamu wahai Prof. AA. Aamien Yaa Rabbal A’lamin.(*)
Sungguh! Tak ada alasan untuk tidak merasa “berdecak kagum” kepada beliau, sebab kemanapun dia melangkah semenjak hidupnya, ketenaran dan popularitas tak pernahlah membuatnya “enggan” untuk mengakui kalau dirinya adalah alumni Fakultas Hukum Unhas yang berasal dari Timur, bahwa darah Bugis Makassar-lah senantiasa mengalir dalam dirinya.
Rupa-rupanya benarlah tetuah ternyata selama ini, kehilangan akan benar-benar terasa ketika orang itu telah meninggalkan kita selama-lamanya, mungkin saja saya termasuk berada dalam “jerat” petuah ini. Hingga kini belum ada yang bisa menggantikannya atas jejak-jejak pengabdian untuk Juris merah Fakultas Hukum (FH) Unhas. Itupun kalau sudah ada tokoh pembesar lainnya yang menancapkan kaki di tingkat nasional, terlalu lancang mulut ini kalau “terpaksa” mengatakan “belum setaraf pengabdian Prof. AA yang mengabdikan hidupnya semata-mata untuk pendidikan, bahkan untuk negara ini.”
Menghirup Kembali
Maka dari itu sebuah kesengajaan kemudian saya memilih judul opini melalui tulisan ini “Menghirup Kembali Roh Alm. Prof. AA” karena pertama kali mengenal sosoknya, disela-sela peluncuran tiga karyanya (Meluruskan Jalan Reformasi Hukum, Keterpurukan Hukum Indonesia, & Sosiologi Hukum Kajian Empiris terhadap Pengadilan), waktu itu saya yang masih berkepala “culung” tema peluncuran buku Prof. AA adalah “Menghirup Kembali Roh Alm. Baharuddin Lopa.”
Dugaan saya, Guru Besar bertubuh mungil itu memilih tema demikian, bersamaan dengan peluncuran bukunya, sudah pasti sebagai rangkaian penghormatan besar kepada Gurunya. Setali tiga uang, demikian halnya melalui tulisan ini, semata-mata juga kutujukan kepada Prof. AA sebagai Guru yang bisa dikata belum ada tandingannya di Fakultas hukum Unhas.
Ya..! “menghirup kembali” jasa-jasa dan kebaikan Prof. AA, saat ini sangat pantas untuk kita lakukan, terlebih-lebih FH Unhas, saya kira wajib adanya “menghidupkan kembali” jiwa-jiwa Achmad Ali buat calon-calon pendekar hukum selanjutnya.
Sebab kenapa? Hanyalah Prof. AA, satu-satunya guru besar FH Unhas yang “besar” namanya karena memiliki pembuktian melalui karya-karya melalui 29 judul bukunya. Prof. AA bukanlah guru yang pelit ilmu, semua literatur-literatur asing yang pernah “dilahap” olehnya, sebahagian disadur dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia lalu dibagi-bagikan kepada Mahasiswa dan rekan sejawatnya. Hanyalah dimasa hidupnya Prof. AA juris merah selalu kaya dengan pemikiran hukum kontemporer. Ketika beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia belum banyak yang mempopulerkan “hermeneutika hukum” lebih awal atas keikhlasan dan ketulusannya berbagi ilmu di FH Unhas istilah itu diperkenalkan. Bahkan teori hukum termutakhir sebelum kadung maut menjemputnya, hanya karena kegigihan Prof. AA merogok kocek untuk membeli buku-buku berbahasa asing, maka teori Werner Menski “Triangular Concept of Legal Pluralism” pertama kalinya juga dikenal di FH Unhas.
Lebih dari pada semua itu, termasuk pun kalau anda membenci sosok Prof. AA karena berbeda pendapat dengannya, sulit anda untuk melepaskan diri dari pengaruhnya. Boleh jadi karena Prof. AA-lah anda menjadi hebat, berani, dan lantang bertutur seperti dirinya. Prof. AA adalah guru di atas maha guru, yang mengajarkan kepada anda untuk berani tampil menyampaikan gagasan dan ide-ide cemerlang di hadapan publik.
Prof. AA bukan sekedar pengajar dan pendidik saja, beliau juga adalah motivator ulung yang bisa membuat anda “berbangga diri” dan “merasa beruntung” memilih Fakultas Hukum. Cukuplah sempurna kecerdasan yang dimilikinya; kecerdasan intelektual, kecerdasan psikomotorik dan kecerdasan afektif semuanya hadir dalam dirinya. Sehingga bagi yang pernah melihat dan merasakan diajar oleh Prof. AA, terbukti beliau mengajar, memiliki kemampuan “menghipnotis” sehingga anda serius mendengar segala “celoteh bernasnya”.
Betapa besar pengaruh Prof. AA yang pernah diajar olehnya, dulunya anda Mahasiswa dan kini setelah menjadi alumni, dalam Prof.esi apapun anda ditempatkan saat ini, maka sulit dipungkiri karakter Prof. AA telah bersemayam dalam diri anda secara tidak sadar. Ciri khas Prof. AA dikala mengajar melalui gerakan tangan dan bahu, hingga caranya mengartikulasikan kata-kata, saya berani mengatakan “sebuah kebohongan besar jika tak terimitasi olehnya.”
Mengabadikan Prof. AA
Maka khusus untuk skala lokal, Indonesia bagian Timur (Makassar), dikala kita seolah merasa, “ahli hukum yang sebenar-benarnya ahli kian hari mengalami krisis.” Izinkan saya mengatakan “krisis identitas”. Dengan “menghirup” kembali jiwa-jiwa kebaikan Prof. AA, melalui pengabadian namanya di kota Makassar, itulah penghormatan terbesar dalam mengenang jasa-jasanya.
Tak ada salahnya, setapak lorong yang menuju ke pemukiman Prof. AA yang kini masih dihuni oleh istri tercintanya Dr. Wiwie Heryani, SH. MH diberi nama jalan Achmad Ali. Apalagi FH Unhas akan menjadi sebuah “dosa besar” tat kala orang yang banyak meninggalkan jasa untuk Juris Merah itu, satupun tak ada gedung atau ruangan “terlekang” nama Prof. AA.
Selentingan kabar pernah terucap dari orang dekat dan kerabat Prof. AA, kalau beliau pernah mewasiatkan “separuh buku koleksinya agar disumbangkan untuk Perpustakaan FH Unhas.” Kalau benar adanya wasiat itu, maka melalui tulisan ini, izinkan saya memohon dan bersimpuh di hadapan pimpinan FH Unhas (Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M. Hum.) dan sang wanita lembut Prof. Dwia Aries Tina Palubuhu, M.A. (Rektor Unhas) “aku butuh jiwa muliamu”.
Mungkin tak banyaklah permintaan ini, kalau hanya perpustakaan FH Unhas, tempat gudangnya ilmu agar mengabadikan nama “PERPUSTAKAAN ACHMAD ALI”. Semoga Allah selalu dalam limpahan rahmat-Nya, kepadamu wahai Prof. AA. Aamien Yaa Rabbal A’lamin.(*)
Sumber Gambar: antaranews.com |