Entah sebuah kesengajaan atau bukan. Dari kemarin, sama sekali saya tidak ikut mengambil peran dalam tiga hari terakhir, agar menulis di berbagai harian tentang tiga peristiwa besar yang bertepatan dengan momentumnya. Berturut-turut; ada Hari Kartini; Hari Bumi; hingga Hari Buku Sedunia.
Penulis kemudian “jatuh hati” untuk mendeda makna atas berlalunya hari-hari besar tersebut. Adakah terkuak hikmah dibalik tiga hari besar itu? Kiranya kalau memang ada makna urgen untuk dituturkan, satu-persatu relasi diantara satu sama lain, mungkin kepergiannyalah hari-hari tersebut menjadi fase untuk mengukir kembali, sembari membuka lipatan-lipatan kenangan tentangnya
Izinkan saya “mengetuk” hati para pembaca. Lalu, biarlah hati bertalu-talu mengecap rasa tentang Hari Kartini. Hari untuk sekedar mengukir mozaiknya saja, bahwa dalam sekelumit sejarah itu, Raden Ajeng Kartinilah yang membuka “kelopak mata” para kaum lelaki, terlebih-lebih wanita penerus RA Kartini. Yakni kaum Hawa dibalik segala kelemah-lembutannya, bukan hanya pantas “memadu kasih” di depan tungku perapian, tapi baginya juga berhak untuk memperoleh tahta dan derajat sepadan dengan laki-laki.
Bumi dan Kartini
Setali tiga uang, pun hari bumi. Saya menyebutnya sebuah keangkuhan dan keculasan kalau terjadi pengingkaran, bumi tak ada sangkut pautnya dengan hari Kartini. Kartini adalah perempuan. Dan izinkan juga kepada saya untuk mendaulat kalau sesungguhnya bumi yang kita pijak juga pada dasarnya berjenis kelamin perempuan. Jenis kelamin yang melekat dalam adikodrati Kartini.
Bukankah kita sering mendengar ocehan para filsuf. Bahkan peletak dasar fundamental negara ini, acapkali menyebut bumi sebagai Ibu pertiwi. Tak sekalipun diantara kita, berani menyebut “negeri ini sebagai bapak pertiwi”. Sungguh! memang tidak mungkin.
Syak wasangka selalu diajarkan pada anak-anak kita bahwa bumi adalah Ibu kita. Perlakuan anak pada Ibunya akan mengenai anaknya sendiri. Kita mengetahui bahwa bumi bukan milik kita, tetapi kita bagian dari bumi. Semua benda di atasnya terkait, menyatu satu sama lainnya. Barang siapa yang menyakiti, merusak, mengotori, hingga mencampakan kelestarian bumi maka tidak lain Ia telah berlaku “angkara” terhadap Ibunya.
Siapa yang tidak menyayangi bumi, sungguh Ia telah menjadi “mali kundang” kepada ibunya sendiri.
Jangan heran, jangan kaget! Jika sewaktu-waktu karena bumi adalah perempuan, karena bumi adalah sosok Ibu. Jika dirinya “sakit” atas sikap kedurhakaan manusia yang dipeliharanya, bumi akan mengutuk manusia dengan kengerian melalui bencananya.
Bumi akan melelehkan “air matanya” dalam desahan “air bah”, banjir, tsunami, hingga dapat “menganaksungaikan” jutaan anak manusia. Bumi akan memuntahkan resah dan gelisahnya dikalau panorama keindahan dan kecantikannya diusik terus-menerus. Tanahnya yang menjadi tempat pemukiman akan “meleleh”, longsor dan menelan ratusan korban manusia.
Dikala bumi mengamuk, tak satupun manusia bisa menahannya. “Tangannya” bisa mencabut jutaan nyawa. Dan nyawapun akan melayang hanya dalam sekejap. Lelehan lahar panas bumi yang tersimpan dalam altar sucinya. Lalu, ketika lelehan itu “berlinang” maka tersebutlah satu-persatu anak manusia yang menjadi korban kedigdayaan amukan bumi itu.
Lakon spiritual Islam menarasikan asal muasal manusia berasal dari tanah lumpur yang berbau. Manusia berasal dari bumi tempatnya Ia dilahirkan. Sejauh-jauhnya manusia berpetualang, mengembara, hingga melancong kemana-mana, maka Ia tak pernah lupa wajah kemayu perempuan yang melahirkannya. Wajah cantik nan jelita Ibunya. Itulah bumi! Sejauh-jauhnya anda ingin meninggalkannya, toh anda akan bertemu dengan bumi dalam pusaran. Nisanmu akan terpaku dalam sebait nama. Bahwa dirimu telah menemui ajal, di atas pekuburan yang permukaannya masih “membasah”.
Buku, Kartini, dan Bumi
Ibu kita Kartini, putri yang mulia, pernah berkata; “habis gelap terbitlah terang”. Demikianlah cerita yang tersimpul dalam helai, surat-surat kasihnya. Hal ihwal demikian penting untuk menjadi pelajaran dalam komunitas keluarga, komunitas peradaban kita. Siapakah yang paling dekat dengan anak-anak kita, kalau bukan Ibunya?
Cikal bakal generasi penerus bangsa adalah seorang Ibu yang dalam jiwanya terpatri new-kartinian.
Sosok Ibu Kartini-lah yang akan membuka pintu cahaya keilmuan dan membangun peradaban agar anak-anaknya berani bertarung dalam asa kelembutan dan cinta kasih. Agar kelak anak anak pelanjut peradaban itu, menyulut kasihnya kepada alam, kepada bumi, kepada tanah dimana ia selalu memijakan kakinya.
Hanya sosok Ibulah yang perhatian kepada anak-anaknya, dapat meluangkan waktu menutup katup mata anak mungilnya. Menghadirkan “kembang tidur” melalui sebuah buku yang dinukilkan dari kisah, dongeng, cerita tentang alam, fabel, entah apapun namnya. Di sanalah, alam akan selalu menyimpan cerita-cerita eksotik untuk anak-anak kita.
Siapa pula yang bisa menyampaikan maujudnya jiwa dan alam kepada anak-anak itu? Kalau bukan Ibu yang di dalam darahnya mengalir darah kartini, hingga anak-anak itu bisa lelap dalam tidurnya.
Anak-anak kita akan menjadi sayang pada Ibunya, sayang pada sosok-sosok kartini baru, sayang kepada bumi. Kalau semuanya menyatu dalam rasa, rasa tentang kebutuhan akan selalu bersama tiga kesatuan demikian (Kartini, Bumi, dan Buku).
Dalam henyaknya, walaupun buku tertata hingga puluhan eksampler, puluhan judul cerita. Cerita yang digubah dalam kata, lalu terangkai menjadi kalimat-kalimat indah. Kalau tak ada Ibu yang mewarisi asa perjuangan kartini, sungguh mustahil anak-anak kita akan menjadi pencinta buku. Pencinta tentang panorama alam yang “ruahnya” banyak terangkai dalam “cerita dongeng” pengantar tidur utuk anak-anak.
Maka kepadamulah wahai wanita yang telah diangkat derajatnya harus banyak bertutur lembut kapada anak-anakmu. Mencintai mereka dalam cakrawala keilmuanmu.
Denyut nadi anakmu, anak-anak kita, tergantung pada tuturmu untuk selalu bernaratik dari deretan kasus bencana alam, amukan bumi, hingga cerita tentang marahnya pertiwi. Semua itu telah tersusun “rapi” dalam sejarah, di helaian tiap-tiap buku yang pernah engkau bacakan kepada anak-anakmu.
Panah jiwamu sungguh tajam, ketika engkau tak pernah jenuh untuk selalu mengecap rasa dari banyaknya ilmu, pengetahuan dan pengalaman atas cuplik-an dari sekian buku bacaan, hanya untuk anak-anakmu. Kartini menyejarah karena terdapat dalam sebuh buku, bumi akan menyejarah pula dalam cinta dengan keabadiannya dalam sebuah buku. Karena buku adalah milik kartini, milik Ibu, milik anak-anak kita, milik kita semua.
Selamat Hari Kartini, Selamat Hari Bumi, dan Selamat Hari Buku Sedunia.*
Oleh:
Penulis kemudian “jatuh hati” untuk mendeda makna atas berlalunya hari-hari besar tersebut. Adakah terkuak hikmah dibalik tiga hari besar itu? Kiranya kalau memang ada makna urgen untuk dituturkan, satu-persatu relasi diantara satu sama lain, mungkin kepergiannyalah hari-hari tersebut menjadi fase untuk mengukir kembali, sembari membuka lipatan-lipatan kenangan tentangnya
Izinkan saya “mengetuk” hati para pembaca. Lalu, biarlah hati bertalu-talu mengecap rasa tentang Hari Kartini. Hari untuk sekedar mengukir mozaiknya saja, bahwa dalam sekelumit sejarah itu, Raden Ajeng Kartinilah yang membuka “kelopak mata” para kaum lelaki, terlebih-lebih wanita penerus RA Kartini. Yakni kaum Hawa dibalik segala kelemah-lembutannya, bukan hanya pantas “memadu kasih” di depan tungku perapian, tapi baginya juga berhak untuk memperoleh tahta dan derajat sepadan dengan laki-laki.
Bumi dan Kartini
Setali tiga uang, pun hari bumi. Saya menyebutnya sebuah keangkuhan dan keculasan kalau terjadi pengingkaran, bumi tak ada sangkut pautnya dengan hari Kartini. Kartini adalah perempuan. Dan izinkan juga kepada saya untuk mendaulat kalau sesungguhnya bumi yang kita pijak juga pada dasarnya berjenis kelamin perempuan. Jenis kelamin yang melekat dalam adikodrati Kartini.
Bukankah kita sering mendengar ocehan para filsuf. Bahkan peletak dasar fundamental negara ini, acapkali menyebut bumi sebagai Ibu pertiwi. Tak sekalipun diantara kita, berani menyebut “negeri ini sebagai bapak pertiwi”. Sungguh! memang tidak mungkin.
Syak wasangka selalu diajarkan pada anak-anak kita bahwa bumi adalah Ibu kita. Perlakuan anak pada Ibunya akan mengenai anaknya sendiri. Kita mengetahui bahwa bumi bukan milik kita, tetapi kita bagian dari bumi. Semua benda di atasnya terkait, menyatu satu sama lainnya. Barang siapa yang menyakiti, merusak, mengotori, hingga mencampakan kelestarian bumi maka tidak lain Ia telah berlaku “angkara” terhadap Ibunya.
Siapa yang tidak menyayangi bumi, sungguh Ia telah menjadi “mali kundang” kepada ibunya sendiri.
Jangan heran, jangan kaget! Jika sewaktu-waktu karena bumi adalah perempuan, karena bumi adalah sosok Ibu. Jika dirinya “sakit” atas sikap kedurhakaan manusia yang dipeliharanya, bumi akan mengutuk manusia dengan kengerian melalui bencananya.
Bumi akan melelehkan “air matanya” dalam desahan “air bah”, banjir, tsunami, hingga dapat “menganaksungaikan” jutaan anak manusia. Bumi akan memuntahkan resah dan gelisahnya dikalau panorama keindahan dan kecantikannya diusik terus-menerus. Tanahnya yang menjadi tempat pemukiman akan “meleleh”, longsor dan menelan ratusan korban manusia.
Dikala bumi mengamuk, tak satupun manusia bisa menahannya. “Tangannya” bisa mencabut jutaan nyawa. Dan nyawapun akan melayang hanya dalam sekejap. Lelehan lahar panas bumi yang tersimpan dalam altar sucinya. Lalu, ketika lelehan itu “berlinang” maka tersebutlah satu-persatu anak manusia yang menjadi korban kedigdayaan amukan bumi itu.
Lakon spiritual Islam menarasikan asal muasal manusia berasal dari tanah lumpur yang berbau. Manusia berasal dari bumi tempatnya Ia dilahirkan. Sejauh-jauhnya manusia berpetualang, mengembara, hingga melancong kemana-mana, maka Ia tak pernah lupa wajah kemayu perempuan yang melahirkannya. Wajah cantik nan jelita Ibunya. Itulah bumi! Sejauh-jauhnya anda ingin meninggalkannya, toh anda akan bertemu dengan bumi dalam pusaran. Nisanmu akan terpaku dalam sebait nama. Bahwa dirimu telah menemui ajal, di atas pekuburan yang permukaannya masih “membasah”.
Buku, Kartini, dan Bumi
Ibu kita Kartini, putri yang mulia, pernah berkata; “habis gelap terbitlah terang”. Demikianlah cerita yang tersimpul dalam helai, surat-surat kasihnya. Hal ihwal demikian penting untuk menjadi pelajaran dalam komunitas keluarga, komunitas peradaban kita. Siapakah yang paling dekat dengan anak-anak kita, kalau bukan Ibunya?
Cikal bakal generasi penerus bangsa adalah seorang Ibu yang dalam jiwanya terpatri new-kartinian.
Sosok Ibu Kartini-lah yang akan membuka pintu cahaya keilmuan dan membangun peradaban agar anak-anaknya berani bertarung dalam asa kelembutan dan cinta kasih. Agar kelak anak anak pelanjut peradaban itu, menyulut kasihnya kepada alam, kepada bumi, kepada tanah dimana ia selalu memijakan kakinya.
Hanya sosok Ibulah yang perhatian kepada anak-anaknya, dapat meluangkan waktu menutup katup mata anak mungilnya. Menghadirkan “kembang tidur” melalui sebuah buku yang dinukilkan dari kisah, dongeng, cerita tentang alam, fabel, entah apapun namnya. Di sanalah, alam akan selalu menyimpan cerita-cerita eksotik untuk anak-anak kita.
Siapa pula yang bisa menyampaikan maujudnya jiwa dan alam kepada anak-anak itu? Kalau bukan Ibu yang di dalam darahnya mengalir darah kartini, hingga anak-anak itu bisa lelap dalam tidurnya.
Anak-anak kita akan menjadi sayang pada Ibunya, sayang pada sosok-sosok kartini baru, sayang kepada bumi. Kalau semuanya menyatu dalam rasa, rasa tentang kebutuhan akan selalu bersama tiga kesatuan demikian (Kartini, Bumi, dan Buku).
Dalam henyaknya, walaupun buku tertata hingga puluhan eksampler, puluhan judul cerita. Cerita yang digubah dalam kata, lalu terangkai menjadi kalimat-kalimat indah. Kalau tak ada Ibu yang mewarisi asa perjuangan kartini, sungguh mustahil anak-anak kita akan menjadi pencinta buku. Pencinta tentang panorama alam yang “ruahnya” banyak terangkai dalam “cerita dongeng” pengantar tidur utuk anak-anak.
Maka kepadamulah wahai wanita yang telah diangkat derajatnya harus banyak bertutur lembut kapada anak-anakmu. Mencintai mereka dalam cakrawala keilmuanmu.
Denyut nadi anakmu, anak-anak kita, tergantung pada tuturmu untuk selalu bernaratik dari deretan kasus bencana alam, amukan bumi, hingga cerita tentang marahnya pertiwi. Semua itu telah tersusun “rapi” dalam sejarah, di helaian tiap-tiap buku yang pernah engkau bacakan kepada anak-anakmu.
Panah jiwamu sungguh tajam, ketika engkau tak pernah jenuh untuk selalu mengecap rasa dari banyaknya ilmu, pengetahuan dan pengalaman atas cuplik-an dari sekian buku bacaan, hanya untuk anak-anakmu. Kartini menyejarah karena terdapat dalam sebuh buku, bumi akan menyejarah pula dalam cinta dengan keabadiannya dalam sebuah buku. Karena buku adalah milik kartini, milik Ibu, milik anak-anak kita, milik kita semua.
Selamat Hari Kartini, Selamat Hari Bumi, dan Selamat Hari Buku Sedunia.*
Oleh:
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Mahasiswa Program Magister UMI Makassar
Mahasiswa Program Magister UMI Makassar
Sumber Gambar: merdeka.com |
Responses
0 Respones to "Kartini, Bumi, Buku, dan Anak-anak Kita"
Posting Komentar