Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka. Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS. Al-Anfal: 2).
Sengaja saya mengutip firman Allah di atas, karena dari situlah Al-Qur’an berbicara dengan sendirinya, memiliki kekuatan (power) yang dapat memantik hati bagi siapa saja ketika ayat-ayat suci berikut didaras oleh pembacanya dalam suara syahdu lagi merdu.
Bahasa Al-Qur’an bukan hanya mengandung nilai histori. Bukan hanya memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat imperatif saja. Tetapi di dalamnya terkandung nilai artistic yang tak ada kesebandingannya kalau mau disejajarkan dengan gubahan sastra para pujangga dan puitisi dari kalangan manapun. Seiring dengan waktu yang terus berlalu, dunia yang semakin uzur, kondisi zaman tidak akan mampu menghilangkan kandungan al-Quran dalam dimensi esoteriknya.
Kisah bernaratif empirik atas maha kekuatan Qur’ani. Ada juga yang sama sekali memiliki keyakinan bukan Muslim, sulit menolak untuk menerima kejadian serupa. Sebuah ketulusan yang terpantik dari hati, kalbu dan jiwa, atas suara dari orang yang menderas ayat-ayat Tuhan itu. Entah dari mana sebab musababnya, ada saja kisah wartawan nonmuslim pernah memberi pengakuan; dalam sebuah kisah dramatik, lalu terdiskripsikanlah dalam tutur kata: ”ayat-ayat Tuhan itu mampu mengirim kesenyapan hingga air matanya menitih basah”.
Menetak Sunyi
Inilah yang dimaksud The Power of Qur’ani, yang mana seringkali melanda dan menyertai alur kehidupan siapa saja. Tapi mungkin kita tidak tahu apa yang terjadi atas kejadian itu. Hidup tercengang oleh kuasa di atas kuasa, lalu ada persitiwa menyembur dalam diri, rasa bahagia yang tidak dapat terukur dibanding fenomena-fenomena kebahagiaan lainnya.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: “Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Bacakanlah Al-Qur’an kepadaku.” Maka kukatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah saya bacakan Al-Qur’an kepada anda sementara Al-Qur’an itu diturunkan kepada anda?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya aku senang mendengarnya dibaca oleh selain diriku.” Maka akupun mulai membacakan kepadanya surat an-Nisaa’. Sampai akhirnya ketika aku telah sampai ayat ini (yang artinya), “Lalu bagaimanakah ketika Kami datangkan saksi bagi setiap umat dan Kami jadikan engkau sebagai saksi atas mereka.” (QS. an-Nisaa’ : 40). Maka beliau berkata, “Cukup, sampai di sini saja.” Lalu aku pun menoleh kepada beliau dan ternyata kedua mata beliau mengalirkan air mata” (HR. Bukhari [4763] dan Muslim [800]).
Nabiullah Muhammad SAW air matanya meniti basah berkat ayat suci Al-Quran. Sementara kita saat ini yang nyata-nyata bukan penerima wahyu tersebut, tidak ada pengingkaran ketika sebuah kedirian pun ditanya. Ayat-ayat Al-Qur’an mampu membuat kita merasa asing dari penjara dualitas kehidupan, lalu seolah-olah tercipta sebuah kehendak akan pembebasan. Dan air mata pun akhirnya memberi pengakuan atas kekuatan ayat-ayat Tuhan kala diperdengarkan kepada kita, hingga akhirnya menetak sunyi tak ada kuasa di atas kuasa, selain kuasa Allah SWT.
Menetak Hati
Maka dalam konteks itu, sekelumit pertanyaan pun pantas untuk diutarakan sebagai bagian dari kritik di atas kritik. Patologi dan sindrom apa yang menjangkiti kita, yang rata-rata mengaku Islam, lantas tak urung menghentikan aktivitas agar menuju ke Mesjid menunaikan shalat lima waktu secara berjamaah? Justru yang terjadi hanya beberapa orang sekiranya, bisa dihitung jari saja yang menunaikan shalat lima waktu di mesjid.
Lalu berbanding terbalik di sebuah tempat yang berbeda, hanya konser yang menghadirkan artis ibu kota ternama. Di atas tanah lapang, seorang artis yang mendendangkan suara kemerduannya, banyak orang berkumpul di sana, tenggelam dalam irama dan alunan musik dari sang penyanyi itu.
Sepertinya kita butuh Muadzin, dan Imam mesjid yang mana dari lantunan suaranya saat menderas ayat-ayat Tuhan mampu menyembuhkan hati yang sakit dan menghidupkan hati yang mati. Guna meraih kebahagiaan yang tak ada tandingannya untuk selalu mengingat sang khalik. Untuk selalu bersandar pada kebenaran yang hakiki, semata-mata semuanya dari Allah SWT.
Dan mereka yang tertidur lelap, saat dini hari menjelang fajar subuh. Bumi yang gelap gulita, sunyi dan senyap. Lalu tiba-tiba terdengar suara kemerduan adzan subuh. Suara dari ayat-ayat Tuhan. Suara dari sang Muadzin yang menetak dalam sebuah kesunyian, berpencar hingga memantul ke segala penjuru. Hutan belantara, gedung menjulang tinggi, gunung yang saling berdempetan, semuanya tak jadi penghalang bahwa sampai kapanpun Tuhan akan selalu “berbicara” kepada manusia atas segala kekuasaannya.
Mungkin besok, mungkin lusa, mungkin tahun depan. tapi yang pasti, Tuhan akan selalu menjemput kita dengan kematian. Maka bertemulah hamba dari anak cucu Adam itu dengan “kekasih” yang sesungguhnya, karena Al-Qur’an mampu menetak hati siapa saja, menuju kesunyian yang abadi. Wallāhu a’lamu bi al-shawwāb. (*)
Sengaja saya mengutip firman Allah di atas, karena dari situlah Al-Qur’an berbicara dengan sendirinya, memiliki kekuatan (power) yang dapat memantik hati bagi siapa saja ketika ayat-ayat suci berikut didaras oleh pembacanya dalam suara syahdu lagi merdu.
Bahasa Al-Qur’an bukan hanya mengandung nilai histori. Bukan hanya memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat imperatif saja. Tetapi di dalamnya terkandung nilai artistic yang tak ada kesebandingannya kalau mau disejajarkan dengan gubahan sastra para pujangga dan puitisi dari kalangan manapun. Seiring dengan waktu yang terus berlalu, dunia yang semakin uzur, kondisi zaman tidak akan mampu menghilangkan kandungan al-Quran dalam dimensi esoteriknya.
Kisah bernaratif empirik atas maha kekuatan Qur’ani. Ada juga yang sama sekali memiliki keyakinan bukan Muslim, sulit menolak untuk menerima kejadian serupa. Sebuah ketulusan yang terpantik dari hati, kalbu dan jiwa, atas suara dari orang yang menderas ayat-ayat Tuhan itu. Entah dari mana sebab musababnya, ada saja kisah wartawan nonmuslim pernah memberi pengakuan; dalam sebuah kisah dramatik, lalu terdiskripsikanlah dalam tutur kata: ”ayat-ayat Tuhan itu mampu mengirim kesenyapan hingga air matanya menitih basah”.
Menetak Sunyi
Inilah yang dimaksud The Power of Qur’ani, yang mana seringkali melanda dan menyertai alur kehidupan siapa saja. Tapi mungkin kita tidak tahu apa yang terjadi atas kejadian itu. Hidup tercengang oleh kuasa di atas kuasa, lalu ada persitiwa menyembur dalam diri, rasa bahagia yang tidak dapat terukur dibanding fenomena-fenomena kebahagiaan lainnya.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: “Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Bacakanlah Al-Qur’an kepadaku.” Maka kukatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah saya bacakan Al-Qur’an kepada anda sementara Al-Qur’an itu diturunkan kepada anda?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya aku senang mendengarnya dibaca oleh selain diriku.” Maka akupun mulai membacakan kepadanya surat an-Nisaa’. Sampai akhirnya ketika aku telah sampai ayat ini (yang artinya), “Lalu bagaimanakah ketika Kami datangkan saksi bagi setiap umat dan Kami jadikan engkau sebagai saksi atas mereka.” (QS. an-Nisaa’ : 40). Maka beliau berkata, “Cukup, sampai di sini saja.” Lalu aku pun menoleh kepada beliau dan ternyata kedua mata beliau mengalirkan air mata” (HR. Bukhari [4763] dan Muslim [800]).
Nabiullah Muhammad SAW air matanya meniti basah berkat ayat suci Al-Quran. Sementara kita saat ini yang nyata-nyata bukan penerima wahyu tersebut, tidak ada pengingkaran ketika sebuah kedirian pun ditanya. Ayat-ayat Al-Qur’an mampu membuat kita merasa asing dari penjara dualitas kehidupan, lalu seolah-olah tercipta sebuah kehendak akan pembebasan. Dan air mata pun akhirnya memberi pengakuan atas kekuatan ayat-ayat Tuhan kala diperdengarkan kepada kita, hingga akhirnya menetak sunyi tak ada kuasa di atas kuasa, selain kuasa Allah SWT.
Menetak Hati
Maka dalam konteks itu, sekelumit pertanyaan pun pantas untuk diutarakan sebagai bagian dari kritik di atas kritik. Patologi dan sindrom apa yang menjangkiti kita, yang rata-rata mengaku Islam, lantas tak urung menghentikan aktivitas agar menuju ke Mesjid menunaikan shalat lima waktu secara berjamaah? Justru yang terjadi hanya beberapa orang sekiranya, bisa dihitung jari saja yang menunaikan shalat lima waktu di mesjid.
Lalu berbanding terbalik di sebuah tempat yang berbeda, hanya konser yang menghadirkan artis ibu kota ternama. Di atas tanah lapang, seorang artis yang mendendangkan suara kemerduannya, banyak orang berkumpul di sana, tenggelam dalam irama dan alunan musik dari sang penyanyi itu.
Sepertinya kita butuh Muadzin, dan Imam mesjid yang mana dari lantunan suaranya saat menderas ayat-ayat Tuhan mampu menyembuhkan hati yang sakit dan menghidupkan hati yang mati. Guna meraih kebahagiaan yang tak ada tandingannya untuk selalu mengingat sang khalik. Untuk selalu bersandar pada kebenaran yang hakiki, semata-mata semuanya dari Allah SWT.
Dan mereka yang tertidur lelap, saat dini hari menjelang fajar subuh. Bumi yang gelap gulita, sunyi dan senyap. Lalu tiba-tiba terdengar suara kemerduan adzan subuh. Suara dari ayat-ayat Tuhan. Suara dari sang Muadzin yang menetak dalam sebuah kesunyian, berpencar hingga memantul ke segala penjuru. Hutan belantara, gedung menjulang tinggi, gunung yang saling berdempetan, semuanya tak jadi penghalang bahwa sampai kapanpun Tuhan akan selalu “berbicara” kepada manusia atas segala kekuasaannya.
Mungkin besok, mungkin lusa, mungkin tahun depan. tapi yang pasti, Tuhan akan selalu menjemput kita dengan kematian. Maka bertemulah hamba dari anak cucu Adam itu dengan “kekasih” yang sesungguhnya, karena Al-Qur’an mampu menetak hati siapa saja, menuju kesunyian yang abadi. Wallāhu a’lamu bi al-shawwāb. (*)
Oleh:
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Mantan Aktivis HMI MPO Komisariat Hukum
Unhas
Sumber Gambar: http: i1.ytimg.com |
Responses
0 Respones to "Ketika Al-Qur’an Menetak Sunyi"
Posting Komentar