Dunia Islam mengisahkan dalam cerita teologis yang dinukil dari firman Tuhan (Al-qur’an), bahwa pada mulanya terjadi diskusi alot antara Allah SWT. dan Malaikat yang sangat patuh kepada-Nya.
Ketika Allah SWT “hendak” menciptakan manusia. Malaikat lalu bertanya “mengapa Rabbku, hendak menciptakan manusia, bukankah hal itu hanya akan menjadikan diantara sesamanya melakukan pertumpahan darah”. Lalu Allah SWT menyelahnya; “Akulah yang lebih atas segalanya dari pada dirimu.”
Singkat kata singkat cerita lalu Allah SWT menciptakan sosok manusia dari tanah lumpur yang berbau. Tat kala selesai dan sempurnanya karya Maha Agung Allah SWT, Malaikat dan Jin disuruhnya agar berusujud di hadapan manusia untuk pertama kalinya waktu itu, Adam as. Hanya jin yang merupakan ciptaaan Tuhan menolak untuk bersujud kepada Adam as.
Terbukti pula kemahatahuan Allah SWT dengan seketika; Adam as mampu menyebut nama-nama waktu (hari, bulan dan tahun) sampai pada penamaan benda-benda alam semesta.
Inilah awal dari kisah yang menandakan karunia Allah SWT paling dahsyat bagi manusia. Manusia dikarunia akal, rasio, pikiran, hati dan jiwa untuk menyingkap segala rahasia seanteror alam melalui pengetahuan yang berdimensi ke segala aspek.
Antara pengetahuan dan ilmu saling bersanding untuk mencapai kemanfaataannya untuk manusia itu sendiri. Pengetahuan bukan hanya hadir sejak manusia terlempar dalam dualitas kehidupan duniawi. Tetapi sejak pertama kalinya diciptakan, ketika menempati surga telah teradikodrati dengan basis pengetahuan.
Bahkan peristiwa Adam as. bersama dengan Hawa meninggalkan surga. Maka dari sana tercitrakan pula untuk lestarinya pengetahuan manusia yang telah diberikan kepadanya.
Dengan pengetahuanlah manusia akan menemukan jalan kebenaran. Oleh Muhammad Iqbal (1981: 64) mendeskripsikan “kisah terbukanya selubung-selubung penutup Adam as bersama dengan Hawa pasca memakan buah kuldi terlarang, naratif yang harus diambil sebagai hikmah, yang demikianlah awal manusia bisa saling mengenali diri dan menyalurkan kebutuhan biologisnya, agar bisa melestarikan generasi dari masa ke masa, sebab egonya untuk mencoba hal yang baru juga bagian dari rasa ingin memperoleh pengetahuan melalui trial and error (terj. Penulis)”.
Pun tidak hanya sampai di situ, ilham ketuhanan juga berkali-kali datang melalui wahyu yang tersampaikan kepada para Nabi. Ketika manusia sudah bergelimang dengan kejahatan, lagi-lagi Tuhan selalu “campur tangan” atas kasih sayang-Nya kepada manusia yang telah meninggalkan pengetahuan akan kebenaran dan kebaikan.
Maka dalam konteks saat ini, usia dunia yang semakin hari menanjak uzurnya. Ketika agama Islam telah datang menyempurnakan risalah Tuhan. Perdebatan kemudian yang memantik ummat Islam: apakah ilmu pengetahuan dan perkembangan arus modernisasi yang banyak dihasilkan sebagai produk Barat (bukan dari kelompok Islam) dunia Islam harus anti terhadap kemajuan yang telah ditunjukan oleh dua hasil olah pikir tersebut? Jawabannya tentu tidak, sebab terkait dengan ulasan yang di awal tadi, Islam yang telah mengakui ilmu pengetahuan. Bahwa sejarah awal perkembangannya, umat Islam pernah membuktikan diri sebagai kampiun pertumbuhan peradaban dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu kalau ada kemajuan dari segala penjuru dunia Barat, Islam tak perlulah anti terhadap kemajuan tersebut. Tetapi Islam harus menjadi pembaharu melalui filterisasi pewahyuan yang telah dianugerahkan kepadanya oleh Allah SWT.
Betrand Russel (2001), Max Weber (1951), dan Seyyed Hossein Nasr (2006) turut memberi pengakuan kalau betapa besar sumbangsi pemikiran Islam dalam dunia Filsafat yang nyata-nyata lahir dari peradaban Yunani dan Romawi kuno. Tak adalah gunanya jejak dan hasil pemikiran para filsuf sekaliber Socrates, Plato dan Aristoteles andai saja tak ada pemikir Islam kembali menghidupkannya. Makanya selalu dipandang bahwa sumbangsi pemikiran Islam terhadap arus kehidupan filsafat; ibarat pepohonan. Pohon yang telah ditanam oleh para Filsuf Yunani sungguh begitu menghijau, tetapi berkat para pemikir Islam dalam menghidupkannya kembali, dalam suasana esoteric, pohon tersebut pada akhirnya bisa berbuah.
Tak hanya itu, Ibnu Sina pernah “menggertak” perkembangan ilmu pengetahuan atas bukti historis bagi dunia Barat, begitu sanjungnya pada kerja keras para pemikir Muslim terutama untuk dunia kedokteran. Al-Khawrizmi pun melengkapi perumusan Matematika Aljabar (perlu diingat bahwa kata Al-Jabar merupakan bahasa Arab yang muncul bersama dengan penamaan dalam beberapa ilmu eksakta seperti alcohol, alcemi, dst). Angka “nol” adalah ciptaan Al-Khawarzmi.
Sampai di situ maka pertanyaan yang muncul; apakah Islam masih harus anti terhadap ilmu pengetahuan? Pastinya tidak. Harus diakui pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dari dunia Barat juga banyak memberikan implikasi positif bagi ummat Islam. Dunia Islam harus sadar akan terbelakangnya peradaban dan ilmu pengetahuan di kalangan mereka. Islam perlu melalui jalan reorientasi dan transformasi ajaran terhadap corak ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh dunia Barat
Huntington (1996) memberikan penawaran baik, bagi dunia Islam; “Islam harus melakukan perwujudan penerimaan dalam bentuk modernitas, sembari melakukan penolakan terhadap kebudayaan Barat, lalu re-komitmen terhadap Islam sebagai petunjuk hidup dalam dunia modern.”
Arus kehidupan modern yang tidak lagi bisa terbendung, dunia Islam harus mengambil posisi tersendiri setelah mempelajai kembali ilmu pengetahuan tersebut. Islam dapat mengartikulasikan ajarannya dalam semua sisi kehidupan modern.
Respons terhadap modernisasi disikapi umat Islam dengan tetap bertopang pada ajaran Islam. Wujud nyata dari sikap umat adalah munculnya proses Islamisasi kehidupan modern di kalangan masyarakat Islam.
Sehingga tidaklah berlebihan, bila sejak 1970-an konsep Islamisasi pengetahuan mulai dibumikan oleh Al-Attas. Kebangkitan Islam, yang secara massif dibarengi simbolisasi Islam dalam kehidupan masyarakat Muslim, semakin mendorong isu Islamisasi.
Lalu pada dekade 1980-an merupakan titik awal gerakan al-Faruqi, isu Islamisasi ini mengambil obyek ilmu pengetahuan. al-Faruqi berupaya memadukan nilai etis dan agama dengan ilmu pengetahuan modern.
Proses Islamisasi ilmu pengetahuan tidak diarahkan untuk menolak pengetahuan yang ada. Kecuali itu, ia merupakan upaya holistik dalam integrasi dua kajian, wahyu dan alam, untuk menemukan alternatif metode pengetahuan yang mampu mengeluarkan manusia modern dari krisis peradaban destruktif.
Dengan pelibatan aspek wahyu dalam metode pengetahuan, sebagai proses Islamisasi, berbanding terbalik dengan metode yang berkembang di kalangan ilmuan Barat modern. Metode pengetahuan modern tidak lagi mempertimbangkan aspek nilai, apalagi wahyu, dan bahkan secara ekstrim ia tidak lagi memberikan tempat pada nilai-nilai manusiawi.
Sardar kemudian sangat keras memberi kritik “desakan untuk menolak semua pertimbangan nilai dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan menyebabkan metode pengetahuan modern memperlakukan obyek penyelidikan, baik manusia maupun bukan manusia, sebagai benda mati yang bisa dieksploitasi, dimanipulasi dan dibedah atas nama sains.” Menyadari kondisi demikian, sudah banyak ilmuan Muslim kembali berupaya mengajukan metode pengetahuan dengan bertumpu pada ajaran Islam.
Proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan yang Telah Didominasi oleh Dunia Barat
Persepsi Barat terhadap dunia Islam terutama negeri Arab diulas lebih dalam oleh Edward Said (1978: 149) dalam bukunya “Orientalism”. Edward Said dengan mengutip pernyataan yang disampaikan oleh Chaim Weismann cukup menunjukan keterbelakangan dunia Islam yang berasal dari tanah Jazirah Arab terbelakang untuk mengambil posisi dalam kemajuan ilmu pengetahuan:
“Orang-orang arab, yang tampaknya cerdik dan cepat tanggap, ternyata hanya memuja satu hal kekuasaan dan keberhasilan. Penguasa-penguasa asal Inggris yang mengetahui fitrah dari orang- orang arab ini harus melakukan pengawasan secara cermat dan terus menerus. Makin jujur rezim Inggris bersikap, makin besar kepala orang-orang Arab itu. Urusan saat ini mestinya mengarah pada penciptaan sebuah negara Palestina Arab, itupun kalau kalau ada masyarakat Arab di Palestina. Tetapi dalam kenyataannya, hal ini justru tidak terjadi karena kaum fellah sudah meninggal empat ratus tahun yang lalu dan para effendi adalah orang-orang yang curang, tak berpendidikan, tamak, tidak patriotik dan brengsek (terj. Penulis)”.
Jika ditelaah lebih lanjut dampak kemerosotan peran Islam dalam kemajuan ilmu dan pengetahuan oleh Muhammad Baqir Ash-Shadr (2011: 47) mengemukakan “tidak lain disebabkan oleh kegagalam Islam di hadapan masyarakat manusia, penyebabnya adalah penyimpangan yang dilakukan oleh para penguasa. Mereka meletakkan berbagai tolak ukur sesuai dengan kepentingan mereka terhadap masa depan kaum Muslim. Usaha untuk mengubah Islam secara drastis dalam pandangan setiap individu Muslim sampai pada titik dimana terjadi pengaburan jati diri Islam sehingga Islam tidak lagi mengaktual dalam realitas kehidupan.”
Ketimpangan selanjutnya yang menyebabkan dunia Islam tidak terlalu menaruh perhatian untuk kemajuan Ilmu pengetahuan tidak mampu terbandingi dengan pemikir-pemikir Barat yang lebih keras untuk mempelajari corak Islam. Bahkan tak kurang dari pemikir Barat lebih dominan menaruh perhatian besar terhadap urgensi Islam yang berlandaskan Al-qur’an dan Hadits, dibandingkan para pemikir Islam saat ini untuk mempelajari pula hasil-hasil pemikiran Barat yang telah mendongkrak pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan ke seluruh dunia. Terdapat nama sekelas Karen Amstrong, John L. Esposito, dan Huntington. Dari berbagai karyanya menjadi bukti betapa besarnya perhatian mereka terhadap ide-ide dasar Islam yang bisa dimunculkan untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu berangkat dari berbagai anasir di atas, berarti hidup dan matinya ajaran Islam untuk melakukan transformasi kemajuan ilmu pengetahuan, tanpa melepaskan esensi Islam yang harus mempertahakan nilai-nilai fundamental, tetap harus dipertahankan karena ideologi dan keyakinannya atas kebenaran hakiki.
Benarlah nasihat Al-Kindi sebagaimana yang sering dikutip dalam karyanya Treatise on Metphhysics. “Bahwa kita seharusnya tidak malu untuk mengakui kebenenaran dan menerimanya dari sumber manapun yang datang kepada kita, sekalipun ia dibawa kepada kita oleh generasi sebelumnya dan orang asing. Bagi orang yang berusaha menemukan kebenaran tidak ada nilai yang lebih tinggi dari kebenaran itu sendiri, ia tidak pernah merendahkan atau melecehakan orang yang mencapainya, justru memuliakan dan menjadikannnya terhormat.”(Seyyed Hossein Nasr, 2006: 31)
Bahkan jika dirunut ke belakang, sejarah pertama kalinya tersiar Islam atas peran Nabi Muhammad SAW. Peristiwa Hijrahnya Rasul dari Mekah ke Madinah, dari sanalah sesungguhnya tersimpan jejak ilmu pengetahuan yang telah ditanamkan oleh Nabiullah Muhammad SAW.
Pertanyaan yang kemudian muncul dari peristiwa Hijrahnya Rasul ke Madinah, sebagaibukan peristiwa imigrasi besar-besaran saja. Adalah dalam keadaan Rasul yang terancam dari serangan dan buruan kaum quraisy, kenapa Muhammad SAW tidak menggunakan kendaraan Borak sebagaimana waktu melakukan perjalanan is’ra mi’raj, padahal dalam kasat mata kejadian itu sudah benar-benar Rasul dalam ancaman kematian oleh musuh-mushnya?
Penting untuk dimaknai bahwa peristiwa ini, Rasul mengajarkan hijranya adalah bagian dari seni, ilmu pengetahuan dan tata cara mengatur prospek keemanan diri bagi kaum Muslim. Tampak pada waktu itu dalam cerita Ali bin Abu Thalib sebagai sosok anak muda diberikan tugas maha penting menghapus jejak-jejak perjalanan Rasul beserta dengan pengikutnya. Inilah bagian dari pengakuan dan ilmu pengetahuan yang sudah diajarkan oleh Rasul kepada ummatnya saat itu (Jalaluddin Rahmat, 1991: 133).
Hal lain menjadi pengakuan terbesar atas konsepsi pengetahuan Barat yang diintrodusir dalam corak berpikir Islam, adalah munculnya kesepadanan penalaran dalam pemikiran Islam sebagaimana apa yang disebut logika. Murtadha Muthari (1994: 18) secara sistemtis menguraikan logika aristotelian dari hasil pembukuan Abu Ali Sina (Ibnu Sina).
Masuk dalam pembahasan proses islamisasi pengetahuan yang telah dikembangkan oleh para pemikir Barat. Tentunya pemikir Islam tidak perlu anti terhadap kemajuan, tetapi melakukan program islamisasi a ilmu pengetahuan agar sekulerisme dan penghambaan terhadap rasio, juga daya cipta mampu terkalahkan berkat rekonseptuliasai dari berbagai model pemikiran Islam.
Boleh dikatakan program Islamisasi ilmu pengetahuan dalam menjawab tantangan modernism, baru muncul pada abad ke-20 (an). Itupun banyak mengalami penentangan dari kalangan pemikir internal Islam sendiri. Diantaranya Usep Fahruddin dan Fazlur Rahman.
Usep Fahruddin mengemukakan Islamisasi Ilmu bukan termasuk kerja ilmiah apalagi kerja kreatif. Islamisasi ilmu tidak berbeda dengan pembajakan atau pengakuan terhadap pengakuan karya orang lain. Sampai pada tingkat tertentu, Islamisasi tidak ubahnya pekerjaan seperti seorang tukang, jika ada seorang Saintis berhasil menciptakan atau mengembangkan suatu ilmu. Orang Islam menangkap dan mengIslamkannya. (Khudori Soleh, 2013: 299)
Ketidaksetujuan yang lain juga disampaikan oleh Fazlur Rahman. Menurutnya tidak perlu ada islamisasi ilmu pengetahuan, karena semua ilmu telah Islam, tunduk dalam aturan sunnah Allah. Hal yang terpenting adalah menciptakan manusia yang tahu dan mengerti tentang nilai-nilai Islam dan kemanusiaan sehingga mampu menggunakan sains secara konstruktif positif. Artinya dalam pandangan Fazlur Rahman, Islamisasi ilmu hanya diperlukan dan bisa dilaksanakan pada aspek aksiologis, penggunaan atau pada pihak pelakunya, bahkan dalam aspek ontologis atau epistemologis. (ibid: 300)
Terlepas dari penentangan para pakar atau intelektual Muslim terkait dengan proses Islamisasi pengetahuan menurut beberapa literatur pertama kali diangkat oleh Sayyid Husein Nasr dalam beberapa karyanya sekitar 1960-an. Saat itu Nasr berbicara dan membandingkan antara metodeologi ilmu-ilmu umum (matematika, ilmu alam, dan metafisika). Menurutnya, apa yang disebut ilmu dalam Islam tidak berbeda dengan scientia dalam istilah latin. Kendatipun yang membedakan diantara keduanya adalah metode yang dipakai. Ilmu keIslaman tidak hanya menggunakan metodologi rasional dan cenderung positivistik, tetapi juga menerapkan berbagai metodologi, rasional, tekstual, dan bahkan isstuitif, sesuai dengan objek yang dikaji.
Gagasan yang membuktikan Islamisasi ilmu pengetahuan di dunia, terjadi dalam Konperensi di Washington (Amerika, 1981). Gerakan Islamisasi ilmu disambut dan dipelopori oleh Ismaael Raji Alfaruqi sampai didirikannya sebuah perguruan tinggi The International of Islamic Thought.
Tapi jika dilacak lebih awal ternyata proses Islamisasi sains sudah dimula pada 1977 oleh Sayid M. naquib Al-Attas. Al-Attas secara eksplesit menyatakan dan meresmikan proyek Islamisasiilmu ketika diadakan konperensi pendidikan internasional di Mekkah.
Berdasarkan dari dua Tokoh intelektual Muslim yang berpengaruh tersebut. Maka dari ulasan-ulasan pemikirannyalah bisa ditarik proses terjadinya Islamisasi pengetahuan.
Syed Muhammad Naquib al-Attas menyadari bahwa “virus” yang terkandung dalam Ilmu Pengetahuan Barat modern sekuler merupakan tantangan yang paling besar bagi kaum Muslimin saat ini. Dalam pandangannya, peradaban Barat modern telah membuat ilmu menjadi problematis. Selain telah salah-memahami makna ilmu, peradaban Barat juga telah menghilangkan maksud dan tujuan ilmu. Sekalipun, peradaban Barat modern menghasilkan juga ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia. (Khudori Soleh, 2013: 303 s/d 322)
Dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Westernisasi ilmu adalah hasil dari kebingungan dan skeptisisme. Westernisasi ilmu telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologi ‘ilmiah.’ Bukan hanya itu, Westernisasi ilmu juga telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan. Menurutnya lagi, Westernisasi ilmu tidak dibangun di atas Wahyu dan kepercayaan agama. Namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleb rasio manusia, terus menerus berubah.
Oleh karena ilmu pengetahuan dalam budaya dan peradaban Barat itu justru menghasilkan krisis ilmu pengetahuan yang berkepanjangan, Syed Muhammad Naquib al-Attas berpendapat ilmu yang berkembang di Barat tak semestinya harus diterapkan di dunia Muslim. Ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan. Sebabnya, ilmu bukan bebas-nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value laden).
Memang antara Islam, filsafat dan sains modern, sebagaimana yang disadari oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas terdapat persamaan khususnya dalam hal-hal yang menyangkut sumber dan metode ilmu, kesatuan cara mengetahui secara nalar dan empins, kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagi filsafat sains; proses dan filsafat sains. Bagaimanapun, Ia menegaskan terdapat juga sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup (divergent worldviews) mengenai Realitas akhir. Baginya, dalam Islam, wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk ciptaan dan Pencipta.
Pandangan hidup dalam Islam adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and truth). Realitas dan kebenaran dalam Islam bukanlah semata-mata pikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekular mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Realitas dan kebenaran dimakni berdasarkan kajian metafisis terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak.
Jadi, pandangan hidup Islam mencakup dunia dan akhirat, yang mana aspek dunia harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalam kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansi yang terakhir dan final.
Pandangan hidup Islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatukan (tawbid). Pandangan hidup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi agama seperti: nama, keimanan, pengamalan ibadah, doktrin serta sistem teologi telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi.
Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Tidak memerlukan progresifitas dan perubahan dalam hal-hal yang sudah sangat jelas (al-ma‘lum min al-din bi al-darürah). Pandangan hidup Islam terdiri dan berbagai konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu, penciptaan, psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebaikan serta kebahagiaan. Konsep-konsep tersebut yang menentukan bentuk perubahan, perkembangan dan kemajuan pandangan hidup Islam dibangun atas konsep Tuhan yang unik, yang tidak ada pada tradisi filsafat, budaya, peradaban dan agama lain.
Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban. Islam adalah agama yang mengatasi dan melintasi waktu karena sistem nilai yang dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bukan hanya untuk masa dahulu, namun juga sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang ada dalam Islam adalah sepanjang masa. Jadi, Islam memuliki pandangan hidup mutlaknya sendiri, merangkum persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, dan alam semesta. Islam memiliki penafsiran ontologis, kosmologis dan psikologus tersendiri terhadap hakikat. Islam menolak ide dekonseknasi nilai karena merelatifkan semua sistem akhlak.
Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep. Konsep kunci dalam setiap bidang dan ilmu pengetahuan saat ini yang relevan. Jika kedua proses tersebut selesai dilakukan, maka Islamisasi akan membebaskan manusia dari magic, mitologi, animisme, tradisi budaya nasional yang bertentangan dengan Islam. Demikian halnya akan mengontrol paradigma sekular kepada akal dan bahasanya. Islamisasi akan membebaskan akal manusia dari keraguan (sbakk), dugaan (zann) dan argumentasi kosong (miro) menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligible dan materi. Islamisasi akan mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu pengetahuan kontemporer dan ideologi, makna dan ungkapan sekular.
Selanjutnya pemikir yang juga menyepakati proses islmisasi pengetahuan adalah Ismaael Raji Alfaruqi. Alfaruki menekankan program Islamisasi melalui perombakan total atas kelilmuan modern Barat kerana dianggap bersifat Euorosentris, tampak lebih utuh, jelas, dan terperinci dibanding gagasan islamisasi ilmu yang dilontarkan oleh para pemikir lain. Langkah-langkah islmisasi ilmu pengetahuan yang diberikan dan kritiknya terhadap realitas pendidikan Islam juga merupakan sumbangan bermanfaat bagi perombakan sistem pendidikan Islami. (Khudori Soleh, 2013: 323 s/d 343)
Untuk itu diperlukan prinsip kesatuan kebenaran dan pengetahuan. Jika kebenaran dan pengetahuan adalah satu dan sama. Mencari pengetahuan berarti sama dengan mencari kebenaran. Persoalannya, apakah juga merupakan pencarian kebenaran jika seorang meneliti tekhnik-tekhnik penyiksaan, atau jika seseorang mencari data baru untuk menciptakan bom kimiawi dan senjata pemusna massal yang lebih canggih, mengingat bahwa semua itu juga pengetahuan dan bermanfaat bagi yang menginginkannya?
Dalam konteks itu, disinilah islamisasi pengetahuan memeliki peran penting untuk menyingkap, bahwa maksud kebenaran yang diperoleh dari pengetahuan bercorak Barat sesungguhnya bukan kebenaran yang hakiki. Kebenaran dalam pengetahuan tidak pernah pernah dipakai dalam arti literelnya, tetapi hanya dipakai dalam arti yang terbatas. Tidak ada kebenaran yang sebenarnya, yang ada hanya beberapa kombinasi penglihatan atau pengamatan yang menurut penglaman manusia terjadi dalam suatu urutan terbatas yang keteraturannya tetap sama setiap waktu dan diduga dengan cara identik akan terjadi pada waktu yang akan datang dalam urutan yang terbatas sama. (Juaid Quamar, 1983: 12)
Dari pengertian dan model islamisasi pengetahuan diatas dapat disimpulkan bahwa islamisasi dilakukan dalam upaya membangun kembali semangat umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional-empirik dan filosofis dengan tetap merujuk kepada kandungan Al-quran dan Sunnah Nabi. Sehingga umat Islam akan bangkit dan maju menyusul ketinggalan dari umat lain, khususnya Barat.
Pandangan Islam atas Perkembangan Arus Moderniasasi Sebagai Perkembangan Lebih Lanjut dari Kemajuan Ilmu Pengetahuan
Respon ummat Islam atas perkembangan modernisasi menarik untuk mengikuti terlebih dahulu anekdot yang pernah ditulis oleh Nurcholis Madjid (1982: 521) dalam bukunya “Islam, Doktrin, dan Peradaban”. Alkisah ketika Raja Faisal yang bijaksana dan berpikir maju di kerajaan Arab Saudi mulai memperkenalkan radio kepada masyarakat negerinya, Ia mendapat rekasi keras dari para pemimpin agama atau ulama. Mereka ini tidak saja menolak kehadiran alat komunikasi modern itu, tetapi malah memandangnya sebagai barang tiruan setan. Mungkin karena bagi mereka sebuah benda mati tidak akan memproduksi suara kecuali jika ada ruh di dalamnnya, maka mereka menganggap adanya setan dalam benda tersebut. Karena itu, konon ketika Raja Faisal memerintahkan untuk menyiarkan pembacaan ayat suci Alqur’an melalui radio itu para ulama mulai menunjukan tanggapan positif. Mereka mulai berpikir, sebuah benda yang dapat memproduksi suara-suara dari kitab suci adalah mustahil buatan setan. Sebab, setan akan lari pastinya kalau mendengar ta’awwudz dan tidak mungkin menyiarkan kalam Ilahi yang suci.
Selanjutnya mari bandingkan cerita di atas yang memiliki kejadian serupa terhadap yang dialami oleh orang-orang Eropa ketika mereka pertama kali berkenalan dengan beberapa segi peradaban Islam. Misalnya sikap mereka terhadap benda yang kini dianggap lumrah saja yaitu kopi. Barangkali karena minuman dan industri kopi dirintis dan dikembangkan oleh orang-orang Arab (perkataan kopi, coffe, café, Kaffe) berasal dari “qahwah” dan banyak digunakan oleh kaum Sufi agar betah berzikir, maka ada masa ketika minuman berkhasiat itu oleh para pemimpin agam Kristen Eropa disebut sebagai buatan setan. Sikap ini tidak begitu mengherankan, mengingat betapa benci dan takutnya orang-orang saat itu kepada bangsa-bangsa Muslim yang telah menaklukan mereka dibanyak tempat (Semenanjung Siberia di Barat dan Balkan di Timur) tetapi ketika mereka mendapatkan bahwa kopi tidak punya urusan dengan makhluk jahat apapun, dan setelah sebagian mereka mulai belajar meneguknya, mereka beralih kepada pandangan serba takhayul (suppertitious) mengenai minuman dari Arab itu.
Masih dikisahkan oleh Nurcholis Madjid (ibid: 522), ada lagi cerita yang tidak kurang bizarre-nya dibanding dengan sikap ulama Arabia terhadap radio itu. Adalah kepercayaan Raja Gustav III dari Swedia pada paruh kedua abad ke-18 bahwa kopi adalah racun yang mematikan, yang dapat digunakan untuk melaksanakan hukuman mati atas seorang pembunuh.
Konkretnya kejadian itu: “Raja Gustav III dari Swedia berkeyakinan bahwa kopi adalah racun. Untuk membuktikan teorinya Ia menghukum seorang pembunuh agar minum kopi setiap hari sampai mati. Untuk membuat perbandingan seorang pembunuh lain diampuni hanya dengan minum teh setiap hari. Dua orang ditunjuk untuk mengawasi eksperimen itu dan melihat siapa yang mati lebih dahulu. Ternyata dokter-dokter itulah yang lebih dahulu mati. Kemudian raja sendiri terbunuh pada 1972. Akhirnya sedang bertahun-tahun salah seorang penjahat tersebut pun mati pada umur 83 tahun. Dia adalah yang minum teh bukan yang minum kopi.”
Ilustrasi dari dua cerita yang dilukiskan oleh Nurcholis Madjid di atas, kendatipun terkesan hanya sebagai anekdot saja, tetapi ini merupakan kenyataan yang menimpa seluruh ummat manusia. Ada semacam inertia pada psikologi manusia, maka mereka cenderung menolak apa yang baru, yang sama sekali belum dikenalnya.
Hal itu pantas untuk dipermaklumkan karena sikap penolakan atas hal yang baru demikian merupakan bagian dari insting untuk bertahan hidup (survival), sikap manusia menolak sesuatu hal atau benda yang belum dikenal itu berakar dalam kecurigaan kalau akan menjadi sumber ancaman baginya, atau kemungkinan Ia tidak dapat menguasainya.
Serupa dengan hal itu pula tekhnologi yang dianggap sebagai tanda kemajuan modernisasi pastinya rentan bagi manusia, terkhusus ummat Islam yang sangat anti Barat, mereka yang termasuk golongan klasik ketika memandang Islam sebagai konstantisasi ajaran Rasul saja. Maka segala kemajauan modernisasi akan ditolaknya.
Padahal untuk ummat Islam itu sendiri, modernisasi yang dibawa oleh tekhnologi tidak hanya muncul di zaman sekarang. Tekhnologi telah ada sepanjang peradaban manusia, terutama sejak tumbuhnya masyarakat kota pada bangsa Sumeria sekitar 500 tahun yang lalu. Hudgson (1974: 201) menyatakan, adalah sebuah kemustahilan memandang zaman modern sebagai sesuatu kesatuan yang terpisah: “it had not been isolated even in the origins, since it presupposed the wider historical complex of wich the Occident formed a part”.
Jika pada pembahasan sebelumnya telah diuraikan problematik islamisasi pengetahuan oleh Al-attas dan Al-faruqi yang mana inti sarinya tidak boleh “mendewakan” akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Pun atas kemajuan ilmu pengetahuan yang menjadi dominasi para pemikir Barat, segala bentuk pemikiran itu harus disesuaikan kembali dengan proses intuisasi guna menembus dimensi manusia sebagai satu kesatua mikro dan makro menuju kebenaran hakikinya sebagai makhluk spiritual.
Dalam hemat Penulis terhadap arus meodernisasi lintasan keilmuan dan pengetahuan atas hakikat dari kebenaran islami tugas yang seharusnya diemban oleh dunia Muslim selain menerima ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Posisi yang dapat diambil oleh intelektual Muslim tidak hanya fokus pada penyesuain tekhnologi dengan segala kepentingan asasisnya saja dari dimensi spiritual. Tetapi untuk saat ini harus pula menjadi penemu pertama dalam menciptakan tekhnologi (discovery), agar supaya stigmatisasi dunia Islam yang hanya mampu bernostalgia atas kejayaan masa lalu dapat terbantahkan sebagaimana anjuran Abdul Munir Mulkhan (2007).
Jauh lebih penting di atas semua peran tekhnologi harus melalui peregukan makna esoterik dan pengalaman batinia (lebenswelt) untuk tetap menghidupkan abadinya ayat-ayat qauniyah maupuan ayat-ayat qauliyah. Dari situ dapat diambil contoh: uji forensik dan laboratorium atas kejahatan perzinahan, jika sepanjang untuk membuktikan kebenaran yang tidak bertentangan dengan landasan Al-qur’an dan Assunah maka dunia Islam harus menerimanya.
Tentunya hal yang berbeda terhadap perkembangan modernisasi atas rekyasa genetik hingga munculnya inovasi bayi tabung, lalu diadakan kontrak sewa rahim. Sudah pasti kebenaran yang dimaksudkan oleh sisi sentralnya ayat Tuhan yang berlaku imperatif tidak akan pernah membolehkan tindakan demikian.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkhan. 2007 (a). Satu Tuhan Seribu Tafsir. Yogyakarta: Kanisius.
__________________. 2007 (b). Sufi Pinggiran. Yogyakarta: Kanisius.
__________________. 2000. Neosufisme dan Pudarnya Fundamentalisme di Pedesaan.Yogyakarta: UII Press.
Betrand Russel. 2001. Sejarah Filsafat Barat.Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Dede Rosyada. 1993. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Edward Said. 1978. Orientalism. New York: Vintage Books.
Esposito, John L.. 2010. Masa Depan Islam. Bandung: Mizan
Hudgson, Marshall GS. 1974. The Venture of Islam. Chicago: The University of Chicago Press.
Huntinghton, Samuel P. 1996. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York: NY 10020.
Jalaluddin Rakhmat. 2003. Psikologi Agama. Bandung: Mizan.
________________. 1991. Islam Aktual. Bandung: Mizan.
.
Jean Paul Sartre. 1960. Existentialism and Humanism. London: Methuen dan Co Ltd.
Karen Armstrong. 2001. Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan.
Kattsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Khudori Soleh. 2013. Filsafat Islam dari Klasik hingga Modern. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Lavine, T.Z. 1984. From Socrates to Sartre: the Philosophic Ques. New York: Bantam Book.
Max Weber. 1951. The Religion of India: The Sociology of Hinduism and Budhism. Glencoe III: Free Press.
Murtadha Muthari. 1994. PengantarMenuju Logika. Lawang: Yayasan Pesantren Islam.
Muhammad Baqir Ash-Shadr. 1991. Falsafatuna. Bandung: Mizan
________________________. 2008. Iqhtisaduna. Yogyakarta: Zahra Publishing House.
________________________. 2011. Risalatuna. Yogyakrta: Rausyan Fikr Institute.
Muhammad Iqbal. 1981. The Reconstruction of Religious Thought in Islam. New Delhi: Kitab Bhavan.
Nurcholis Madjid. 1982. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina
______________. 1999. Cita-Cita Politik Islam. Jakarta: Paramadina.
______________. 1994, Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina.
Seyyed Hossein Nasr. 2006. Filsafat Islam. Yogyakarta: IRCiSoD.
Ketika Allah SWT “hendak” menciptakan manusia. Malaikat lalu bertanya “mengapa Rabbku, hendak menciptakan manusia, bukankah hal itu hanya akan menjadikan diantara sesamanya melakukan pertumpahan darah”. Lalu Allah SWT menyelahnya; “Akulah yang lebih atas segalanya dari pada dirimu.”
Singkat kata singkat cerita lalu Allah SWT menciptakan sosok manusia dari tanah lumpur yang berbau. Tat kala selesai dan sempurnanya karya Maha Agung Allah SWT, Malaikat dan Jin disuruhnya agar berusujud di hadapan manusia untuk pertama kalinya waktu itu, Adam as. Hanya jin yang merupakan ciptaaan Tuhan menolak untuk bersujud kepada Adam as.
Terbukti pula kemahatahuan Allah SWT dengan seketika; Adam as mampu menyebut nama-nama waktu (hari, bulan dan tahun) sampai pada penamaan benda-benda alam semesta.
Inilah awal dari kisah yang menandakan karunia Allah SWT paling dahsyat bagi manusia. Manusia dikarunia akal, rasio, pikiran, hati dan jiwa untuk menyingkap segala rahasia seanteror alam melalui pengetahuan yang berdimensi ke segala aspek.
Antara pengetahuan dan ilmu saling bersanding untuk mencapai kemanfaataannya untuk manusia itu sendiri. Pengetahuan bukan hanya hadir sejak manusia terlempar dalam dualitas kehidupan duniawi. Tetapi sejak pertama kalinya diciptakan, ketika menempati surga telah teradikodrati dengan basis pengetahuan.
Bahkan peristiwa Adam as. bersama dengan Hawa meninggalkan surga. Maka dari sana tercitrakan pula untuk lestarinya pengetahuan manusia yang telah diberikan kepadanya.
Dengan pengetahuanlah manusia akan menemukan jalan kebenaran. Oleh Muhammad Iqbal (1981: 64) mendeskripsikan “kisah terbukanya selubung-selubung penutup Adam as bersama dengan Hawa pasca memakan buah kuldi terlarang, naratif yang harus diambil sebagai hikmah, yang demikianlah awal manusia bisa saling mengenali diri dan menyalurkan kebutuhan biologisnya, agar bisa melestarikan generasi dari masa ke masa, sebab egonya untuk mencoba hal yang baru juga bagian dari rasa ingin memperoleh pengetahuan melalui trial and error (terj. Penulis)”.
Pun tidak hanya sampai di situ, ilham ketuhanan juga berkali-kali datang melalui wahyu yang tersampaikan kepada para Nabi. Ketika manusia sudah bergelimang dengan kejahatan, lagi-lagi Tuhan selalu “campur tangan” atas kasih sayang-Nya kepada manusia yang telah meninggalkan pengetahuan akan kebenaran dan kebaikan.
Maka dalam konteks saat ini, usia dunia yang semakin hari menanjak uzurnya. Ketika agama Islam telah datang menyempurnakan risalah Tuhan. Perdebatan kemudian yang memantik ummat Islam: apakah ilmu pengetahuan dan perkembangan arus modernisasi yang banyak dihasilkan sebagai produk Barat (bukan dari kelompok Islam) dunia Islam harus anti terhadap kemajuan yang telah ditunjukan oleh dua hasil olah pikir tersebut? Jawabannya tentu tidak, sebab terkait dengan ulasan yang di awal tadi, Islam yang telah mengakui ilmu pengetahuan. Bahwa sejarah awal perkembangannya, umat Islam pernah membuktikan diri sebagai kampiun pertumbuhan peradaban dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu kalau ada kemajuan dari segala penjuru dunia Barat, Islam tak perlulah anti terhadap kemajuan tersebut. Tetapi Islam harus menjadi pembaharu melalui filterisasi pewahyuan yang telah dianugerahkan kepadanya oleh Allah SWT.
Betrand Russel (2001), Max Weber (1951), dan Seyyed Hossein Nasr (2006) turut memberi pengakuan kalau betapa besar sumbangsi pemikiran Islam dalam dunia Filsafat yang nyata-nyata lahir dari peradaban Yunani dan Romawi kuno. Tak adalah gunanya jejak dan hasil pemikiran para filsuf sekaliber Socrates, Plato dan Aristoteles andai saja tak ada pemikir Islam kembali menghidupkannya. Makanya selalu dipandang bahwa sumbangsi pemikiran Islam terhadap arus kehidupan filsafat; ibarat pepohonan. Pohon yang telah ditanam oleh para Filsuf Yunani sungguh begitu menghijau, tetapi berkat para pemikir Islam dalam menghidupkannya kembali, dalam suasana esoteric, pohon tersebut pada akhirnya bisa berbuah.
Tak hanya itu, Ibnu Sina pernah “menggertak” perkembangan ilmu pengetahuan atas bukti historis bagi dunia Barat, begitu sanjungnya pada kerja keras para pemikir Muslim terutama untuk dunia kedokteran. Al-Khawrizmi pun melengkapi perumusan Matematika Aljabar (perlu diingat bahwa kata Al-Jabar merupakan bahasa Arab yang muncul bersama dengan penamaan dalam beberapa ilmu eksakta seperti alcohol, alcemi, dst). Angka “nol” adalah ciptaan Al-Khawarzmi.
Sampai di situ maka pertanyaan yang muncul; apakah Islam masih harus anti terhadap ilmu pengetahuan? Pastinya tidak. Harus diakui pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dari dunia Barat juga banyak memberikan implikasi positif bagi ummat Islam. Dunia Islam harus sadar akan terbelakangnya peradaban dan ilmu pengetahuan di kalangan mereka. Islam perlu melalui jalan reorientasi dan transformasi ajaran terhadap corak ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh dunia Barat
Huntington (1996) memberikan penawaran baik, bagi dunia Islam; “Islam harus melakukan perwujudan penerimaan dalam bentuk modernitas, sembari melakukan penolakan terhadap kebudayaan Barat, lalu re-komitmen terhadap Islam sebagai petunjuk hidup dalam dunia modern.”
Arus kehidupan modern yang tidak lagi bisa terbendung, dunia Islam harus mengambil posisi tersendiri setelah mempelajai kembali ilmu pengetahuan tersebut. Islam dapat mengartikulasikan ajarannya dalam semua sisi kehidupan modern.
Respons terhadap modernisasi disikapi umat Islam dengan tetap bertopang pada ajaran Islam. Wujud nyata dari sikap umat adalah munculnya proses Islamisasi kehidupan modern di kalangan masyarakat Islam.
Sehingga tidaklah berlebihan, bila sejak 1970-an konsep Islamisasi pengetahuan mulai dibumikan oleh Al-Attas. Kebangkitan Islam, yang secara massif dibarengi simbolisasi Islam dalam kehidupan masyarakat Muslim, semakin mendorong isu Islamisasi.
Lalu pada dekade 1980-an merupakan titik awal gerakan al-Faruqi, isu Islamisasi ini mengambil obyek ilmu pengetahuan. al-Faruqi berupaya memadukan nilai etis dan agama dengan ilmu pengetahuan modern.
Proses Islamisasi ilmu pengetahuan tidak diarahkan untuk menolak pengetahuan yang ada. Kecuali itu, ia merupakan upaya holistik dalam integrasi dua kajian, wahyu dan alam, untuk menemukan alternatif metode pengetahuan yang mampu mengeluarkan manusia modern dari krisis peradaban destruktif.
Dengan pelibatan aspek wahyu dalam metode pengetahuan, sebagai proses Islamisasi, berbanding terbalik dengan metode yang berkembang di kalangan ilmuan Barat modern. Metode pengetahuan modern tidak lagi mempertimbangkan aspek nilai, apalagi wahyu, dan bahkan secara ekstrim ia tidak lagi memberikan tempat pada nilai-nilai manusiawi.
Sardar kemudian sangat keras memberi kritik “desakan untuk menolak semua pertimbangan nilai dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan menyebabkan metode pengetahuan modern memperlakukan obyek penyelidikan, baik manusia maupun bukan manusia, sebagai benda mati yang bisa dieksploitasi, dimanipulasi dan dibedah atas nama sains.” Menyadari kondisi demikian, sudah banyak ilmuan Muslim kembali berupaya mengajukan metode pengetahuan dengan bertumpu pada ajaran Islam.
Proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan yang Telah Didominasi oleh Dunia Barat
Persepsi Barat terhadap dunia Islam terutama negeri Arab diulas lebih dalam oleh Edward Said (1978: 149) dalam bukunya “Orientalism”. Edward Said dengan mengutip pernyataan yang disampaikan oleh Chaim Weismann cukup menunjukan keterbelakangan dunia Islam yang berasal dari tanah Jazirah Arab terbelakang untuk mengambil posisi dalam kemajuan ilmu pengetahuan:
“Orang-orang arab, yang tampaknya cerdik dan cepat tanggap, ternyata hanya memuja satu hal kekuasaan dan keberhasilan. Penguasa-penguasa asal Inggris yang mengetahui fitrah dari orang- orang arab ini harus melakukan pengawasan secara cermat dan terus menerus. Makin jujur rezim Inggris bersikap, makin besar kepala orang-orang Arab itu. Urusan saat ini mestinya mengarah pada penciptaan sebuah negara Palestina Arab, itupun kalau kalau ada masyarakat Arab di Palestina. Tetapi dalam kenyataannya, hal ini justru tidak terjadi karena kaum fellah sudah meninggal empat ratus tahun yang lalu dan para effendi adalah orang-orang yang curang, tak berpendidikan, tamak, tidak patriotik dan brengsek (terj. Penulis)”.
Jika ditelaah lebih lanjut dampak kemerosotan peran Islam dalam kemajuan ilmu dan pengetahuan oleh Muhammad Baqir Ash-Shadr (2011: 47) mengemukakan “tidak lain disebabkan oleh kegagalam Islam di hadapan masyarakat manusia, penyebabnya adalah penyimpangan yang dilakukan oleh para penguasa. Mereka meletakkan berbagai tolak ukur sesuai dengan kepentingan mereka terhadap masa depan kaum Muslim. Usaha untuk mengubah Islam secara drastis dalam pandangan setiap individu Muslim sampai pada titik dimana terjadi pengaburan jati diri Islam sehingga Islam tidak lagi mengaktual dalam realitas kehidupan.”
Ketimpangan selanjutnya yang menyebabkan dunia Islam tidak terlalu menaruh perhatian untuk kemajuan Ilmu pengetahuan tidak mampu terbandingi dengan pemikir-pemikir Barat yang lebih keras untuk mempelajari corak Islam. Bahkan tak kurang dari pemikir Barat lebih dominan menaruh perhatian besar terhadap urgensi Islam yang berlandaskan Al-qur’an dan Hadits, dibandingkan para pemikir Islam saat ini untuk mempelajari pula hasil-hasil pemikiran Barat yang telah mendongkrak pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan ke seluruh dunia. Terdapat nama sekelas Karen Amstrong, John L. Esposito, dan Huntington. Dari berbagai karyanya menjadi bukti betapa besarnya perhatian mereka terhadap ide-ide dasar Islam yang bisa dimunculkan untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu berangkat dari berbagai anasir di atas, berarti hidup dan matinya ajaran Islam untuk melakukan transformasi kemajuan ilmu pengetahuan, tanpa melepaskan esensi Islam yang harus mempertahakan nilai-nilai fundamental, tetap harus dipertahankan karena ideologi dan keyakinannya atas kebenaran hakiki.
Benarlah nasihat Al-Kindi sebagaimana yang sering dikutip dalam karyanya Treatise on Metphhysics. “Bahwa kita seharusnya tidak malu untuk mengakui kebenenaran dan menerimanya dari sumber manapun yang datang kepada kita, sekalipun ia dibawa kepada kita oleh generasi sebelumnya dan orang asing. Bagi orang yang berusaha menemukan kebenaran tidak ada nilai yang lebih tinggi dari kebenaran itu sendiri, ia tidak pernah merendahkan atau melecehakan orang yang mencapainya, justru memuliakan dan menjadikannnya terhormat.”(Seyyed Hossein Nasr, 2006: 31)
Bahkan jika dirunut ke belakang, sejarah pertama kalinya tersiar Islam atas peran Nabi Muhammad SAW. Peristiwa Hijrahnya Rasul dari Mekah ke Madinah, dari sanalah sesungguhnya tersimpan jejak ilmu pengetahuan yang telah ditanamkan oleh Nabiullah Muhammad SAW.
Pertanyaan yang kemudian muncul dari peristiwa Hijrahnya Rasul ke Madinah, sebagaibukan peristiwa imigrasi besar-besaran saja. Adalah dalam keadaan Rasul yang terancam dari serangan dan buruan kaum quraisy, kenapa Muhammad SAW tidak menggunakan kendaraan Borak sebagaimana waktu melakukan perjalanan is’ra mi’raj, padahal dalam kasat mata kejadian itu sudah benar-benar Rasul dalam ancaman kematian oleh musuh-mushnya?
Penting untuk dimaknai bahwa peristiwa ini, Rasul mengajarkan hijranya adalah bagian dari seni, ilmu pengetahuan dan tata cara mengatur prospek keemanan diri bagi kaum Muslim. Tampak pada waktu itu dalam cerita Ali bin Abu Thalib sebagai sosok anak muda diberikan tugas maha penting menghapus jejak-jejak perjalanan Rasul beserta dengan pengikutnya. Inilah bagian dari pengakuan dan ilmu pengetahuan yang sudah diajarkan oleh Rasul kepada ummatnya saat itu (Jalaluddin Rahmat, 1991: 133).
Hal lain menjadi pengakuan terbesar atas konsepsi pengetahuan Barat yang diintrodusir dalam corak berpikir Islam, adalah munculnya kesepadanan penalaran dalam pemikiran Islam sebagaimana apa yang disebut logika. Murtadha Muthari (1994: 18) secara sistemtis menguraikan logika aristotelian dari hasil pembukuan Abu Ali Sina (Ibnu Sina).
Masuk dalam pembahasan proses islamisasi pengetahuan yang telah dikembangkan oleh para pemikir Barat. Tentunya pemikir Islam tidak perlu anti terhadap kemajuan, tetapi melakukan program islamisasi a ilmu pengetahuan agar sekulerisme dan penghambaan terhadap rasio, juga daya cipta mampu terkalahkan berkat rekonseptuliasai dari berbagai model pemikiran Islam.
Boleh dikatakan program Islamisasi ilmu pengetahuan dalam menjawab tantangan modernism, baru muncul pada abad ke-20 (an). Itupun banyak mengalami penentangan dari kalangan pemikir internal Islam sendiri. Diantaranya Usep Fahruddin dan Fazlur Rahman.
Usep Fahruddin mengemukakan Islamisasi Ilmu bukan termasuk kerja ilmiah apalagi kerja kreatif. Islamisasi ilmu tidak berbeda dengan pembajakan atau pengakuan terhadap pengakuan karya orang lain. Sampai pada tingkat tertentu, Islamisasi tidak ubahnya pekerjaan seperti seorang tukang, jika ada seorang Saintis berhasil menciptakan atau mengembangkan suatu ilmu. Orang Islam menangkap dan mengIslamkannya. (Khudori Soleh, 2013: 299)
Ketidaksetujuan yang lain juga disampaikan oleh Fazlur Rahman. Menurutnya tidak perlu ada islamisasi ilmu pengetahuan, karena semua ilmu telah Islam, tunduk dalam aturan sunnah Allah. Hal yang terpenting adalah menciptakan manusia yang tahu dan mengerti tentang nilai-nilai Islam dan kemanusiaan sehingga mampu menggunakan sains secara konstruktif positif. Artinya dalam pandangan Fazlur Rahman, Islamisasi ilmu hanya diperlukan dan bisa dilaksanakan pada aspek aksiologis, penggunaan atau pada pihak pelakunya, bahkan dalam aspek ontologis atau epistemologis. (ibid: 300)
Terlepas dari penentangan para pakar atau intelektual Muslim terkait dengan proses Islamisasi pengetahuan menurut beberapa literatur pertama kali diangkat oleh Sayyid Husein Nasr dalam beberapa karyanya sekitar 1960-an. Saat itu Nasr berbicara dan membandingkan antara metodeologi ilmu-ilmu umum (matematika, ilmu alam, dan metafisika). Menurutnya, apa yang disebut ilmu dalam Islam tidak berbeda dengan scientia dalam istilah latin. Kendatipun yang membedakan diantara keduanya adalah metode yang dipakai. Ilmu keIslaman tidak hanya menggunakan metodologi rasional dan cenderung positivistik, tetapi juga menerapkan berbagai metodologi, rasional, tekstual, dan bahkan isstuitif, sesuai dengan objek yang dikaji.
Gagasan yang membuktikan Islamisasi ilmu pengetahuan di dunia, terjadi dalam Konperensi di Washington (Amerika, 1981). Gerakan Islamisasi ilmu disambut dan dipelopori oleh Ismaael Raji Alfaruqi sampai didirikannya sebuah perguruan tinggi The International of Islamic Thought.
Tapi jika dilacak lebih awal ternyata proses Islamisasi sains sudah dimula pada 1977 oleh Sayid M. naquib Al-Attas. Al-Attas secara eksplesit menyatakan dan meresmikan proyek Islamisasiilmu ketika diadakan konperensi pendidikan internasional di Mekkah.
Berdasarkan dari dua Tokoh intelektual Muslim yang berpengaruh tersebut. Maka dari ulasan-ulasan pemikirannyalah bisa ditarik proses terjadinya Islamisasi pengetahuan.
Syed Muhammad Naquib al-Attas menyadari bahwa “virus” yang terkandung dalam Ilmu Pengetahuan Barat modern sekuler merupakan tantangan yang paling besar bagi kaum Muslimin saat ini. Dalam pandangannya, peradaban Barat modern telah membuat ilmu menjadi problematis. Selain telah salah-memahami makna ilmu, peradaban Barat juga telah menghilangkan maksud dan tujuan ilmu. Sekalipun, peradaban Barat modern menghasilkan juga ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia. (Khudori Soleh, 2013: 303 s/d 322)
Dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Westernisasi ilmu adalah hasil dari kebingungan dan skeptisisme. Westernisasi ilmu telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologi ‘ilmiah.’ Bukan hanya itu, Westernisasi ilmu juga telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan. Menurutnya lagi, Westernisasi ilmu tidak dibangun di atas Wahyu dan kepercayaan agama. Namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleb rasio manusia, terus menerus berubah.
Oleh karena ilmu pengetahuan dalam budaya dan peradaban Barat itu justru menghasilkan krisis ilmu pengetahuan yang berkepanjangan, Syed Muhammad Naquib al-Attas berpendapat ilmu yang berkembang di Barat tak semestinya harus diterapkan di dunia Muslim. Ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan. Sebabnya, ilmu bukan bebas-nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value laden).
Memang antara Islam, filsafat dan sains modern, sebagaimana yang disadari oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas terdapat persamaan khususnya dalam hal-hal yang menyangkut sumber dan metode ilmu, kesatuan cara mengetahui secara nalar dan empins, kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagi filsafat sains; proses dan filsafat sains. Bagaimanapun, Ia menegaskan terdapat juga sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup (divergent worldviews) mengenai Realitas akhir. Baginya, dalam Islam, wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk ciptaan dan Pencipta.
Pandangan hidup dalam Islam adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and truth). Realitas dan kebenaran dalam Islam bukanlah semata-mata pikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekular mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Realitas dan kebenaran dimakni berdasarkan kajian metafisis terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak.
Jadi, pandangan hidup Islam mencakup dunia dan akhirat, yang mana aspek dunia harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalam kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansi yang terakhir dan final.
Pandangan hidup Islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatukan (tawbid). Pandangan hidup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi agama seperti: nama, keimanan, pengamalan ibadah, doktrin serta sistem teologi telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi.
Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Tidak memerlukan progresifitas dan perubahan dalam hal-hal yang sudah sangat jelas (al-ma‘lum min al-din bi al-darürah). Pandangan hidup Islam terdiri dan berbagai konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu, penciptaan, psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebaikan serta kebahagiaan. Konsep-konsep tersebut yang menentukan bentuk perubahan, perkembangan dan kemajuan pandangan hidup Islam dibangun atas konsep Tuhan yang unik, yang tidak ada pada tradisi filsafat, budaya, peradaban dan agama lain.
Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban. Islam adalah agama yang mengatasi dan melintasi waktu karena sistem nilai yang dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bukan hanya untuk masa dahulu, namun juga sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang ada dalam Islam adalah sepanjang masa. Jadi, Islam memuliki pandangan hidup mutlaknya sendiri, merangkum persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, dan alam semesta. Islam memiliki penafsiran ontologis, kosmologis dan psikologus tersendiri terhadap hakikat. Islam menolak ide dekonseknasi nilai karena merelatifkan semua sistem akhlak.
Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep. Konsep kunci dalam setiap bidang dan ilmu pengetahuan saat ini yang relevan. Jika kedua proses tersebut selesai dilakukan, maka Islamisasi akan membebaskan manusia dari magic, mitologi, animisme, tradisi budaya nasional yang bertentangan dengan Islam. Demikian halnya akan mengontrol paradigma sekular kepada akal dan bahasanya. Islamisasi akan membebaskan akal manusia dari keraguan (sbakk), dugaan (zann) dan argumentasi kosong (miro) menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligible dan materi. Islamisasi akan mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu pengetahuan kontemporer dan ideologi, makna dan ungkapan sekular.
Selanjutnya pemikir yang juga menyepakati proses islmisasi pengetahuan adalah Ismaael Raji Alfaruqi. Alfaruki menekankan program Islamisasi melalui perombakan total atas kelilmuan modern Barat kerana dianggap bersifat Euorosentris, tampak lebih utuh, jelas, dan terperinci dibanding gagasan islamisasi ilmu yang dilontarkan oleh para pemikir lain. Langkah-langkah islmisasi ilmu pengetahuan yang diberikan dan kritiknya terhadap realitas pendidikan Islam juga merupakan sumbangan bermanfaat bagi perombakan sistem pendidikan Islami. (Khudori Soleh, 2013: 323 s/d 343)
Untuk itu diperlukan prinsip kesatuan kebenaran dan pengetahuan. Jika kebenaran dan pengetahuan adalah satu dan sama. Mencari pengetahuan berarti sama dengan mencari kebenaran. Persoalannya, apakah juga merupakan pencarian kebenaran jika seorang meneliti tekhnik-tekhnik penyiksaan, atau jika seseorang mencari data baru untuk menciptakan bom kimiawi dan senjata pemusna massal yang lebih canggih, mengingat bahwa semua itu juga pengetahuan dan bermanfaat bagi yang menginginkannya?
Dalam konteks itu, disinilah islamisasi pengetahuan memeliki peran penting untuk menyingkap, bahwa maksud kebenaran yang diperoleh dari pengetahuan bercorak Barat sesungguhnya bukan kebenaran yang hakiki. Kebenaran dalam pengetahuan tidak pernah pernah dipakai dalam arti literelnya, tetapi hanya dipakai dalam arti yang terbatas. Tidak ada kebenaran yang sebenarnya, yang ada hanya beberapa kombinasi penglihatan atau pengamatan yang menurut penglaman manusia terjadi dalam suatu urutan terbatas yang keteraturannya tetap sama setiap waktu dan diduga dengan cara identik akan terjadi pada waktu yang akan datang dalam urutan yang terbatas sama. (Juaid Quamar, 1983: 12)
Dari pengertian dan model islamisasi pengetahuan diatas dapat disimpulkan bahwa islamisasi dilakukan dalam upaya membangun kembali semangat umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional-empirik dan filosofis dengan tetap merujuk kepada kandungan Al-quran dan Sunnah Nabi. Sehingga umat Islam akan bangkit dan maju menyusul ketinggalan dari umat lain, khususnya Barat.
Pandangan Islam atas Perkembangan Arus Moderniasasi Sebagai Perkembangan Lebih Lanjut dari Kemajuan Ilmu Pengetahuan
Respon ummat Islam atas perkembangan modernisasi menarik untuk mengikuti terlebih dahulu anekdot yang pernah ditulis oleh Nurcholis Madjid (1982: 521) dalam bukunya “Islam, Doktrin, dan Peradaban”. Alkisah ketika Raja Faisal yang bijaksana dan berpikir maju di kerajaan Arab Saudi mulai memperkenalkan radio kepada masyarakat negerinya, Ia mendapat rekasi keras dari para pemimpin agama atau ulama. Mereka ini tidak saja menolak kehadiran alat komunikasi modern itu, tetapi malah memandangnya sebagai barang tiruan setan. Mungkin karena bagi mereka sebuah benda mati tidak akan memproduksi suara kecuali jika ada ruh di dalamnnya, maka mereka menganggap adanya setan dalam benda tersebut. Karena itu, konon ketika Raja Faisal memerintahkan untuk menyiarkan pembacaan ayat suci Alqur’an melalui radio itu para ulama mulai menunjukan tanggapan positif. Mereka mulai berpikir, sebuah benda yang dapat memproduksi suara-suara dari kitab suci adalah mustahil buatan setan. Sebab, setan akan lari pastinya kalau mendengar ta’awwudz dan tidak mungkin menyiarkan kalam Ilahi yang suci.
Selanjutnya mari bandingkan cerita di atas yang memiliki kejadian serupa terhadap yang dialami oleh orang-orang Eropa ketika mereka pertama kali berkenalan dengan beberapa segi peradaban Islam. Misalnya sikap mereka terhadap benda yang kini dianggap lumrah saja yaitu kopi. Barangkali karena minuman dan industri kopi dirintis dan dikembangkan oleh orang-orang Arab (perkataan kopi, coffe, café, Kaffe) berasal dari “qahwah” dan banyak digunakan oleh kaum Sufi agar betah berzikir, maka ada masa ketika minuman berkhasiat itu oleh para pemimpin agam Kristen Eropa disebut sebagai buatan setan. Sikap ini tidak begitu mengherankan, mengingat betapa benci dan takutnya orang-orang saat itu kepada bangsa-bangsa Muslim yang telah menaklukan mereka dibanyak tempat (Semenanjung Siberia di Barat dan Balkan di Timur) tetapi ketika mereka mendapatkan bahwa kopi tidak punya urusan dengan makhluk jahat apapun, dan setelah sebagian mereka mulai belajar meneguknya, mereka beralih kepada pandangan serba takhayul (suppertitious) mengenai minuman dari Arab itu.
Masih dikisahkan oleh Nurcholis Madjid (ibid: 522), ada lagi cerita yang tidak kurang bizarre-nya dibanding dengan sikap ulama Arabia terhadap radio itu. Adalah kepercayaan Raja Gustav III dari Swedia pada paruh kedua abad ke-18 bahwa kopi adalah racun yang mematikan, yang dapat digunakan untuk melaksanakan hukuman mati atas seorang pembunuh.
Konkretnya kejadian itu: “Raja Gustav III dari Swedia berkeyakinan bahwa kopi adalah racun. Untuk membuktikan teorinya Ia menghukum seorang pembunuh agar minum kopi setiap hari sampai mati. Untuk membuat perbandingan seorang pembunuh lain diampuni hanya dengan minum teh setiap hari. Dua orang ditunjuk untuk mengawasi eksperimen itu dan melihat siapa yang mati lebih dahulu. Ternyata dokter-dokter itulah yang lebih dahulu mati. Kemudian raja sendiri terbunuh pada 1972. Akhirnya sedang bertahun-tahun salah seorang penjahat tersebut pun mati pada umur 83 tahun. Dia adalah yang minum teh bukan yang minum kopi.”
Ilustrasi dari dua cerita yang dilukiskan oleh Nurcholis Madjid di atas, kendatipun terkesan hanya sebagai anekdot saja, tetapi ini merupakan kenyataan yang menimpa seluruh ummat manusia. Ada semacam inertia pada psikologi manusia, maka mereka cenderung menolak apa yang baru, yang sama sekali belum dikenalnya.
Hal itu pantas untuk dipermaklumkan karena sikap penolakan atas hal yang baru demikian merupakan bagian dari insting untuk bertahan hidup (survival), sikap manusia menolak sesuatu hal atau benda yang belum dikenal itu berakar dalam kecurigaan kalau akan menjadi sumber ancaman baginya, atau kemungkinan Ia tidak dapat menguasainya.
Serupa dengan hal itu pula tekhnologi yang dianggap sebagai tanda kemajuan modernisasi pastinya rentan bagi manusia, terkhusus ummat Islam yang sangat anti Barat, mereka yang termasuk golongan klasik ketika memandang Islam sebagai konstantisasi ajaran Rasul saja. Maka segala kemajauan modernisasi akan ditolaknya.
Padahal untuk ummat Islam itu sendiri, modernisasi yang dibawa oleh tekhnologi tidak hanya muncul di zaman sekarang. Tekhnologi telah ada sepanjang peradaban manusia, terutama sejak tumbuhnya masyarakat kota pada bangsa Sumeria sekitar 500 tahun yang lalu. Hudgson (1974: 201) menyatakan, adalah sebuah kemustahilan memandang zaman modern sebagai sesuatu kesatuan yang terpisah: “it had not been isolated even in the origins, since it presupposed the wider historical complex of wich the Occident formed a part”.
Jika pada pembahasan sebelumnya telah diuraikan problematik islamisasi pengetahuan oleh Al-attas dan Al-faruqi yang mana inti sarinya tidak boleh “mendewakan” akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Pun atas kemajuan ilmu pengetahuan yang menjadi dominasi para pemikir Barat, segala bentuk pemikiran itu harus disesuaikan kembali dengan proses intuisasi guna menembus dimensi manusia sebagai satu kesatua mikro dan makro menuju kebenaran hakikinya sebagai makhluk spiritual.
Dalam hemat Penulis terhadap arus meodernisasi lintasan keilmuan dan pengetahuan atas hakikat dari kebenaran islami tugas yang seharusnya diemban oleh dunia Muslim selain menerima ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Posisi yang dapat diambil oleh intelektual Muslim tidak hanya fokus pada penyesuain tekhnologi dengan segala kepentingan asasisnya saja dari dimensi spiritual. Tetapi untuk saat ini harus pula menjadi penemu pertama dalam menciptakan tekhnologi (discovery), agar supaya stigmatisasi dunia Islam yang hanya mampu bernostalgia atas kejayaan masa lalu dapat terbantahkan sebagaimana anjuran Abdul Munir Mulkhan (2007).
Jauh lebih penting di atas semua peran tekhnologi harus melalui peregukan makna esoterik dan pengalaman batinia (lebenswelt) untuk tetap menghidupkan abadinya ayat-ayat qauniyah maupuan ayat-ayat qauliyah. Dari situ dapat diambil contoh: uji forensik dan laboratorium atas kejahatan perzinahan, jika sepanjang untuk membuktikan kebenaran yang tidak bertentangan dengan landasan Al-qur’an dan Assunah maka dunia Islam harus menerimanya.
Tentunya hal yang berbeda terhadap perkembangan modernisasi atas rekyasa genetik hingga munculnya inovasi bayi tabung, lalu diadakan kontrak sewa rahim. Sudah pasti kebenaran yang dimaksudkan oleh sisi sentralnya ayat Tuhan yang berlaku imperatif tidak akan pernah membolehkan tindakan demikian.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkhan. 2007 (a). Satu Tuhan Seribu Tafsir. Yogyakarta: Kanisius.
__________________. 2007 (b). Sufi Pinggiran. Yogyakarta: Kanisius.
__________________. 2000. Neosufisme dan Pudarnya Fundamentalisme di Pedesaan.Yogyakarta: UII Press.
Betrand Russel. 2001. Sejarah Filsafat Barat.Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Dede Rosyada. 1993. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Edward Said. 1978. Orientalism. New York: Vintage Books.
Esposito, John L.. 2010. Masa Depan Islam. Bandung: Mizan
Hudgson, Marshall GS. 1974. The Venture of Islam. Chicago: The University of Chicago Press.
Huntinghton, Samuel P. 1996. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York: NY 10020.
Jalaluddin Rakhmat. 2003. Psikologi Agama. Bandung: Mizan.
________________. 1991. Islam Aktual. Bandung: Mizan.
.
Jean Paul Sartre. 1960. Existentialism and Humanism. London: Methuen dan Co Ltd.
Karen Armstrong. 2001. Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan.
Kattsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Khudori Soleh. 2013. Filsafat Islam dari Klasik hingga Modern. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Lavine, T.Z. 1984. From Socrates to Sartre: the Philosophic Ques. New York: Bantam Book.
Max Weber. 1951. The Religion of India: The Sociology of Hinduism and Budhism. Glencoe III: Free Press.
Murtadha Muthari. 1994. PengantarMenuju Logika. Lawang: Yayasan Pesantren Islam.
Muhammad Baqir Ash-Shadr. 1991. Falsafatuna. Bandung: Mizan
________________________. 2008. Iqhtisaduna. Yogyakarta: Zahra Publishing House.
________________________. 2011. Risalatuna. Yogyakrta: Rausyan Fikr Institute.
Muhammad Iqbal. 1981. The Reconstruction of Religious Thought in Islam. New Delhi: Kitab Bhavan.
Nurcholis Madjid. 1982. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina
______________. 1999. Cita-Cita Politik Islam. Jakarta: Paramadina.
______________. 1994, Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina.
Seyyed Hossein Nasr. 2006. Filsafat Islam. Yogyakarta: IRCiSoD.
Sumber Gambar: static01.nyt.com |
Responses
0 Respones to " Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Menjawab Tantangan Modernisme"
Posting Komentar