Gerakan revolusi mental demikian bergema, tat kalah ide ini menjadi cikal bakal pemerintahan Jokowi-JK. Hingga gerakan tersebut terus mengalami pengembangan kajian oleh beberapa penulis-penulis lainnya.
Pada sesunggunya istilah revolusi di dalam politik merupakan hasil adopsi dari istilah di bidang sains. Simaklah makna denotatif revolusi saat pertama kalinya digunakan Copernicus: “revolusi planet dalam orbitnya, sebagai benda-benda langit yang terus mengalami perputaran, secara siklis, dan akan kembali lagi perputarannya pada kejadian semula.”
Jika Soekarno menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, Indonesia yang berdaulat secara politik, Indonesia yang mandiri secara ekonomi, dan Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya. Maka sepatutnya semangat itu, perlu pula diaktualisasikan dalam satu momen pergantian tahun kali ini, menuju tahun baru.
Kita tidak perlu jumawa dan berbangga diri untuk merayakan penyambutan tahu baru seperti cara-cara dan tradisi barat, yang sejatinya hal itu akan “merampas” character building bangsa kita sendiri. Yakni karakter gotong royong, tenggang rasa, tepo seliro dan tolong menolong.
Budaya Otentik
Budaya adiluhung yang sudah tertanam kuat dalam setiap sanubari bangsa Indonesia, layak untuk dipertahankan dalam kemasannya sendiri. Oleh karena itu kelaziman menjemput, menyambut hingga pada merayakan fase pergantian tahun dengan sikap hura-hura, dan pesta pora, saatnya untuk merevolusi kebiasaan buruk tersebut.
Revolusi mental adalah mengembalikan potret budaya otentik pada asalinya. Budaya otentik bangsa tidak menganjurkan sikap boros, lagi menggelontorkan dana hanya untuk prestise, kesenangan, dan aktifitas yang sama sekali tak ada mudharatnya.
Jika makna denotatif revolusi adalah siklus kehidupan sebagai keniscayaan akan kembali pada fase yang pernah terjadi, sebagai hanya fase pengulangan. Berarti revolusi dalam konteks ini, seyogianya kebiasaan yang sudah jauh dari entitas budaya khas bangsa, agar melakukan pengubahan secara cepat dalam rangka menemukan, sekaligus memeraktikan budaya asli kita yang bermartabat.
Menumbuhkan budaya gotong-royong, tenggang rasa, tepo seliro, bantu membantu dan tolong menolong. Momentum tahun baru adalah ruang untuk membuktikannya. Tahun baru tidak perlu dirayakan dengan aneka pesta meriah. Agenda pergelaran pesta mestinya disubtitusi dengan kegiatan pengumpulan sumbangan untuk bantuan sosial.
Apa salahnya? bahkan justru itu lebih bermanfaat jika dana yang diniatkan untuk acara meriah penyambutan tahun baru, kalau sedianya dialihkan untuk membantu golongan ekonomi lemah. Yakni golongan yang harus berjuang dalam cucur keringat demi sesuap nasi, hanya untuk bertahan hidup dalam sehari. Sebab dengan berani mengambil langkah-langkah tersebut, dengan sendirinya pula; budaya gotong royong, tenggang rasa, tepo seliro, dan tolong menolong tanpa disadari akan berjalan dengan sendirinya, satupun tidak ada yang merasa terpaksakan.
Peran Pemerintah
Apalagi dengan kondisi perekonomian yang terus mengalami ketidakstabilan di tengah kebijakan pemerintah menaikan BBM. Bukan hal yang keliru, jika angka kemiskinan justru kuantitasnya akan makin bertambah. Sehingga memang tindakan merevolusi mental menyambut pergantian tahun, sudah menjadi kewajiban yang harus ditindaklanjuti pula oleh pemerintah. Pemerintah tidak perlu “menggorok” dana APBN (APBD) hanya untuk menggelar tautan acara dalam wujud pesta meriah tahunan.
Sangat ironis, kalau selama ini sudah mulai digalakkan kebijakan penghematan anggaran negara dalam setiap acara-acara pemrintahan. Tetapi dalam acara penyambutan tahu baru, lalu pemrintah pada berlomba-lomba mengahabiskan “uang negara” karena alasan memuaskan “libido” dari rakyat yang sudah memilihnya.
Jutaan rakyat Indonesia pastinya mahfum, kalau gerakan revolusi mental pula dinisbatkan pada memon kali ini, saat menyambut tahun baru 2015. Dengan dalih, membudayakan kesederhanaan penyambutan awal tahun. Lalu, pemerintah misalnya menganjurkan kepada seluruh rakyatnya, agar tidak perlu datang dalam pergerumulan massa, berkumpul di satu titik membakar petasan dan kembang api. Tetapi cukup digantikan agenda itu dengan pengumpulan iuran tahun baru. Dalam konteks ini, pemerintah pun punya tempat untuk blusukan, berkumpul bersama rakyatnya. Bahkan seharusnya tidak perlu sungkan ikut terlibat mengumpulkan uang receh dari uang yang direncanakan untuk membeli kembang api. Kemudian, dana yang sudah terkumpul, sekiranya dibagikan kepada pengemis, anak jalanan, sampai pada anak yang putus sekolah karena uang mereka tidak cukup untuk biaya pendidikan.
Di sinilah tempatnya kita untuk menagih konsistensi pemerintah, saat mengatakan pengurangan subsidi BBM, adalah langkan mengalihkan anggaran Negara dari sektor konsumtif ke sektor produktif. Tak pelak untuk mengingkari, kalau sejatinya perayaan tahun baru dengan hura-hura petasan dan kembang api, juga bagian dari tindakan konsumtif. Jadi, kalau hendak diproduktifkan penyambutan tahun baru, pemerintah harus memiliki terobosan pula untuk menindaklanjutinya.
Budaya Berkepribadian
Bangsa luar akan memandang dan menghargai bangsa Indonesia, jika berani mempertahankan budaya otentiknya. Oleh karena itu, menolak kebiasaan “barat” yang hobinya melestarikan “banjir bandang” kesenangan, selera dan gaya hidup dalam setiap kali agenda penyambutan awal tahun. Tidak terlepas sebagai bagian dari gerakan revolusi mental untuk mempertahankan kedaulatatan budaya kita sendiri.
Kalau saja pergantian tahun diprogramkan, sebagai gerakan pengumpulan dana sejuta ummat. Sudah pasti bangsa luar akan berdecak kagum pada kearifan budaya timur, yang memang sisi humanisnya sudah lama mengakar dalam jiwa bangsa kita yang terdri dari berbagi macam suku dan etnik.
Demi mewujudkan cita-cita tersebut, momentum tahun baru harus diarahkan untuk kembali membangun identitas bangsa menuju budaya yag berkepribadian dan beradab. Pemerintah pusat hingga jajarannya ke bawah, harus mendengar panggilan sejarah ini.*
Pada sesunggunya istilah revolusi di dalam politik merupakan hasil adopsi dari istilah di bidang sains. Simaklah makna denotatif revolusi saat pertama kalinya digunakan Copernicus: “revolusi planet dalam orbitnya, sebagai benda-benda langit yang terus mengalami perputaran, secara siklis, dan akan kembali lagi perputarannya pada kejadian semula.”
Jika Soekarno menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, Indonesia yang berdaulat secara politik, Indonesia yang mandiri secara ekonomi, dan Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya. Maka sepatutnya semangat itu, perlu pula diaktualisasikan dalam satu momen pergantian tahun kali ini, menuju tahun baru.
Kita tidak perlu jumawa dan berbangga diri untuk merayakan penyambutan tahu baru seperti cara-cara dan tradisi barat, yang sejatinya hal itu akan “merampas” character building bangsa kita sendiri. Yakni karakter gotong royong, tenggang rasa, tepo seliro dan tolong menolong.
Budaya Otentik
Budaya adiluhung yang sudah tertanam kuat dalam setiap sanubari bangsa Indonesia, layak untuk dipertahankan dalam kemasannya sendiri. Oleh karena itu kelaziman menjemput, menyambut hingga pada merayakan fase pergantian tahun dengan sikap hura-hura, dan pesta pora, saatnya untuk merevolusi kebiasaan buruk tersebut.
Revolusi mental adalah mengembalikan potret budaya otentik pada asalinya. Budaya otentik bangsa tidak menganjurkan sikap boros, lagi menggelontorkan dana hanya untuk prestise, kesenangan, dan aktifitas yang sama sekali tak ada mudharatnya.
Jika makna denotatif revolusi adalah siklus kehidupan sebagai keniscayaan akan kembali pada fase yang pernah terjadi, sebagai hanya fase pengulangan. Berarti revolusi dalam konteks ini, seyogianya kebiasaan yang sudah jauh dari entitas budaya khas bangsa, agar melakukan pengubahan secara cepat dalam rangka menemukan, sekaligus memeraktikan budaya asli kita yang bermartabat.
Menumbuhkan budaya gotong-royong, tenggang rasa, tepo seliro, bantu membantu dan tolong menolong. Momentum tahun baru adalah ruang untuk membuktikannya. Tahun baru tidak perlu dirayakan dengan aneka pesta meriah. Agenda pergelaran pesta mestinya disubtitusi dengan kegiatan pengumpulan sumbangan untuk bantuan sosial.
Apa salahnya? bahkan justru itu lebih bermanfaat jika dana yang diniatkan untuk acara meriah penyambutan tahun baru, kalau sedianya dialihkan untuk membantu golongan ekonomi lemah. Yakni golongan yang harus berjuang dalam cucur keringat demi sesuap nasi, hanya untuk bertahan hidup dalam sehari. Sebab dengan berani mengambil langkah-langkah tersebut, dengan sendirinya pula; budaya gotong royong, tenggang rasa, tepo seliro, dan tolong menolong tanpa disadari akan berjalan dengan sendirinya, satupun tidak ada yang merasa terpaksakan.
Peran Pemerintah
Apalagi dengan kondisi perekonomian yang terus mengalami ketidakstabilan di tengah kebijakan pemerintah menaikan BBM. Bukan hal yang keliru, jika angka kemiskinan justru kuantitasnya akan makin bertambah. Sehingga memang tindakan merevolusi mental menyambut pergantian tahun, sudah menjadi kewajiban yang harus ditindaklanjuti pula oleh pemerintah. Pemerintah tidak perlu “menggorok” dana APBN (APBD) hanya untuk menggelar tautan acara dalam wujud pesta meriah tahunan.
Sangat ironis, kalau selama ini sudah mulai digalakkan kebijakan penghematan anggaran negara dalam setiap acara-acara pemrintahan. Tetapi dalam acara penyambutan tahu baru, lalu pemrintah pada berlomba-lomba mengahabiskan “uang negara” karena alasan memuaskan “libido” dari rakyat yang sudah memilihnya.
Jutaan rakyat Indonesia pastinya mahfum, kalau gerakan revolusi mental pula dinisbatkan pada memon kali ini, saat menyambut tahun baru 2015. Dengan dalih, membudayakan kesederhanaan penyambutan awal tahun. Lalu, pemerintah misalnya menganjurkan kepada seluruh rakyatnya, agar tidak perlu datang dalam pergerumulan massa, berkumpul di satu titik membakar petasan dan kembang api. Tetapi cukup digantikan agenda itu dengan pengumpulan iuran tahun baru. Dalam konteks ini, pemerintah pun punya tempat untuk blusukan, berkumpul bersama rakyatnya. Bahkan seharusnya tidak perlu sungkan ikut terlibat mengumpulkan uang receh dari uang yang direncanakan untuk membeli kembang api. Kemudian, dana yang sudah terkumpul, sekiranya dibagikan kepada pengemis, anak jalanan, sampai pada anak yang putus sekolah karena uang mereka tidak cukup untuk biaya pendidikan.
Di sinilah tempatnya kita untuk menagih konsistensi pemerintah, saat mengatakan pengurangan subsidi BBM, adalah langkan mengalihkan anggaran Negara dari sektor konsumtif ke sektor produktif. Tak pelak untuk mengingkari, kalau sejatinya perayaan tahun baru dengan hura-hura petasan dan kembang api, juga bagian dari tindakan konsumtif. Jadi, kalau hendak diproduktifkan penyambutan tahun baru, pemerintah harus memiliki terobosan pula untuk menindaklanjutinya.
Budaya Berkepribadian
Bangsa luar akan memandang dan menghargai bangsa Indonesia, jika berani mempertahankan budaya otentiknya. Oleh karena itu, menolak kebiasaan “barat” yang hobinya melestarikan “banjir bandang” kesenangan, selera dan gaya hidup dalam setiap kali agenda penyambutan awal tahun. Tidak terlepas sebagai bagian dari gerakan revolusi mental untuk mempertahankan kedaulatatan budaya kita sendiri.
Kalau saja pergantian tahun diprogramkan, sebagai gerakan pengumpulan dana sejuta ummat. Sudah pasti bangsa luar akan berdecak kagum pada kearifan budaya timur, yang memang sisi humanisnya sudah lama mengakar dalam jiwa bangsa kita yang terdri dari berbagi macam suku dan etnik.
Demi mewujudkan cita-cita tersebut, momentum tahun baru harus diarahkan untuk kembali membangun identitas bangsa menuju budaya yag berkepribadian dan beradab. Pemerintah pusat hingga jajarannya ke bawah, harus mendengar panggilan sejarah ini.*
Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
Mantan Aktivis HMI MPO Komisariat Hukum Unhas
Muat Harian Fajar 27 Desember 2014
Mantan Aktivis HMI MPO Komisariat Hukum Unhas
Muat Harian Fajar 27 Desember 2014
Sumber Gambar: 4.bp.blogspot.com |
Responses
0 Respones to "Revolusi Mental Menyambut Tahun Baru"
Posting Komentar