Adikodrati manusia yang dikaruniai akal, rasio, pikiran, hati dan jiwa pada hakikatnya tak ada alasan untuk tidak bersimpati bahkan sampai pada rasa empati kepada mereka yang sepatutnya untuk menjalani hukuman; pidana mati. Pidana mati adalah sebuah kesengsaraan, kengerian, kegetiran, hingga pada kesedihan yang memantik air mata. Bukan hanya mereka, yang telah dijatuhi atas sebuah hukuman mati yang sedang was-was menanti ajal akan menjemputnya. Namun ada pula kerabat; Anak, Ayah, Ibu, Istri, Suami, dan seterusnya yang ditinggalkan duka tak kuasa menanggung derai air mata. Kerabat dari si terpidana mati yang sudah “tereksekusi” pada akhirnya hanya mampu menerima nasibnya, menabur kembang di atas nisan sang terpidana yang telah “pergi” untuk selama-lamanya.
Rasa miris itu akan terus berlanjut pada orang disekitarnya. Jangan mengatakan diri anda adalah manusia, jika pun tidak “larut” dalam kesedihan kala menyaksikan mereka yang terpidana mati, sedang dirundung duka karena kematian. Anda bukan manusia kala di saat menyaksikan kesedihan para kerabat menangisi keluarganya yang terpidana mati, orang yang mereka paling dicintai, hidupnya telah “dipangkas” oleh Negara. Lalu anda urung tak bersimpatik.
Lalu setelah itu, pertanyaan akan datang mengusik hati nurani, jiwa, dan rasa keyakinan kita, yang sejatinya percaya pada kekuatan Ilahi: Apakah hukum begitu kejam sehingga tidak menghargai hak-hak seorang untuk mempertahankan kehidupannya?
Ada yang mengatakan sungguh kejam, bengis, biadab, sampai stigmatisasi hukum yang tak berkemanusiaan. Ada pula yang mengatakan itulah keadilan, itulah hukum yang hadir menciptakan ketertiban. Hukum hadir menitipkan keadilan, guna menjaga tatanan kehidupan manusia agar tetap seimbang dalam proses interaksinya.
Merampas Hak Manusia
Mari kita menengok pada peristiwa yang terjadi kemarin, ada enam terpidana mati sekaligus, dieksekusi pada Minggu 17 Januari 2015 dini hari.
Terutama yang bernama Rani Adriani alias Melisa Apria, dikala pengajuan grasinya ditolak oleh Presiden Jokowi. Dia seperti tak kuasa untuk menerima keputusan sang Presiden. Berbagai cerita yang tersiar disemua media, konon Rani berusaha tegar, bibir tetap masih bisa menungging senyum, padahal sesungguhnya hati sedang dilanda duka, sedih, bahkan hatinya telah hancur-lebur. Dan kini, Rani sudah tenang di alam baqa. Sekelumit fakta yang tersisa, adalah bongkahan rasa untuk tak mu menerima kematiannya, karena negara kemudian dituding telah merampas hak-haknya.
Dikalau kita melihat dari satu sisi, hanya untuk terpidana mati, hanya untuk Rani Adriani. Pun pasti kita akan terjebak dalam pusaran untuk menarik kesimpulan sementara, bahwa Negara telah biadab, aniaya terhadap warga negaranya.
Akan sungguh berbeda penilaian-penilaian tersebut, tat kala berusaha memikirkan ulang, segala efek dan akibat perbuatan sang terpidana mati, jauh hari sebelum Ia terjerat oleh hukum. Ada berapa banyak anak-anak kita yang terjerat Narkoba gara-gara dari semua pelaku yang terklasifikasi sebagai Bandar, hingga pengedar Narkoba. Ada berapa kasus dalam sebuah bilik-bilik keluarga, keluarga mereka berantakan, oleh karena satu, dua, tiga diantara keluarga telah menjadi pecandu Narkoba. Ada berapa jumlahnya, anak-anak di lingkungan sekolah hingga Perguruan Tinggi harus menanggung efek ketergantungan kalau bukan semua disebabkan oleh mereka yang telah memilih profesi “penyebar” narkoba kepada korban-korban pengguna itu.
Bahkan detak jantung-pun harus terhenti sejenak, ketika dosen yang sudah berpredikat Guru Besar “terpaksa” digiring oleh pihak kepolisian menuju panti rehab, karena Narkoba telah merengguk hidupnya. Parahnya sampai mengancam karir dan keluarganya. Lagi-lagi sekelumit efek dari peredaran Narkoba, sejatinya telah “menghantam” nasib beberapa manusia dari sejuta harapan, cita-cita dan impiannya, semua dalam sekejap “punai” dari genggamannya.
Cukup sampai di situ, masihkah kita “berani” untuk mengatakan dan menarik kesimpulan “sesaat” kalau hukuman mati telah merampas hak hidup seseorang? Perlu diingat bahwa setiap perbuatan kejahatan, yang oleh “hukum” kemudian dikatakan “perbuatan pidana” harus ada pertanggungjawabannya. Dan pertanggungjawabannya tidak lain adalah hukuman. Hukumlah orang setimpal dengan perbuatannya (culpue poena par esto – Let the punishment be equal the crime).
Terhadap mereka yang telah terbukti atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, terbukti sebagai Bandar, pengedar, dan membawa jenis narkotika di atas ukuran berat yang pantas dihukum mati. Demikianlah mereka harus menerima pertanggungjawaban atas perbuatannya. Bukankah manusia dalam dua sisi, selain memiliki hak juga memiliki kewajiban? Maka pertanggungjawaban atas perbuatan jahat merupakan kewajiban yang harus ditunaikan.
Apapun namanya dan dalam model yang berbagai macam jenisnya, sejatinya hukuman pasti merampas hak. Dalam setiap penegakan hukuman pidana materil, seperti penangkapan, penahan, penyitaan (yang dikenal sebagai upaya paksa) hingga sampai pada pemidanaan pada sesungguhnya merampas hak manusia.
Tetapi jika perampasan hak tersebut, telah ditunjukan jalan dan mekanisme yang harus dijalankan secara cermat dan hati-hati, hal itu dibenarkan. Seperti itulah keadilan selalu berbicara. Sampai contoh yang kecil saja, jikalau seorang anak kedapatan mencontek oleh gurunya, kemudian di hukum untuk berdiri di depan kelas, kendatipun hanya tiga detik saja. Pasti ketika guru menjalankan hukuman terhadap sang anak, ada perampasan hak; hak untuk duduk; hak untuk merasa nyaman. Namun, hukuman memang seharusnya difungsikan seperti itu. sebagai wujud pertanggungjawaban.
Dengan Lapang Dada
Harus diakui dalam setiap perkara yang pada akhirnya akan diputus “vonis mati” hakim yang mengadili perkara yang terancam pidana mati, bukanlah perkara muda baginya, untuk sembarang memutus nasib hidup-matinya seseorang. Ini soal nyawa yang tidak dapat ditawar-taar, tidak boleh menjadi “barang mainan” baginya. Pertanggungjawaban hakim atas hidup matinya seseorang, adalah juga disandarkan pada kekuatan Ilahi “demi keadilan yang berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Setumpuk halaman yang tertuang dalam dokumen alat bukti, hingga lahir pertimbangan hukum merupakan pekerjaaan yang menguras tidak hanya fisik dan tenaga. Tetapi pikiran dan hati sang hakim, menjadi pengorbanannya untuk tiba pada kesimpulan, si terdakwa yang kemudian berubah status menjadi si terpidana, kini harus siap-siap untuk dihukum mati.
Dan si terpidana pun kalau memikirkan, lalu merenungi segala tindak-tanduk jahatnya. Mustahil dirinya akan membangkang atas hukuman sang hakim tadi. Justru dengan hukuman itu, dia akan merasa tenang, sabar, dan lapang dada untuk menunaikan tanggung jawabnya.
Akhirnya, detik-detik maut, dikala hari eksekusi tiba, tidak ada peristiwa getir, ngeri, sedih sampai bola air mata yang harus membasa. Karena pada asalinya dia adalah manusia yang utuh, sempurna, dengan sikap lapang dada menerima hukuman mati. Dan perlu diingat! Siapapun yang telah menerima hukumannya di dunia, maka Tuhan yang Maha Pengasih juga Maha Penyayang, tidak akan mempertanyakan dan membalasnya lagi di hari kemudian. Wallāhu a’lamu bi al-shawwāb.*
Rasa miris itu akan terus berlanjut pada orang disekitarnya. Jangan mengatakan diri anda adalah manusia, jika pun tidak “larut” dalam kesedihan kala menyaksikan mereka yang terpidana mati, sedang dirundung duka karena kematian. Anda bukan manusia kala di saat menyaksikan kesedihan para kerabat menangisi keluarganya yang terpidana mati, orang yang mereka paling dicintai, hidupnya telah “dipangkas” oleh Negara. Lalu anda urung tak bersimpatik.
Lalu setelah itu, pertanyaan akan datang mengusik hati nurani, jiwa, dan rasa keyakinan kita, yang sejatinya percaya pada kekuatan Ilahi: Apakah hukum begitu kejam sehingga tidak menghargai hak-hak seorang untuk mempertahankan kehidupannya?
Ada yang mengatakan sungguh kejam, bengis, biadab, sampai stigmatisasi hukum yang tak berkemanusiaan. Ada pula yang mengatakan itulah keadilan, itulah hukum yang hadir menciptakan ketertiban. Hukum hadir menitipkan keadilan, guna menjaga tatanan kehidupan manusia agar tetap seimbang dalam proses interaksinya.
Merampas Hak Manusia
Mari kita menengok pada peristiwa yang terjadi kemarin, ada enam terpidana mati sekaligus, dieksekusi pada Minggu 17 Januari 2015 dini hari.
Terutama yang bernama Rani Adriani alias Melisa Apria, dikala pengajuan grasinya ditolak oleh Presiden Jokowi. Dia seperti tak kuasa untuk menerima keputusan sang Presiden. Berbagai cerita yang tersiar disemua media, konon Rani berusaha tegar, bibir tetap masih bisa menungging senyum, padahal sesungguhnya hati sedang dilanda duka, sedih, bahkan hatinya telah hancur-lebur. Dan kini, Rani sudah tenang di alam baqa. Sekelumit fakta yang tersisa, adalah bongkahan rasa untuk tak mu menerima kematiannya, karena negara kemudian dituding telah merampas hak-haknya.
Dikalau kita melihat dari satu sisi, hanya untuk terpidana mati, hanya untuk Rani Adriani. Pun pasti kita akan terjebak dalam pusaran untuk menarik kesimpulan sementara, bahwa Negara telah biadab, aniaya terhadap warga negaranya.
Akan sungguh berbeda penilaian-penilaian tersebut, tat kala berusaha memikirkan ulang, segala efek dan akibat perbuatan sang terpidana mati, jauh hari sebelum Ia terjerat oleh hukum. Ada berapa banyak anak-anak kita yang terjerat Narkoba gara-gara dari semua pelaku yang terklasifikasi sebagai Bandar, hingga pengedar Narkoba. Ada berapa kasus dalam sebuah bilik-bilik keluarga, keluarga mereka berantakan, oleh karena satu, dua, tiga diantara keluarga telah menjadi pecandu Narkoba. Ada berapa jumlahnya, anak-anak di lingkungan sekolah hingga Perguruan Tinggi harus menanggung efek ketergantungan kalau bukan semua disebabkan oleh mereka yang telah memilih profesi “penyebar” narkoba kepada korban-korban pengguna itu.
Bahkan detak jantung-pun harus terhenti sejenak, ketika dosen yang sudah berpredikat Guru Besar “terpaksa” digiring oleh pihak kepolisian menuju panti rehab, karena Narkoba telah merengguk hidupnya. Parahnya sampai mengancam karir dan keluarganya. Lagi-lagi sekelumit efek dari peredaran Narkoba, sejatinya telah “menghantam” nasib beberapa manusia dari sejuta harapan, cita-cita dan impiannya, semua dalam sekejap “punai” dari genggamannya.
Cukup sampai di situ, masihkah kita “berani” untuk mengatakan dan menarik kesimpulan “sesaat” kalau hukuman mati telah merampas hak hidup seseorang? Perlu diingat bahwa setiap perbuatan kejahatan, yang oleh “hukum” kemudian dikatakan “perbuatan pidana” harus ada pertanggungjawabannya. Dan pertanggungjawabannya tidak lain adalah hukuman. Hukumlah orang setimpal dengan perbuatannya (culpue poena par esto – Let the punishment be equal the crime).
Terhadap mereka yang telah terbukti atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, terbukti sebagai Bandar, pengedar, dan membawa jenis narkotika di atas ukuran berat yang pantas dihukum mati. Demikianlah mereka harus menerima pertanggungjawaban atas perbuatannya. Bukankah manusia dalam dua sisi, selain memiliki hak juga memiliki kewajiban? Maka pertanggungjawaban atas perbuatan jahat merupakan kewajiban yang harus ditunaikan.
Apapun namanya dan dalam model yang berbagai macam jenisnya, sejatinya hukuman pasti merampas hak. Dalam setiap penegakan hukuman pidana materil, seperti penangkapan, penahan, penyitaan (yang dikenal sebagai upaya paksa) hingga sampai pada pemidanaan pada sesungguhnya merampas hak manusia.
Tetapi jika perampasan hak tersebut, telah ditunjukan jalan dan mekanisme yang harus dijalankan secara cermat dan hati-hati, hal itu dibenarkan. Seperti itulah keadilan selalu berbicara. Sampai contoh yang kecil saja, jikalau seorang anak kedapatan mencontek oleh gurunya, kemudian di hukum untuk berdiri di depan kelas, kendatipun hanya tiga detik saja. Pasti ketika guru menjalankan hukuman terhadap sang anak, ada perampasan hak; hak untuk duduk; hak untuk merasa nyaman. Namun, hukuman memang seharusnya difungsikan seperti itu. sebagai wujud pertanggungjawaban.
Dengan Lapang Dada
Harus diakui dalam setiap perkara yang pada akhirnya akan diputus “vonis mati” hakim yang mengadili perkara yang terancam pidana mati, bukanlah perkara muda baginya, untuk sembarang memutus nasib hidup-matinya seseorang. Ini soal nyawa yang tidak dapat ditawar-taar, tidak boleh menjadi “barang mainan” baginya. Pertanggungjawaban hakim atas hidup matinya seseorang, adalah juga disandarkan pada kekuatan Ilahi “demi keadilan yang berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Setumpuk halaman yang tertuang dalam dokumen alat bukti, hingga lahir pertimbangan hukum merupakan pekerjaaan yang menguras tidak hanya fisik dan tenaga. Tetapi pikiran dan hati sang hakim, menjadi pengorbanannya untuk tiba pada kesimpulan, si terdakwa yang kemudian berubah status menjadi si terpidana, kini harus siap-siap untuk dihukum mati.
Dan si terpidana pun kalau memikirkan, lalu merenungi segala tindak-tanduk jahatnya. Mustahil dirinya akan membangkang atas hukuman sang hakim tadi. Justru dengan hukuman itu, dia akan merasa tenang, sabar, dan lapang dada untuk menunaikan tanggung jawabnya.
Akhirnya, detik-detik maut, dikala hari eksekusi tiba, tidak ada peristiwa getir, ngeri, sedih sampai bola air mata yang harus membasa. Karena pada asalinya dia adalah manusia yang utuh, sempurna, dengan sikap lapang dada menerima hukuman mati. Dan perlu diingat! Siapapun yang telah menerima hukumannya di dunia, maka Tuhan yang Maha Pengasih juga Maha Penyayang, tidak akan mempertanyakan dan membalasnya lagi di hari kemudian. Wallāhu a’lamu bi al-shawwāb.*
Artikel Ini Telah Muat di Harian Fajar 23 Januari 2015
Sumber Gambar: tribunnews.com |