DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI |
Pemerintahan era SBY-Boediono memang telah berakhir. Dan kini telah digantingkan masa pemerintahan Jokowi-JK. Tapi patut menjadi catatan, bahwa Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Perppu Pilkada) yang telah diterbitkan oleh SBY kemarin diakhir pemerintahannya. Implikasi hukumnya jelas menjadi warisan pemerintahan selanjutnya, yakni pemerintahan Jokowi-JK.
Implikasi hukum selanjutnya yang dimaksud adalah akan digelar sejumlah Pemilihan Kepala Daerah, baik di beberapa Provinsi, Kabupaten, maupun Kota, yang sudah nyata-nyata berada dibawah kendali pemerintahan Jokowi-JK.
Namun yang penting untuk dipertanyakan atas Perppu Pilkada itu, meskipun secara konstitusional penerbitan Perppu oleh Presiden merupakan hak subjektifnya; Apakah Perppu Pilkada sejak diterbitkan sudah mengikuti limitasi hukum ketatanegaraan yang telah ditentukan?
Sekiranya pertanyaan tersebut perlu dicari jawabannya, sebab ruang yang terlalu terbuka bagi Presiden untuk mengeluarkan Perppu, kemungkinan besar Presiden akan “sewenang-wenang” atau dengan kata lain seenaknya saja menerbitkan Perppu.
Bahkan dengan gampangnya Presiden “mengobral” Perppu justru akan melahirkan “abuse of power”. Abuse of power bisa saja terjadi karena proses lahirnya Perppu, bukan dalam wailayah kegentingan memaksa, tetapi hanya karena tendensi politik, dengan gampangnya saja Perppu kemudian lahir.
Setidaknya melalui Putusan MK Nomor: 138/ PU-VII/ 2009, limitasi syarat kegentingan memaksa sudah dapat menjadi landasan formil bagi Presiden menerbitkan Perppu. Yaitu (i) Adanya keadaan yaitu kebutuhan hukum yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; (ii) Undang-Undang (UU) yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; (iii) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedural biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.
Perppu Tidak Dapat Mencabut UU
Bagaimana dengan Perppu Pilkada? Apakah telah memenuhi limitasi kegentingan memaksa yang telah digariskan oleh putusan MK tersebut?
Salah satu hal fundamental lahirnya Perppu Pilkada, yakni ada tindakan awal sebelumnya yang dilakukan oleh Presiden (dalam hal ini SBY pada waktu itu), dengan terlebih dahulu mencabut keberlakukan UU Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada), kemudian pada “detik” itu juga diterbitkan Perppu Pilkada.
Adapun maksud dicabutnya UU Pilkada, agar limitasi kegentingan memaksa, yang mana salah satu unsurnya harus terjadi kekosongan hukum. Bahwa ketika UU Pilkada sudah dicabut berarti sistem Pemilihan Kepala Daerah berada dalam tafsir “telah terjadi kekosongan hukum.”
Dari tindakan penerbitan Pilkada itu ternyata menyimpan sejumlah kejanggalan. Pertama, apakah Presiden memiliki landasan hukum dapat mencabut keberlakuan UU? Jawabannya, dalam perspektif hukum ketatanegaraan tidak dibolehkan. Adapun masa berakhirnya UU yang dapat melibatkan Presiden, hanya dapat terjadi melalui penerbitan UU yang nama dan substansi UU-nya sama. Yaitu dengan pembahasan UU tersebut di DPR, kemudian disetujui bersama (DPR dan Presiden), dan selanjutnya disahkan oleh Presiden. Itu artinya, pencabutan UU Pilkada yang dilakukan sepihak oleh SBY tidak ada basis hukumnya.
Kedua, apakah Perppu dapat mengakhiri keberlakuan UU? Dalam penelusuruan berbagai literatur, tidak terdapat landasan hukum ketatanegaraan maupun landasan teori perundang-undangan, kalau Perppu dapat mencabut keberlakuan UU. Bahwa kembali pada syarat penerbitan Perppu yang telah ditegaskan oleh MK, Perppu hanya dapat diterbitkan dalam tiga prasyarat. Dan syarat yang paling utama, mesti terjadi kekosongan hukum. Satupun dalam prasyarat penerbitan Perppu tersebut, tidak ada teks/ketentuan hukum, Perppu dapat terbit untuk mencabut keberlakuan suatu UU.
Terlepas dari polemik, “kisruh politik” dan kehendak publik selama ini, kalau DPR kelak disaat menguji “objektivitas” Perppu Pilkada (formilnya), dan mereka ingin taat dalam ruang lingkup hukum ketatanegaraan, seharusnya Perppu Pilkada ditolak. Kenapa harus ditolak? Jawabannya sederhana; sebab tidak ada Perppu yang dapat diterbitkan sepanjang tidak ada kekosongan hukum. Bukankah sistem Pemilihan Kepala Daerah sudah ada aturan hukumnya dalam UU Pilkada?
Hakikat dan manfaat lain, perlunya Perppu Pilkada ditolak oleh DPR nantinya, juga bersandar pada alasan, bahwa penolakan Perppu itu bertujuan untuk “mendisiplinkan” agar Presiden tidak semena-mena mencabut UU, oleh karena tidak ada kewenangannya yang diberikan oleh UUD NRI 1945 maupun UU di bawahnya untuk mencabut keberlakuan UU.
Uji Materil UU Pilkada
Oleh karena Perppu yang dapat mencabut keberlakuan UU tidak ada dasar hukumnya. Maka satu yang pasti, meskipun Perppu Pilkada ditolak nanti oleh DPR dalam sidang paripurna berikutnya, mustahil terjadi kekosongan hukum. UU Pilkada itulah yang berlaku. Ingat! UU hanya dapat dicabut dengan UU pula, bukan dengan Perppu.
Dengan demikian, berdasarkan argumen yang telah dikemukakan di atas. Terutama bagi pihak yang pro Pilkada Langsung, wajar saja jika menyayangkan SBY menerbitkan Perppu Pilkada. Perpu Pilkada sudah cacat bawaan sejak lahir, kemudian menutup pula penggunaan mekanisme hukum yang tepat bagi para pihak yang hendak menguji materil UU Pilkada ke MK. Sebab katanya UU Pilkada sudah dicabut keberlakuannya oleh Perppu Pilkada.*
Implikasi hukum selanjutnya yang dimaksud adalah akan digelar sejumlah Pemilihan Kepala Daerah, baik di beberapa Provinsi, Kabupaten, maupun Kota, yang sudah nyata-nyata berada dibawah kendali pemerintahan Jokowi-JK.
Namun yang penting untuk dipertanyakan atas Perppu Pilkada itu, meskipun secara konstitusional penerbitan Perppu oleh Presiden merupakan hak subjektifnya; Apakah Perppu Pilkada sejak diterbitkan sudah mengikuti limitasi hukum ketatanegaraan yang telah ditentukan?
Sekiranya pertanyaan tersebut perlu dicari jawabannya, sebab ruang yang terlalu terbuka bagi Presiden untuk mengeluarkan Perppu, kemungkinan besar Presiden akan “sewenang-wenang” atau dengan kata lain seenaknya saja menerbitkan Perppu.
Bahkan dengan gampangnya Presiden “mengobral” Perppu justru akan melahirkan “abuse of power”. Abuse of power bisa saja terjadi karena proses lahirnya Perppu, bukan dalam wailayah kegentingan memaksa, tetapi hanya karena tendensi politik, dengan gampangnya saja Perppu kemudian lahir.
Setidaknya melalui Putusan MK Nomor: 138/ PU-VII/ 2009, limitasi syarat kegentingan memaksa sudah dapat menjadi landasan formil bagi Presiden menerbitkan Perppu. Yaitu (i) Adanya keadaan yaitu kebutuhan hukum yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; (ii) Undang-Undang (UU) yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; (iii) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedural biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.
Perppu Tidak Dapat Mencabut UU
Bagaimana dengan Perppu Pilkada? Apakah telah memenuhi limitasi kegentingan memaksa yang telah digariskan oleh putusan MK tersebut?
Salah satu hal fundamental lahirnya Perppu Pilkada, yakni ada tindakan awal sebelumnya yang dilakukan oleh Presiden (dalam hal ini SBY pada waktu itu), dengan terlebih dahulu mencabut keberlakukan UU Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada), kemudian pada “detik” itu juga diterbitkan Perppu Pilkada.
Adapun maksud dicabutnya UU Pilkada, agar limitasi kegentingan memaksa, yang mana salah satu unsurnya harus terjadi kekosongan hukum. Bahwa ketika UU Pilkada sudah dicabut berarti sistem Pemilihan Kepala Daerah berada dalam tafsir “telah terjadi kekosongan hukum.”
Dari tindakan penerbitan Pilkada itu ternyata menyimpan sejumlah kejanggalan. Pertama, apakah Presiden memiliki landasan hukum dapat mencabut keberlakuan UU? Jawabannya, dalam perspektif hukum ketatanegaraan tidak dibolehkan. Adapun masa berakhirnya UU yang dapat melibatkan Presiden, hanya dapat terjadi melalui penerbitan UU yang nama dan substansi UU-nya sama. Yaitu dengan pembahasan UU tersebut di DPR, kemudian disetujui bersama (DPR dan Presiden), dan selanjutnya disahkan oleh Presiden. Itu artinya, pencabutan UU Pilkada yang dilakukan sepihak oleh SBY tidak ada basis hukumnya.
Kedua, apakah Perppu dapat mengakhiri keberlakuan UU? Dalam penelusuruan berbagai literatur, tidak terdapat landasan hukum ketatanegaraan maupun landasan teori perundang-undangan, kalau Perppu dapat mencabut keberlakuan UU. Bahwa kembali pada syarat penerbitan Perppu yang telah ditegaskan oleh MK, Perppu hanya dapat diterbitkan dalam tiga prasyarat. Dan syarat yang paling utama, mesti terjadi kekosongan hukum. Satupun dalam prasyarat penerbitan Perppu tersebut, tidak ada teks/ketentuan hukum, Perppu dapat terbit untuk mencabut keberlakuan suatu UU.
Terlepas dari polemik, “kisruh politik” dan kehendak publik selama ini, kalau DPR kelak disaat menguji “objektivitas” Perppu Pilkada (formilnya), dan mereka ingin taat dalam ruang lingkup hukum ketatanegaraan, seharusnya Perppu Pilkada ditolak. Kenapa harus ditolak? Jawabannya sederhana; sebab tidak ada Perppu yang dapat diterbitkan sepanjang tidak ada kekosongan hukum. Bukankah sistem Pemilihan Kepala Daerah sudah ada aturan hukumnya dalam UU Pilkada?
Hakikat dan manfaat lain, perlunya Perppu Pilkada ditolak oleh DPR nantinya, juga bersandar pada alasan, bahwa penolakan Perppu itu bertujuan untuk “mendisiplinkan” agar Presiden tidak semena-mena mencabut UU, oleh karena tidak ada kewenangannya yang diberikan oleh UUD NRI 1945 maupun UU di bawahnya untuk mencabut keberlakuan UU.
Uji Materil UU Pilkada
Oleh karena Perppu yang dapat mencabut keberlakuan UU tidak ada dasar hukumnya. Maka satu yang pasti, meskipun Perppu Pilkada ditolak nanti oleh DPR dalam sidang paripurna berikutnya, mustahil terjadi kekosongan hukum. UU Pilkada itulah yang berlaku. Ingat! UU hanya dapat dicabut dengan UU pula, bukan dengan Perppu.
Dengan demikian, berdasarkan argumen yang telah dikemukakan di atas. Terutama bagi pihak yang pro Pilkada Langsung, wajar saja jika menyayangkan SBY menerbitkan Perppu Pilkada. Perpu Pilkada sudah cacat bawaan sejak lahir, kemudian menutup pula penggunaan mekanisme hukum yang tepat bagi para pihak yang hendak menguji materil UU Pilkada ke MK. Sebab katanya UU Pilkada sudah dicabut keberlakuannya oleh Perppu Pilkada.*
Responses
1 Respones to "Perppu Mencabut Undang-Undang?"
Menurut saya, Di sinilah ganjalan nasib Perppu. Jokowi akan ketiban masalah besar akibat Perppu yang diterbitkan presiden sebelum dirinya dengan posisi di mana kekuatan parleman tidak seimbang. Bisa jadi, masalah ini akan berkembang ke arah ‘mengganggu’ Jokowi. Kita belum mendengar sanksi yang akan ditimpakan kepada mereka yang disebut SBY sebagai dalang WO nya PD. Tentu kita menunggu dengan seksama apakah tindakan SBY yang mencari dalang itu dengan sungguh-sungguh dilakukan atau tidak. dengan melihat kenyataan ini, sekalipun Perppu terlihat efektif mengembalikan kedaulatan rakyat, tapi sebenarnya cara berpolitik SBY ini merupakan ‘politik cuci tangan’ jilid dua. Jika sebelumnya sandiwara WO yang gagal, kini SBY melakukan modus “lempar batu sembunyi tangan
23 November 2014 pukul 04.45
Posting Komentar