Judul tulisan ini muncul, adalah bukan kehendak bebas dari dalam diri saya untuk menuangkannya. Semuanya terjadi secara kebetulan, karena permintaan teman-teman FB, untuk turut berkomentar. Disaat kemarin, Presiden dan wakil Presiden terpilih (Jokowi-JK), mengumumkan struktur kabinetnya. Katanya terdapat 18 jumlah kementerian dari kalangan profesional dan 16 kementerian dari kalangan profesional partai.
Sayapun memilih untuk tidak mengirimkan tulisan ini ke media cetak dengan alasan; menjauhi dari niat mencari legitimasi, kebenaran hanya seolah-olah milik saya pribadi. Termasuk saya mengurangi berkomentar distatus teman-teman FB, lebih memilih untuk menuliskannya. Semuanya saya lakukan untuk tidak ikut dalam perdebatan kusir, ngawur, hingga saling mencaci maki saja.
Koalisi tanpa syarat! Ya...janji ini yang dilontarkan dahulu kala oleh Jokowi. Kemudian memunculkan peristiwa lain yaitu: Jokowi kini seolah-oleh ingkar janji terhadap kata-kata yang pernah diucapkannya, dan pernah dicatut oleh publik janji tersebut.
Pertanyaan kemudian yang muncul dari makna termin “koalisi tanpa syarat”: Apakah koalisi tanpa syarat adalah mengeliminasi semua calon kabinet dari unsur partai politik? Jika ini maksudnya, sebuah kemustahilan dengan beberapa catatan yang bisa membantahnya. Oleh konstitusi sudah mengunci bahwa tidak mungkin ada calon presiden dari nonpartai. Hanya partai politik diberikan “previlege constitution” uantuk mengusung calon presiden dan calon wakil presiden. Selanjutnya lebih ketat lagi partai politik hanya dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden jika memenuhi syarat presidential threshold berdasarkan UU Pilpres. Itu artinya, melalui persyaratan konstitusi dan UU Pilpres disinilah “keniscayaan” yang harus diterima, awal munculnya jatah-jatahan kekuasaan (dalam hal ini kementerian). Sekarang, salahkah jika mengangkat menteri dari partai politik yang telah ikut serta berkoalisi mengantarkan terpilihnya presiden dan wakil presiden tersebut? Jawabannya, bisa menjadi salah sekiranya partai-partai politik yang ikut berkoalisi itu hanya mau bergabung, jika dari awal sudah mempersyaratkan harus punya jatah menteri, apalagi tanpa memandang kapasitas dari calon-calon menteri yang merupakan dari unsur partai politik. Sebaliknya, benar tindakan merekrut anggota menteri walaupun dari unsur parpol, jika memenuhi in the right person in the right place.
Perlu teman-teman ketahui, merupakan pendapat yang keliru jika mengatakan anggota partai politik adalah perusak pemerintahan hingga tidak dapat terbentuk kabinet efektif atau kabinet ahli (zaken cabinet). Bahkan jika partai politik dikelolah dengan sebaik-baiknya, sistem kaderisasinya jelas, rekrutmen anggotanya dari orang-orang capable, justru di sanalah kita akan menadapatkan calon-calon pejabat publik yang berintegritas lagi aksaptabel untuk mengurusi pemerintahan.
Salah satu yang memunculkan “ketidakpercayaan” kita terhadap partai politik, tidak lain disebabkan pengalaman Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, yakni ketika semua anggota kabinetnya yang terseret dalam pusaran korupsi ternyata berasal dari anggota partai. Nah, salah satu pintu terbukanya korupsi dari menteri yang merupakan unsur parpol, sebab menteri tersebut masih menjadi pengurus atau angggota di struktur partai politiknya. Logikanya, oleh karena ada tuntutan partai politik untuk menyetor dana partai bagi anggota-anggotanya, praktis anggota kabinet yang dari unsur parpol harus melepaskan jabatannya dari keanggotaan, agar tidak lagi ada tuntutan penyetoran dana ke partai, yang memicu terjadinya perbuatan korupsi. Saya kira ini hal yang sulit untuk dilakukan oleh Jokowi suatu waktu nanti, untuk menuntut kabinetnya yang dari unsur parpol melepaskan keanggotaannya. Karena itu, sebelum mengumumkan nama-nama untuk kementerian Jokowi-JK kelak, sebaiknya tidak perlu mengangkat menteri, yang tidak mau melepaskan jabatannya di keanggotaan partai.
Terkait dengan kabinet efektif dan ramping, juga dipertanyakan teman-teman. Apakah jumlah menteri 34 termasuk ramping? Padahal jumlah itu sama dengan KIB sebelumnya. Ramping tidaknya postur kabinet perlu dimaknai, bahwa "porto folio" kabinet itu hadir karena sesuai kebutuhan. Seperti Wamen yang dulunya mendominasi KIB jilid II, kemudian oleh Jokowi menghapuskannya, dan hanya menyisakan Wamen untuk kementerian luar negeri, saya kira ini sudah bagian dari perampingan kementerian. Untuk mengkritisi kabinet tersebut efektif atau tidak, jelas harus dinanti dahulu kinerja semua kementerian itu. Yang bisa diamati melalui rapor kerja tiap-tiap kementerian.
Di atas segalanya, semua argumen ini, saya serahkan kepada teman-teman untuk mengkritisinya dalam satu tulisan pula. Apa makna dari kalian perihal “koalisi tanpa syarat”. Apakah haram Kabinet dari unsur Parpol? Padahal banyak juga kader-kader terbaik dari parpol yang kiranya dapat mengurusi pemerintahan. Ataukah kita sepakat semua menteri sudah mestinya berasal dari kalangan profesional (akademisi, pekerja, pengusaha) tanpa lagi ada embel-embel partai politiknya. Apakah ada jaminan pula menteri-menteri dari kalangan profesional suatu waktu tidak korup. Jika saudara punya jawaban, sebaiknya menteri tidak perlu dari kalangan parpol berarti anda telah berhasil mengunci mulut M. Tiroq; bahwa dalam sebuah kebinet ada “kaki politisi” dan “kaki tekhnokrat/profesional” yang lazim disebut kabinet bifurkrasi. SEKIAN
Sayapun memilih untuk tidak mengirimkan tulisan ini ke media cetak dengan alasan; menjauhi dari niat mencari legitimasi, kebenaran hanya seolah-olah milik saya pribadi. Termasuk saya mengurangi berkomentar distatus teman-teman FB, lebih memilih untuk menuliskannya. Semuanya saya lakukan untuk tidak ikut dalam perdebatan kusir, ngawur, hingga saling mencaci maki saja.
Koalisi tanpa syarat! Ya...janji ini yang dilontarkan dahulu kala oleh Jokowi. Kemudian memunculkan peristiwa lain yaitu: Jokowi kini seolah-oleh ingkar janji terhadap kata-kata yang pernah diucapkannya, dan pernah dicatut oleh publik janji tersebut.
Pertanyaan kemudian yang muncul dari makna termin “koalisi tanpa syarat”: Apakah koalisi tanpa syarat adalah mengeliminasi semua calon kabinet dari unsur partai politik? Jika ini maksudnya, sebuah kemustahilan dengan beberapa catatan yang bisa membantahnya. Oleh konstitusi sudah mengunci bahwa tidak mungkin ada calon presiden dari nonpartai. Hanya partai politik diberikan “previlege constitution” uantuk mengusung calon presiden dan calon wakil presiden. Selanjutnya lebih ketat lagi partai politik hanya dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden jika memenuhi syarat presidential threshold berdasarkan UU Pilpres. Itu artinya, melalui persyaratan konstitusi dan UU Pilpres disinilah “keniscayaan” yang harus diterima, awal munculnya jatah-jatahan kekuasaan (dalam hal ini kementerian). Sekarang, salahkah jika mengangkat menteri dari partai politik yang telah ikut serta berkoalisi mengantarkan terpilihnya presiden dan wakil presiden tersebut? Jawabannya, bisa menjadi salah sekiranya partai-partai politik yang ikut berkoalisi itu hanya mau bergabung, jika dari awal sudah mempersyaratkan harus punya jatah menteri, apalagi tanpa memandang kapasitas dari calon-calon menteri yang merupakan dari unsur partai politik. Sebaliknya, benar tindakan merekrut anggota menteri walaupun dari unsur parpol, jika memenuhi in the right person in the right place.
Perlu teman-teman ketahui, merupakan pendapat yang keliru jika mengatakan anggota partai politik adalah perusak pemerintahan hingga tidak dapat terbentuk kabinet efektif atau kabinet ahli (zaken cabinet). Bahkan jika partai politik dikelolah dengan sebaik-baiknya, sistem kaderisasinya jelas, rekrutmen anggotanya dari orang-orang capable, justru di sanalah kita akan menadapatkan calon-calon pejabat publik yang berintegritas lagi aksaptabel untuk mengurusi pemerintahan.
Salah satu yang memunculkan “ketidakpercayaan” kita terhadap partai politik, tidak lain disebabkan pengalaman Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, yakni ketika semua anggota kabinetnya yang terseret dalam pusaran korupsi ternyata berasal dari anggota partai. Nah, salah satu pintu terbukanya korupsi dari menteri yang merupakan unsur parpol, sebab menteri tersebut masih menjadi pengurus atau angggota di struktur partai politiknya. Logikanya, oleh karena ada tuntutan partai politik untuk menyetor dana partai bagi anggota-anggotanya, praktis anggota kabinet yang dari unsur parpol harus melepaskan jabatannya dari keanggotaan, agar tidak lagi ada tuntutan penyetoran dana ke partai, yang memicu terjadinya perbuatan korupsi. Saya kira ini hal yang sulit untuk dilakukan oleh Jokowi suatu waktu nanti, untuk menuntut kabinetnya yang dari unsur parpol melepaskan keanggotaannya. Karena itu, sebelum mengumumkan nama-nama untuk kementerian Jokowi-JK kelak, sebaiknya tidak perlu mengangkat menteri, yang tidak mau melepaskan jabatannya di keanggotaan partai.
Terkait dengan kabinet efektif dan ramping, juga dipertanyakan teman-teman. Apakah jumlah menteri 34 termasuk ramping? Padahal jumlah itu sama dengan KIB sebelumnya. Ramping tidaknya postur kabinet perlu dimaknai, bahwa "porto folio" kabinet itu hadir karena sesuai kebutuhan. Seperti Wamen yang dulunya mendominasi KIB jilid II, kemudian oleh Jokowi menghapuskannya, dan hanya menyisakan Wamen untuk kementerian luar negeri, saya kira ini sudah bagian dari perampingan kementerian. Untuk mengkritisi kabinet tersebut efektif atau tidak, jelas harus dinanti dahulu kinerja semua kementerian itu. Yang bisa diamati melalui rapor kerja tiap-tiap kementerian.
Damang Averroes Al-Khawarizmi |
Di atas segalanya, semua argumen ini, saya serahkan kepada teman-teman untuk mengkritisinya dalam satu tulisan pula. Apa makna dari kalian perihal “koalisi tanpa syarat”. Apakah haram Kabinet dari unsur Parpol? Padahal banyak juga kader-kader terbaik dari parpol yang kiranya dapat mengurusi pemerintahan. Ataukah kita sepakat semua menteri sudah mestinya berasal dari kalangan profesional (akademisi, pekerja, pengusaha) tanpa lagi ada embel-embel partai politiknya. Apakah ada jaminan pula menteri-menteri dari kalangan profesional suatu waktu tidak korup. Jika saudara punya jawaban, sebaiknya menteri tidak perlu dari kalangan parpol berarti anda telah berhasil mengunci mulut M. Tiroq; bahwa dalam sebuah kebinet ada “kaki politisi” dan “kaki tekhnokrat/profesional” yang lazim disebut kabinet bifurkrasi. SEKIAN
Responses
0 Respones to "Koalisi Tanpa Syarat"
Posting Komentar