(Artikel Ini Juga Muat di harian Tribun Timur Makassar, 27 September 2014: Suara rakyat tidak selamanya berbanding lurus dengan wakilnya di
parlemen. Konstelasi politik di parlemen yang begitu cair dan dinamis,
sulit dibaca mana anggota DPR yang mengatasnamakan rakyat, dan mana yang
sekedar menggunakan kata rakyat sebagai “lipstik” bibir saja.
Oleh; Damang Averroes Al-Khawarizmi |
Akhirnya putusan politik yang telah lama dinanti berakhir dengan kemenangan atas dominasi Koalisi Merah Putih (KMP). Semuanya telah jelas berdasarkan hasil rapat paripurna yang digelar secara maraton sampai dini hari kemarin (26/9/14). RUU Pilkada disetujui mayoritas parlemen menjadi UU Pilkada, dengan menggunakan sistem Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD.
Melalui rapat paripurna itu pula telah membenarkan prediksi sejumlah pengamat. Bahwa dianutnya kelak pemilihan kepala daerah secara langsung ada di tangan Fraksi Partai Demokrat. Dan di babak penentu, detik-detik terakhir, ternyata Fraksi Demokrat memilih walk out, karena opsi pemilihan langsung yang ditawarkan dengan sepuluh perbaikan ditolak.
Kubu pendukung Pilkada langsung, pun akhirnya meradang, terutama PDIP dan dua rekan koalisinya (PKB dan Hanura). Karena penentu kemenangan Pilkada langsung yang disuarakan oleh PDIP, otomatis akan kalah telak, di saat fraksi Demokrat memilih walk out.
Itu terbukti, kubu pendukung Pilkada langsung yang terdiri dari PDIP, PKB dan Hanura hanya mengumpulkan 135 suara, jumlah itu termasuk pecahan 11 suara dari fraksi Golkar yang membelot, dan 6 suara dari Partai Demokrat yang bertahan untuk tinggal menggunakan hak konstitusinya.
Sangat jauh selisihnya, jika dibandingkan dengan kubu pendukung Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD, yang terdiri dari Gerindra, PAN, PPP, Golkar,dan PKS, mereka unggul dengan mengumpulkan 226 suara (selisih 91 suara).
Duka Rakyat
Terlepas dari itu semua, bagaimanapun putusan politik tersebut dianggap sangat tendensius. Karena kemenangannya merupakan efek Pilpres 2014, yang dituding sebagai tindakan mengepung koalisi Jokowi-JK kelak. Kita harus menghormatinya sebagai proses politik yang telah dipilih oleh wakil-wakil kita.
Kendati mayoritas rakyat tetap mendukung Pilkada Langsung berdasarkan hasil survey LSI: bahwa ada kurang lebih 81 persen rakyat Indonesia yang mendukung Pilkada langsung. Tetapi itu tidak dapat menjadi ukuran, parlemen akan selalu membawa aspirasi rakyat.
Suara rakyat tidak selamanya berbanding lurus dengan wakilnya di parlemen. Konstelasi politik di parlemen yang begitu cair dan dinamis, sulit dibaca mana anggota DPR yang mengatasnamakan rakyat, dan mana yang sekedar menggunakan kata rakyat sebagai “lipstik” bibir saja.
Warga negara Indonesia boleh berkabung, boleh berduka atas pencabutan hak konstitusioanal ini, yang telah diperjuangkannya berdarah-darah dengan semangat reformasi. Setelah sepuluh tahun menggunakan hak untuk memilih sendiri kepala daerahnya di jantung-jantung daerah. Kini dengan “kegagapan” parlemen yang masih menyimpan rasa amarah dan dendam kekalahan Pilpres 2014, rakyatlah menjadi korbannya.
Dengan berbagai dalih Pilkada langsung, katanya berbiaya mahal, memicu konflik horizontal, hanya melahirkan kepala daerah korup. Rakyat seolah-olah dipersalahkan, rakyat dituding semuanya belum dewasa berdemokrasi, sehingga terlalu gampang “dibodohi” oleh para elit.
Adalah sebuah logika yang tidak tepat, jika rakyat dipersalahkan, kemudian haknya dirampas begitu saja. Kalau dengan alasan Pilkada langsung, hanya akan melahirkan Kepala Daerah korup; Mengapa pula hak politik rakyat itu yang dicabut? Bukankah lebih pantas Kepala Daerah yang terbukti melakukan korupsi, harus dicabut hak politiknya melalui putusan pengadilan?
Dengan sewenang-wenangnya, anggota DPR yang menyetujui Pilkada via DPRD telah bertindak sebagai “hakim pengadilan”. Tidak hanya mencabut hak politik satu/dua orang, tetapi jutaan rakyat Indonesia yang telah dicabut haknya.
Entah kapan lagi hak politik rakyat itu akan dipulihkan. Rakyat hanya bisa menerimanya sebagai konsekuensi politik. Rakyat ternyata telah salah dalam memilih wakil-wakilnya karena kini melukainya.
Demokrasi telah didekonstruksi dalam “lingkaran setan” cukup melalui bahasa dan kuasa. Rakyat tidak mampu berbuat apa-apa, selain berduka menatap para wakilnya memecundangi demokrasi yang berbalut kesucian itu.
Menuju MK
Memang ini belum berakhir dalam rangka memperjuangkan daulat rakyat, karena masih tersedia sarana hukum untuk mengujinya melalui Mahkamah Konstitusi. Hanyalah MK sebagai satu-satunya “juru agung” diharapkan dapat mengembalikan hak-hak konstitusional rakyat. Hanyalah MK yang bisa “mengobati” duka mendalam demokrasi yang telah dikoptasi oleh sejumlah kepentingan saat ini.
Tetapi dalam hemat penulis, saya termasuk orang yang pesimis, jika UU Pilkada kelak diuji di MK. MK kemungkinan besar akan menolak gugatan untuk kembali kepada Pilkada Langsung.
Mengaca dari Putusan MK Nomor 97/ PUU-XI/ 2013, tegas memutuskan bahwa dirinya tidak lagi berwenang untuk mengadili sengketa Pilkada.
Sudah dapat diduga lebih awal, cukup dengan melihat pertimbangan hukum MK saja dalam putusan tersebut, bahwa MK telah mengeluarkan Pilkada sebagai rezim pemilu berdasarkan Pasal 22 E UUD NRI 1945. Dan arti lebih lanjut pemilu langsung hanya untuk DPR, DPD, DPRD. Presiden dan Wakil Presiden. Tidak ada untuk pemilihan Kepala Daerah.
Kecuali MK berpendapat lain, dengan memiliki keberanian untuk menafsirkan Pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945. Dengan melihat filosofi dasar lahirnya Kepala Daerah dan Presiden yang tidak dapat dipisahkan dari unsur daulat rakyat, sebagaimana amanat Pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945. Maka masih ada peluang, kemungkinan MK akan memutuskan Pilkada menggunakan sistem langsung yang dipilih oleh rakyat.
Melibatkan Publik
Kalau toh nantinya Pilkada melalui DPRD yang harus kita terima bersama. Jika MK tidak kunjung mengembalikan hak rakyat itu, melalui Pilkada langsung. Duka mendalam demokrasi jangan dibiarkan terlalu lama mendera. Perlu dipikirkan jalan tengah, agar Kepala Daerah terpilih bukan Kepala Daerah yang dipasung oleh kepentingan elit (baca; DPRD).
Semua Calon kepala daerah yang diusung oleh Anggota DPRD, harus diuji publik, agar jelas rekam jejak mereka. Termasuk publik harus dilibatkan pula dalam proses seleksi atas semua calon Kepala Daerah yang akan diusung oleh Partai Politik. Semua itu penting dilakukan agar kepala daerah yang terpilih, tidak dipasung oleh DPRD, tetapi bekerja untuk kesejahteraan rakyat. (*)
Melalui rapat paripurna itu pula telah membenarkan prediksi sejumlah pengamat. Bahwa dianutnya kelak pemilihan kepala daerah secara langsung ada di tangan Fraksi Partai Demokrat. Dan di babak penentu, detik-detik terakhir, ternyata Fraksi Demokrat memilih walk out, karena opsi pemilihan langsung yang ditawarkan dengan sepuluh perbaikan ditolak.
Kubu pendukung Pilkada langsung, pun akhirnya meradang, terutama PDIP dan dua rekan koalisinya (PKB dan Hanura). Karena penentu kemenangan Pilkada langsung yang disuarakan oleh PDIP, otomatis akan kalah telak, di saat fraksi Demokrat memilih walk out.
Itu terbukti, kubu pendukung Pilkada langsung yang terdiri dari PDIP, PKB dan Hanura hanya mengumpulkan 135 suara, jumlah itu termasuk pecahan 11 suara dari fraksi Golkar yang membelot, dan 6 suara dari Partai Demokrat yang bertahan untuk tinggal menggunakan hak konstitusinya.
Sangat jauh selisihnya, jika dibandingkan dengan kubu pendukung Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD, yang terdiri dari Gerindra, PAN, PPP, Golkar,dan PKS, mereka unggul dengan mengumpulkan 226 suara (selisih 91 suara).
Duka Rakyat
Terlepas dari itu semua, bagaimanapun putusan politik tersebut dianggap sangat tendensius. Karena kemenangannya merupakan efek Pilpres 2014, yang dituding sebagai tindakan mengepung koalisi Jokowi-JK kelak. Kita harus menghormatinya sebagai proses politik yang telah dipilih oleh wakil-wakil kita.
Kendati mayoritas rakyat tetap mendukung Pilkada Langsung berdasarkan hasil survey LSI: bahwa ada kurang lebih 81 persen rakyat Indonesia yang mendukung Pilkada langsung. Tetapi itu tidak dapat menjadi ukuran, parlemen akan selalu membawa aspirasi rakyat.
Suara rakyat tidak selamanya berbanding lurus dengan wakilnya di parlemen. Konstelasi politik di parlemen yang begitu cair dan dinamis, sulit dibaca mana anggota DPR yang mengatasnamakan rakyat, dan mana yang sekedar menggunakan kata rakyat sebagai “lipstik” bibir saja.
Warga negara Indonesia boleh berkabung, boleh berduka atas pencabutan hak konstitusioanal ini, yang telah diperjuangkannya berdarah-darah dengan semangat reformasi. Setelah sepuluh tahun menggunakan hak untuk memilih sendiri kepala daerahnya di jantung-jantung daerah. Kini dengan “kegagapan” parlemen yang masih menyimpan rasa amarah dan dendam kekalahan Pilpres 2014, rakyatlah menjadi korbannya.
Dengan berbagai dalih Pilkada langsung, katanya berbiaya mahal, memicu konflik horizontal, hanya melahirkan kepala daerah korup. Rakyat seolah-olah dipersalahkan, rakyat dituding semuanya belum dewasa berdemokrasi, sehingga terlalu gampang “dibodohi” oleh para elit.
Adalah sebuah logika yang tidak tepat, jika rakyat dipersalahkan, kemudian haknya dirampas begitu saja. Kalau dengan alasan Pilkada langsung, hanya akan melahirkan Kepala Daerah korup; Mengapa pula hak politik rakyat itu yang dicabut? Bukankah lebih pantas Kepala Daerah yang terbukti melakukan korupsi, harus dicabut hak politiknya melalui putusan pengadilan?
Dengan sewenang-wenangnya, anggota DPR yang menyetujui Pilkada via DPRD telah bertindak sebagai “hakim pengadilan”. Tidak hanya mencabut hak politik satu/dua orang, tetapi jutaan rakyat Indonesia yang telah dicabut haknya.
Entah kapan lagi hak politik rakyat itu akan dipulihkan. Rakyat hanya bisa menerimanya sebagai konsekuensi politik. Rakyat ternyata telah salah dalam memilih wakil-wakilnya karena kini melukainya.
Demokrasi telah didekonstruksi dalam “lingkaran setan” cukup melalui bahasa dan kuasa. Rakyat tidak mampu berbuat apa-apa, selain berduka menatap para wakilnya memecundangi demokrasi yang berbalut kesucian itu.
Menuju MK
Memang ini belum berakhir dalam rangka memperjuangkan daulat rakyat, karena masih tersedia sarana hukum untuk mengujinya melalui Mahkamah Konstitusi. Hanyalah MK sebagai satu-satunya “juru agung” diharapkan dapat mengembalikan hak-hak konstitusional rakyat. Hanyalah MK yang bisa “mengobati” duka mendalam demokrasi yang telah dikoptasi oleh sejumlah kepentingan saat ini.
Tetapi dalam hemat penulis, saya termasuk orang yang pesimis, jika UU Pilkada kelak diuji di MK. MK kemungkinan besar akan menolak gugatan untuk kembali kepada Pilkada Langsung.
Mengaca dari Putusan MK Nomor 97/ PUU-XI/ 2013, tegas memutuskan bahwa dirinya tidak lagi berwenang untuk mengadili sengketa Pilkada.
Sudah dapat diduga lebih awal, cukup dengan melihat pertimbangan hukum MK saja dalam putusan tersebut, bahwa MK telah mengeluarkan Pilkada sebagai rezim pemilu berdasarkan Pasal 22 E UUD NRI 1945. Dan arti lebih lanjut pemilu langsung hanya untuk DPR, DPD, DPRD. Presiden dan Wakil Presiden. Tidak ada untuk pemilihan Kepala Daerah.
Kecuali MK berpendapat lain, dengan memiliki keberanian untuk menafsirkan Pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945. Dengan melihat filosofi dasar lahirnya Kepala Daerah dan Presiden yang tidak dapat dipisahkan dari unsur daulat rakyat, sebagaimana amanat Pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945. Maka masih ada peluang, kemungkinan MK akan memutuskan Pilkada menggunakan sistem langsung yang dipilih oleh rakyat.
Melibatkan Publik
Kalau toh nantinya Pilkada melalui DPRD yang harus kita terima bersama. Jika MK tidak kunjung mengembalikan hak rakyat itu, melalui Pilkada langsung. Duka mendalam demokrasi jangan dibiarkan terlalu lama mendera. Perlu dipikirkan jalan tengah, agar Kepala Daerah terpilih bukan Kepala Daerah yang dipasung oleh kepentingan elit (baca; DPRD).
Semua Calon kepala daerah yang diusung oleh Anggota DPRD, harus diuji publik, agar jelas rekam jejak mereka. Termasuk publik harus dilibatkan pula dalam proses seleksi atas semua calon Kepala Daerah yang akan diusung oleh Partai Politik. Semua itu penting dilakukan agar kepala daerah yang terpilih, tidak dipasung oleh DPRD, tetapi bekerja untuk kesejahteraan rakyat. (*)