Inilah “dosa turunan” yang harus dibayar mahal oleh presiden terpilih, hingga mengakhiri dirinya sebagai presiden rakyat, beralih menjadi presiden partai, termasuk bukan kabinet rakyat yang terorbitkan, namun kabinet partai politik.
DI TENGAH kegelisahan publik menanti putusan MK (Mahkamah Konstitusi) atas kesahihan daulat rakyat, pemilhan umum presiden dan wakil presiden yang telah kita lewati bersama. Sudah setumpuk PR (Pekerjaan Rumah) menanti, dari presiden yang kelak akan dilantik dan resmi dinyatakan memimpin Negara RI ini, untuk lima tahun ke depannya.
Salah satu pekerjaan yang harus dipikirkan oleh presiden mendatang, adalah siapa yang layak ataukah pantas untuk mendampinginya dalam menjalankan pemerintahan. Itulah kemudian akhir-akhir ini sedang menjadi polemik pengisian anggota kabinet presiden 2014-2019 nanti.
Damang Averroes Al-Khawarizmi |
Menarik, untuk mencermati pernyataan Jokowi, disaat ingin melepaskan anggota kebinetnya dari unsur partai politik. Dalam kaitannya dengan itu, tindakan untuk mengeliminasi partai politik dalam sistem kementerian, dapat memilih tindakan dalam dua hal. Pertama, hanya mengangkat anggota kabinet dari kalangan profesional atau yang disebut tekhnokrat. Sementara mereka yang berasal dari keanggotaan partai politik tidak perlu dilirik lagi. Kedua, kalaupun ada kabinet yang berasal dari unsur partai politik, mereka harus melepaskan diri dari keanggotaan Parpol, demi mengeliminir terjadinya dualisme loyalitas. Dualisme loyalitas adalah di satu sisi dituntut untuk loyal terhadap Presiden itu sendiri, namun di sisi lain tidak dengan serta merta pula “abai” dari hasrat partai politik dimana dia berasal.
Pekerjaan untuk mengeliminasi unsur partai politik dalam angka nol untuk posisi kementerian, nampaknya pekerjaan itu bukan perkara muda dilakukan. Alih-alih karena menganggap keberadaan unsur partai politik dari kementerian, dapat mencederai pemerintahan dari perbuatan laku korupsi. Toh masih banyak menganggap, kalau mereka yang berasal dari partai politik, tetap tersedia orang-orang yang berintegritas dan akseptabel menduduki porsi kementerian. Cuma saja dalam hemat saya, tidak ada salahnya mengangkat kabinet dari unsur Parpol. Namun yang harus diperhatikan dan menjadi catatan. Hendaklah pengangangkatan kabinet demikian diselenggarakan secara transparan. Kemudian, latar belakang mereka harus cocok pada porsi menteri yang akan dijabat. Bisa dilihat melalui latar belakang organisasinya, latar belakang pendidikannya, latar belakang pengalaman dimana sebelumnya pernah menekuni profesinya. Bahkan paling penting untuk diperhatikan, apakah orang yang diangkat dalam jabatan kementerian tersebut tidak pernah terindikasi korupsi, termasuk peluang di masa mendatang akan tersandera dalam kasus korupsi. Tentu adalah kelihaian dan keterampilan Presiden, ketika akan mengangkat pembantu-pembantunya yang bernama menteri, demi terwujudnya kabinet dambaan. sebagaimana apa yang disebut kabinet ahli (zaken cabinet).
Bukan Parlementer
Terhadap persoalan kedua, bahwa pada intinya setiap menteri yang berasal dari unsur parpol, baik yang menjabat sebagai ketua umum, dewan pertimbangan, majelis tinggi dan seterusnya, harus melepaskan dirinya dari jabatan parpol. Niat tersebut layak untuk diapresiasi.
Kalau hanya memperdebatkan bahwa banyak diperiode sebelumnya. Ada banyak pula menteri yang berasal dari anggota parpol dapat membagi waktunya sebagai abdi negara, dan di sisi lain sebagai abdi partai. Itu sudah perdebatan klasik yang tidak akan pernah berkesudahan.
Penting untuk diketahui, kalau sejatinya kesepakatan kita bersama dalam amanat konstitusi (UUD NRI 1945). Dengan memilih sistem pemerintahan presidensial merupakan keniscayaan yang harus diterima bersama, kalau dalam pengisian kabinet, membentuk yang namanya eksekutif (presiden dan menteri) itu, ada kemudian hendak “mengibarkan” bendera partai dari parlemen untuk eksekutif, sama sekali bukan karekteristik sistem presidensial. Melainkan yang demikian adalah ciri khas sistem pemerintahan parlementer. Yang mana dalam sistem pemerintahan parlementer, pemilu diselenggarakan hanya untuk memilih parlemen, dan cukup dilaksanakan sekali. Untuk kemudian pengisian ekesekutif (presiden dan menteri) sudah pasti berada pada kekuatan parlemen. Sehingga dalam sistem pemerintahan parlementer pula, kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
Kondisi ini tidak sama dengan sistem pemerintahan presidensil, baik parlemen maupun presiden adalah dipilih melalui pemilihan umum, yang otomatis power dari kedua lembaga negara itu kuat. Makanya, konstitusi telah memberi amanah kepada presiden, persoalan pengangkatan menteri adalah hak proregatifnya, bukan karena persoalan koalisi. Karena merasa berjasa sudah memberi dukungan, kemudian parlemen dan presiden dalam kooptasi partai politik.
Dosa Turunan
Saya mencermati saat ini, bahwa yang menyebabkan sulit untuk terbentuk kabinet ahli tidak dapat dilepaskan dari penyimpangan konstitusi atas UU Pilpres (No. 40/ 2008) yang mensyaratkan presidential threshold bagi partai politik untuk mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. Sehingga mau tidak mau, dalam perjalanan ketatanegaraan nantinya, eksekutif terus berada dalam turbulensi politik parlemen.
Sebab itu, untuk Pemilu 2014 memang membutuhkan kesabaran, dari konsekuensi pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang diselenggarakan secara terpisah. Karena keterpisahannya itu sama saja membuka pintu syarat presidential threshold, dan selanjutnya presiden terpilih “terpaksa” membayar utang budi terhadap beberapa partai pengusungnya.
Inilah “dosa turunan” yang harus dibayar mahal oleh presiden terpilih, hingga mengakhiri dirinya sebagai presiden rakyat, beralih menjadi presiden partai, termasuk bukan kabinet rakyat yang terorbitkan, namun kabinet partai politik.
Sudah waktunya kita menunggu, janji Jokowi jika benar-benar menjadi pemenang di MK, sekiranya hasil rekapitulasi KPU pun pada akhirnya “diakui” oleh MK. Janji koalisi tanpa syarat untuk membangun indonesia hebat. Lalu, menginginkan kabinetnya, harus melepaskan dari keanggotaan partai politik. Inilah “ijtihad politik” untuk mengeluarkan sistem pemerintahan dari konfigurasi partai politik dalam sanderaan berkepanjangan, dalam rangka menjalankan amanat daulat rakyat sepenuhnya. Dalam situasi itu, mungkin kita akan mendengar sikap negarawan Jokowi yang memutar ulang rekaman sejarah dari perkataan Manuel Luis, ”My loyality to may party end where may loyality to may country begins.”(*)
Oleh:
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Peneliti Republik Institute & Co-Owner negarahukum.com