Negeri ini, Indonesia sebagai negara dengan masyarakatnya yang majemuk. Tampaknya “agama” masih menjadi “seksi” untuk diperjualbelikan sebagai komoditas politik dalam meraih simpati publik.
Tak kurang dari sejumlah pendukung dua Capres dan Cawapres yang kini sudah mulai “menancapkan” pengaruhnya, juga tidak mau berdiam diri, menghalalkan segala macam cara untuk mengumpulkan dukungan.
Disaat partai Islam dihantam godaan korupsi melalui pucuk pimpinannya. Tak pernah sedikitpun para elit dari partai yang membawa misi “religius” itu, saatnya “bertaubat”.
Ketika bergabung di dua poros Capres saat ini, masih pula menjual ayat-ayat Tuhan dengan pekikan ‘Allahu Akbar”. Ini terlihat ketika pidato dukungan diberikan kepada salah satu Capres kawan koalisinya. Teriakan Allahu Akbar menggema dihantarkan oleh segerombolan elit partai Islam, seolah menjadi satu-satunya kebenaran “wahyu” yang sedang disampaikan kepada seluruh rakyat di negeri ini.
Selain itu, di waktu yang berbeda Capres satunya, karena tidak mau kalah pasca penyerangan black campaign oleh beberapa jejaring sosial. Entah mereka adalah pendukung Capres tertentu, mulai dari jejaring facebook, twitter, hingga website resmi yang menyebarkan Capres tersebut bukan beragama “Islam”, tidak tahu berwudhu, bukan dari keturunan asli Indonesia.
Pun juga direspon, saat berpidato dihadapan sejumlah teman koalisi partainya, tiba-tiba membuka pembicaraan dengan kemampuan bershalawat kepada Nabiullah muhammad SAW.
Pada hari berikutnya, oleh seorang Tokoh Muhammadiyah, walau tidak bermaksud mendukungnya, dan mengkanter isu “ketidakmampuan membaca Al-qur’an” akhirnya memberi pengakuan kalau bacaan shalat Capres tersebut, amat fasih dan merdu katanya.
Lagi-lagi inilah sekelumit dari potret politik yang telah menanggalkan esensi dari agama, iman dan ketakwaan, yang sesungguhnya tidak perlu diperjualbelikan. Memang diakui bersama bahwa yang membedakan derajat manusia di hadapan Tuhannya adalah taqwanya. Namun persoalannya, tidak ada alat ukur yang dimiliki oleh manusia untuk bisa dikatakan “sukses” mengetahui tingkat keimanan seseorang. Sehingga, tidak ada gunanya menjual citra Tuhan sebagai alat propaganda, bahwa inilah Capres paling terbaik.
Betapa kufurnya kita, kalau dengan ayat-ayat Tuhan lalu memaksa kelak pemilih harus menentukan pilihan karena ukuran derajat ketakwaan oleh sepihak dan atau sekelompok orang. Bukankah ini yang namanya manusia, sebagai hamba Tuhan telah mendaulat dirinya sebagai “Tuhan”. Oleh karena dengan gampangnya, mengambil otoritas Tuhan untuk mengukur beriman tidaknya seseorang.
Dan semua ritual ibadah itu, saat hanya dijadikan panggung untuk merebut citra “Tuhan”, karena ingin dipilih, gara-gara secara fisik dan inderawi, mata dan kepala yang menyaksikan “berpasrah diri” dihadapan Tuhan. Justru pada tindak-tanduk yang demikian telah terdekteksi virus yang paling berbahaya, itulah “riya”.
Merugilah orang-orang seperti mereka yang melaksanakan ibadah karena hanya ingin mendapatkan pujian, lalu kelak dipilih. Toh mereka kalau mendapat kekuasaan, maka itulah yang didapatkannya, sementara ganjaran amal, dan lepas dari perbuatan dosa tiada mungkin tergapai. Dalam konteks ini, Tuhan tidak mungkin memihak dan membela Parpol yang “beragama”, karena rupanya agama telah dijadikan kedok wisata politik, hanya demi meraih citra dan popularitas semata. Sejatinya, jauh lebih penting dari itu semua. Agama tidak menjadi penting untuk dijadikan alat propaganda, black campaign, alat pencitraan kalau kelak hanya ingin meraih panggung kekuasaan saja (baca: Presiden RI).
Agama dan keyakinan sudah digariskan, hanya untuk menebar kedamaian, cinta kasih, keselamatan, dan peduli sesama. Bukan sebaliknya, karena momentum Pilpres yang hadir akhir-akhir ini, karena “agama” lalu menciptakan sekat. Kita saling membenci, menuduh, menyebar fitnah, hingga tak pernah pikir-pikir saling menyebar aib masing-masing.
Dalam konteks itu, tak ada salahnya Sigmund Freud, Karl Marx, ketika mengatakan agama sebagai candu. Karena agama, seorang kemudian menjadi benci dan memicu permusuhan terhadap sesamanya. Bahkan di waktu yang lain filsuf Jerman Nietzsche akhirnya “membunuh Tuhan”, karena dianggapnya Tuhan merupakan instrumen yang akan mengalahkan manusia dalam mencapai kehendaknya berkuasa. Ketiganya, baik Freud, Marx maupun Neitzsche terlalu “dangkal” melihat agama sebagai sesuatau instrumen. Agama, sama sekali tidak bisa dilepaskan dari eksistensi yang namanya manusia. Hanya manusia yang salah, atau kurang paham, belum menjalankan agamanya secara sempurna (kaffah).
Ada yang mau beragama, pada saat dirinya diuntungkan, namun ketika telah mendapat keuntungan, meraih puncak kekuasaannya, agama telah ditinggalkan. Lalu ia berbuat korupsi, kolusi, dan nepoteisme. Inilah bahayanya ketika agama terlalu dicampurbaurkan dengan politik kekuasaan, sehingga “samar-samar”, mereka seolah menjadi baik, takwa, beriman, tidak mungkin korupsi. Namun saat dipercaya memegang amanah. Berdustalah ia di hadapan orang yang pernah memberinya kepercayaan.
Karena itu, kehadiran agama dalam menatap pemilihan umum Presiden 9 Juli nanti. Beragama perlu dipahami bukan sekedar dengan jubah kesalehan capres dan para pendukungnya saja. Tapi sejauh mana kesadaran ketuhanan mereka, terpatri dalam dirinya masaing-masing.
Banyak elit politik yang bergabung dalam partai yang mengatasnamakan Islam dianggap memiliki keahlian ilmu tentang Tuhan dan ajarannya. Namun kesadaran ketuhanan mereka sungguh minim. Di hadapan publik mereka pada meneriakkan ayat suci, tak disangka esoknya terbukti korupsi. Artinya, banyak wajah politisi kita saat ini menipu dirinya sendiri, munafik, terus menerus menebar ketakutan, akan munculnya golongan yang menghancurkan “Islam”. Tapi pada saat yang sama merekalah kelak yang akan menghancurkan dirinya sendiri. Karena tumpukan uang di hadapannya, mereka telah lupa, dirinyalah yang pernah mengajak pada kebaikan.
Akhirnya, agama tidak perlu menjadi sekat bagi kita semua dalam menentukan siapa presiden terpilih nantinya. Biarkanlah agama menjadi dirinya dalam keyakinan setiap orang. Kita butuh negara yang adil, yang mana Allah SWT akan menegakkannya.
Kesadaran ketuhanan tetap perlu menjadi prioritas oleh calon-calon pemimpin kita, namun tidak perlu dipertanyakan sampai dimanakah derajat takwanya. Dan ketika nilai substansi (hakiki/isi)nya telah mereka gapai dalam beragama. Yakin saja, sudah pasti akan memberi manfaat bagi kemanusiaan, tanpa lagi memandang warna kulit, ras dan keturunan terhadap semua rakyat di negeri ini. (*)
DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI |
Tak kurang dari sejumlah pendukung dua Capres dan Cawapres yang kini sudah mulai “menancapkan” pengaruhnya, juga tidak mau berdiam diri, menghalalkan segala macam cara untuk mengumpulkan dukungan.
Disaat partai Islam dihantam godaan korupsi melalui pucuk pimpinannya. Tak pernah sedikitpun para elit dari partai yang membawa misi “religius” itu, saatnya “bertaubat”.
Ketika bergabung di dua poros Capres saat ini, masih pula menjual ayat-ayat Tuhan dengan pekikan ‘Allahu Akbar”. Ini terlihat ketika pidato dukungan diberikan kepada salah satu Capres kawan koalisinya. Teriakan Allahu Akbar menggema dihantarkan oleh segerombolan elit partai Islam, seolah menjadi satu-satunya kebenaran “wahyu” yang sedang disampaikan kepada seluruh rakyat di negeri ini.
Selain itu, di waktu yang berbeda Capres satunya, karena tidak mau kalah pasca penyerangan black campaign oleh beberapa jejaring sosial. Entah mereka adalah pendukung Capres tertentu, mulai dari jejaring facebook, twitter, hingga website resmi yang menyebarkan Capres tersebut bukan beragama “Islam”, tidak tahu berwudhu, bukan dari keturunan asli Indonesia.
Pun juga direspon, saat berpidato dihadapan sejumlah teman koalisi partainya, tiba-tiba membuka pembicaraan dengan kemampuan bershalawat kepada Nabiullah muhammad SAW.
Pada hari berikutnya, oleh seorang Tokoh Muhammadiyah, walau tidak bermaksud mendukungnya, dan mengkanter isu “ketidakmampuan membaca Al-qur’an” akhirnya memberi pengakuan kalau bacaan shalat Capres tersebut, amat fasih dan merdu katanya.
Pencitraan “Tuhan”
Lagi-lagi inilah sekelumit dari potret politik yang telah menanggalkan esensi dari agama, iman dan ketakwaan, yang sesungguhnya tidak perlu diperjualbelikan. Memang diakui bersama bahwa yang membedakan derajat manusia di hadapan Tuhannya adalah taqwanya. Namun persoalannya, tidak ada alat ukur yang dimiliki oleh manusia untuk bisa dikatakan “sukses” mengetahui tingkat keimanan seseorang. Sehingga, tidak ada gunanya menjual citra Tuhan sebagai alat propaganda, bahwa inilah Capres paling terbaik.
Betapa kufurnya kita, kalau dengan ayat-ayat Tuhan lalu memaksa kelak pemilih harus menentukan pilihan karena ukuran derajat ketakwaan oleh sepihak dan atau sekelompok orang. Bukankah ini yang namanya manusia, sebagai hamba Tuhan telah mendaulat dirinya sebagai “Tuhan”. Oleh karena dengan gampangnya, mengambil otoritas Tuhan untuk mengukur beriman tidaknya seseorang.
Dan semua ritual ibadah itu, saat hanya dijadikan panggung untuk merebut citra “Tuhan”, karena ingin dipilih, gara-gara secara fisik dan inderawi, mata dan kepala yang menyaksikan “berpasrah diri” dihadapan Tuhan. Justru pada tindak-tanduk yang demikian telah terdekteksi virus yang paling berbahaya, itulah “riya”.
Merugilah orang-orang seperti mereka yang melaksanakan ibadah karena hanya ingin mendapatkan pujian, lalu kelak dipilih. Toh mereka kalau mendapat kekuasaan, maka itulah yang didapatkannya, sementara ganjaran amal, dan lepas dari perbuatan dosa tiada mungkin tergapai. Dalam konteks ini, Tuhan tidak mungkin memihak dan membela Parpol yang “beragama”, karena rupanya agama telah dijadikan kedok wisata politik, hanya demi meraih citra dan popularitas semata. Sejatinya, jauh lebih penting dari itu semua. Agama tidak menjadi penting untuk dijadikan alat propaganda, black campaign, alat pencitraan kalau kelak hanya ingin meraih panggung kekuasaan saja (baca: Presiden RI).
Agama dan keyakinan sudah digariskan, hanya untuk menebar kedamaian, cinta kasih, keselamatan, dan peduli sesama. Bukan sebaliknya, karena momentum Pilpres yang hadir akhir-akhir ini, karena “agama” lalu menciptakan sekat. Kita saling membenci, menuduh, menyebar fitnah, hingga tak pernah pikir-pikir saling menyebar aib masing-masing.
Dalam konteks itu, tak ada salahnya Sigmund Freud, Karl Marx, ketika mengatakan agama sebagai candu. Karena agama, seorang kemudian menjadi benci dan memicu permusuhan terhadap sesamanya. Bahkan di waktu yang lain filsuf Jerman Nietzsche akhirnya “membunuh Tuhan”, karena dianggapnya Tuhan merupakan instrumen yang akan mengalahkan manusia dalam mencapai kehendaknya berkuasa. Ketiganya, baik Freud, Marx maupun Neitzsche terlalu “dangkal” melihat agama sebagai sesuatau instrumen. Agama, sama sekali tidak bisa dilepaskan dari eksistensi yang namanya manusia. Hanya manusia yang salah, atau kurang paham, belum menjalankan agamanya secara sempurna (kaffah).
Ada yang mau beragama, pada saat dirinya diuntungkan, namun ketika telah mendapat keuntungan, meraih puncak kekuasaannya, agama telah ditinggalkan. Lalu ia berbuat korupsi, kolusi, dan nepoteisme. Inilah bahayanya ketika agama terlalu dicampurbaurkan dengan politik kekuasaan, sehingga “samar-samar”, mereka seolah menjadi baik, takwa, beriman, tidak mungkin korupsi. Namun saat dipercaya memegang amanah. Berdustalah ia di hadapan orang yang pernah memberinya kepercayaan.
Kesadaran Ketuhanan
Karena itu, kehadiran agama dalam menatap pemilihan umum Presiden 9 Juli nanti. Beragama perlu dipahami bukan sekedar dengan jubah kesalehan capres dan para pendukungnya saja. Tapi sejauh mana kesadaran ketuhanan mereka, terpatri dalam dirinya masaing-masing.
Banyak elit politik yang bergabung dalam partai yang mengatasnamakan Islam dianggap memiliki keahlian ilmu tentang Tuhan dan ajarannya. Namun kesadaran ketuhanan mereka sungguh minim. Di hadapan publik mereka pada meneriakkan ayat suci, tak disangka esoknya terbukti korupsi. Artinya, banyak wajah politisi kita saat ini menipu dirinya sendiri, munafik, terus menerus menebar ketakutan, akan munculnya golongan yang menghancurkan “Islam”. Tapi pada saat yang sama merekalah kelak yang akan menghancurkan dirinya sendiri. Karena tumpukan uang di hadapannya, mereka telah lupa, dirinyalah yang pernah mengajak pada kebaikan.
Akhirnya, agama tidak perlu menjadi sekat bagi kita semua dalam menentukan siapa presiden terpilih nantinya. Biarkanlah agama menjadi dirinya dalam keyakinan setiap orang. Kita butuh negara yang adil, yang mana Allah SWT akan menegakkannya.
Kesadaran ketuhanan tetap perlu menjadi prioritas oleh calon-calon pemimpin kita, namun tidak perlu dipertanyakan sampai dimanakah derajat takwanya. Dan ketika nilai substansi (hakiki/isi)nya telah mereka gapai dalam beragama. Yakin saja, sudah pasti akan memberi manfaat bagi kemanusiaan, tanpa lagi memandang warna kulit, ras dan keturunan terhadap semua rakyat di negeri ini. (*)
Responses
0 Respones to "Tuhan Tak Pernah Membela Parpol “Beragama”"
Posting Komentar