Damang Averroes Al-Khawarizmi |
(Artikel ini Juga muat di harian Fajar Makassar, Kolom Opini, Edisi 24 Juni 2014)
Dengan segala kemewahan dan kemegahan dua momentum yang menghampiri kita semua, piala dunia dan puasa. Maka turnamen sepak bola piala dunia dipastikan akan mendapat juara yang sejati, juara yang menjunjung sportivitas
Dengan segala kemewahan dan kemegahan dua momentum yang menghampiri kita semua, piala dunia dan puasa. Maka turnamen sepak bola piala dunia dipastikan akan mendapat juara yang sejati, juara yang menjunjung sportivitas
TIMNAS Garuda kesayangan kita semua, memang tidak berlaga dalam perhelatan akbar piala dunia 2014, yang dihelat di tanah Amazon, Brasil tahun ini. Tetapi kita semua sebagai warga negara Indonesia, patut berbangga. Kita masih punya perhelatan akbar yang momentumnya bersamaan dengan piala dunia. Dalam dua bulan ke depan (Juni s/d Juli) kita akan memasuki fase bulan suci ramadhan, untuk selanjutnya memasuki “final” Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang kemungkinan besar cukup dalam satu putaran saja.
Dua event tersebut, piala dunia dan puasa, terdapat banyak momen yang telah menjadi kebiasaan, adab, etika, dan aturan, dapat menjadi pelajaran “berharga” sebelum kita tiba di hari “H” Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, 9 Juli mendatang.
Piala Dunia Vs Pilpres
Sejak dibukanya piala dunia edisi ke-20, yang resmi dimulai Jumat 13 Juni dini hari kemarin. Kembali sepak bola menyapa dan menyihir para penggila bola seanteror dunia. Tak ketinggalan juga warga negara Indonesia. Ada miliaran mata akan terbelalak, terhipnotis, dengan aksi para pemain bintang lapangan hijaudengan s berbagai macam gaya khasnya. Ada tarian samba, tango, salsa, tiki-taka, kickh and rush, total foot ball, dan cattenaci selama sebulan ke depan.
Piala dunia pastinya akan menyita perhatian kita. Maka tidak jauh berbeda dengan pesta politik yang kini mengalami goncangan dahsyat dari sebuah parade kampanye hitam. Terus mengalami peningkatan seiring dengan semakin dekatnya kontestasi Pilpres 9 Juli nanti. Semoga dengan kehadiran piala dunia bisa kembali mendinginkan atmosfer para kontestan, dan juga para pendukungnya, yang masing-masing menjagokan andalan mereka.
Dengan piala dunia, kita akan disuguhkan dengan kehangatan, dan sejuta harapan. Agar tim andalan kita, sekiranya bisa menjadi pemenang. Karena itu, biarkanlah piala dunia menjadi waktu bagi semua pemilih. Sejenak “bersitirahat’, mendinginkan suasana, berkumpul dalam satu arena untuk meraih kemeriahan, sembari mendinginkan mesin politik, tak ada lawan, semua menjadi kawan dalam satu pesta yang bernama piala dunia.
Sepak bola, di sanalah “etika” menunjukan dirinya sebagai sebuah kemewahan. Tontonan sepak bola tidaklah menarik, jika semua penonton hanya punya satu jagoan saja. Semua penonton dan para penggila bola, berhak menentukan jagoannya masing-masing. Ini adalah cerminan demokrasi. Dalam sepak bola sangat dijunjung apa yang dinamakan sportivitas dan fair play. Bahkan kekalahan adalah sebuah hal yang biasa, bagi yang kalah harus mengakui kehebatan lawan tanpa banyak lagi ajang protes di sana-sini.
Seharusnya perhelatan politik yang kian dekat ini, tak ada bedanya dengan prinsip-prinsip yang di anut dalam sepak bola. Kalau di sepak bola orang dengan bebas menentukan pilhan masing-masing. Dalam satu keluarga, satu tempat kerja, sebagai karib, wajar-wajar saja punya tim yang berbeda. Maka dalam Pilpres nanti, juga demikian. Orang bebas menentukan pilihan masing-masing, tanpa ada paksaan dan intimidasi dari siapapun. Dengan pilihan yang berbeda, tidaklah menjadi alasan, akan menghapus sekat kemanusiaan dan soliditas kita semua. Siapapun boleh berbeda pilihannya, namun tidak boleh sampai membuat hubungan menjadi renggang dalam satu kawanan sosial, sebagai kerabat, dan relasi di tempat kerja.
Puasa Vs Pilpres
Dua bulan kemegahan ini, dalam dua bulan berutut-turut, bukan hanya menjadi megah dalam hubungannya kita sebagai manusia, piala dunia dan pilpres saja. Tetapi menjadi kemegahan pula, hubungan kita dengan sang pencipta (hablu minalloh).
Dalam momen bulan suci ramadhan, di situlah kejujuran, sportivitas sang manusia benar-benar diuji oleh Tuhannya. Apakah kita melakoni bulan suci ramadhan, memang berani berlaku “jujur” di hadapan sang pencipta? Tanpa ada satu orangpun yang mengamati kita, pada siang hari akan tetap menahan lapar dan dahaga. Inilah nilai sportivitas manusia dengan Tuhannya yang harus menjadi “napak tilas” dalam mendukung masing-masing pilihan di Pilpres nanti. Yang senantiasa, dapat dipercaya memegang amanah dan tanggung jawab untuk seluruh penduduk di negeri ini.
Bulan puasa adalah bulan suci, ketika semua yang melakoni ibadah tersebut akan diberikan rahmat yang melimpah. Sebagai bulan pengampunan, jangan sampai hanya karena kepentingan kekuasaan dan duniawi semata. Orang dengan seenaknya menyebar fitnah di bulan suci itu. Marilah kita semua mensucikan diri, dari semua perilaku yang biadab, dengki, iri hati, guna meraih kemuliaan secara personal. Dan pada titik ini, akhirnya kita pula akan dihadirkan pemimpin yang mulia, bermartabat, dan bertanggung jawab. Pemimpin itu bukan hanya bertanggung jawab di hadapan rakyatnya, tapi juga “takut” untuk lalai dari tanggung jawabnya, di hadapan sang Kuasa.
Akhirnya, dengan segala kemewahan dan kemegahan dua momentum yang menghampiri kita semua, piala dunia dan puasa. Maka turnamen sepak bola piala dunia dipastikan akan mendapat juara yang sejati, juara yang menjunjung sportivitas.
Sembari meraih puncak iman dalam bulan suci ramadhan nanti, menjadi manusia yang benar-benar taqwa di hadapan Tuhan. Semoga negeri ini, yang selalu dirundung duka, bencana, korupsi, berbagai bentuk ujian lainnya. Kelak akan melahirkan pemimpin yang amanah, jujur, berintegritas, mulia di hadapan Tuhannya. Sehingga dengan sendirinya, rakyat sebagai penilai rapor sang pemimpin, juga akan memuliakan pemimpinnya. Amin Ya Robbal A’lamin.*