Sumber Image: |
Membincangkan Parpol sebagai salah satu suprastruktur politik yang memiliki “sumbangsi” besar dalam “bergeraknya” sebuah Negara atau daerah merupakan hal yang menjenuhkan, rumit dan kadang prediksi dengan telaah teori politik tidak tepat sasaran. Namun itulah politik yang dapat di-matematika-kan tetapi juga bukan matematika. Ada alat ukur yang digunakan oleh riset politik dengan menggunakan alat hitung matematika, namun faktanya tidak selalu tepat seperti hasil perhitungan matang sebelumnya.
Inilah deskripsi awal yang harus menjadi pegangan bagi pembaca ketika hendak masuk menelusuri jejak pemikiran dan pengalaman Rahmad Arsyad dalam bukunya yang berjudul “Perang Kota, Studi Politik Lokal dan Kontestasi Elit Boneka, Jurnal Studi Politik Lokal Pemilihan Walikota Makassar 2013”. Sedianya buku tersebut akan terbit pada pertengahan bulan Maret ini (2014). Tapi saya mendapat kehormatan dari beliau membaca naskah bukunya. Sehingga, kiranya saya perlu mengungkap beberapa bagian penting untuk diketahui oleh pembaca nantinya. Terutama yang menaruh minat pada studi partai politik.
Karya Rahmad Arsyad secera garis besar menggambarkan lika-liku sepuluh kandidat yang bertarung dalam perhelatan pemilihan sepuluh wali kota Makassar kemarin. Kesepuluh kandidat tersebut yang datang dari berbagi warna yaitu: Supomo Guntur-Kadir Halid, Danny Pomanto-Syamsu Rizal, Tamsil Linrung-Das’ad Latief, Adil Patu-Isradi Zainal, Irman Yasin Limpo-Busrah Abdullah, Rusdin Abdullah-Idris Patarai, St. Muhyina Muin-Syaiful Saleh, Erwin Kallo-Hasbi Ali, Herman Handoko-Latif Bafadhal, Apiaty Amin Syam-Zulkifli Gani Ottoh.
Kejutan
Jangankan meramal siapa pemenang hasil pemilu nantinya, meramal siapa-siapa kandidat yang akan berlaga juga bukan perkara gampang. Hal ini terlihat dari Bab Pertama buku tersebut. Detik-detik terakhir masih saja ada yang melakukan lompatan untuk terdaftar sebagai kandidat wali kota. Lihatlah misalnya nama Irman Yasin Limpo-Busrah Abdullah dan Apiaty Amin Syam-Zulkifli Gani Ottoh yang datang dimenit-menit akhir, menjelang pendaftaran kontestan pemilihan wali kota yang hendak ditutup oleh KPUD. Terminologi “detik-detik” akhir juga berlaku dalam setiap pemilihan apapun (baik pemilihan nasional maupun lokal), siapa yang mampu memanfaatkan menit-menit akhir boleh jadi akan menangguk keuntungan atau insentif lebih, sehingga terpilih nantinya. Yang dalam bahasa Rahmad, memaknai menit-menit akhir ini “kejutan sepuluh pasangan calon wali kota”.
Terlepas dari itu semua rekam jejak perhelatan akbar kemarin dari kesempurnaan angka (10) jumlah calon wali kota Makassar. Patut menjadi pelajaran, kalau sejatinya partai politik masih gagal menjalankan fungsi agregasinya. Hasil survei yang dilakukan oleh IDEC (lembaga survei yang didirikan juga oleh Rahmad Arsyad), ketertarikan pemilih terhadap semua kandidat wali kota bukan karena partai pengusungnya, tetapi karena visi dan misi sang kandidat, kemampuan kandidat, ditambah satu lagi poin (oleh Rahmad) yaitu siapa dibelakang kandidat itu yang disebut “elit”. atau dalam bahasa “menarik” seperti yang dibahasakan oleh penulis buku tersebut adalah “kerah putih”.
Kehadiran elit politik yang bermain dibelakang tiga kandidat (Irman, Dany Pomanto, dan Supomo Guntur) sebagai “Tri Masketer” sejatinya juga menunjukan lemahnya sistem kaderisasi partai politik, karena tiga pasangan yang cukup mendapat simpati publik toh masih bergantung pada sosok “figur” Makassar, masing-masing tiga kandidat itu diback up oleh Syahrul Yasin Limpo, Ilham Arief Sirajuddin, dan Nurdin Halid. Cuma saja dengan melajunya Dani Pomanto hingga terpilih sebagai pemenang, Ilham tergolong cerdik menyolidkan kekuatan internal partai. Berbeda halnya dengan kandidat Irman Yasin Limpo sebagai adik kandung Syahrul dan Kadir Halid juga saudara kandung Nurdin Halid justru terpolarisasi dalam konfilik internal yang tak berkesudahan, hingga menjelang hari “H” pemilukada. Kesimpulan yang terbangun dari catatan tersebut, nampaknya Ilham Arif Sirajuddin mampu meredam konflik internal Partai Demokrat. Hal yang berbeda situasinya, terjadi pada Syahrul Yasin Limpo sebagai ketua DPP Golkar Sul-sel dan Nurdin Halid sebagai ketua Team pemenangan Golkar tidak pernah sehati, untuk lebih mengedepankan nasib partai ke depannya. Ini catatan tersendiri buat partai Golkar, di daerah saja tidak mampu menyolidkan kadernya, bagaimana nanti dapat menjadi pemenang dalam pemilihan legislatif untuk menembus angka parliamentary threshold.
Satu hal yang patut dikritik dalam buku ini, yaitu pada Bab IV. Saya mencurigai penulis takut mengatakan kalau pada intinya sekelumit persoalan Makassar, mulai dari persoalan sampah, kemacetan jalan, hingga munculnya pemukiman kumuh. Kalau pada intinya tak satupun dari sepuluh kandidat yang pernah terlibat mengatasi tiga persoalan mendasar yang menjadi perhatian warga Makassar. Lalu kenapa mereka semua sangat percaya diri amat, mendaftar sebagai calon wali kota Makassar. Namun itulah bahasa politik, yang disampaikan secara santun kalau sipenulis berharap agar wali kota yang terpilih nantinya agar muncul sosok Inaki Azkuna. Sosok Walikota Balibo yang mampu mengubah citra kota yang lekat dengan industri, polusi, kemacetan dan banjir, menuju kota yang ramah dan berbudaya.
Selain beberapa kekurangan sepuluh calon wali kota yang hadir di buku ini, juga terekam banyak nilai plus kontestasi pemilihan wali kota kemarin. Pilwakot Makassar boleh dikatakan pemilihan dengan jumlah kandidat paling terbanyak di Indonesia, menunjukan kalau di republik ini, sebenarnya kita tidak pernah kekuarangan stock kepemimpinan, yang seharusnya mereka menjadi didikan partai politik, agar setiap kontestasi demokrasi akan banyak muncul calon-calon yang kredibel, akseptabel dan berintegritas.
Masih dengan bahasa yang sama pada Bab VII “kejutan”, ternyata calon wali kota yang datang dari calon perempuan tidak boleh di pandang sebelah mata. Walaupun kandidat nomor urut 7; Muhyina Muin dikatakan tidak terpilih. Tetapi suara yang mencapai 56.607 (9,67%), menunjukan kalau ruang calon perempuan di hati pemilih cukup terterima. Lagi-lagi, kota Makassar sebagai kota yang digadang-gadang menjadi kota dunia, alasan jenis kelamin tidak menjadi persoalan bagi pemilih untuk menentukan pilihan, yang penting siapa yang dianggap memiliki kemampuan mengelola Makassar dan mampu menyejahterakan warganya, silahkan berlaga dalam kontestasi, karena pemilih bisa mengukur siapa sesungguhnya paling capabel.
Bukan Matematika
Karena politik bukan matematika, terakhir yang dingatkan oleh penulis (baca: Rahmad Arsyad) pada Bab XI, bahwa sesungguhnya kita harus menegakkan demokrasi yang sehat, tidak menggunakan praktik “kotor” dalam berpolitik. Dalam mendaulat rakyat sebagai entitas demokrasi, masih tersimpan sekelumit kejanggalan, seperti dinasti politik. Bukan hanya dinasti yang terbentuk kerana kekerabatan (hubungan keluarga), tetapi juga bisa karena pertemanan antara elit kera putih. Inilah pentingnya riset melalui lembaga survei karena dalam kalkulasi data oleh peneliti melalui alat hitung itulah, akan tergambar beberapa indikator yang dapat mencederai bangunan demokrasi. Maka dalam pertarungan pemilu 2014 manti, terutama pemilihan presiden. Rahmad menganjurkan, sedianya pembatasan dinasti politik juga diterapkan melalui perekrutan anggota partai politik.
Terakhir, setelah membaca dan membuka satu persatu halaman karya Rahmad Arsyad, saya mencari “korupsi” sebagai salah satu indikator bagi pemilih dalam menentukan pilihan terhadap sepuluh kandidat wali kota Makassar kemarin. Saya tidak menemukan hasil olahan data itu, mungkin penulis lupa, atau memang tidak memiliki data yang valid untuk itu. Padahal kalau mau dibuka satu persatu rekam jejak dintara calon wali kota itu. Banyak dintara mereka yang tersandung kasus korupsi. Ada korupsi Bansos, triple C, PDAM, Banggar dan lain-lain. Saya kira ini penting untuk dibuka oleh IDEC ke depannya, karena kita pasti menginginkan pemerintahan yang bersih dan dapat sejajar dengan bangsa maju lainnya. (*)
Responses
0 Respones to "Politik Bukan Matematika (Menyusuri Rekam Pemikiran Rahmad Arsyad Melalui “Perang Kota Makassar”)"
Posting Komentar