(Artikel Ini Juga Dimuat di Harian Fajar Makassar, 4 Januari 2014)
Ada Tuhan dan para malaikat yang hadir, turun ke bumi di malam tahun
baru. Dan menyaksikan kalau sesungguhnya masih ada “lautan” manusia yang
peduli atas sesamanya
Damang Averroes Al-Khawarizmi: Owner negarahukum.com |
SUNGGUH keterbatasan manusia tiadalah kuasa ia membendung, membatasi jalan dan lajunya waktu itu. Tidak ada satupun manusia pula yang memiliki kemampuan kembali ke masa lalunya. Waktu akan terus bergerak cepat lalu hanya menyimpan catatan hidup untuk kita.
Catatan atas kehidupan yang baik, kehidupan yang buruk. Segenap kehidupan itu tak lupa pula dicatat ganjarannya oleh para malaikat, yang membidangi masing-masing tugasnya untuk mengawal segala perilaku kita.
Ironisnya, yang dilupakan oleh manusia adalah lupa kalau dirinya telah menjadi aktor dan lakon atas sejarah dari arah jarum jam yang terus menciptakan hari dan pergantian tahun. Hadirnya tahun baru justru yang lebih banyak dimunculkan ke permukaan, apa program-program, agenda, mimpi dan rencana menyongsong tahun berikutnya.
Apa karena “optimisme” yang berlebihan sehingga kita menjadi amnesia atas peristiwa yang kemarin telah terlewatkan? Lebih banyak waktu dihabiskan semalam suntuk dengan sebuah perayaan, pesta pora, makan di restoran mewah, menyalakan petasan hingga kembang api di jalan raya. Kita menjadi lupa untuk merenungi hari-hari yang telah terlewatkan, padahal dihari-hari sebelumnya banyak kesalahan yang bisa menjadi pelajaran untuk menata hidup pada lembaran baru tahun berikutnya. Pun dibalik hari-hari kemarin itu ada “kesalahan” yang pernah diperbuat, sengaja atau tidak, banyak meninggalkan dosa. Sedikitpun tidak pernah disisahkan waktu untuk merenungi setiap kesalahan demikian. Apa penyebabnya? Mungkin karena kita “gila pesta”.
Hobi Pesta
Nyatanya memang kita pada dasarnya hobi pesta, hobi meriah dengan menciptakan keindahan artificial demi pada pemuasan hasrat banal saja. Merasa terasing dari kehidupan kalau tidak turut ambil bagian dalam setiap perayaan tahun baru. Pesta yang digelar serba meriah dipaksakan dengan dalih toh malam tahun baru hanya sekali saja dalam setahun, apa salahnya merayakannya walau itu akan merogok kocek tebal.
Bayangkan saja apa yang ada setelah seperdua malam, pergantian tahun baru kemarin. Di setiap area dimana dirayakan pesta tahun baru, hanyalah sampah berserakan tersisa dari orang-orang yang berkumpul ramai.
Karena hobi pesta pulalah, di sana telah mencerabut esensi asali manusia dari jiwa eksistenasialnya untuk peduli sesama. Dikatakan ada sebuah kebersamaan yang ada dari pesta tersebut, kebersamaan untuk berkumpul, melakoni kegiatan yang sama, menyalakan petasan secara bersamaan, turut serta merasakan puncak malam akhir. Namun kesadaran sosial, kesalehan sosial dari umat manusia yang hobi pesta patut dipertanyakan. Apakah sudah mati?
Di lingkungan kita menghelat pesta itu, masih ada segelintir manusia yang berjuang diantara hidup mati mencari lembaran rupiah demi sesuap nasi. Tak sedikit anak yang putus sekolah, menjadi pengemis, pedagang asongan, loper koran demi membantu keuangan keluarganya. Baru diwaktu yang sama ada pula komunitas manusia yang “membakar” uang Rp. 20.000 hingga Rp. 100.000. atas harga “selangit” petasan dan kembang api.
Kenapa kita tidak pernah berpikir mengakhiri hobi pesta di malam tahun baru lalu menyisihkan uang tersebut demi saudara-saudara kita yang hidupnya serba dipertaruhkan setiap hari demi sesuap nasi? Kenapa pula lautan manusia yang tumpah ruah disemua jantung kota itu, tidak pernah sedikitpun hadir dibenak mereka, lembaran rupiah itu dikumpul bersama demi menyumbang anak yang kian hari di negeri ini putus sekolah? Jawabannya lagi-lagi karena hasrat yang memacu untuk gila pada sebuah perayaan.
Pemimpin di negeri ini, para bupati, wali kota, gubernur hingga presiden semuanya bersikap abai membenahi penduduknya dari kebiasaan yang hobi pesta. Para pemimpin justru turut andil “mengorek” uang Negara demi sebuah pesta perayaan tahun baru. Satupun, tidak ada yang bisa kita saksikan dari layar kaca, pemimpin yang mengambil inisiatif, malam tahun baru sedianya dijadikan ajang mengumpul sumbangan agar kelak bisa dijadikan santunan hidup dan pendidikan untuk kaum fakir, anak terlantar, dan anak yang sudah putus sekolah.
Tuhan Baru
Tahun boleh berganti, tapi tanpa dipaksa kepada kita semua, saya yakin kita sepakat, sekalipun tahun berganti tidak mungkin Tuhan akan berubah “wajah” dan kemahakuasaan-Nya.
Cuma kita terlalu angkuh mengambil alih jatah kemahakuasaan Tuhan, menciptakan segala keindahan baru, padahal alam beserta segala isinya sudah lebih dari cukup, kalau sedianya sudah berjuta-juta keindahan hadir di sana. Dari alam yang indah tersebut telah tercipta kemahakuasaan Tuhan. Cukup menatapnya, lalu merenuginya dengan jiwa dan akal budi, bumi yang berputar terus, tiada henti telah menjadi tanda kalau waktu dan tahun niscaya pasti berganti.
Inilah kecurigaan filsuf Jerman Nitzsche ketika mendaulat Tuhan sudah mati. Ketika era yang memaksa manusia untuk menciptakan Tuhan baru lalu menjungkirbalikan Tuhan yang sesungguhnya. Tidak ada yang peduli sesama, karena Tuhan barunya adalah harta, uang, hingga pesta, dan pesta.
Maka diawal pergantian tahun ini, sejuta ummat manusia yang kemarin tenggelam dan menghamba pada “Tuhan-Tuhan barunya” mari kembali merenungi “hakikat diri” kita, kembali hidup membaur bersama dengan orang miskin, anak yang sudah putus sekolah, berbagi harta kepada mereka sehingga mereka merasakan ada hikmah dan faedahnya pergantian tahun. Ada Tuhan dan para malaikat yang hadir, turun ke bumi di malam tahun baru. Dan menyaksikan kalau sesungguhnya masih ada “lautan” manusia yang peduli atas sesamanya. Wallāhu a’lamu bi al-shawwāb. (*)
Oleh:
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Mantan Aktivis HMI MPO Komisariat Hukum Unhas
Catatan atas kehidupan yang baik, kehidupan yang buruk. Segenap kehidupan itu tak lupa pula dicatat ganjarannya oleh para malaikat, yang membidangi masing-masing tugasnya untuk mengawal segala perilaku kita.
Ironisnya, yang dilupakan oleh manusia adalah lupa kalau dirinya telah menjadi aktor dan lakon atas sejarah dari arah jarum jam yang terus menciptakan hari dan pergantian tahun. Hadirnya tahun baru justru yang lebih banyak dimunculkan ke permukaan, apa program-program, agenda, mimpi dan rencana menyongsong tahun berikutnya.
Apa karena “optimisme” yang berlebihan sehingga kita menjadi amnesia atas peristiwa yang kemarin telah terlewatkan? Lebih banyak waktu dihabiskan semalam suntuk dengan sebuah perayaan, pesta pora, makan di restoran mewah, menyalakan petasan hingga kembang api di jalan raya. Kita menjadi lupa untuk merenungi hari-hari yang telah terlewatkan, padahal dihari-hari sebelumnya banyak kesalahan yang bisa menjadi pelajaran untuk menata hidup pada lembaran baru tahun berikutnya. Pun dibalik hari-hari kemarin itu ada “kesalahan” yang pernah diperbuat, sengaja atau tidak, banyak meninggalkan dosa. Sedikitpun tidak pernah disisahkan waktu untuk merenungi setiap kesalahan demikian. Apa penyebabnya? Mungkin karena kita “gila pesta”.
Hobi Pesta
Nyatanya memang kita pada dasarnya hobi pesta, hobi meriah dengan menciptakan keindahan artificial demi pada pemuasan hasrat banal saja. Merasa terasing dari kehidupan kalau tidak turut ambil bagian dalam setiap perayaan tahun baru. Pesta yang digelar serba meriah dipaksakan dengan dalih toh malam tahun baru hanya sekali saja dalam setahun, apa salahnya merayakannya walau itu akan merogok kocek tebal.
Bayangkan saja apa yang ada setelah seperdua malam, pergantian tahun baru kemarin. Di setiap area dimana dirayakan pesta tahun baru, hanyalah sampah berserakan tersisa dari orang-orang yang berkumpul ramai.
Karena hobi pesta pulalah, di sana telah mencerabut esensi asali manusia dari jiwa eksistenasialnya untuk peduli sesama. Dikatakan ada sebuah kebersamaan yang ada dari pesta tersebut, kebersamaan untuk berkumpul, melakoni kegiatan yang sama, menyalakan petasan secara bersamaan, turut serta merasakan puncak malam akhir. Namun kesadaran sosial, kesalehan sosial dari umat manusia yang hobi pesta patut dipertanyakan. Apakah sudah mati?
Di lingkungan kita menghelat pesta itu, masih ada segelintir manusia yang berjuang diantara hidup mati mencari lembaran rupiah demi sesuap nasi. Tak sedikit anak yang putus sekolah, menjadi pengemis, pedagang asongan, loper koran demi membantu keuangan keluarganya. Baru diwaktu yang sama ada pula komunitas manusia yang “membakar” uang Rp. 20.000 hingga Rp. 100.000. atas harga “selangit” petasan dan kembang api.
Kenapa kita tidak pernah berpikir mengakhiri hobi pesta di malam tahun baru lalu menyisihkan uang tersebut demi saudara-saudara kita yang hidupnya serba dipertaruhkan setiap hari demi sesuap nasi? Kenapa pula lautan manusia yang tumpah ruah disemua jantung kota itu, tidak pernah sedikitpun hadir dibenak mereka, lembaran rupiah itu dikumpul bersama demi menyumbang anak yang kian hari di negeri ini putus sekolah? Jawabannya lagi-lagi karena hasrat yang memacu untuk gila pada sebuah perayaan.
Pemimpin di negeri ini, para bupati, wali kota, gubernur hingga presiden semuanya bersikap abai membenahi penduduknya dari kebiasaan yang hobi pesta. Para pemimpin justru turut andil “mengorek” uang Negara demi sebuah pesta perayaan tahun baru. Satupun, tidak ada yang bisa kita saksikan dari layar kaca, pemimpin yang mengambil inisiatif, malam tahun baru sedianya dijadikan ajang mengumpul sumbangan agar kelak bisa dijadikan santunan hidup dan pendidikan untuk kaum fakir, anak terlantar, dan anak yang sudah putus sekolah.
Tuhan Baru
Tahun boleh berganti, tapi tanpa dipaksa kepada kita semua, saya yakin kita sepakat, sekalipun tahun berganti tidak mungkin Tuhan akan berubah “wajah” dan kemahakuasaan-Nya.
Cuma kita terlalu angkuh mengambil alih jatah kemahakuasaan Tuhan, menciptakan segala keindahan baru, padahal alam beserta segala isinya sudah lebih dari cukup, kalau sedianya sudah berjuta-juta keindahan hadir di sana. Dari alam yang indah tersebut telah tercipta kemahakuasaan Tuhan. Cukup menatapnya, lalu merenuginya dengan jiwa dan akal budi, bumi yang berputar terus, tiada henti telah menjadi tanda kalau waktu dan tahun niscaya pasti berganti.
Inilah kecurigaan filsuf Jerman Nitzsche ketika mendaulat Tuhan sudah mati. Ketika era yang memaksa manusia untuk menciptakan Tuhan baru lalu menjungkirbalikan Tuhan yang sesungguhnya. Tidak ada yang peduli sesama, karena Tuhan barunya adalah harta, uang, hingga pesta, dan pesta.
Maka diawal pergantian tahun ini, sejuta ummat manusia yang kemarin tenggelam dan menghamba pada “Tuhan-Tuhan barunya” mari kembali merenungi “hakikat diri” kita, kembali hidup membaur bersama dengan orang miskin, anak yang sudah putus sekolah, berbagi harta kepada mereka sehingga mereka merasakan ada hikmah dan faedahnya pergantian tahun. Ada Tuhan dan para malaikat yang hadir, turun ke bumi di malam tahun baru. Dan menyaksikan kalau sesungguhnya masih ada “lautan” manusia yang peduli atas sesamanya. Wallāhu a’lamu bi al-shawwāb. (*)
Oleh:
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Mantan Aktivis HMI MPO Komisariat Hukum Unhas
Responses
0 Respones to "Jangan Ada Tuhan Baru di Tahun Baru"
Posting Komentar