Disaat tidak mungkin lagi menjadi pemimpin yang ketiga kalinya, datang lagi bencana merundung bumi persada Indonesia. Tentu pertanyaan menggelitik dari peristiwa bencana itu. Dari awal dan akhir masa kinerja SBY, kenapa Tuhan menimpakan musibah demikian ?
Image: www.titik0km.com |
Fase pemerintahan SBY, tinggal menunggu hitungan bulan saja. Namun di akhir kekuasaannya itu, kemudian negeri ini dilanda berbagai bencana, hampir terjadi diseluruh pelosok tanah air. Mata terselimutkan duka, melotot layar kaca (TV), terpecah keheningan kemudian menyayat hati hingga tangis pilu, ada banjir bandang (Manado), ada banjir tahunan (DKI Jakarta), ada gunung Sinabung yang meletus (Sumatera Utara).
Deretan musibah yang melanda negeri Republik Indonesia demikian menjadi tanya besar. Ketika dipikir-pikir, mencoba membuka laman pemerintahan SBY. Kenapa di sepanjang kekuasaannya selalu saja terjadi bencana alam serta musibah berkali-kali ? Bahkan lebih dari itu, 2004 sebagai bulan madu pertama SBY bersama rakyatnya, syak wasangka tiba-tiba tsunami menggulung kota Serambi Madinah (Melaboue, Banda Aceh). Lalu di penghujung pemerintahannya. Disaat tidak mungkin lagi menjadi pemimpin yang ketiga kalinya, datang lagi bencana merundung bumi persada Indonesia. Tentu pertanyaan menggelitik dari peristiwa bencana itu. Dari awal dan akhir masa kinerja SBY, kenapa Tuhan menimpakan musibah demikian ?
Ruang-Waktu
Dari pertanyaan di atas, ada tanda yang sempat kita lewatkan bersama. Bagi kaum futurology, para peramal bintang, ahli tarot, mungkin saja dapat meramalkan musibah bencana yang datang akhir (2004) dan awal tahun (2014). Yang mana bencana Tsunami Banda Aceh terjadi diakhir tahun 2004, kemudian Banjir Bandang Manado datang diawal tahun 2014.
Dalam pandangan materialisme, bencana demikian sangat terkait dengan ruang dan waktu. Dari segi waktu, dua peristiwa bencana yang sama-sama tahunnya memiliki angka 4 (empat). Kemudian dari segi ruang, lebih tepatnya tempat musibah tersebut, berada dalam ruang yang berbeda, Aceh dan Manado. Provinsi Banda Aceh merupakan provinsi dengan penduduk mayoritas muslim, sedangkan Provinsi Sulawesi Utara (Manado) rata-rata dihuni oleh pemeluk kristiani. Dari situlah dapat dipahami, Tuhan tidak pernah sekalipun membeda-bedakan terhadap hamba-Nya. Mau Islam, Kristen, Budha, Hindu, dan Konghucu semuanya dilimpahkan rahmat, termasuk musibah, apakah sebagai ujian, cobaan atau sebaliknya sebagai “laknat”.
Ada pula pendapat lain yang mengatakan, wajar saja terjadi bencana alam di muka bumi ini. Konon katanya Tuhan sengaja menimpakan azabnya, hendak membersihkan perilaku kemaksiatan yang kian hari terus meraja-lela, tengoklah Tsunami di Banda Aceh dan Banjir Bandang di Manado, bukankah walau dihuni oleh pemeluk agama yang berbeda di dua tempat tersebut sudah terang benderang kemaksiatan dipuja-puja. Namun bagi saya, ini pendapat arogan. Tanpa bermaksud membela pelaku maksiat, pernyataan demikian tidaklah beralasan, karena buktinya, korban yang berjatuhan ada juga dari kalangan anak-anak yang tidak berdosa, para rohaniawan meski “mengklaim” dekat dengan Tuhan, tiada kuasa juga atas dirinya serta merta dapat menjadi korban dari keganasan bencana itu. Hikmah atas dua kejadian itu, janganlah kita gegabah menarik kesimpulan kalau Tuhan lebih sayang dan merahmati ummat Islam, hanya karena Manado yang diterjang banjir Bandang mayoritas memeluk Kristen. Ataupun sebaliknya Kristen menghakimi Muslim, karena Banda Aceh Jauh lebih besar penduduknya adalah muslim, dengan korban yang berjatuhan juga lebih banyak dari pada Manado. Justru dibalik bencana yang menimpa saudara-saudara kita di sanalah terbuka “pintu surga” untuk saling menolong sesama, bukan lagi waktunya melihat warna kulit, ras, suku dan agama yang dianutnya.
Siapa Dihukum?
Dari sudut pandang siapa yang menjadi pengendali negeri ini atas amanat rakyat dan Tuhan, kepadanya. Kemudian negeri yang diurusnya datang musibah berkali-kali. Penting pula dikaji tanggung jawab sang pemimpin terkait dengan rakyatnya yang selalu diamuk bencana. Apakah bukan rakyat yang ditimpakan musibah itu ? Jangan-jangan SBY-lah yang dihukum oleh Tuhan ! Karena terbukti realitas perjalanan memimpin nusantara Indonesia, bencana yang menyambut keterpilihannnya, bencana alam pula yang menutup jenjang karirnya di penghujung fase kepemimpinannya.
Rasanya terlalu kejam bagi kita sekiranya berpendapat demikian, karena ada saja ruang keterbatasan manusia, terlebih sang Presiden tak kuasa menolak datangnya musibah demikian. Lantas, siapa sesungguhnya bersalah kalau begitu, Apakah Tuhan yang kejam dan keji atas ummatnya? Saya kira tidak, karena Tuhan maha penyayang. Apakah Tuhan ingin mencegah penderitaan dan kejahatan tapi ia tidak mampu ? Jawabannya; lagi-lagi tidak mungkin karena kalau demikian Dia tidak bisa disebut lagi Maha Kuasa. Ataukah ia mampu, tetapi memang tidak mau melakukannya, sekali lagi tidak demikian, karena tidak mungkin Tuhan Maha jahat.
Ada banyak terekam pandangan jika kita ingin “menggugat” Tuhan atas banyaknya penderitaan yang ditimbulkan oleh bencana yang didatangkannya. Namun yang unik adalah pendapat Samuele Bacchiocchi (Saptaatmaja: 2013), pensiunan Profesor teologi di Anderws University. Menurut Bacchiocchi tidak mungkin Tuhan menghendaki kehancuran ribuan Ummat-Nya, yang bisa melakukan kengerian luar biasa itu, hanyalah setan atau kuasa kejahatan. Pandangan ini tidaklah baru, karena aliran Konfunsianis, ajaran Thao, sudah pernah membagi dunia ini terdiri atas dua bagian; baik dan buruk, gelap dan siang.
Nampaknya, ajaran Bacchiocchi menunjukan seolah-olah masih ada kekuasaan selain Allah, yaitu sebuah kekuasaan kegelapan sebagai pokok dan pangkal dari segala musabab penderitaan. Lebih tepat ajaran ini lebih dekat pada penyandaran Tahayul, walau sudah memiliki kepercayaan Tuhan tunggal, tetapi masih saja percaya diluar kekuasaan Tuhan masih ada kekuasaan lain. Bagi yang beragama Islam, jika ada yang terpaku pada ajaran ini, inilah yang dimaksud kesyirikan.
Argumentasi yang logis, dapat menjadi pegangan adalah ajaran yang pernah dikemukakan oleh Agustinus, tat kala teolog Kristen kelahiran Aljazair itu, banyak belajar dari karya filsuf Islam (seperti Ibnu Rushd dan Ibnu Sina) tiba pada kesimpulan akhir, “bahwa penderitaan tidak diciptakan oleh Tuhan, tetapi manusia sendirilah yang menciptakan penderitaan.”
Benar apa yang dikemukakan oleh Agustinus. Kalau menyeruaknya bencana, seperti banjir, tsunami, gunung meletus, ternyata kita sendirilah yang bersalah. Banjir bandang yang menimpa Manado, karena terjadinya tata kota yang salah, sehingga daya resap air hujan sudah tidak ada. Lantas, Siapa penyebabnya apakah pemimpin ataukah rakyat? Tentu dua-duanya, rakyat yang tidak menciptakan budaya lingkungan sehat, disaat yang sama pemimpin dengan ganasnya pula “menerkam’ bumi dengan pendirian industri dimana-mana.
Terakhir, pasti masih ada pertanyaan yang mengganjal atas berbagai bencana di negeri ini, bukankah yang namanya bencana seperti tsunami dan gunung meletus, di situ tidak ada campur tangan manusia. Memang tidak ada campur tangan manusia, namun manusia dengan kemampuan olah pikirnya dapat menghasilkan cipta dan karsa, sehingga ia dapat menghindar dari penderitaan yang sewaktu-waktu akan datang. (*)
Oleh;
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Mantan Aktivis HMI (MPO) Komisariat Hukum Unhas