kita jangan pula terlena, ternina bobokan dengan gapaian KPK, bahwa hanya lembaga anti super body itulah salah satunya, lembaga yang terbersih di Republik ini. Percaya dan memberi apresiasi sekaligus memberi dorongan terus KPK untuk menelusuri harta kekayaan Negara yang mengaliri kesejumlah petinggi Negara dan elit politik saat ini sah-sah saja.
Tapi publik perlu tahu bahwa tidak ada “partai KPK”.
Damang Averroes Al-Khawarizmi: Peneliti Republik Institute |
SETIDAKNYA ada dua momentum jatuh bersamaan dengan Hari Anti Korupsi Internasional/ Sedunia (HAKI) yang jatuh pada 9 Desember 2013. Pertama, republik ini masih ramai dengan beberapa kasus korupsi yang menyeret sejumlah pejabat Negara, menteri, anggota DPR, hakim hingga kepala daerah yang diciduk oleh lembaga anti rasuah KPK. Kedua, tenggang waktu menunggu pemilu, tinggal menunggu kurang lebih empat bulan lagi, kita semua menginginkan terpilih pemimpin nantinya mesti bersih dari laku korupsi.
Maka di penghujung tahun politik ini, kasus korupsi yang menimpa sejumlah petinggi Negara (tak kurang juga merangkap sebagai petinggi partai) sebagai arah dan quo vadis pemberantasan korupsi, patut menjadi catatan untuk menentukan, siapa pemimpin yang layak nantinya memimpin republik ini dari lembah nista korupsi, kemudian mengangkatnya kembali menjadi Negara yang berwibawa, terhormat di mata dunia, tanpa ada lagi tendeng aling pejabat egara berniat untuk menilap uang rakyat.
Quo Vadis
Masih segar di ingatan kita semua, saat Presiden terpilih untuk kedua kalinya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan lugas berkata akan berdiri di garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, namun fakta yang terkuak, pemerintahan dibawah kepemimpinannya kini banyak dirundung kasus korupsi. Mulai dari kasus Bank Century, yang merugikan keuangan negara 6,7 triliun menyeret nama Wapres Boediono, bahkan disinyalir pula oleh beberapa kalangan, uang tersebut juga turut dinikmati SBY dalam meraih tangga kekuasaan untuk kedua kalinya.
Kemudian tersebut pula nama SBY, dalam penggelembungan pajak Negara pasca penangkapan Gayus Tambunan oleh KPK, Partai berlambang Mercy disinyalir lagi-lagi menerima sejumlah keuntungan dari korupsi yang terjadi di bidang perpajakan itu. Dalam perjalanan sejarahnya, mucul pula dugaan keluarga Cikeas bahkan disebut-sebut namanya dalam kasus-kasus korupsi, seperti dalam proyek pengadaan sarana olahraga di bukit Hambalang, dan dalam kasus pengadaan impor daging sapi.
Kondisi demikian semakin diperparah, ketika sudah banyak undang-undang yang sengaja dirancang dan ditetapkan khusus untuk menangani kasus-kasus korupsi. Namun dalam pelaksanaannya yang melibatkan banyak aparat penegak hukum, kerap kali diimpelementasikan secara tidak adil.
Kasus yang menderah pemerintahan SBY jilid II ini, merupakan quo vadis buram sekaligus rapor merah yang patut untuk dievaluasi oleh publik di penghujung tahun politik ini. Masihkah pantas beberapa elit Negara sekaligus sebagai elit politik yang membawa “bendera partai” di kursi kekuasaannya untuk dinobatkan sebagai penguasa yang kedua kalinya.
Komitmen Capres
Tentunya pemilih yang kritis, cermat, cerdas tidak akan mengulangi lagi kegagalan kedua kalinya, jatuh di jurang yang sama. Seperti salah pilih hanya karena tergoda dengan rayuan kampanye berupa janji-janji semata. Menelanjangi rekam jejak elit politik yang akan menjadi abdi Negara jauh lebih ampuh, dibandingkan terpatok semata pada visi dan misi partai, visi dan misi capres yang akan berlaga di medan tahun pemilu nantinya.
Mengaca pada persoalan di atas, menurut hemat penulis setiap calon presiden, baik yang sudah dinaobatkan oleh partainya maupun yang sudah mengikuti konvensi capres, seyogianya memiliki komitmen yang tegas untuk menjadikan pemberantasan korupsi sebagai skala prioritas saat terpilih menjadi presiden.
Ketegasan komitmen itu dapat dilihat pada beberapa catatan; Pertama, adanya niat yang tertuang dengan tegas bahwa agenda dan pencapaian pemberantasan korupsi dalam limitasi waktu tertentu, sehingga kelak publik bisa mengevaluasi apakah agenda itu dijalankan ataukah mandeg di tengah jalan. Langkah ini sudah pernah dilakukan oleh SBY melalui pemerintaham 100 harinya, namun langkah yang dilakukan itu rupanya “jalan ditempat” karena awal pemerintahan SBY-Boediono tersita oleh kasus Century yang sempat menggoyang pemerintahan SBY pada waktu itu, bahkan boleh dikata menyandera pemerintahan SBY-Boediono hingga sekarang. Oleh sebab itu, ke depannya yang layak dan patut untuk dipilih hanyalah pemimpin atau capres yang tidak terindikasi kasus-kasus korupsi. Quo vadis pemberantasan korupsi yang dibidangi oleh kepolisian, kejaksaan, hingga KPK tidak kurang dan tidak lebih, dititik itulah kita mulai mencari pemimpin yang memiliki harapan, bukan hanya pemimpin yang selalu meratap.
Kedua, perlu dirancang konsensus anti korupsi di hadapan publik melalui penandatanganan pakta integritas baik secara hukum maupun politik yang dapat dipertanggungjwabakan kepada publik. Bahkan kalau perlu diikuti dengan sanksi yang tegas ketika pakta integritas itu tidak dijalankan.
Ketiga, mengevaluasi kredibiltas capresnya sendiri, yang mana rekam jejaknya harus bersih dari korupsi---dapat dilakukan melalui transparansi dihadapan publik, melalui kerelaan mengumumkan harta kekayaan yang dimiliki, berapa jumlahnya dan dari mana saja asal-usul harta kekayaan itu, sehingga publik jelas mengetahui track record siapa yang layak untuk dipilih.
Pemilih Cerdas
Tatkala pentingnya pula di hari anti korupsi internasional ini, kita jangan pula terlena, ternina bobokan dengan gapaian KPK, bahwa hanya lembaga anti super body itulah salah satunya, lembaga yang terbersih di Republik ini. Percaya dan memberi apresiasi sekaligus memberi dorongan terus KPK untuk menelusuri harta kekayaan Negara yang mengaliri kesejumlah petinggi Negara dan elit politik saat ini sah-sah saja. Tapi publik perlu tahu bahwa tidak ada “partai KPK”. Yang ada adalah 12 partai akan berlaga di medan laga politik sebagai parpol telah lolos dari “lubang jarum” verifikasi palu godam KPU.
Hanya dari partai politik itulah yang akan menentukan siapa pemimpin yang nantinya akan terpilih. Oleh karena itu partai politik, caleg, dan capres yang saat ini tersandung dengan kasus-kasus korupsi. KPK ibarat guru yang telah membagikan rapor kepada koruptor, praktis dari “rapor merah” itu menjadi penilaian tersendiri untuk tidak lagi memilih pemimpin yang tidak berintegritas.
Kecerdasan pemilih adalah modal utama di tahun 2014 untuk memilih pemimpin yang akan menahkodai Republik ini. Komitmen pemberantasan korupsi tidak hanya lahir dari capresnya saja, tetapi secara timbal balik lahir dari pemilihnya pula. Kalau pemilih tergoda untuk memilih pemimpin karena “amplop” alias money politic saja, tidak ada gunanya hari ini kita memperingati Hari Anti Korupsi, lalu kita nyatanya “membuka keran” pemimpin nantinya akan berbuat hal yang serupa di tahun-tahun sebelumnya, yaitu korupsi dan terus korupsi. Selamat Hari Anti Korupsi. (*)
Oleh: Damang Averroes
Al-Khawarizmi
Responses
0 Respones to "Capres dan Quo Vadis Pemberantasan Korupsi (Catatan Hari Anti Korupsi Internasional untuk Indonesia)"
Posting Komentar