Tulisan Ini Juga di Muat Diharian Tribun Timur Makassar 17 Oktober 2013
PASCAPENANGKAPAN Akil Mochtar tiba-tiba semua orang berbicara tentang “negarawan”. Bahwa diciduknya Akil dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK mengonfirmasi kalau hakim konstitusi dari jatah DPR itu salah dalam proses pengorbitannya sebagai negarawan. Padahal boleh dikata hanya hakim konstitusi dalam proses perekrutannya, oleh undang-undang dipersyaratkan calon hakim tersebut harus negarawan.
Terlepas dari itu semua syarat “negarawan” abstrak dalam pendefenisiannya. Serupa namun tidak sama deskripsi dan sasarannya, mengukur orang beriman dan negarawan sama-sama sulit. Takaran beriman, taqwa adalah ukuran Tuhan, sedangkan takaran negarawan dibentuk melalui persepsi publik.
DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI |
Hal ini tergambar dalam diri Mahfud MD, melalui putusan-putusan progresif-nya sejak menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), dan pencitraannya di media, seperti; memberi respon atas penindakan dan pencegahan kasus-kasus korupsi yang marak di tanah air. Maka seiring berjalannya waktu anak binaan PKB itu ditasbihkan sebagai negarawan. Namun gara-gara penangkapan mantan sekoleganya (Akil) image kenegarawan Mahfud perlahan pudar.
Maka dihari raya haji, idul adha besok bukan hal yang salah jika ditafsir ulang makna “napak tilas” Ibrahim, bersikap pasrah kepada Tuhannya. Nenek moyak dari para agama moneteis itu meski kental risalah yang disampaikannya lebih dominan berbicara pada aspek ketauhidan, namun sikap Ibrahim yang melepaskan segala kepentingan dan urusan duniawinya menuju kearifan puncak ---- meminjam bahasa Murtadha Muthari---- tidak jauh berbeda dengan karekteristik negarawan yang selama ini didambakan. Ibrahim as merelakan anaknya Ismail, yang sekian lama dinanti, bertahun-tahun, hingga istrinya Hajar sudah mulai uzur baru dikaruniai anak, itupun hanya anak semata wayang.
Bisa dibayangkan dalam kehidupan yang serba modern saat ini, tidak ada seorangpun yang berani menjadikan anaknya sebagai “sesembahan” untuk dikurbankan. Apalagi anak yang lama dinanti baru kunjung lahir. Itulah nilai ketulusan, keihkhlasan, suka rela yang diajarkan oleh Ibrahim mengandung historisitas yang tidak akan pernah habis untuk ditafsir terus-menerus, demi kepentingan serta kemajuan zaman yang terus berjalan.
Di awal merayakan hari kurban, dibalik peristiwa naas yang melanda bangsa ini, atas deretan sengkarut korupsi. Ketika Republik tercinta sudah berada dititik nadir, ketika tak ada lagi manusia yang memiliki nilai ketulusan dan keikhlasan memegang amanat yang dipercayakannya. Ketika Bangsa ini mengalamai krisis keimanan hingga melunturkan rasa tanggung jawab sebagai “wakil tuhan”. Yang dengan “tega” menggadaikan kepercayaannya dan berlaku culas menjual nama “keadilan” yang telah disakralkan. Jejak langkah Nabi Ibrahim perlu dihidupkan dalam sanubari kita semua, benih-benih negarawan tidak menutup kemungkinan hadir pasca kita menjajaki masa lebaran Idul adha, karena ritual kurban pasca merayakan lebaran dengan menyembeli seekor hewan merupakan simbol mengahdirkan ajaran Ibrahim dalam masa kekinian
Tafsir Menyembelih
Mencari negarawan ditahun politik 2013 dalam tafsir kurban, denga menyembelih seekor hewan, bukan hanya sampai disitu kita akan diganjar dengan pahala yang berlipat ganda. Karena bagi orang yang bergelimang harta kekayaan, memotong seekor hewan bukanlah perkara sulit, bahkan hewan impor berbiaya mahal dapat dibeli oleh mereka. Sementara orang yang tinggal di pedalaman, areal perkampungan justru menjadikan hewan piaraan sebagai tempat menabung harta, sembari menunggu hewan tersebut tumbuh dan harganya mahal di masa lebaran kurban.
Oleh karena itu patut dihadirkan makna otentik yang diwahyukan Tuhan kepada Ibrahim sebelum sesembilahan Ibrahim as yang bernama Ismail (anaknya sendiri) dibarter dengan seekor domba di zaman itu.
Tafsir pertama, hari kurban merupakan momentum untuk kembali merenungi agar Ibrahim “menyembelih” kemewahan yang berlimpah atas dirinya. Patut menjadi catatan bahwa diusia senja Ibrahim as, telah dikaruniai kekayaan yang berkecukupan. Saat Ibrahim merasa hidupnya sudah cukup, ditanyalah oleh Allah SWT dalam riwayat mimpi, sesungguhnya apakah yang engkau sayangi dalam dirimu, dalam batin Ibrahim dijawab, “anakkulah yang aku amat kusayangi ya Rabbku”. Oleh Karena, simbol kemewahan yang dimiliki oleh Ibrahim adalah anaknya sendiri. Maka mau tidak mau ia harus merelakan anaknya untuk diserahkan kepada yang maha kuasa. Berbanding terbalik, bagi pejabat yang sudah hidup serba kemewahan saat ini, dengan rumah, hotel dan mobil mewah yang berlimpah justru sikap tulus, dan keikhlasan berbagi terhadap sesama, hari kurban tidak dimaknai untuk menyembelih harta kekayaannya. Jadi, kalau hendak melihat negarawan saat ini, maka tengoklah mereka yang tidak mengenal waktu mendermakan harta kekayaannya. Mereka tidak mau mengumpul harta untuk tampil memesona hanya pada tampilan fisik saja.
Tafsir kedua, sejatinya kurban diajarkan pula untuk “menyembelih” sifat ketamakan juga keserakahan. Di bumi pertiwi ini bukanlah peristiwa langkah, menatap para pejabat sudah hidup berkecukupan. Isteri dan anak-anakanya sudah dapat dipenuhi segala kebutuhannya, namun selalu “takut “ kekurangan, takut sewaktu-waktu kemiskinan akan mendera anak cucunya hingga tujuh turunan.
Akil Vs Ibrahim
Andaikata Akil tahu akan hal itu, agar menyembelih segala ketamakannya, tidak mungkin tergoda untuk menerima suap dari seorang calon pejabat kepala daerah.
Namun nasi sudah jadi bubur, pintu taubat bagi Akil harus dibayar mahal terpisah dengan sanak keluarganya, penjara sudah menanti untuk merenungi segala ketamakannya. Bahwa menjalankan amanat konstitusi untuk kemaslahatan bersama memang penting ketulusan dan keikhlasan untuk selalu ditumbuhkan.
Siapa yang rela menyembelih di hari kurban, janji Allah sudah lama menanti. Namanya akan selalu diabadikan sepanjang masa. Hingga kini nama Ibrahim as berulang kali namanya disebut dalam bacaan shalat tahiyatul awal dan akhir. Akil justru sebaliknya, malah abadi sepanjang masa bukan karena “kebaikannya”. Nama Akil “abadi” pertama kali tertoreh dalam sejarah dunia, mencatatkan diri, culas bermain mata, menjual keadilan untuk menumpuk harta.
Terakhir, kerelaan dan diskusi bersama antara Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail sebelum menjalankan “titah” Tuhan. Tidak hanya bisa hadir dengan sendirinya, bukan hadir karena perjuangan pribadi semata. Melainkan dibutuhkan dukungan dan semangat keluarga pula. Siti Hajar tidak pernah melarang Ibrahim menyembelih anakanya, demikian pula Ismail taat atas wayu Tuhan. Semuanya diserahkan kepada Tuhan yang maha Pengasih dan penyayang. Pada akhirnya Ismail diganjar sebagai Nabi yang bisa meneruskan jejak langkah ayahnya.
Seandainya ada pejebat saat ini meneladani Ibrahim, tidaklah sulit kita mencari negarawan yang bisa menahkodai “kapal” Republik Indonesia. (*)
Oleh: Damang S.H
Mantan Aktivis HMI MPO Komisariat Hukum Unhas
Responses
0 Respones to "Mencari “Negarawan” di Hari Kurban"
Posting Komentar