Faksionalisasi dalam sebuah partai merupakan gejala yang wajar dan tidak serta merta harus ditolak keberadaannya. Belloni (1978) membagi tipologi faksionalisme partai ke dalam tiga jenis. Pertama, faksi yang terbentuk atas dasar kesamaan cara pandang dalam merespons isu politik. Biasanya tak berusia panjang, sangat insidental,dan informal. Kedua, faksi yang terbentuk karena pola patron-klien. Jenis ini dipengaruhi oleh faktor karisma tokoh yang memiliki basis sosial jelas. Ketiga, jenis faksi yang paling formal dan terorganisasi.
Mencermati Pilwakot Makassar, tinggal dalam hitungan hari lagi. Menarik untuk melihat kondisi partai Golkar yang terkesan “mendua”. Dikatakan Menarik, karena boleh dikatakan Sul-Sel merupakan “lumbung padi” Golkar yang baru kemarin mengantarkan Syahrul yasin Limpo “mencicipi” kursi Gubernur untuk kedua kalinya. Antitesa ini, jelas mempengaruhi pula pemilihan wali kota Makassar, Golkar menjadi kendaraan yang menarik dalam meraih kursi wali kota yang didambakan oleh kader-kadernya.
Yang lainnya, menarik pula partai Golkar untuk menjadi bahan kajian, karena sulit dipungkiri Partai Golkar merupakan partai peninggalan orde baru yang sudah menancapkan kekuasaannya, sudah lama mengakar di kalangan pemilih. Sehingga banyak pemilih, yang diklasifikasi sebagai pemilih “tradisional” setia pada Golkar. Golongan pemilih ini tidak mau tahu siapa yang diusung, atau wakil dari partai itu, yang jelas karena Golkar maka orangnyapun mesti dipilih.
Tampaknya, faksionalisasi bukan hanya menjadi “makanan empuk” bagi sentral kekuasaan partai. Dalam hal ini di pusat, untuk penentuan, penetapan presiden ditubuh partai beringin itu. Namun di lintas electoral, sekalipun selalu dikatakan partai hanya menjadi “pelengkap penderita” karena selebihnya pekerjaan menarik simpati ceruk suara. Ada pada tugas sang kandidat, mulai dari dana kampanye, hingga relawan yang harus dibayar “murni” ditanggung oleh kandidat itu. Tetapi untuk Partai Golkar pengaruhya terhadap pemilih boleh dikatakan masih ada.
Pemilihan wali Kota Makassar, dengan majunya Irman Yasin limpo-Busrah Abdullah, melalui slogan NONE (diusung PPP dan PAN) menyebabkan pasangan yang diusung oleh Partai Golkar Supomo Guntur-Kadir Halid (SUKA). Kader dan anggota partai politik yang memberikan dukungan terpecah dalam dua faksionalisasi yaitu Faksi NONE (bisa juga dikatakan faksi Limpo) dan faksi SUKA.
Faksi
Majunya Irman sebagai adik Syahrul Yasin Limpo dengan slogannya “saya None saya Golkar”. Patut menjadi catatan, partai Golkar di wilayah kota Makassar (DPD Golkar Makassar). Tidak mampu diredam model faksionalisasinya, agar tersegmentasi, bahwa konstituen dan kader “mutlak” mendaulat calon kepala daerah (wali kota) hanya satu kandidat yang “layak pilih”.
Tipologi faksioanalisme yang terjadi, lebih cocok pada tipologi ketiga yakni terbentuk karena pola patron-klien. Ada sekelompok kader di partai Golkar yang loyal terhadap Syahrul Yasin Limpo (SYL) sebagai ketua DPD I Golkar, sehingga patron-klien lebih mendominasi, seolah-olah ingin menurunkan kekuasaan, sekaligus mengokohkan “dinasti” Limpo dalam tubuh Partai Golkar di daerah-daerah (baca: Makassar).
Kondisi ini semakin terang-benderang, ketika SYL tidak memberikan dukungan baik kepada adiknya sendiri maupun kepada Supomo Guntur. Ada sebuah kondisi “inkonsitensi” yang diciptkan sedemikan rupa, dimainkan oleh SYL. Meskipun sebagai ketua DPD I Golkar Sul-sel tidak pernah “terang-terangan memberi “restu” kepada Supomo Guntur.
Sikap diam SYL terhadap dua kandidat yang sama-sama mengklaim sebagai anggota partai Golkar. Memberi petunjuk kepada kita, kalau adiknya SYL (Irman) dikehendaki pula untuk mendapat “insentif suara” popularitas Golkar, karena adiknya juga adalah bahagian dari kader Golkar.
Kondisi ini, menunjukan rapuhnya institusionaliasi partai politik. Sehingga terjadi dualisme dalam tubuh internal partai. Dalam kesepakatan rapat DPP, hanya Supomo Guntur yang diusung oleh partai Golkar sebagai satu-satunya kandidat dapat memakai Golkar sebagai kendaraan politik. Di saat yang sama, Irman dengan memakai nama “NONE” juga mengaku-ngaku sebagai kandidat yang punya loyalitas di Partai Golkar.
Tidak ada kekuatan AD/ART partai politik sebagai UU yang patut “ditaati” bersama, agar faksi tersebut, tunduk pada keputusan partai. Bukan hanya Golkar, tetapi partai lainpun (seperti Partai Demokrat, PKB, Gerindra, PDIP) derajat kesisteman atas partai masih lemah. Bisa diukur pada sejauh mana fungsi-fungsi partai berjalan dan bagaimana mereka menyelesaikan konflik internal berdasarkan AD/ART partai mereka.
Pada intinya partai politik kita mempunyai “veto player” melalui figur sentral Partai sebagai magnet electoral. Sehingga kasus Pilwakot Makassar, posisi partai Golkar tidak mampu meredam konflik internal yang terjadi dalam tubuhnya sendiri. Sekalipun berkali-kali misalnya ditegaskan oleh Nurdin Halid sebagi perwakilan DPP Partai Golkar “Golkar punya mekanisme tegas dan transparan, DPP mengikat seluruh kader dengan surat keputusan, mereka harus patuh atas aturan partai” Toh, pada akhirnya banyak kader Golkar di Makassar yang terang-terangan mendukung Irman. Hal ini terlihat, ketika sederet nama-nama anggota partai Golkar dicabut “keangotaannya oleh DPP Golkar” namun oleh DPD Kota Makassar tidak mengakui pemberhentian atas sejumlah anggota partainya, yang memberi dukungan pada Irman.
Konflik
Fasionalisasi yang terjadi di Pilwakot Makassar ini, tidak boleh dipandang “sebelah mata” oleh para elit politik Golkar. Bukan hal yang berlebihan, konflik yang terjadi di tingkat DPD malah akan merembes ke tingkat pusat. Sehingga konflik internal selanjutnya adalah konflik DPD versus DPP.
Sekiranya, Partai Politik sudah “dilimitasi” oleh larangan merangkap jabatan sebagai pengurus partai, jika memiliki jabatan kenegaraan. Mungkin saja “lebih muda” untuk meredam faksionalisasi yang terjadi pada usungan partai Golkar di kota Makassar. Tuah-nya harus ditanggung sendiri oleh partai politik karena dalam AD/ART-nya tetap “betah” mendaulat rata-rata kepala daerah sebagai ketua partai. Ataukah, sudah ada pembatasan terhadap keluarga kepala daerah, agar tidak maju menjadi kepala daerah pula di tingkat kota/ Kabupaten (tempat lain). Sebagaimana yang digadang-gadang, sebagai aturan dalam revisi UU Pemda. Tidak mungkin pula ada kondisi dilematis, bagi kepala daerah meski sebagai pengurus partai, tidak tanggung-tanggung, untuk memberi restu atas kandidat yang diusung oleh partainya.
Di atas segalanya, konflik internal yang terjadi dalam tubuh partai kuning itu seraya menanti perhelatan Pilwakot Makassar, yang jelas “keputusan akhir”, penalty, ditentukan oleh hasil pemilukada nantinya. Apakah Golkar yang menjadi pemenangnya, ataukah “dinasti” Yasin Limpo semakin menancapkan kekuasaannya di partai beringin itu. Mari kita tunggu!*
Sumber: rakyatsulsel.com |