Tekhnologi boleh sedemikan canggihnya, para anak muda kita sudah menggunakan gadget, handphone, hingga blackberry keluaran terbaru. Namun esensi tekhnologi itu tidaklah mampu menghapuskan tradisi mudik di masyarakat nusantara ini.
Diseluruh pelosok tanah air menjadi anak tangga, ummat muslim kembali, berduyun-duyun, bersimpuh dan berkumpul dengan sanak keluarga mereka.
Di tengah himpitan ekonomi yang melanda bangsa ini, karena beberapa pekan sebelum kita memasuki bulan ramadhan. Dengan “tegahnya” pemerintah menaikkan BBM, praktis semua kebutuhan pokok hingga biaya transportasipun akan berlipat dua kali pula untuk melakoni tradisi mudik ini. Dibandingkan misalnya dengan biaya untuk mudik pada tahun sebelumnya.
Sebuah tradisi “pulang udik”, dalam terminologi mudik yang dari kata udik adalah desa. Naiknya biaya transportasi bagi yang benar-benar hendak mudik. Itu tidak jadi masalah, merogok kocek rupiah demi berkumpul sanak keluaraga dan handa taulan, itulah intinya.
TAFSIR
Ibarat debu beterbangan di musim kemarau, dengan lakon yang sama berulang-ulang, kemudian debu beterbangan itu akan kembali menyatu dengan sumber asalinya di bumi. Lalu datang hujan menyapu rata debu yang masih melekat di setiap benda hidup dan mati di bumi ini. Sebuah ritual silih berganti, hukum alam yang bekerja pada ruang dan waktu.
Jangan sampai mudik lebaran yang dengan gampangnya kita biarkan berlalu. Tanpa lagi perlu ada tafsir otentik ketuhanan. Ketika lidah dengan fasihnya menghafal rukun Islam, serta rukun iman dianggap tidak perlu lagi melakukan penjajakan terhadap tradisi yang berulang kali, dilakukan setiap tahun.
Bisa dibayangkan sekejap, ruang tekhnologi dengan perangkat canggih, seorang sudah dapat saling menyapa, meski tidak dalam ruang yang sesungguhnya, tetapi boleh jadi kepuasan psikologis, setelah mendengar suara sanak keluarga, sudah cukup. Lalu mengapa diakhir grand final puasa, semua orang yang sedang merantau merasa wajib, mudik dan bertemu dengan keluarga yang dicintainya.
Tidak cukupkah mereka pada masing-masing merayakan lebaran secara terpisah? Bukankah merayakan idul fitri, adalah merayakan sebuah kemenangan setelah sebulan penuh, berada dalam medan juang, melatih diri tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan sex, menahan nafsu amarah. Semata-mata ritual personal hamba kepada Tuhannya? Mestikah terasa syahdu dan berlipat ganda pahala yang kita dapatkan. Kalau idul fitri dilaksanakan secara berjamah dengan sanak keluarga di kampong? Jawabannya tidak juga.
Namun apa salahnya ritual mudik dimaknai sebagai peleburan “ego” personal manusia untuk kembali mengingat, tempat pertama kalinya dilahirkan, tempatnya tumbuh dari anak, remaja, hingga dewasa. Bertemu dengan para sahabatnya di masa lalu, mengurai kenangan.
Jika ditafsir ulang, tradisi mudik memberi makna, sehebat-hebatnya manusia, bagaimanapun jauhnya melangkah akan kembali ke pangkalnya. Sama halnya dengan lamanya manusia menjalani prosesi kehidupan, meski sebagian ada juga yang hidupnya tidak terlalu lama di dunia. Tetap akan kembali pada sumber asali yang dicintainya yaitu kematian.
PESAN TEOLOGIS
Yang jelas dan pastinya mudik merupakan renovasi kesadaran spiritual manusia, mengenang kembali jiwanya yang asali. Sungkem dan berjabat tangan di hadapan orang tua bagi yang masih hidup orang tuanya, lebih penting lagi mudik untuk tidak dilewatkan, karena di sanalah terletak bakti seorang anak terhadap ibu dan ayahnya.
Sebaliknya, meski seorang ibu ditinggal jauh oleh anaknya, merantau di kampung negeri seberang. Mereka akan berkata, tidak cukup dan lengkap rasanya sang orang tua jika tidak bersama dengan anak-anaknya merayakan lebaran di kampung. Cinta dan kasih sang orang tua telah melebur dalam keagungan Tuhan, hendak meraih nikmatnya “iman” dalam kebersamaan. Itulah Islam, sebagai jalan agama yang benar-benar memasrahkan diri sepenuhnya secara total kepada Allah SWT.
Pesan teologis yang termaktub dalam tradisi mudik sehingga orang rela merogoh koceknya, menantang maut sepanjang perjalanan, selayaknya seorang yang melaksanakan ritual Haji.
Dengan menembus lorong waktu dan jarak yang amat panjang, ummat Islam di tanah suci, ada sebuah peristiwa mengenang kelahiran agama Tauhid di sana, agama yang Esa. Maka dalam konteks mudiknya setiap orang yang relah bertaruh nyawa demi berkumpul dengan keluarga handa taulan, juga merupakan napak tilas mengenang dirinya, pertama kali diperkenalkan siapa Tuhan yang wajib di sembah, oleh orang tua, dan para gurunya di kampung.
Diseluruh pelosok tanah air menjadi anak tangga, ummat muslim kembali, berduyun-duyun, bersimpuh dan berkumpul dengan sanak keluarga mereka.
Di tengah himpitan ekonomi yang melanda bangsa ini, karena beberapa pekan sebelum kita memasuki bulan ramadhan. Dengan “tegahnya” pemerintah menaikkan BBM, praktis semua kebutuhan pokok hingga biaya transportasipun akan berlipat dua kali pula untuk melakoni tradisi mudik ini. Dibandingkan misalnya dengan biaya untuk mudik pada tahun sebelumnya.
Sebuah tradisi “pulang udik”, dalam terminologi mudik yang dari kata udik adalah desa. Naiknya biaya transportasi bagi yang benar-benar hendak mudik. Itu tidak jadi masalah, merogok kocek rupiah demi berkumpul sanak keluaraga dan handa taulan, itulah intinya.
TAFSIR
Ibarat debu beterbangan di musim kemarau, dengan lakon yang sama berulang-ulang, kemudian debu beterbangan itu akan kembali menyatu dengan sumber asalinya di bumi. Lalu datang hujan menyapu rata debu yang masih melekat di setiap benda hidup dan mati di bumi ini. Sebuah ritual silih berganti, hukum alam yang bekerja pada ruang dan waktu.
Jangan sampai mudik lebaran yang dengan gampangnya kita biarkan berlalu. Tanpa lagi perlu ada tafsir otentik ketuhanan. Ketika lidah dengan fasihnya menghafal rukun Islam, serta rukun iman dianggap tidak perlu lagi melakukan penjajakan terhadap tradisi yang berulang kali, dilakukan setiap tahun.
Bisa dibayangkan sekejap, ruang tekhnologi dengan perangkat canggih, seorang sudah dapat saling menyapa, meski tidak dalam ruang yang sesungguhnya, tetapi boleh jadi kepuasan psikologis, setelah mendengar suara sanak keluarga, sudah cukup. Lalu mengapa diakhir grand final puasa, semua orang yang sedang merantau merasa wajib, mudik dan bertemu dengan keluarga yang dicintainya.
Tidak cukupkah mereka pada masing-masing merayakan lebaran secara terpisah? Bukankah merayakan idul fitri, adalah merayakan sebuah kemenangan setelah sebulan penuh, berada dalam medan juang, melatih diri tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan sex, menahan nafsu amarah. Semata-mata ritual personal hamba kepada Tuhannya? Mestikah terasa syahdu dan berlipat ganda pahala yang kita dapatkan. Kalau idul fitri dilaksanakan secara berjamah dengan sanak keluarga di kampong? Jawabannya tidak juga.
Namun apa salahnya ritual mudik dimaknai sebagai peleburan “ego” personal manusia untuk kembali mengingat, tempat pertama kalinya dilahirkan, tempatnya tumbuh dari anak, remaja, hingga dewasa. Bertemu dengan para sahabatnya di masa lalu, mengurai kenangan.
Jika ditafsir ulang, tradisi mudik memberi makna, sehebat-hebatnya manusia, bagaimanapun jauhnya melangkah akan kembali ke pangkalnya. Sama halnya dengan lamanya manusia menjalani prosesi kehidupan, meski sebagian ada juga yang hidupnya tidak terlalu lama di dunia. Tetap akan kembali pada sumber asali yang dicintainya yaitu kematian.
PESAN TEOLOGIS
Yang jelas dan pastinya mudik merupakan renovasi kesadaran spiritual manusia, mengenang kembali jiwanya yang asali. Sungkem dan berjabat tangan di hadapan orang tua bagi yang masih hidup orang tuanya, lebih penting lagi mudik untuk tidak dilewatkan, karena di sanalah terletak bakti seorang anak terhadap ibu dan ayahnya.
Sebaliknya, meski seorang ibu ditinggal jauh oleh anaknya, merantau di kampung negeri seberang. Mereka akan berkata, tidak cukup dan lengkap rasanya sang orang tua jika tidak bersama dengan anak-anaknya merayakan lebaran di kampung. Cinta dan kasih sang orang tua telah melebur dalam keagungan Tuhan, hendak meraih nikmatnya “iman” dalam kebersamaan. Itulah Islam, sebagai jalan agama yang benar-benar memasrahkan diri sepenuhnya secara total kepada Allah SWT.
Pesan teologis yang termaktub dalam tradisi mudik sehingga orang rela merogoh koceknya, menantang maut sepanjang perjalanan, selayaknya seorang yang melaksanakan ritual Haji.
Dengan menembus lorong waktu dan jarak yang amat panjang, ummat Islam di tanah suci, ada sebuah peristiwa mengenang kelahiran agama Tauhid di sana, agama yang Esa. Maka dalam konteks mudiknya setiap orang yang relah bertaruh nyawa demi berkumpul dengan keluarga handa taulan, juga merupakan napak tilas mengenang dirinya, pertama kali diperkenalkan siapa Tuhan yang wajib di sembah, oleh orang tua, dan para gurunya di kampung.
Sumber: carrefour.co.id |
Responses
0 Respones to "Tafsir Teologis Tradisi Mudik "
Posting Komentar