Setiap orang boleh saja bersedih, berduka, dan menangisi kepergian keluarga, kerabat, hingga orang yang dicintainya. Disaat yang maha kuasa menjemputnya. Mungkin karena belum rela orang yang dicintainya itu meninggalkannya. Ada banyak hal kenangan dalam setiap momen kebersamaan, sehingga sulit melupakannya.
Situasi yang lain, kadang kita sulit melepaskan keluarga kita, yang hendak merantau ke negeri seberang, karena waktu untuk ketemu dengannya, masih harus lagi menunggu bertahun-tahun. Apalagi kalau masa pertemuan dan ajang ngumpul sama keluarga, hanya terjadi pada peristiwa mudik lebaran. Saat kendaraan (bis, kapal, pesawat) yang ditumpanginya berlalu, melepas pergi, lambaian tangan menjadi ajang perpisahan, setelah itu mungkin ada rasa haru menyesak dada, dan bulir air matapun menetes secara tidak sadar.
Lantas, bagaimana dengan kepergian ramadahan, yang baru saja berakhir beberapa hari kemarin. Apakah kita juga bersedih, ketika ramadhan itu meninggalkan kita? Adakah rasa takut terbersit dalam hati dan pikiran, tahun depan boleh jadi tidak lagi bertemu dengannya. Sehingga bulir air mata kitapun terjatuh membayangkan kepergian tamu agung yang dihadirkan oleh Tuhan, dating hanya sekali dalam setahun.
Yang jelas, jangan sampai ramadhan yang telah dilalui selama satu bulan itu. Hanya menjadi ritual dan siklus tahunan. Seolah-olah momentum ramadhan hanya menjadi ajang untuk menyenangkan Tuhan semata.
Tangisan Ramadhan
Bisa disaksikan ketika bulan suci itu datang, semua orang pada berlomba-lomba menunaikan shalat tarawih, berjamaah di mesjid, semua orang pada berlomba-lomba menderas Al-qur’an hingga ingin menuntaskan 30 juz dalam sebulan.
Selama bulan ramadahan semua tempat prostitusi di larang buka, hingga warung makanpun dilarang untuk membukanya pada saat bulannya ramadahan. Bulan ramadahan tidak hanya sampai disitu memesona. Hingga ruang virtual, media, televisi juga ikut-ikutan berpuasa. Artis yang biasa berpenampilan seksi, berpose seronok, kemudian tiba-tiba memakai kerudung hanya karena tuntutan “kapitalisasi” ramadhan. Demi memuaskan pemiras di rumah yang sedang menjalakan ibadah puasa. Tayangan dan durasi yang islami ditambah waktunya, ceramah dari berbagai dai juga turut menghiasai semua saluran televisi.
Kalau Rasul dan para sahabat menangisi kepergian ramadahan, karena dibulan itu, bulan dimana pahala dilipatgandakan. Rasul dan para sahabat, takut tahun depannya tidak ketemu lagi dengan bulan yang penuh rahmat (maghfiroh), ampunan, karena maut sewaktu-waktu bisa saja datang menjemputnya.
Untuk kontkes sekarang, kalau mau dihayati, direnungi, justru tangisan itu, jauh lebih penting untuk diresapi oleh ummat Islam di negeri ini. Bagaimana tidak, sudah melekat makna fitrah atas kemenangan dari sebulan penuh. Namun setelah melewati bulan-bulan itu. Fase ramadahan kemudian diambil alih oleh kehidupan yang menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam.
Setan yang dulunya dikerangkeng, pasca ramadhan berlalu, kembali hidup liar, setelah lepas dari kerangkengnya, manusia di muka bumi merasa wajar-wajar saja, melakukan perbuatan buruk, perbuatan keji. Amalan bulan puasa dan pengampunannya dimaknai lebih pada semua perbuatan dosa tahun lalu, telah diampuni, maka dari itu tidak apa-apa kembali berbuat dosa, karena bulan ramdahan hadir sebagai momentum memutihkan dosa-dosa setahun sebelumnya.
Hemat penulis, cara memaknai yang demikian, melakoni dan menjalankan puasa sama halnya dengan cara kita berpuasa, berpikir model kekanak-kanakan. Inilah tangisa ramadahan yang sesungguhnya, kita ingin me.lihat semua suasana tampil religius setelah ramadhan berlalu. Namun apa daya, yang Nampak dihadapan mata kita, buruk-baik, salah-benar, dosa-amal semua bercampur jadi satu. Tidak ada lagi batasnya.
Bagaimana Seharusnya?
Andai puasa hendak dimaknai, sebagai rukun Islam yang ketiga, dan mengapa menjadi salah satu ibadah yang bersifat imperatif (bukan sun’ah).
Bulan ramadahan setelah berlalu seharusnya, manusia tidak lagi dipertuhankan oleh kepentingan fisiknya. Larangan untuk tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan seks di siang hari, merupakan maksud Tuhan agar hambanya tidak terperdaya dengan kepentingan fisiknya lagi. Seharusnya setelah menunaikan ibadah puasa, tidak lagi kita menjadi hamba yang sekuler, kapitalis, hingga berlaku culas atas manusia yang lainnya.
Namun apa yang terjadi? Semua hakikat diperintahkannya ibadah tersebut. Semua hilang sekejap berlalu, tanpa merenungi dibalik kepergiannya.
Sang pemimpin yang nyata-nyata menjalani puasa, hingga merayakannya dengan acara open house, pasca ramadhan, kembali dirinya terendus dengan kasus korupsi, para penegak hukum kembali membengkokan keadilan, demi janji setumpuk rupiah yang akan menaikkan prestisenya.
Seandainya saja diantara semua oknum tersebut, merenungi kepergian ramadhan, memahami makna substansial ramadaan, takut pada tahun berikutnya tidak lagi ketemu dengan tamu agung Allah SWT. Dengan diraihnya hari kemenangan fitri (suci), tidak mungkim mereka berlaku korupsi lagi, penegak hukum sebagai wakil Tuhan sudah pasti berhukum dengan hati nuraninya, berhukum dengan nalar spiritualnya, bukan berani berlaku adil terhadapa sesama, karena takut pada hukum buatan manusia, tetapi takut pada hukum yang sudah dititahkan oleh Tuhan, setelah diselaminya makna-maka tekstual ayat Al-qur’an selam sebulan penuh itu.
Aksi menutup tempat prostitusi, dan menyadarkan pelaku prostitusi hingga menghentikan tumbuhnya tempat prostitusi yang liar, tidak perlu diperintahkan. Di sisi lain pemerintah dengan rasa takutnya, tidak mendapatkan sumber pendapatan Negara, kerena tempat-tempat itu penyuplai anggaran untuk pembangunan kota-kota besar. Andai kepergian puasa direnungi, semua sudah pada tidak lagi terpikirkan. Karena bulan puasa sesungguhnya melatih kita, lepas dari “ego personal”atas segala kuasa fisik, yang hanyabersandar kepentingan duniawi semata.
Merenungi dan menangisi kepergian ramadhan. Semuanya mengantarkan kita, takut kepada Tuhan dan ganjaran-Nya, takut pada azab-Nya, namun selalu merasa dekat dengan-Nya. Tidak lagi kita akan menemukan hamba-hamba yang menjadikan Puasa sebagai ajang konspirasi terhadap Tuhan-Nya. Lebih dari itu fitrah akan dimiliki selamanya. Bukan hanya disaat menggemanya sura taqbir, tahmid, tahlil di hari lebaran.
Mari menjadikan puasa dalam sebulan itu, sebagai latihan, sebagai ujian kelulusan, dan pada saat meraih kelulusan di hari lebaran. Bukan fase perjuangan kita berhenti. Masih banyak ujian-ujian selanjutnya yang akan kita hadapi bersama. Ijazah kelulusan sebulan penuh itu boleh jadi tidak dapat digunakan untuk mendaftar di kamar-kamar surga yang telah dijanikan oleh Allah SWT, di akhirat kelak. Olehnya itu silahkan merenungi ramadhan yang telah berlalu itu.***
Situasi yang lain, kadang kita sulit melepaskan keluarga kita, yang hendak merantau ke negeri seberang, karena waktu untuk ketemu dengannya, masih harus lagi menunggu bertahun-tahun. Apalagi kalau masa pertemuan dan ajang ngumpul sama keluarga, hanya terjadi pada peristiwa mudik lebaran. Saat kendaraan (bis, kapal, pesawat) yang ditumpanginya berlalu, melepas pergi, lambaian tangan menjadi ajang perpisahan, setelah itu mungkin ada rasa haru menyesak dada, dan bulir air matapun menetes secara tidak sadar.
Lantas, bagaimana dengan kepergian ramadahan, yang baru saja berakhir beberapa hari kemarin. Apakah kita juga bersedih, ketika ramadhan itu meninggalkan kita? Adakah rasa takut terbersit dalam hati dan pikiran, tahun depan boleh jadi tidak lagi bertemu dengannya. Sehingga bulir air mata kitapun terjatuh membayangkan kepergian tamu agung yang dihadirkan oleh Tuhan, dating hanya sekali dalam setahun.
Yang jelas, jangan sampai ramadhan yang telah dilalui selama satu bulan itu. Hanya menjadi ritual dan siklus tahunan. Seolah-olah momentum ramadhan hanya menjadi ajang untuk menyenangkan Tuhan semata.
Tangisan Ramadhan
Bisa disaksikan ketika bulan suci itu datang, semua orang pada berlomba-lomba menunaikan shalat tarawih, berjamaah di mesjid, semua orang pada berlomba-lomba menderas Al-qur’an hingga ingin menuntaskan 30 juz dalam sebulan.
Selama bulan ramadahan semua tempat prostitusi di larang buka, hingga warung makanpun dilarang untuk membukanya pada saat bulannya ramadahan. Bulan ramadahan tidak hanya sampai disitu memesona. Hingga ruang virtual, media, televisi juga ikut-ikutan berpuasa. Artis yang biasa berpenampilan seksi, berpose seronok, kemudian tiba-tiba memakai kerudung hanya karena tuntutan “kapitalisasi” ramadhan. Demi memuaskan pemiras di rumah yang sedang menjalakan ibadah puasa. Tayangan dan durasi yang islami ditambah waktunya, ceramah dari berbagai dai juga turut menghiasai semua saluran televisi.
Kalau Rasul dan para sahabat menangisi kepergian ramadahan, karena dibulan itu, bulan dimana pahala dilipatgandakan. Rasul dan para sahabat, takut tahun depannya tidak ketemu lagi dengan bulan yang penuh rahmat (maghfiroh), ampunan, karena maut sewaktu-waktu bisa saja datang menjemputnya.
Untuk kontkes sekarang, kalau mau dihayati, direnungi, justru tangisan itu, jauh lebih penting untuk diresapi oleh ummat Islam di negeri ini. Bagaimana tidak, sudah melekat makna fitrah atas kemenangan dari sebulan penuh. Namun setelah melewati bulan-bulan itu. Fase ramadahan kemudian diambil alih oleh kehidupan yang menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam.
Setan yang dulunya dikerangkeng, pasca ramadhan berlalu, kembali hidup liar, setelah lepas dari kerangkengnya, manusia di muka bumi merasa wajar-wajar saja, melakukan perbuatan buruk, perbuatan keji. Amalan bulan puasa dan pengampunannya dimaknai lebih pada semua perbuatan dosa tahun lalu, telah diampuni, maka dari itu tidak apa-apa kembali berbuat dosa, karena bulan ramdahan hadir sebagai momentum memutihkan dosa-dosa setahun sebelumnya.
Hemat penulis, cara memaknai yang demikian, melakoni dan menjalankan puasa sama halnya dengan cara kita berpuasa, berpikir model kekanak-kanakan. Inilah tangisa ramadahan yang sesungguhnya, kita ingin me.lihat semua suasana tampil religius setelah ramadhan berlalu. Namun apa daya, yang Nampak dihadapan mata kita, buruk-baik, salah-benar, dosa-amal semua bercampur jadi satu. Tidak ada lagi batasnya.
Bagaimana Seharusnya?
Andai puasa hendak dimaknai, sebagai rukun Islam yang ketiga, dan mengapa menjadi salah satu ibadah yang bersifat imperatif (bukan sun’ah).
Bulan ramadahan setelah berlalu seharusnya, manusia tidak lagi dipertuhankan oleh kepentingan fisiknya. Larangan untuk tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan seks di siang hari, merupakan maksud Tuhan agar hambanya tidak terperdaya dengan kepentingan fisiknya lagi. Seharusnya setelah menunaikan ibadah puasa, tidak lagi kita menjadi hamba yang sekuler, kapitalis, hingga berlaku culas atas manusia yang lainnya.
Namun apa yang terjadi? Semua hakikat diperintahkannya ibadah tersebut. Semua hilang sekejap berlalu, tanpa merenungi dibalik kepergiannya.
Sang pemimpin yang nyata-nyata menjalani puasa, hingga merayakannya dengan acara open house, pasca ramadhan, kembali dirinya terendus dengan kasus korupsi, para penegak hukum kembali membengkokan keadilan, demi janji setumpuk rupiah yang akan menaikkan prestisenya.
Seandainya saja diantara semua oknum tersebut, merenungi kepergian ramadhan, memahami makna substansial ramadaan, takut pada tahun berikutnya tidak lagi ketemu dengan tamu agung Allah SWT. Dengan diraihnya hari kemenangan fitri (suci), tidak mungkim mereka berlaku korupsi lagi, penegak hukum sebagai wakil Tuhan sudah pasti berhukum dengan hati nuraninya, berhukum dengan nalar spiritualnya, bukan berani berlaku adil terhadapa sesama, karena takut pada hukum buatan manusia, tetapi takut pada hukum yang sudah dititahkan oleh Tuhan, setelah diselaminya makna-maka tekstual ayat Al-qur’an selam sebulan penuh itu.
Aksi menutup tempat prostitusi, dan menyadarkan pelaku prostitusi hingga menghentikan tumbuhnya tempat prostitusi yang liar, tidak perlu diperintahkan. Di sisi lain pemerintah dengan rasa takutnya, tidak mendapatkan sumber pendapatan Negara, kerena tempat-tempat itu penyuplai anggaran untuk pembangunan kota-kota besar. Andai kepergian puasa direnungi, semua sudah pada tidak lagi terpikirkan. Karena bulan puasa sesungguhnya melatih kita, lepas dari “ego personal”atas segala kuasa fisik, yang hanyabersandar kepentingan duniawi semata.
Merenungi dan menangisi kepergian ramadhan. Semuanya mengantarkan kita, takut kepada Tuhan dan ganjaran-Nya, takut pada azab-Nya, namun selalu merasa dekat dengan-Nya. Tidak lagi kita akan menemukan hamba-hamba yang menjadikan Puasa sebagai ajang konspirasi terhadap Tuhan-Nya. Lebih dari itu fitrah akan dimiliki selamanya. Bukan hanya disaat menggemanya sura taqbir, tahmid, tahlil di hari lebaran.
Mari menjadikan puasa dalam sebulan itu, sebagai latihan, sebagai ujian kelulusan, dan pada saat meraih kelulusan di hari lebaran. Bukan fase perjuangan kita berhenti. Masih banyak ujian-ujian selanjutnya yang akan kita hadapi bersama. Ijazah kelulusan sebulan penuh itu boleh jadi tidak dapat digunakan untuk mendaftar di kamar-kamar surga yang telah dijanikan oleh Allah SWT, di akhirat kelak. Olehnya itu silahkan merenungi ramadhan yang telah berlalu itu.***
Sumber: ridwansyahyusufachmad.com |
Responses
0 Respones to "Merenungi Kepergian Ramadhan"
Posting Komentar