Minggu, 28 April 2013

Potret Buram Pilwako Gorontalo

Wajah buram demokasi di Negeri Serambi Madinah seakan menguak kisah ambruknya demokrasi dan potrer negara hukum dewasa ini. Dua patron rakyat, seakan tidak lagi memiliki kekuatan dan daya apa-apa untuk dipatuhi oleh penyelenggara demokrasi itu. Bagaimana tidak Pilwakot yang dihelat kemarin menyisahkan sequel drama antara penguasa dan KPU. Hanya untuk melanggengkan kekuasaan dan kehendak sang diktator. Sampai harus mengorbankan suara dan harapan rakyat. Siapa yang sekiranya pantas menjadi pemimpin di Kota Gorontalo ?

Meski KPU Gorontalo sudah mengumumkan pasangan yang menang dalam Pemilihan Walikota (Pilwali) Gorontalo pada 3 April 2013 kemarin, Pasangan Marten Taha-Budi Doku (Madu). Dengan perlolehan suara mencapai 36.392 suara atau 52,48 persen. Namun hasil pemilihan tersebut bukti gambaran demokrasi yang carut marut ditangan KPU.

Pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan (DAI) yang sudah dicoret namanya oleh KPU. Membuka mata kita kalau KPU Kota Gorontalo “dipaksa” menanggung malu. Karena rakyat tetap menobatkan Adhan Dambea-Irawanto Hasan sebagai wali kota yang masih layak memimpin di kota itu.
Sumber: cahayareformasi.com

Independensi KPU ?

Dimanakah independensi KPU yang sedianya telah diberikan amanat, melalui undang-undang. Harus tunduk pada ketentuan hukum. Tanpa ada intervensi pejabat eksekutif lainnya ?

KPU kehilangan power di saat orang nomor satu di negeri itu. Konon memporak-porandakan segala kewenangan KPU. Kenapa pula KPU tidak berani pasang badan, padahal keduanya adalah lembaga eksekutif yang masing-masing harus tunduk pada kekuatan “negara hukum” yang mestinya jadi panglima ? Inilah hukum yang tak lagi memiliki daya dan kekuatan untuk dipatuhi bersama.

Sejatinya, hukum memang tidak dapat dikatakan otonom, tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya (seperti; ekonomi, politik, dan kekuasaan), dalam melahirkan output yang diharapkan sesuai dengan cita-cita “mulia” hukum. Yakni keadilan, kepastian dan kemanfaatan (Gustav Radbruch).

Ambruknya wibawah KPU Kota Gorontalo di tangan pemilih, setelah dinstruksikan agar tidak memilih lagi pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan. Tidak perlu dengan analisis tajam, analisis yang canggih untuk memaknainya. Sehingga dapat membuka mata kita semua. Jika KPU di Kota tersebut telah diintervensi oleh kepentingan “politik atasan”.

Demokrasi sesungguhnya hanyalah slogan dan pemanis bibir, ketika KPU diharapkan menjalankan kewenanganya secara mandiri. Namun demokrasi yang tampak adalah demokrasi dalam wajah feodal, demokrasi sentralistik, demokrasi Asal Bapak Senang (ABS).

Partai poitik yang seyogianya melahirkan demokrasi yang pantas di hadapan pemilih, juga bermain dalam keremangan, turut menghancurkan kinerja dan independensi KPU. Sebuah bangunan hukum yang birokratif dipertontonkan dengan telanjang oleh KPU beserta para koncoh-koncoh politiknya. Ketika dengan sangat terpaksa mengikuti kehendak salah satu pimpinan “diktator” yang juga masih menjabat, jabatan nomor satu dalam partai politik di negeri itu. Tidak rela jika pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan ikut dalam suksesi pemilihan wali kota Gorontalo.

Surat keputusan pembatalan atas Pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan dijadikan sebagai senjata ampuh menandaskan langkahnya. Hingga Pengadilan Tata Usaha Negara Manado yang diharapkan bersikap “tidak memihak”, nyatanya tidak memikirkan sedari awal, akibat putusannya, ketika pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan masih mengajukan banding, hakim PTUN Manado malah tidak mengeluarkan putusan provisi agar KPU menunda penyelenggaraan Pilkada tersebut.

Hingga KPU yang dengan semena-mena mengeluarkan keputusan pembatalan. Padahal jika dicermati dari putusan PTUN Manado yang menginstruksikan kepada pasangan DAI agar melegalisir Surat Keterangan Tamatnya (SKT). Mengapa hal ini tidak ditindaklanjuti oleh KPU kota Gorontalo ? Apakah KPU sudah demikian “ditekan” oleh tendensi-tendensi tertentu sehingga jalan tidak sesuai dengan prosedurpun, akhirnya ditempuh untuk menjegal pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan ? Sedianya jika kita ingin berkaca pada peraturan KPU, bukankah persyaratan untuk mengajukan diri sebagai calon wali kota, terkait dengan persyaratan administrasi pendidikan hanya berpatokan pada Ijazah terakhir. Dan pasangan DAI sudah lolos administratif jika KPU jeli dalam melaksanakan ketentuan undang-undang yang memang harus menjadi acuannya. Sebagai penyelenggara Pilkada.

KPU kota Gorontalo lagi-lagi menggali liang lahatnya sendiri. Membangun rasa ketidakpercayaan terhadap masyarakat. Diberi amanah, agar menanggung amanat rakyat. Dalam menciptkan demokrasi yang ideal. Namun terjungkal dengan “dominasi strukturalnya” sang penguasa.

KPU Digugat Rakyat

KPU Gorontalo sudah mengeluarkan surat edaran, agar sekiranya tidak memilih pasangan DAI. Karena pasangan tersebut sudah dinyatakan tidak sah sebagai peserta calon wali kota yang layak pilih. Namun instruksi tersebut mentah di tangan pemilih. Pemilih rupanya tetap percaya pada pasangan DAI.

KPU Gorontalo benar-benar dan pasti dibuat pusing tujuh keliling. Kenapa masyarakat yang mestinya tidak menjatuhkan pilihan terhadap pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan, tetapi malah pasangan tersebut yang menjadi pengepul suara terbanyak?

KPU jelas sudah berkali-kali mencederai demokrasi. Karena rakyatlah memiliki kekuasaan tertinggi. Hingga kepastian hukum yang dibangun dalam wajah seolah-olah (as if) oleh KPU, justru terang benderang ditangan rakyat sebagai penentu kedaulatan pemerintahan.

Jebakan politik dengan strategi kotor jitunya, bukan pada aspek idealnya politik yang dapat menata demokrasi dan harapan rakyat. Rakyat menggugatnya dengan kemenangan pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan. Pemilih tahu benar jika Adhan Dambea-Irawanto Hasan, yang tidak lagi memakai kendaraan Partai, maju sebagai calon independen, tidak melanggar tujuan hukum dan aspek-aspek demokrasi, untuk kembali terpilih sebagai wali kota Gorontalo.

Dengan analisis yang sederahana saja. Carut marut Pilwakot Gorontalo beberapa pekan kemarin. Adalah pemilihan yang ditunggangi oleh “tendensi politik” yang bergaya feodal.Kenapa mesti pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan setelah maju sebagai calon independen, dan melepaskan atribut partainya. Malah ia ditemukan kejanggalan dalam persyaratan adminstratif sebagai calon walikota. Mungkinkah kelemahan pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan. dibocorkan oleh lawan politiknya. Atau oleh partai yang pernah menjadi rumahnya dahulu. Tidak mahfum jika pasangan DAI kembali memimpin kota Gorontalo. ? Saya kira warga kota Gorontalo yang lebih tahu akan hal itu.

Tinggal kita menaruh harapan kepada Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga judicial sekaligus Mahkamah Undang-Undang. Dapat memberi putusan yang seadil-adilnya terhadap kekisruhan Pilwako Gorontalo, karena SK hasil perhitungan suara oleh KPU saat ini masih diperiksa oleh MK.

Secara sepintas lalu, boleh jadi pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan dikategorikan tidak memiliki legal standing mengajukan gugatan ke MK sebagaimana kesaksian Prof Patembayadi persidangan MK. Karena pasangan tersebut tidak memiliki kepentingan terhadap hasil perhitungan suara. Apalagi pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan dengan sendirinya telah dinyatakan batal sebagai pasangan terpilih, karena memang sudah dibatalkan sebagai pasangan yang sah untuk dipilih oleh KPU.

Namun kalau MK berani melakukan terobosan radikal, hakim MK progresif dalam melakukan penemuan hukum. Dimana selama ini selalu dikatakan bahwa MK hanya dapat mengadili hasil perhitungan suara, bukan pada proses administratif misalnya sehingga pejabat Kepala Daerah tersebut terpilih. Bukan pada kesalahan KPU menentukan dan membatalkan pasangan calon. Maka pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan tidak bisa terjungkal hanya karena gara-gara, kineja KPU yang sudah demikian buruk. Hakim MK tentunya tahu jika dalam konstitusi kita, bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar