Antiklimaks penetapan siapa yang layak memegang jabatan Ketua Umum
Partai Demokrat (PD) akhirnya terjawab sudah. Melalui Kongres Luar Biasa
yang dihelat oleh barisan PD kemarin. di Pulau Dewata (Bali).
Mengukuhkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terpilih secara aklamasi
sebagai Ketua Umum PD.
Terpilihnya SBY sebagai Ketua Umum PD. Kini semua publik sudah tahu kalau jenderal kelahiran Pacitan itu. Di samping menjabat sebagi Ketua Dewan Pembina, Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Kehormatan. Akhirnya merangkap empat jabatan, setelah menobatkan lagi dirinya sebagai Ketua Umum. Dari partai politik yang membesarkan namanya, hingga dua kali mencicipi kursi nomor satu di republik ini.
Tidak terlalu disayangkan sebenarnya oleh publik. SBY merangkap banyak jabatan dalam partai Mercy biru itu. Yang menyakitkan dan kita tidak bisa menerimanya. Adalah bagaimana mungkin mengefektifkan kebijakannya, sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. Dalam mengurusi sengkarut bangsa ini ? Disaat dirinya harus juga meluangkan waktunya. Memperbaiki elektabilitas partai. Padahal SBY bukan “superman” atau ubermansch (mengutip tokoh jelmaan Nietzsche) yang bisa bekerja dua puluh empat jam, tanpa pernah istirahat sedikitpun.
Damang Averroes Al-Khawarizmi |
Hukum Besi
Dalam mencermati kembali penobatan SBY sebagai Ketua Umum PD. Bisa dikatakan bukan melalui poses yang demokratis. Karena ia dipilih secara aklamasi. Tanpa melalui proses pemilihan suara mayoritas, sebagaimana kongres yang pernah dihelat di Bandung. Ketika berhasil mengantarkan Anas Urbaningrum sebagai ketua umum sejak itu.
Lagi-lagi Partai Demokrat tidak bias menahan diri. Gara-gara isu topan badai korupsi, hingga berdampak pada elektabilitasnya yang terjun bebas sampai 8 % berdasarkan survei Saiful Mujani Research Center (SMRC) Desember 2012. Turunnya elektabilitas PD boleh jadi disebabkan hembusan ‘angin” Nazaruddin’s effect. Membuktikan lembaran demi lembaran borok PD. Karena telah menyeret para petinggi dan kader PD dalam “gedung prodeo” KPK.
Dari beberapa peristiwa yang mengawali, sebelum Kongres Luar Biasa yang diselenggarakan di Bali. Sudah tercium aroma, Jika SBY tidak menginginkan ada calon lain selain dirinya. Dapat menggantikan posisi Anas Urbaningrum.
KLB di Bali hanyalah formalitas belaka. Mulai dari tindakan SBY melalui “tangan besinya” mengumpulkan semua Pimpinan DPD dan DPC di Cikeas. Hingga Manuver SBY, memberi peringatan keras kepada Marzuki Ali melaui via SMS. Agar Marzuki Alie tidak menggoda beberapa pimpinan DPD dan DPP di Jakarta, untuk memilihnya nanti. Karena memang sedari awal. SBY tidak menginginkan ada calon lain, selain dirinya.
Sebagai calon tunggal Ketua Umum PD. Secara tidak sadar SBY yang dikenal santun, beretika, demokratis. Perlahan tapi pasti telah mengidap kekuasaan dengan Hukum Besi Oligraki (HBO)
Karena kondisi darurat, dan kegentingan yang memaksa itulah. Sehingga SBY, rela dihujat dan dicaci maki oleh publik. Menelan pil pahit, hingga menjilat sendiri air ludahnya. Setelah memberi peringatan terhadap menteri-menterinya. Agar fokus pada tugas kenegaraan dari pada tugas partai politik. Namun SBY sendiri mengingkari “fatwanya” sendiri.
Di tahun politik ini. Rupanya SBY “dipaksa” turun gunung bagai Imam Mahdi. Sebagai satu-satunya tokoh “juru selamat”. Dapat menyelamatkan PD dari ancaman tubir jurang. Dari ancaman Pemilu yang akan dihelat 9 April 2014 nanti.
SBY pada dasarnya lupa adagium yang pernah dilontarkan oleh Manuel Luis Quezon “My loyality to may party ends where my loylity to my country begins”. Meskipun tidak ada pembatasan hukum pejabat Negara untuk merangkap jabatan sebagai pengurus Parpol. Namun secara etika, seyogianya SBY, Jika tetap ingin menunjukan kenegarawanannya. Ia tidak perlu tergopoh-gopoh “memaksa” diri menjabat sebagai Ketua Umum PD.
Kapital SBY
Disadari bahwa SBY lebih unggul dari calon-calon yang lain, seperti Marzuki Alie dan Saan Mustopa. Dari latar sosiohistori mau tidak mau SBY, dominan yang membesarkan PD hingga mendulang suara sekitar 20 % pada Pemilu 2009 lalu. Atau jika dikerucutkan SBY memegang dua capital yang superistimewa.
Pertama, capital history, bahwa benar PD didalangi dan diinisiasi oleh SBY sehingga PD menjadi partai pemenang Pemilu dan berhasil menjadi partai penguasa parlemen, berkat “magnet elektoralnya”. Dan beberapa “kebijakan sinterklasnya” hingga dirinyapun dinobatkan sebagai Presiden yang kedua kalinya.
Kedua, capital electoral, berkat jasa beliau juga sebagai tokoh sentral “figuritas’ sehingga electoral Demokrat mendulang angka fantastis dalam Pemilu 2009.
Namun nostalgia untuk mengulang kembali kejayaan masa lalu itu. Sepertinya SBY akan “gigit jari” dan menemui banyak hambatan. Sedianya, masa SBY untuk menjadi Capres sudah diringkus oleh konstitusi. Sehingga lompatan sejarah dalam hal pencitraan, yang dapat menggoda ceruk pasar pemilih. Agar menjatuhkan pilihan terhadap dirinya. Rasanya mustahil lagi terjadi. Kita bisa mengatakan bahwa kemenangan beberapa anggota legislatif menduduki Senayan dalam Pemilu 2009. Tidak terlepas dari figuritas SBY. Sehingga jika figur SBY hendak dijadikan patokan agar nantinya memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan anggota legislatif 9 April 2014 nanti. PD Ibarat si Pungguk merindukan bulan.
Tidak dapat dipungkiri jika SBY yang menjadi Ketua Umum. Faksioanalisasi yang selama ini menggangu PD, diantaranya faksi Cikeas, faksi Anas, dan faksi Senayan akan mampu diredam. Tapi SBY lupa kerugian besar yang bakal mengancam PD, jika diurus oleh dirinya. Di samping harus mengemban tugas kenegaraan. Maka tak ada waktu bagi SBY untuk menyolidkan barisan kader di tingkat bawah (baca: daerah). Bahkan mesin partai untuk mendongkrak suara dalam pemilihan legislatif akan terhenti. Karena pekerjaan demikian, hanya bisa dilakukan oleh seorang Ketua Umum yang tidak terpecah pikirannya. Saya kira Anas dahulu sudah berhasil dalam sektor ini. Terlepas dari takdir yang mengantarkannya harus berurusan dengan KPK.
Mengaca pada hasil survey SJN (Survey Jakarta Nasional) sebanyak 77 % tidak menghendaki kalau SBY sebagai Kepala Negara, juga menjabat sebagai ketua umum. Namun SBY tetap “menafikan” suara rakyat kalau dirinya tetap dapat membagi waktu. Antara pekerjaan partai dengan tugas Negara. Bahkan dengan jurus jitunya, SBYmengangkat Syarif Hasan sebagai Ketua Harian Partai Demokrat, Marzuki Alie sebagai Wakil Ketua Majeis Tinggi dan EE Mangindaan sebagai Ketua Dewan Harian Pembina. Konon katanya pekerjaan mengurus partai akan dititik beratkan kepada ketua harian. Namun ironisnya, tetap nantinya Ketua Umum yang bertanda tangan. Dalam penentuan verifikasi daftar calon anggota legislatif dari PD.
Di satu sisi SBY memberi pekerjaan kepada Ketua Harian, di sisi lain malah SBY tetap yang mengurusi masalah administrasi DCT (Daftar Calon Tetap) anggota legislatif PD untuk KPU. Apakah di sini SBY sebagai Ketua Umum dengan hukum besi oligarkinya. Hanya sebagai simbol saja ? Tentunya publik yang lebih tahu jawabannya nanti. Kalau masih menaruh hasrat pada PD. Untuk dipilih sebagai partai yang masih layak mendominasi senayan.***
Oleh;
Damang Averroes Al-KhawarizmiPeneliti Republik Institute & Co-Owner negarahukum.com
http://www.fvtm.bu.edu.eg/fvtm/index.php/item/350-2013
BalasHapushttp://www.fvtm.bu.edu.eg/fvtm/index.php?start=10
http://www.fvtm.bu.edu.eg/fvtm/index.php?start=20
http://www.fvtm.bu.edu.eg/fvtm/index.php?start=30