Minggu, 03 Maret 2013

Prorogasi sebagai Perwujudan The Speed of Administration


Kepada team penguji Ahmad Tawakkal Paturusi, pengelolah Blog AN. Damang S.H, mengucapkan permohonan Maaf sebelumnya, karena pengamanan hasil olah data dari Ahmad Tawakkal Paturusi sebelumnya, kami tidak mencantumkan nama dari peneliti inti dari uraian pembahasan tesis tersebut
(sengaja pengelola Blog mencantumkan uraian isi pembahasan dari tesis yang berjudul Prorogasi Sebagai "Perwujudan Asas Peradilan cepat, sederhana dan berbiaya Ringan" guna menghindari penelitian yang dobel ke depannya di berbagai Universitas)




Secara garis besar klasifikasi hukum terbagi atas dua, yaitu hukum publik dan hukum privat. Hukum publik merupakan hukum yang memberikan peran terhadap negara secara total sebagai arbiter melayani kepentingan umum, dengan kata lain wilayah hukum publik berbicara tentang fungsi negara. Sedangkan hukum privat adalah instrumen hukum yang mengatur bagamana hubungan antara individu dengan individu dalam masalah kepentingan pribadi. Oleh karena itu perbedaan yang paling mencolok antara wilayah hukum publik dan wilayah hukum privat adalah hukum publik menyangkut fungsi negara sedangkan hukum privat menyangkut  kepentingan individu (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 211).
Namun dari klasifiksi perbedaan hukum publik dan hukum privat juga tidak dikatakan bahwa negara dalam hal pengaturan hukum perdata sama sekali tidak turut andil mengatur ketertiban warga negaranya. Karena hal itu bertitik tolak dari pijakan peran negara hukum kesejahteraan, yang mewajibkan kepada negara melalui pejabat publiknya untuk mengintervensi masalah atau hubungan antara individu dalam peristiwa dan hubungan hukum yang terjadi antar individu yang menyangkut kepentingan pribadi.
Berdasarkan wilayah pembagian hukum di atas, memunculkan lembaga sebagai pengejawantahan dari pada hukum privat (perdata) sebagai sarana yang akan menegakkan hukum privat. Untuk mengatur masalah/ hubungan antara individu. Hal tersebut dapat diamati berdasarkan Pasal 14 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Undang-Undang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang membagi ruang lingkup peradilan dalam empat bagian, yang terdiri atas: Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Militer.
Lembaga peradilan umum dalam praktiknya merupakan pengadilan berjenjang yang sama dengan peradilan lainnya. Terdapat pengadilan tingkat pertama, pengadilan banding, pengadilan kasasi (MA). Ciri khas dari pada pengadilan umum, yang membedakan dengan peradilan lainnya (PA, PTUN, Pengadilan Militer) adalah berfungsinya lembaga tersebut untuk menyelesaikan masalah hukum publik dan masalah hukum privat (keperdataan). Sehingga pengadilan umum merupakan lembaga judicial paling kompleks menangani berbagai jenis permasalahan hukum. Mulai dari kasus pidana yang masih terbagi-bagi lagi dalam beberapa jenis tindak pidana (seperti: tindak pidana di bidang lingkungan, tindak pidana pemilu, tindak pidana terhadap anak, tindak pidana narkotika, tindak pidana terorisme), hingga kasus-kasus perdata yang juga tat kala banyak dan rumitnya (misalnya kasus dalam lapangan HAKI, kasus perlindungan konsumen, kasus perusahaan, persaingan usaha, dan lain-lain). Oleh karena banyaknya tugas yang diemban oleh peradilan umum sehingga memunculkan banyak respon, tanggapan dari para pencari keadilan (justiciable) perihal tidak berjalannya lembaga tersebut (pengadilan umum) secara optimal/ efektif. Begitu banyak kasus yang bertumpuk karena lembaga tersebut “dihujani” banyak perkara dari para pencari keadilan. Seorang yang berperkara seringkali rela kehabisan energi, waktu, tenaga finansial hanya untuk mendapatkan kemenangan, tanpa memikirkan kerugian dari perilakunya yang sangat mengutamakan peradilan sebagai lembaga yang dapat menyelesaikan kasus-kasusnya, padahal jika ditaksir dari objek perkara dengan biaya yang dihabiskan untuk berperkara lebih banyak dari pada nilai objek gugatan. Dalam kondisi inilah muncul pernyataan, “kadang seorang berperkara gara-gara satu ekor kucing, namun kemenangan perkaranya dia harus mengorbankan seekor kerbau miliknya. “
Dalam sebuah kasus/ perkara sengketa tanah Tanah seluas 1346 M2 dengan nilai objek perkara Rp 200 Juta yang pernah diajukan di Pengadilan Negeri Sidrap. Perkara tersebut diajukan oleh Andi Oddo Mendong sebagai Penggugat dan sebagai tergugat I Kuwi tergugat I, Syamsuddin Alias Daeng Nai tergugat II dan BPN Turut Tergugat. Perkara tersebut yang diregister di Pengadilan negrei pada tahun 1998 (Nomor 06/ Pdt/ 1998/ PN Rappang) kemudian diajukan  banding di PT ujung Pandang (Nomor 427/ Pdt/ 1998/ PT UJ PDG), kasasi pada tahun 2009 (Nomor 2032 K/ PDT/ 1999/ MA). Parahnya perkara ini yang pada akhirnya dimenangkan oleh tergugat (Ikuwi) nanti salinanan putusannya sampai di tangan tergugat pada 7 Agustus 2012, itupun tergugatnya sudah meninggal, hingga diterima oleh ahli warisnya (Awaluddin). Begitu lambannya oeradilan memberikan kepastian, perkara yang sudah diputus pada tahun 1999, nyatanya dalam waktu tiga tahun putusan tersebut mengendap di MA.
Sudah banyak gagasan dari para yuris, praktisi, dan kalangan akademisi yang menginginkan agar peradilan umum, yang menangani perkara-perkara perdata dan perkara pidana dapat berjalan secara optimal. Diharapkan agar peradilan tersebut  dapat memenuhi harapan pencari keadilan tanpa mengorbankan hak-haknya, Oleh karena hukum sudah disadari sejak kelahirannya adalah memenuhi keadilan, kemanfaatan dan kepastian bagi para pihak. Berlaku asas yang tidak berat sebelah, peradilan yang nonimparislitas, hakim harus  bersikap netral misalnya dengan mengacu pada asas Audi Et Alteram Partem  (seorang hakim yang mengadili perkara harus mendengarkan keterangan kedua belah pihak).
Bersamaan dengan itu, suara riak yang menginginkan agar peradilan umum lebih optimal berjalan sebagai lembaga yang menegakkan hukum perdata materil semakin banyak.  Muncul juga gagasan peradilan yang mengutamakan hak-hak para pencari keadilan. Untuk memperoleh dengan cepat kepastian hukum dari perkara yang diajukannya di pengadilan, tidak menelan biaya yang mahal gara-gara pengadilan yang mewajibkan membayar registrasi perkara, biaya pemeriksaan saksi, biaya  pemeriksaan setempat, dan biaya jasa pengacara.
Kemudian dalam perkembangannya hukum yang mengutamakan nilai integratif dari hukum yang substantif (Mochtar Kusumaatmadja: 2006, Sadjipto Rahardjo: 2007, Romli Atmasasmita: 2012) pengadilan tidak bolah berjalan lamban, berbiaya mahal, rumit dalam menuntaskan perkara serta  perkara diselesaikan secara manipulatif berdasarkan keinginan dan hasrat hakim  semata. Seperti isu dari kebiasaan hakim memainkan perkara untuk mendapatkan juga keuntungan tambahan dari perkara yang ditanganinya.
Dari berbagai isu dan permasalahan  tersebut, ketika peradilan sudah mendapat stigma sebagai lembaga tempat berkumpulnya para mafia hukum. Ada mafia kasus, mafia hakim, mafia pengacara, bahkan tak sungkan-sungkan melibatkan panitera pengadilan sebagai  agen perantara dari seorang pengacara, berhubungan dengan hakim dalam menegosiasi perkara. Kini memunculkan banyak ide untuk melakukan pengadilan yang transparan, akuntabilitas, profesional, mengutamakan kepenting pencari keadilan. Sehingga asas peradilan yang hemat, sederhana, cepat (speiding of administration), dan biaya ringan semakin penting untuk digalakkan dalam kepentingan hukum beracara. Terutama fungsi pengadilan umum sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa hak.
Konsep hukum yang dipahami tidak hanya berjalan pada konteks yang daitur dalam Undang-undang semata sebagaimana yang dipikirkan oleh para pemikir hukum dogmatik Kelsen, pemikir hukum analitik Austin. Lalu hukum harus berfungsi sebagai pembaharu, sebagai sarana yang hendak membangun kehendak dan kepentingan masyarakat sebagaimana yang diinginkan oleh para pemiikir hukum realisme. Dengan sendirinya asas hukum yang menjadi jiwa dan jantungnya hukum dalam tataran dogmatik juga muncul asas sebagaimana hukum mesti berjalan mengikuti keyataan di lapangan.
Asas yang dimaksud di sini adalah asas peradilan yang hemat, cepat sederna, dan biaya ringan.  Gagasan untuk melahirkan peradilan yang efektif, optimal inilah dibingkai dalam asas peradilan yang hemat, cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Gaung untuk malaksanakan peradilan hemat, cepat, sederhana dan biaya ringan. Sebenarnya bukan barang baru yang hadir pada hari ini. Gagasan tersebut sudah lama dikemukakan oleh para yuris. Dapat dicermati misalnya dalam pendapat yang ditulis oleh Subekti (1989: 9) mengemukakan  untuk mmepercepat jalannya peradilan di muka pengadilan kita sekarang ini, kiranya perlu diperhatikan hal-hal seperti berikut:
1.      Dalam HIR, tidak kita jumpai suatu ketentuan, dalam waktu berapa lama ketua pengadilan negeri, setelah menerima surat gugat, harus menetapkan hari sidang. Pasal 122 HIR tidak menyebut suatu jangka waktu. Sebaiknya mengenai ini oleh Undang-undang hukum acara acara yang baru nanti ditetapkan suatu jangka waktu (termijn), misalnya 14 hari. Ketentuan seperti ini akan memberikan sumbangan sekedarnya ke arah memperpendek proses pengadilan.
2.      Juga suatu ketentuan pembatasan nilai perkara yang dapat dimintakan pemeriksaan banding (misalnya perkara yang nilainya seratus ribu rupiah ke atas) akan membantu untuk lekas tercapainya suatu keputusan yang mempunyai kekuatan mutlak.
3.      Suatu keputusan lagi yang mungkin dapat menyingkatkan waktu tercapainya putusan pengadilan yang berkekuatan mutlak, adalah yang dinamakan prorogasi yang adalah suatu persetujuan yang dicapai antara kedua pihak yang berperkara di muka pengadilan banding, yang dalam hal ini akan bertindak selaku hakim tingkat pertama seolah-olah mereka itu meloncat dengan melampaui satu tingkatan. Dalam hukum acara di muka pengadilan negeri yang sekarang terdapat dalam HIR, lembaga prorogasi tersebut tidak dikenal tetapi lembaga itu, kita dapatkan dalam RV (titel V, Pasal 424 sampai dengan Pasal 426). Dalam hal  adanya prorogasi itu, Pengadilan Tinggi yang memeriksa perkaranya memutus dalam tingkat pertama dan penghabisan. Tingkat penghabisan  di sini artinya sekedar mengenai pemeriksaan tentang fakta-fakta, sehingga masih ada kemungkinan untuk mengajukan permohonan kasasi.
4.      Dalam perundang-undangan sekarang yaitu dalam undang-undang RI tahun 1947 No. 2 Pasal 11 (2), ada suatu  ketentuan, bahwa berkas perkara, dalam hal adanya permohonan ulangan (banding), dalam waktu satu bulan harus dikirimkan kepada panitera Pengadilan Tinggi. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kalau ada permohonan banding, putusan dan berkas perkara sudah harus diminiatur dalam waktu satu bulan
5.      Satu cara lagi yang mungkin juga dapat menambah cepatnya suatu putusan pengadilan mencapai kekuatan mutlak, adalah menetapkan kewajiban kepada pihak pembanding untuk memasukkan suatu memori banding dalam batas waktu yang ditentukan. Jika misalnya setelah lewat jangka waktu selama dua minggu setelah diterimanya permohonan banding, tidak diterima sebuah memori banding, maka pengadilan tinggi harus menyatakan bandingnya tidak dapat diterima, dengan akibat bahwa suatu putusan yang dimintakan banding menjadi tetap, dan dapat dijalankan. Sebagaimana diketahui, dengan perundang-undangan sekarang pemasukan memori banding itu tidak diwajibkan. Lalu halnya dengan memori kasasi, yang merupakan syarat mutlak bagi diterimanya permohonan kasasi oleh Mahkamah agung.
6.      Keadaan tata perundang-undangan yang baik adalah, bahwa tentang kekuasaan mutlak (absolut) dari badan pengadilan diatur dalam suatu Undang-undang tersendiri dan di samping itu ada Undang-Undang Hukum Acara Perdata dan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Soal kekuasaan relatif yaitu pembagian kekuasaan di antara berbagai jenis badan pengadilan yang ada (distribusi kekuasaan), adalah suatu masalah yang harus diatur dalam hukum acara.

Sebagian dari pada gagasan Subekti yang diungkapkan di atas dalam mewujudkan asas peradilan hemat, cepat, sederhana sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Pasal 2 ayat 4 undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuaaan kehakiman (UUPKK: dari UU No. 14 / 1970 berubah ke UU No. 35/ 1999, kemudian berubah ke UU Nomor 4/ 2004, sekarang UU No. 48 Tahun 2009) kini telah banyak terimplementasikan dalam praktik beracara di ruang lingkup bidang hukum acara perdata.
Beberapa aplikasi dari asas tersebut dengan muncul atau lahirnya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang ADR dan Arbitrase. Sengketa yang banyak diselesaikan berdasarkan undang-undang ini sebagai jalur penyelesaian sengketa nonlitigasi sering digunakan untuk kasus sengketa di bidang ekonomi, perusahaan. Secara konkrit mislanya kasus wanprestasi yang terjadi dalam kontrak perusahaan ada kecenderungan diselesaikan dengan jalur nonlitigasi (negosiasi, mediasi, arbitrase, dan konsiliasi) dalam mencegah kasusnya akan  diselesaikan yang begitu lamban dan menelan biaya yang mahal. Apalagi kelebihan dengan menggunakan jalur nonlitigasi dapat menghemat biaya, rahasia sengketa terjamin, cepat, dan secara psikologis tidak ada yang merasa dirugikan karena pada dasarnya menganut prinsip win-win solution.
Bahkan konsep jalur mediasi sudah menjadi kewajiban bagi pengadilan, untuk menawarkan kepada para pihak yang akan berperkara di Pengadilan Negeri. Dalam kasus perdata berdasarkan beberapa surat edaran yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung. Diantaranya SEMA Nomor 1 tahun 2002 pada tanggal 30 januari 2002 yang berjudul Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama menerapkan lembaga Damai (eks Pasal 130 HIR). Kemudian umur sema tersebut hanya satu tahun 9 bulan. Pada tanggal 11 september 2003 MA mengeluarkan Perma Nomor 2 Tahun 2003. Dalam konsideran PERMA tersebut termaktub bahwa  tujuan dihadirkannya PERMA ini adalah untuk mengatasi penumpukan perkara di setiap tingkatan peradilan. Pada huruf a ditegaskan dalam konsiderans tersebut: (a) Perlu diciptkan suatu instrumen yang efektif yang mampu mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di pengadilan, tentunya terutama di bidang kasasi; (b) Menurut PERMA, instrumen yang dianggap efektif adalah sistem mediasi dan (c) caranya dengan jalan pengintegrasian mediasi ke dalam sistem peradilan.
Selain itu, demi menghindari penumpukan perkara di MA, gara-gara kecenderungan penggugat untuk menyelasikan perkara hingga ke upaya terakhir. Dari Pengadilan Negeri, banding Pengadilan Tinggi, kasasi ke Mahkamah Agung. Kemudian masih tersedia upaya hukum peninjauan kembali, terhadap putusan MA, hingga upaya perlawan terhadap pelaksanaan putusan melalui verzet, derdenverzet yang dapat memperpanjang sebuah kasus. Hingga  tidak jelas kapan pelaksanaan putusannya.
 Pada tanggal 22 oktober tahun 1992 MA juga telah mengeluarkan SEMA Nomor 6 Tahun 1992 menggariskan bahwa semua pemeriksaan perkara perdata mewajibkan kepada semua tingkat peradilan  wajib diselesaikan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan. Masa penghitungan enam bulan dari perkara yang ditangani di Pengadilan Negeri yaitu dimulai hitungan dari pada saat sidang pertama. Sedangkan pada Pengadilan Tinggi dimulai pada saat perkara yang dibanding tersebut diberi Nomor registrasi oleh Pengadilan Tinggi.
Namun dibalik itu semua, SEMA ini masih belum berjalan efektif, dari berbagai faktor-faktor yang menyebabkan sehingga peradilan di tingkat pertama maupun di tingkat banding tetap berjalan lamban. Beberapa fakta yang ditemukan oleh penulis selama melakukan penelitian di pengadilan selain karena faktor hakim yang kadang menunda sidang, mengikuti kegiatan lain, frekuensi perkara yang dipegang oleh hakim dalam jumlah yang banyak, tidak hanya kasus perdata tetapi juga kasus-kasus pidana menyita waktu sang hakim dalam banyak perkara. Selain itu juga disebabkan oleh para pihak yang berperkara, kadang tidak hadir pada saat sidang, sehingga hakim mengambil inisiatif untuk melakukan penundaan sidang, belum lagi pemeriksaan saksi-saksi yang kadang juga membutuhkan waktu hingga dua sampai empat kali sidang agar semua saksi hadir dipersidangan dalam pembuktian. Untuk di tingkat banding juga menjadi masalah dari SEMA tersebut sehingga perkara tidak bisa selesai dalam waktu yang cepat,
Masalahnya anatara lain, salinan putusan yang ada di Pengadilan Negeri belum selesai ditulis oleh Panitera, karena Hakim yang tidak membuat secara jelas segala pertimbangan hukum, diktum, hingga amar putusannya, masih dalam coretan kotor yang harus ditata ulang oleh panitera pengadilan. Padahal Pengadilan Tinggi yang akan memeriksa dalam tingkat banding sebagai pengadilan judex fact di tingkat terakhir sudah ingin memulai memeriksa perkara tersebut. Selain putusan yang ditunggu dari PN, juga kadang dibutuhkan berkas dari pihak pembanding maupun terbanding untuk dimulainya diperiksa perkara tersebut.
Dari segi regulasi SEMA yang memang sedari awal hanya bersifat sebagai peraturan internal, berisi himbauan aturan tersebut dalam  parktik tidak memiliki kekuatan mengikat yang kuat. Bahkan dalam SEMA Nomor 6 tahun 1992 hanya mewajibkan hakim yang menangani perkara lewat dari enam bulan agar melapor ke ketua pengadilan. Demikian pula Ketua Pengadilan Negeri diwajibkan melapor ke pengadilan yang lebih tinggi.
Jika asas peradilan cepat ingin ditegakkan mestinya SEMA tersebut memiliki sanski administratif, bukan hanya teguran tetapi juga dapat berupa penundaan kenaikan pangkat bagi hakim yang terbukti menangani perkara dalam waktu yang melebihi batas yang ditentukan. Faktor lain sehingga perkara juga lambat di tingkat pengadilan baik di PN maupun di PT, adanya mutasi yang sering dilakukan oleh MA terhadap hakim-hakim yang masih sedang menangani kasus di lembaga tempatnya bekerja, kemudian karena mutasi tempat kerja di Kabupaten lain, banyak tunggakan perkaranya yang ditinggalkan.
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 juga menjadi awal  bagi pengadilan menghindari penumpukan perkara. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 20 tahun 1947, permohonan banding hanya dapat diajukan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan dijatuhkan, atau jika  yang mengajukan banding tidak hadir pada waktu putusan dijatuhkan, di dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari  setelah putusan itu diberitahukan kepadanya.
Sebenarnya  di dalam Undang-undang tersebut di atas, masih ada ketentuan yang sekiranya dapat menjadi perwujudan peradilan yang sederhana tanpa lagi ada penumpukan perkara ditingkat selanjutnya. Yaitu dalam Pasal  6, bahwa putusan Pengadilan Negeri yang dapat dimintakan pemeriksaan banding hanyalah mengenai perkara yang nilai gugatannya lebih dari RP. 100, 00 (seratus rupiah). Sekarang pembatasan tersebut sudah tidak ada lagi artinya, karena nilai mata uang terus mengalami kenaikan, sehingga dapat dikatakan semua perkara perdata yang telah diputuskan pengadilan negeri dapat dibanding. Oleh karenanya pembatasan nilai perkara yang dapat dimintakan banding tersebut perlu ditinjau kembali dan disesuaikan dengan nilai gugatan sekarang. Sebagimana Soedikno Mertokusumo (Varia Peradilan Tahun II No. 24: halaman 90) mengemukakan  agar dalam hukum acara nasional nanti dimuat suatu ketentuan tentang pembatasan nilai perkara yang dapat dimintakan banding ini, untuk mempercepat tercapainya putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Gagasan pembatasan perkara berdasarkan nilainya ini berdasarkan wawancara yang telah dilakukan oleh penulis terhadap DR Zainuddin, SH, M. Hum (wawancara, 23 Desember 2012)  sebagai hakim pengadilan Tingi Makassar mengemukakan:
 “Bahwa ide yang kemudian akan dituangkan dalam bentuk SEMA perihal pembatasn perkara tersebut  yang mana dapat diajukan ke pengadilan tingkat banding adalah perkara yang nilai objek perkaranya diatas RP 500. 000.000 (lima ratus juta rupiah), namun ternyata niat baik tersebut kandas di tengah jalan karena banyak ditentang oleh para Advokat yang bersatu dalam asosiasi mereka.”

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Subekti sebagaimana telah dikemukan di awal pembahasan ini. Diantara semua ide  yang sering menjadi bahan kajian sebagai langkah menguatkan peradilan sebagai lemabaga penyelesaian sengketa diantara para pihak. Hanyalah konsep prorogasi jarang dimunculkan sebagai salah satu langkah yang dapat digunakan dalam perkembangan hukum acara ke depannya agar peradilan itu dapat berjalan secara hemat, cepat, sederhana dan berbiaya ringan.
Meskipun konsep prorogasi adalah mekanisme beracara yang hanya berlaku sejak dulu untuk golongan Eropah sebagaimana diatur dalam ketentuan BRV. Kendatipun sering dikatakan oleh beberapa penulis di lapangan hukum acara perdata bahwa  Reglement of de burgelijke rechtsvordering (BRV) sekarang tidak berlaku lagi, tapi sebagian penulis seperti Nur Rasaid (1996: 7)  dan Subekti (1987) mengemukakan bahwa “dapat digunakannya RV sebagai sumber hukum acara perdata sepanjang hal tersebut benar-benar di rasa perlu dalam praktik peradilan.
Oleh karena itu berdasarkan hemat penulispun sepakat dengan konsep yang dikemukakan oleh Soedikno Mertokusumo terkait penggunaan mekanisme prorogasi sebagai pengadilan lompatan yang mana perkara tidak perlu lagi melalui Pengadilan Negeri, dengan memberikan kewenangan kepada Pengadilan tinggi. Sekiranya ke depan baik dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara mengintegrasikan  prorogasi sebagai salah satu mekanisme yang dapat digunakan bagi pencari keadilan. Disamping itu dengan  adanya meknisme prorogasi ini yang diberikan kepada Pengadilan Tinggi (PT) supaya memiliki legalitas (kewenangan) tersendiri. Undang-undang PT mestinya hadir secara tersendiri agar PT dapat menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip hukum acara yang berlaku (doelmatigheid).
Konsep prorogasi sebagai perwujudan  agar pengadilan benar-benar dapat mewujudkan asas peradilan yang hemat, cepat, sederhana dan biaya ringan, juga beralasan karena ditunjang dengan karir hakim di Pengdilan Tinggi yang dulunya telah mahir dalam beracara. Hakim di PT merupakan hakim yang disaring dari Pengadilan Negerii telah lama menangani  juga kasus-kasus atau perkara melalui tahapan penentuan hingga pembuatan putusan pada pengadilan tingkat pertama (PN). Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Zainuddin Ali, SH. M.Hum (Hakim Pengadilan Tinggi: wawancara 19 Januari 2013) yang mengemukakan:
“Bahwa ke depannya memang kita harus mengefektifkan fungsi prorogasi, dan hal itu tepat jika diberikan kepada PT, oleh karena PT selama ini terkesan sebagai pipa penyambung saja dalam menangani perkara untuk selanjutnya diadili dan dinilai oleh MA. Karena itu jika PT dijadikan sebagai lembaga yang diberi tugas secara mutlak menyelesaikan prorogasi PT bukan lagi sebagai pengadilan yang  mengadili perkara  numpang lewat saja.”

Dalam rangka menguraikan secara sistematis agar konsep prorogasi ke depannya dalam peraturan perundang-undang dapat diintegrasikan menurut hemat penulis perlu beberapa pengaturan secara jelas, sistematis terhadap  syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam menerapkan konsep prorogasi sebagai rangkaian untuk mewujudkan peradilan yang hemat, cepat, sederhana dan biaya ringan. Berikut ini akan ditelaah secara analitis syarat-syarat tersebut untuk mengefektifkan konsep prorogasi dapat diterapkan di Pengadilan Tinggi (PT):

Sengketa Hak/ Gugatan Contentiosa sebagai Jenis Gugatan dengan cara Prorogasi
Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 kemudian diubah menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Sekarang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Tugas dan kewenangan badan peradilan dibidang perdata adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan sengketa diantara para pihak yang berperkara.
Wewenang mengadili suatu perkara disebut sebagai yurisdiksi atau sering juga disebut dalam praktik adalah kompetensi peradilan. Sedangkan gugatannya berbentuk gugatan contetiosa atau disebut juga contentious.
Dalam menangani perkara sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang tersebut (UUPKK) pada dasaranya perkara yang ditangani dibagi dua. Pengadilan menangani gugatan contentiosa dan gugatan volunteir. Gugatan contentiosa adalah gugatan yang mengandung sengketa antara dua pihak atau lebih. Proses penyelesaian sengketa dalam gugatan contentiosa terjadi dengan proses saling menyangga dalam bentuk gugatan, jawaban, replik, duplik. Sehingga gugatan jenis ini disebut juga op tegenspraak yaitu proses peradilan saling sanggah menyangga.
Berbeda halnya dnegan gugatan volunteir adalah permasalahan yang diajukan oleh pihak tersebut tidak mengandung suatu sengketa, namun hanya permintaan untuk penetapan hak oleh hakim di pengadilan, dan tidak ada pihak tergugat atau lawan yang berperan untuk menyangga gugatan yang diajukan.
Dalam hemat penulis, terlepas dari pendapat para pakar yang mengemukakan, bahwa gugatan contentiosa ada yang menyebutnya sebagai ggugatan perdata, dan ada yang menyebutnya sebagai gugatan saja. Lebih praktis untuk mengatakan bahwa istilah gugatan contentiosa (mengandung sengket hak) disebut sebagai gugatan saja. Bukankah dalam kebiasaaan pembuatan surat gugatan lebih sering juga digunakan kata “gugatan” pada kepala surat gugatan itu. Apalagi gugatan yang dinyatakan sebagai gugatan volunteir dalam kebiasaan praktik disebut sebagai permohonan saja. Jadi tidak ada alasan yang jelas dan pasti kalau istilah gugatan perdata yang mau digunakan, karena istilah volunteir sudah direduksi dengan istilah permohonan.
Terkait dengan masalah prorogasi sebagai pengadilan yang melompat langsung ke PT, tanpa mengikuti proses hukum acara yang lazim, yang berawal di Pengadilan Negeri terlebih dahulu. Dalam rangka mengefesienkan perkara, prorogasi sebagai bahagian perwujudan asas peradilan yang hemat cepat sederhana dan biaya ringan lebih pantas untuk memilih hanya perkara gugatan contentiosa. Sebagai perakara yang dapat langsung diajukan ke PT melalui mekanisme prorogasi.
Sementara untuk jenis perkara gugatan volunteir atau permohonan  seperti penetapan hak mewaris, perubahan nama, penepatan perwalian, tetap diberikan kewenangan itu ke Pengadilan Negeri. Hal itu didasarkan bahwa perkara permohonan tidak mungkin akan menyita banyak waktu dalam proses penyelesaiannya oleh Hakim. Karena tidak ada proses sanggah menyangga sebagaimanan yang terjadi dalam gugatan contentiosa.  Gugatan volunteir mustahil melewati masa pengajuan yang pnajang dalam penyelesaiannya perkaranya oleh hakim di pengadilan.
Dalam fenomena/ praktik beracara  lingkup peradilan kasus perdata. Perkara yang digugat di Pengadilan Negeri biasanya akan menghabiskan waktu 60 hari terhitung mulai dari pengajuan perkara hingga penentuan putusan. Kalau diajukan lagi melalui  upaya hukum banding jelas hal ini akan memperpanjang waktu dari salah satu pihak untuk mendapatkan kepastian hukum. Ditambah dengan masalah kepribadian salah satu pihak misalnya yang tetap mempertahankan gugatan dan rasa “hak milik” terhadap objek perkara, sering berjuang habis-habisan, untuk menempu semua upaya hukum sampai pada upaya peninjauan kembali. Meskipun sudah sadar diri bahwa  segala alat bukti yang dimiliki pada dasarnya lemah.
Oleh karena itu, perkara yang mengandung sengketa yang disebut sebagai gugatan perdata. Mestinya sudah dijadikan sebagai perkara yang mutlak untuk langsung diajukan di Pengadilan Tinggi.
Namun, kiranya gugatan itu dibatasi masih untuk perkara perdata biasa atau perkara sederhana saja. Yang belum memiliki pengaturan tersendiri atau kompleks regulasinya dalam kententuan undang-undang khusus dibandingkan dengan kasus-kasus atau perkara yang lahir dari ketentuan BW. Misalnya sengketa hak milik (tanah), gugatan ganti rugi, perbuatan melawan hukum, sengketa yang muncul dari jenis perikatan (jual beli, sewa-menyewa, utang piutang,  tukar menukar dan lain-lain), wanprestasi dan lain-lain. Mestinya diselesaikan melalui Pengadilan Tinggi saja secara langsung dengan mekanisme prorogasi.
Terkait dengan itu, hukum acara yang berlaku dalam pengadilan Tinggi terhadap gugatan perdata yang akan ditanganinya. Mengikuti juga hukum acara sebagaimana yang berlaku di dalam hukum acara Pengadilan Negeri. Yakni yang dimulai dari gugatan, jawab-menjawab, pembuktian hingga lahir putusan. Hal seperti ini memang juga yang sudah lama dianut dalam  pengaturan Pasal 326 BRV yang menegaskan “bagi Rad Van Justitie dan HGH dalam proses perkara-perkara ini berlaku aturan-aturan tentang pemeriksaan dalam tingkat pertama.” Jadi hanya terjadi lompatan perkara. Langsung di Pengadilan Tinggi namun proses persidangannya juga tetap mengikuti sebagaimana ketentuan hukum acar biasa.
sumber gambar: flaggedrevs.labs.wikimedia.org

Bagaimana dengan surat gugatan yang berlaku dalam RV dan RBg yang masih membolehkan adanya pengajuan gugatan secara lisan ? apakah mesti harus tertulis ketika hal itu ingin diajukan langsung melalui PT dengan konsep prorogasi ini ? jelas tetap masih berlaku karena ketentuan BRV yang mengendaki tertulis pengajuan surat gugatan. Kemudian dalam HIR tetap mengakui masih bisa lisan. Pengaturan yang demikian layak dipertahankan, oleh karena penerapan asas dari pada pengadilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Terutama dalam asas berperkara mestinya berbiaya ringan. Maka ruang yang dibuka oleh hukum, supaya ada perlakuan yang sama. Ketentuan tersebut tetap layak  dipertahankan hingga kini. Termasuk  pengajuan gugatan secara insidentil, tanpa kuasa hukum tidak dapat dihapus begitu saja, oleh karena  masih bannyak juga pihak yang berperkara tidak mampu membayar jasa seorang pengacara.
Tentunya juga bagi yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara. Karena PT menjalankan tugasnya, selayaknya Pengadilan Negeri. Bagi pihak yang mengajukan gugatan dapat mengajukan gugatan dengan Cuma-Cuma. Keberadan prorogasi tidak dapat meniadakan, pihak yang tidak mampu membayar biaya perkara di pengadilan karena lahirnya konsep prorogasi tersebut tidak lain untuk menyederhanakan perkara. Agar pengadilan setidaknya dapat mengurangi banjirnya perkara hingga menumpuk di MA.
Di samping lebih mengefektifkan kerja dari pada Pengadilan Tinggi selama ini, yang hanya berfungsi sebagai pengadilan yang mengadili perkara numpang lewat saja. Dengan memberi kewenangan untuk mengadili gugatan yang mengandung sengketa hak sebagaimana layaknya dengan penyelesaian perkara di Pengadilan negeri. Fungsi Pengadilan Tinggi demikian lebih nampak, sebagai lembaga justitia yang dapat mempercepat penyelesaian setiap perkara.
Sebagai langkah awal, Penulis berpendapat bahwa konsep prorogasi diterapkan untuk perkara perdata biasa saja dulu. Tetapi untuk perkara dibidang HAKI,  Niaga,  Konsumen, tetap diberikan kewenangan tersebut ke Pengadilan Negeri. Oleh karena hampir semua pengadilan khusus yang dibentuk dari perkara tersebut, pengadilan khususnya dibawah nauangan Pengadilan Negeri. Kecuali hal itu ke depan dirasakan PT sudah mampu menyesuaikan diri sebagai peradilan yang menerapkan konsep prorogasi, maka dapat dipikirkan ulang juga untuk perkara di bidang ekonomipun. Sudah dapat langsung melompat penanganannya ke PT.
Gugatan dengan Cara Prorogasi Bersifat Imperatif bagi Tergugat
Makna imperatif yang dimaksud  di sini adalah bagaimana ketentuan prorogasi itu kemudian dapat bersifat mutlak, mengandung perintah yang wajib diikuti oleh para pihak yang akan menggunakan peradilan sebagai lembaga mencari keadilan. Doktrin atau istilah dari makna imperatif dapat diidentifikasi melalui pendapat Hans Kelsen (2009: 11) yang mengemukakan bahwa “makna imperatif kategoris yaitu sebuah doktrin dimana tindakan seseorang harus ditentukan oleh hanya prinsip bahwa  kehendak seseorang mengikat pada segenap orang.”
Pendapat yang dikemukakan oleh Kelsen masih pengejawantahan hakiki dari kekuatan moral yang ingin dikuatkan dalam bentuk aturan yang positif. Sehingga jika diterapkan dalam lapangan hukum, hukum yang tampil dengan kekuatannya yang memaksa secara teoritik. Hanya berlaku untuk wilyahnya hukum publik. Dimana negara memiliki instrumen untuk melakukan pemaksaan terhadap subjek hukum yang melanggar ketentuan hukum pidana.
Namun dalam hukum perdata, yang selalu membedakan dengan hukum publik, hukum perdata hanya urusan individu perindividu. Negara tidak terlalu dituntut untuk campur tangan dalam kepentingan individu. Tetapi pertanyaannya, bagaimana mungkin melepaskan  kepentingan negara di ranah hukum perdata ketika hukum materil tersebut ingin ditegakkan melalui pengadilan ? Dalam konteks ini rupanya ketika individu sudah menyentuh pada perebutan kepentingan dalam rangka masih ingin mempertahankan haknya. Forum yang digunakan adalah forum lembaga negara melalui lembaga judicial. Sehingga mau tidak mau para pihak harus tunduk pada prosedur ketentuan hukum acara yang berlaku dalam hukum perdata.
Pendapat lain yang mengemukan hukum bersifat imperatif, juga dikemukakan oleh Kansil yang melakukan pembagian  hukum menurut sifatnya terbagi atas dua meliputi: (a) hukum imperatif dan (b) hukum fakultatif (wwwnegarahukum.com).
Dikatakan hukum impertif adalah karena  memaksa yang dapat juga diartikan  hukum yang dalam keadaan konkret yang harus dipatuhi atau hukum yang tidak boleh ditinggalkan dan harus diikuti. Ketentuan yang memakksa tersebut berlaku bagi para pihak yang bersangkutan maupun hakim sehingga hukum itu sendiri harus diterapkan meskipun para pihak mengatur sendiri hubungan mereka. Sebagi contoh Pasal 913  BW yang menegaskan “legitiem portie adalah  bagian warisan menurut undang-undanglah suatu bagian dari harta benda yang harus diberikan kepada ahli waris  dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu  baik sebagi hibah antara orang yang masih hidup maupun  sebagai wasiat.”
Kelihatan memang dalam hukum perdata adalah masalah perorangan, tetapi tidak berarti tidak memilki  kekuatan hukum yang dapat memeksa kepada para pihak agar mengikuti ketentuan hukum yang telah diintegrasikan ke dalam Undang-undang.
Oleh sebab itu dalam rangka penerapan konsep prorogasi, lembaga PT yang akan menangani perkara tersebut  ketika penggugat sudah memasukan atau mendaftar perkara di PT, maka bagi tergugat yang sudah mengetahui keberadaan dirinya menjadi tergugat dalam sebuah objek perkara mutlak. Atau dengan kata lain ia wajib untuk mengajukan jawaban, pembuktian di depan persidangan setelah mengetahu tentang dirinya telah digugat oleh seseorang, tentunya pemeberitahuan ini disampaikan oleh pegawai pengadilan, melalui Juru Sita atau panitera Pengadilan Tinggi.
Tentunya di sini muncul pertanyaan, kenapa sebelum mengajukan gugatan ke PT tidak mesti meminta persetujuan terlebih dahulu dari pihak yang hendak ingin digugat ? Apakah ini tidak bertentangan dengan hak-hak si tergugat ? Bukankah dalam pengaturan BRV hanya dapat diajukan prorogasi ke PT kalau para pihak itu sepakat untuk langsung berperkara di Pengadilan Tinggi. Alasanya, jelas karena penerapan konsep hukum acara yang hendak dipercepat. Tidak akan terpenuhi bagi para pihak kalau tetap berpedoman pada ketentuan RV. Dan secara psikologi pasti lebih disenangi oleh si tergugat untuk mengajukan saja di Pengadilan Negeri dahulu  Pihak yang tergugat pasti merasa untung jika perkara ketika masih menguasai objek perkara. Dapat leluasa memperoleh keuntungan dari perkara yang akan melalui tiga tingkatan.
Maka dari itu dengan memberikan sarana kekuatan hukum yang bersifat imperatif bagi pihak yang tergugat tidak akan mungkin mengambil  keuntungan dari sikapnya yang senang perkaranya dibuat berlama-lama dalam prosese peradilan.
Secara otomatis waktu, fase dan  biaya untuk bersidang ketika si tergugat sudah merasa wajib untuk  memberi jawaban atas perkaranya yang digugat di PT. Konsep prorogasi dapat tercapai. Tanpa lagi ada keinginan sengaja memperlambat perkara. Jikalaupun dalam pemeriksaan di PT terhadap salah satu pihak itu tidak hadir maka yang berlaku adalah sama dengan ketentuan hukum acara biasa, bisa terjadi putusan jatuh, tanpa kehadiran tergugat (verstek), bisa terjadi upaya perlawanan (voeging, vrijswaring, tusenkomst), demikian halnya juga dapat diajukan sita conservatoir beslaag.




Kompetensi Pengadilan Tinggi untuk Memeriksa Perkara dengan Mekanisme Prorogasi
sebelum lahirnya Undang-Undang Peradilan Umum, masalah pengajuan banding ke pangdilan Tinggi diatur melalui Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Menurut undang-undang tersebut peraturan hukum acara untuk pemeriksaan ulang atau banding pada Pengadilan Tinggi adalah Peraturan-Peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku bagi Pengadilan Tinggi dalam daerah Republik Indonesia dahulu itu. Peraturan-perturan yang digunakan dalam daerah Republik Indonesia dahulu meliputi:
1.      Untuk pemeriksaan ulang atau banding perkara perdata buat Pengadilan Tinggi di Jawa dan Madura adalah Undang-undang Nomor 20 Tahun 1974.
2.      Untuk pemeriksaan ulang atau banding perkara perdata buat Pengadilan Tinggi di luar Jawa dan Madura adalah RBg.
Dari ketentuan tersebut pada dasarnya Pengadilan Tinggi diberikan fungsi untuk mengadili perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri, dengan memeriksa fakta-fakta yang telah diungkap oleh hakim di PN. Oleh karena itu sering disebut PT sebagai peradilan ulangan. Yang mana putusannya dari Pengadilan Tinggi dapat menguatkan putusan PN, memperbaiki putusan PN dan membatalkan  putusan PN.
Selain itu tugas dan kewenangan Pengadilan tinggi dapat ditemukan dalam kententuan UU No.2 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004 dan terjadi lagi perubahan kedua yaitu UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.
Kekuasaan PT secara umum diatur dalam BAB III UU No. 2 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 49 Tahun 2009 yang mana sebelumnya terjadi perubahan UU No. 8 Tahun 2004. PT sebagai Peradilan Tingkat Banding dilimpahi beberapa kekuasaan, yaitu:
1.      Berwenang mengadili perkara di tingkat banding.
2.      Bertugas dan berwenang memutus sengketa kewenangan mengadili.
3.      Dapat memberi keterangan, pertimbangan dan nasihat hukum.
4.      Melakukan pengawasan atas pelaksaan tugas dan tingkah laku hakim, panitera, sekretaris, dan juru sita.
Pengadilan Tinggi yang berkedudukan di ibukota Provinsi tersebut sebagaimana ditegaskan dalam Pasal  4 Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009. Oleh kemudian penulis menambahkan satu tugas dan kewenangan baru. Sebagai lembaga yang harus mengadili perkara perdata melalui mekanisme prorogasi. Perkara yang dapat ditangani adalah perkara yang dapat ditaksir objek perkaranya senilai Rp. 100 milyar ke bawah.
Dengan memberi salah satu tugas dan kewenngan baru ke PT ini. Berarti PT lagi-lagi tidak hanya menjadi sebagai Pengadilan yang berfungsi sebagai penyambung pipa saja, kemudian perkara perdata selanjutnya dikasasi  lagi ke MA.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa dengan adanya pihak yang mengajukan gugatan langsung ke PT melalui mekanisme prorogasi. Bersifat mutlak bagi tergugat agar langsung dapat dipanggil oleh pengadilan menyikapi gugatan atas dirinya di PT. Oleh sebab itu tugas dan kewenangan PT yang ditegaskan dalam undang-undang peradilan umum, mestinya ditambah lagi salah satu kewenangan yang baru. Dengan dalih peradilan akan menjadi cepat, sederhana dan berbiaya ringan jika PT berperan  sebagai peradilan prorogasi. Dengan ketentuan hanya dapat menangani objek perkara yang pembatasan perkaranya maksimal 100 milyar ke bawah.
Masalah pembatasan perkara, sebenarnya sudah pernah dibahas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun  1974 tentang Pengadilan Banding. Tetapi dalam pengaturan di Undang-undang ini, bukan kaitannya dengan perkara yang langsung dapat ditangani oleh PT. Melainkan dalam kaitannya PT sebagai peradilan banding, yang telah diproses oleh pengadilan negeri. Dalam Pasal  6 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 ditegaskan bahwa “syarat untuk dapat dimintakan banding  bagi perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri adalah  apabila nilai gugatan yang perkara yang telah diputus itu lebih dari Rp. 100 (seratus rupiah).”
Maksud dari pembatasan terhadap perkara yang dapat dibanding ke PT tersebut. Sebagaimana Subekti (1987) memberi ulasan bahwa untuk membatasi membanjirnya masuk perkara di PT maka pembatasan perkara yang dapat masuk Ke PT hanya terhadap perkara yang nilai objeknya senilai Rp. 100 (seratus rupiah)
Dengan memberikan fungsi pada Pengadilan Tinggi sebagai peradilan prorogasi. Tanpa lagi diadili oleh Pengadilan Negeri, langsung melompat di PT. Selain asas peradilan cepat dapat dilaksanakan, juga dengan maksud membatasi perkara yang dapat langsung diajukan dalam bentuk prorogasi.
Sama halnya dengan tujuan pembatasan perkara yang dapat diajukan banding. Maka dalam pengajuan perkara prorogasipun dibatasi sampai nilai objek perkaranya senilai Rp. 100 milyar. Sengaja penulis memberi batasan dalam jumlah Rp. 100 Milyar karena berpedoman pada dasar filsufis, jangan sampai perkara yang nilainya dalam taksiran tersebut kalau harus menempuh peradilan dalam tiga tingkatan, nilai objek gugatan sudah habis semua untuk digunakan dalam membayar jasa pengacara saja dalam beracara di pengadilan.
Lebih dari itu, Pengadilan Tinggi yang sudah diberikan kewenangan untuk berfungsi sebagai peradilan prorogasi. PT dalam menjalankan fungsinya supaya peradilannya lebih cepat, sederhana dan berbiaya ringan. PT mengadili perkara Prorogasi, PT berfungsi sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir, yang tetap memberi hak kepada pihak yang kalah untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
Dari hasil wawancara yang pernah dilakukan di Pengadilan Tinggi, rata-rata hakim pada umumnya sepakat, ketika PT diberikan kewenangan untuk mengadili perkara prorogasi. Dengan alasan bahwa rata-rata hakim yang bekerja di PT adalah hakim yang lebih berpengalaman, tak kalah hebatnya dengan hakim PN, jam terbangnya dalam melahirkan keputusan sejak masih menjabat sebagai hakim PN. Dapat menjadi bekal untuk menangani perkara prorogasi. Dapat memutuskan setiap perkara yang tidak jauh berbeda dengan apa yang kiranya juga  sama dengan kalau perkara itu diputuskan oleh Pengadilan Negeri.
Tentu dalam konteks ini, ada pertanyaan, kenapa dalam putusan yang dilahirkan dari PT tersebut, tidak dapat lagi dikasasi. Bagaimana jika misalnya hakim telah keliru dalam membuat putusan untuk pihak pencari keadilan ? Alasan yang seperti inilah memang dari dahulu sehingga tetap dipertahankan peradilan dalam tiga tingkat. Maka untuk tetap menghindari kekeliruan tersebut, penulis memberi solusi. Memang tidak bisa dikasasi lagi  perkara tersebut setelah jatuh purusan oleh PT dalam hal menangani perkara prorogasi.  Namun tetap terbuka bagi para pihak. Dengan memberi waktu sebagaimana biasanya waktu untuk mengajukan upaya hukum adalah terhitung empat belas hari setelah putusan  tersebut dibacakan oleh hakim di pengadilan. Atau dihitung setelah putusan tersebut sampai ditangan para pihak.
Masalah lain pasti akan menjadi kendala untuk menerapkan konsep prorogasi ini, oleh keran PT yang diberi kewenangan berada di Ibukota provinsi. Bagaimana kalau sekiranya pihak yang mengajukan gugatan berkediaman di Kabupaten ? haruskah para pihak ini datang ke Ibukota provinsi ketika ingin memasukan gugatannya, pada saat tahap-tahap pembuktian hingga pembacaan putusan oleh pengadilan ?
Kalau hal ini terjadi, sengaja dimunculkan konsep prorogasi ternyata malah kemudian merepotkan bagi para pihak dan menelan biaya lagi, karena harus berkunjung ke Ibukota Provinsi.
Dari sinilah kiranya dengan memberikan fungsi terbaru pada Pengadilan Tinggi. Perlu ada undang-undang tersendiri untuk Pengadilan Tinggi ke depannya. Dengan tetap mengakomodasi pemberian fungsi peradilan prorogasi kepada PT. Tanpa pebentukan lagi lembaga PT di setiap kabupaten. Efektifnya persidangan dapat dilaksanakan di Pengadilan Negeri. Tetapi registrasi perkaranya tetap atas nama PT. Pengadilan Negeri dalam posisi ini diberikan tugas menerima perkara kemudian diteruskan langsung ke PT. Nanti kemudian pemeriksaan perkaranya tetap melibatkan hakim-hakim yang berasal dari PT. Agar hakim-hakim  yang ada di Pengadilan Tinggi tidak kekuarangan job, yang kadang hanya menilai putusan yang pernah di putus di Pengadilan Negeri.
Memberikan pekerjaan baru bagi  hakim Pengadilan Tinggi di sini. Bukanlah masalah baru, tetapi koordnisilah yang paling penting antara setiap tingkatan pengadilan. Selain hakim PT yang bekerja langsung menangani perkara perdata biasa dalam mengefektifkan waktu berperkara di pengadilan. Keuntungan lainya dengan difungsikannya hakim Pengadilan Tinggi. Juga dapat mengurangi beban kerja bagi hakim PN harus menyidangkan banyak perkara perdata khusus dan perkara pidana lainnya. Sembari menunggu ide teraplikasikannya kelak kamar-kamar peradilan dalam Peradilan Negeri, bagi hakim yang benar-benar profesional satu kasus saja. Dapat menangani satu model perkara di pengadilan ke depannya.
Minimal dengan difungsikannya hakim Pengadilan Tinggi melalui konsep prorogasi. Setidaknya saat ini juga dapat mengurangi kelebihan kasus yang banyak ditangani oleh Hakim PN.
Peninjauan Kembali  sebagai Upaya Hukum bagi Pihak Yang Kalah Dalam Peradilan Prorogasi
Di atas telah disinggung sebelumnya bahwa peradilan prorogasi yang dijalankan oleh PT dalam menjatuhkan putusan. Dalam hal ini sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir, tidak mengenal lagi kasasi sebagaimana yang diatur dalam ketentuan RV sebelumnya. PT adalah pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memutuskan perkara yang mengikuti mekanisme prorogasi.
Tidak diberikannya juga kewenangan ke pada Pengadilan Negeri untuk menangani  kasus perdata biasa. Setelah konsep prorogasi diwujudkan melalui fungsi PT. Juga didasarkan, pada fungsi dari dua pengadilan ini yaitu baik pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi masih sama-sama berfungsi sebagai pengadilan yang mengadili fakta-fakta. Bahkan dalam hal tertentu juga hakim Pengadilan Tinggi dapat menghadirkan para pihak untuk menggelar sidang jika diperlukan.
Oleh sebab itu dari pada fungsinya yang masih menilai fakta-fakta yang kuat dari para pihak yang mengajukan perkara tersebut. Ada baiknya jika kewenangan untuk mengadili  perkara perdata yang hanya termasuk dalam sengketa hak/ gugatan perdata biasa. Diserahkan sepenuhnya kepada Pengadilan Tinggi melalui mekanisme peradilan prorogasi. Dengan maksud mengefektifkan peradilan, tanpa mengbiskan waktu yang lebih banyak.
Maka dari itu  sengaja penulis memberi tawaran agara PT yang menangani perkara yang sudah memenuhi syarat perkara prorogasi. Putusannya berakhir pada Pengadilan Tinggi, sebagai pengadilan pertama sekaligus sebgai pengadilan tingkat terakhir.
Nanti kemudian kalau saat salah satu pihak ada pengajuan peninjauan kembali. Baru  pengajuan PK tersebut diperiksa oleh Hakim Agung. Terkait dengan itu syarat-syarat untuk diajukan PK jika putusan pengadilan tinggi ingin diajukan PK, juga tetap dapat mengacu pada ketentuan Pasal 67 UU No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
1.      Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
2.      Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
3.      Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
4.      Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
5.      Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
6.      Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.”

Penulis memberi solusi kepada MA sebagai lembaga yang akan menyelesaikan perakara tersebut jika terjadi upaya hukum peninjauan kembali. Dengan alasan bahwa tidak mungkin kiranya lagi terdapat kenetralan, bagi hakim di PT. Jika di dalam lembaga terebut yang akan mengubah lagi putusannya.  Jika diketemukan kesalahan hakim. Misalnya hakim dianggap khilaf atau keliru terhadap pembuktian perkara.
Hal ini juga sejalan dengan kewenangan yang diberikan oleh MA sebagai satu-satunya lembaga yang memeriksa upaya PK. Yaitu MA memeriksa permohonan peninjauan kembali dalam hal putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. Undang-undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan ketiga Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung), berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam Bab IV Bagian Keempat Pasal 67 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. Undang-undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Selain itu PK hanya dapat ditangani oleh Ma. Yakni demi menghindari terjadinya sikap melindungi para rekan kerja dalam satu lembaga Pengadilan Tinggi. Oleh karena sangat janggal rasanya jika seorang hakim kemudian dalam satu tempat/ lembaga kemudian dinilai putusannya oleh satu rekan kerjanya.
Sudah benar jika upaya hukum terhadap putusan yang diperiksa secara prorogasi. PK nya diperiksa oleh MA. Apalagi biasanya suasana yang muncul dalam satu lembaga adalah ada kehendak ingin melindungi masing-masing kesalahan rekan kerja. Maka layak jika upaya peninjauan kembali tersebut diperiksa oleh Hakim yang bekerja di Mahkamah Agung.

*Hasil Penelitian Ini adalah Kerja sama antara peneliti Inti A.N Ahmad Tawakkal Paturusi bersama dengan asisten peneliti Inti A.N. Damang, S.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar