Kamis, 07 Maret 2013

Perang Bintang 2014 Burhanuddin Muhtadi

Membuka halaman perhalaman buku Burhanuddin Muhtadi yang berjudul “Perang Bintang 2014” seolah kita dihipnotis dengan gaya bahasa Burahnuddin yang sangat lugas diksi dan beberapa pilihan tema disetiap bab tulisannya.

Selain buku Perang Bintang 2014, juga sudah beredar lebih awal buku beliau, yang saat ini dapat ditemui dibeberapa toko buku yang berjudul ‘Dilema PKS Suara dan syariah”. Buku tersebut merupakan tesis Burhanuddin  Muhtadi di ANU, yang menyoroti PKS sebagai Partai dalam dua jerat kepentingan, mempertahankan sisi “religiusnya’ ataukah terbuka menjadi partai nasionalis, dengan tujuan PKS dapat mendulang suara bukan hanya dari kader yang selama ini dibina dalam metode tarbiyah. Namun juga meraih simpati pemilih dari luar binaan kader.

Hal yang paling istimewa dari buku perang bintang 2014, meskipun buku tersebut bagi pembaca rutin harian koran. Tidak menutup kemungkinan karya Burhanuddin Muhtadi tersebut sudah dibaca dari berbagai tulisannya dibeberapa harian.

Namun buku tersebut menyisahkan kesan “karut marut” instabilitas politik yang melanda bangsa ini dari tahun 2009, pasca terpilihnya SBY Boediono. Ada sekelumit potret jejaring kuasa yang mengintervensi partai politik sehingga mau tak mau hampir semua pengamat politik mensinyalir kalau partai politik saat ini adalah akar yang menyebabkan sehingga episentrum korupsi semakin didominasi oleh pejabat publik, yang direkrut dari partai politik.

Oleh karena itu, salah satu yang patut menjadi catatan adalah perbaikan regulasi sistem pemilu kita, perbaikan regulasi sitem partai politik sebagai pilar demokrasi. Seperti tawaran Burhan, agar diupayakan konsitensi penyederhanaan partai politik di parlemen dengan harapan sistem pemerintahan presidensil tidak selamanya berada dalam “tawanan” parlemen.

Burhanuddin Muhtadi dengan berkali-kali mengutip pendapat Scott Mainwaring, menyatakan bahwa dari hasil riset  oleh Mainwaring terhadap tiga puluh satu negara yang pernah menganut sistem pemerintahan presidensil dengan kombinasi mutippartai, tampaknya gagal total mewujudkan pemerintahan yang efektif, pemerintahan yang mampu mewujudkan janji politiknya selama masa pemerintahan.

 Hal tersebut disebabkan tidak lain antara Presiden dan DPR sebagai lembaga legislatif adalah dua lembaga yang mendapat legitimasi dipilih secara langsung oleh rakyat. Terjadi duel legitimacy Sehingga sudah merupakan keniscayaan politik bagi Presiden yang terpilih harus menjaring koalisi di parlemen, dengan mimpi, mampu menguatkan setiap kebijakannnya.

Tapi apa yang terjadi,  dengan sistem pemerintahan presidensil yang dikombinasikan dengan multipartai ekstrem. Tampaknya kecurigaan Mainwaring terbukti sudah, yang menjadi permasalahan adalah munculnya bangunan koalisi yang pragmatis dan terciptanya koalisi sekedar kepentingan trasaksional.

Sebenarnya Pemerinthan SBY-Boediono secara kasat mata sudah dapat dikatakan berhasil memenangi pemilu dengan satu putaran 2009. Permasalahannya, koalisi yang dibangun malah koalisi obesitas, dan parahnya lagi tidak ada kemampuan SBY mendisiplinkan gabungan koalisinya. Gabungan koalisi mendukung atau tidak mendukung sangat ditentukan oleh arah mata angin.  Kadang mengikut, kadang mem”beo, berakrobat, bermanuver untuk kepentingan meraih simpati saja.

Selain Burhanuddin Muhtadi menyoroti masalah sistem kepartain terkait dengan bangunan sistem presidensial. Juga mendeskripsikan beberapa fakta kegagalan partai menjalankan fungsinya dalam tiga tahun terakhir.

Partai Demokrat yang dihantam Nazaruddin affect, dalam kasus korupsi proyek Sport Center Hambalang dan Wisma Atlet hingga menyeret beberapa pettinggi PD:  Angelina Sondakh dari Waksekjen PD, Andi Mallarangeng, dan terakhir publik tahu semua ending  tsunami PD, kasus Hambalang benar-benar menohok partai Mercy itu, nama Anas Urbaningrum tak lepas dari ancaman hotel prodeo KPK saat ini.

TAK pelak kasus yang menimpa partai Demokrat juga diikuti oleh partai lainnya, Partai Golkar meringkus angka satu  korupsi tertinggi, dari kadernya yang telah menduduki kursi pemerintah daerah. Ditambah kasus pengadaan Al-quraan terhadap ZD. Meski diakui partai golkar kurang dihjat oleh media dan publik karena seling poin anti korupsi adalah pruduk politik PD.

Kemudian, disambut dengan politik dagang sapi yang ditegaskan pembuktiannya oleh pucuk pmpinan PKS sebulan silam dalam kasus daging inpor sapi. Tersangkanya LHI menjadi bukti tidak ada partai yang akan memberi harapan kepada calon pemilih kelak. PKS sebagai partai bersih akhirnyapun terserempet dalam permainan syahwat politik  guna mengumpulkan pundi-pundi “uang” sebagai modal awal. Biaya kampanye menjelang hujatan pemilu 2014.

Gejala tersebut memperpanjang sinisme publik terhadap partai politik. Menjelang pemilihan Pileg dan Pilpres 2014. Terjadi “deparpolisai” terhadap calon pemilih. Jangan-jangan  perilaku partai politik yang kena kocok dadu arisan korupsi. Ceruk pasar pemiluh semakin menjauh dari intermediasi partai politik.

Intermediasi pemilih didefenisikan sebagai fungsi afeksi yang mengukur tingkat loyalitas pemilih terhadap partai. Survey yang diakukan oleh Lembaga survei Indonesia pemilih id tersebut hanya berada dalam kisaran 20 %, sehingga membicarakan prediksi 2014 mungkin saja deretan angka golput semakin bertambah. Sangat besar peluang tersebut akan terjadi.

Bergesarnya kepercayaan pemilih terhadap mesin partai politik juga ditunjukan oleh Burhanuddin Muhtadi dalam Pilgub DKI Jakarta kemarin ketika Jokowi-Ahok berhasil memecundangi Foke-Nara yang  didukung oleh sejumlah partai ‘gajah”. Malah hasil keputusan KPU real qount banyak konstituen partai pendukung Foke-Nara berimigrasi ke Jokowi-Ahok. Ini disebabkan apa yang diistilahkan oleh Burhanuddin Muhtadi, split ticket voting.

Menariknya, Jokowi ia juga berhasil merespon simpati  di berbagi riset sebagai Capres yang digadang-gadang oleh responden. Jokowi menempati suara elektabilitas diharapkan memimpin bangsa Indonesia. Magnet elektoral Jokowi sebagai media darling dan blusukannya memberi sinyal, kalau saat ini pemilih butuh pemimpin yang ‘sederhana” dan tampil apa adanya saja, serta aktif merangkul rakyat setelah pemilu sedianya telah diselenggarakan.

Krisis figur dari pemimpin bangsa Indonesia juga ditampilkan dengan merosotnya kepercayaan publik terhadap beberapa Capres yang diusung oleh partai-partai besar. Aburizal bakri yang sudah dideklarasikan Golkar pada akhirnya, dalam survei dua tahun terakhir, elektabilitasnya hanya bermain dalam angka satu digit (6 % s/d 7 %) merupakan fenomena kegagalan penobatan Capres Golkar. Padahal jika mau kita fair elektabilitas Partai Golkar sudah menempati ururtan teraratas.

Hemat saya jika Golkar tetap bertahan dalam pencapresan ARB mau tidak mau, kursi kekuasaan akan diambil alih oleh partai lainnya. Dan konsekuensinya, lagi-lagi kita mesti lapang dada, Presiden terpilih kelak berasal dari partai lain, yang bukan pemenang legislatif mayoritas. Presiden  akan berada dalam pusaran “sandera” koalisi pragamatis.

Di atas segalanya, memang perlu reformasi partai politik dengan transparansi keuangan  partai politik, terhadap pemasukan dana Parpol dan pengeluarannya.

Janggalnya, UU parpol kita saat ini, sebagaimana yang dicamkan oleh Burhanuddin Muhtadi. Adalah caleg yang tidak pernah diaudit sumbangan yang masuk dikantong pribadinya, sumbangan tersebut misalnya tidak dilaporkan, sebagaimana pendanaan parpol yang diterima dari badan usaha.

Masalah lain, Undang-undang Pemilu kita saat ini minus pembatasan spending kampanye, sehingga potensi penghamburan uang bagi caleg berpotensi besar. Dan tentunya tidak ada yang mau memberi makan siang gratis, sehingga caleg terpilih akan berupaya mengembalikan dana pribadinya, di saat nanti terpilih. Jalannya, sudah pasti dengan laku korupsi disetiap pos-pos pengeluaran anggaran negara.

Silahkan pembaca  membuktikan sendiri, betapa bernasnya karya Burhanuddin Muhtadi ini, dari bukunya “Perang  Bintang 2014”, yang terbagi atas tujuh bab, bahkan fakta politik yang tidak terpikirkan oleh pembaca diulas dalam buku tersebut. Seperti  Koalisi cinta dua partai biru, peran bintang para jenderal, mitos bertuah dalam fersi primbon jawa; ternyata SBY rupanya memeiliki garis tangan dari mertuanya Sarwo Edi. Sehinggi teripilih sebagai presiden dua kali.

Oleh;
Damang Averroes Al-Khawarizmi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar