Membuka halaman perhalaman buku Burhanuddin Muhtadi
yang berjudul “Perang Bintang 2014” seolah kita dihipnotis dengan gaya
bahasa Burahnuddin yang sangat lugas diksi dan beberapa pilihan tema
disetiap bab tulisannya.
Selain buku Perang Bintang 2014, juga
sudah beredar lebih awal buku beliau, yang saat ini dapat ditemui
dibeberapa toko buku yang berjudul ‘Dilema PKS Suara dan syariah”. Buku
tersebut merupakan tesis Burhanuddin Muhtadi di ANU, yang menyoroti PKS
sebagai Partai dalam dua jerat kepentingan, mempertahankan sisi
“religiusnya’ ataukah terbuka menjadi partai nasionalis, dengan tujuan
PKS dapat mendulang suara bukan hanya dari kader yang selama ini dibina
dalam metode tarbiyah. Namun juga meraih simpati pemilih dari luar
binaan kader.
Hal yang paling istimewa dari buku perang
bintang 2014, meskipun buku tersebut bagi pembaca rutin harian koran.
Tidak menutup kemungkinan karya Burhanuddin Muhtadi tersebut sudah dibaca dari berbagai tulisannya dibeberapa harian.
Namun buku tersebut menyisahkan kesan
“karut marut” instabilitas politik yang melanda bangsa ini dari tahun
2009, pasca terpilihnya SBY Boediono. Ada sekelumit potret jejaring
kuasa yang mengintervensi partai politik sehingga mau tak mau hampir
semua pengamat politik mensinyalir kalau partai politik saat ini adalah
akar yang menyebabkan sehingga episentrum korupsi semakin didominasi
oleh pejabat publik, yang direkrut dari partai politik.
Oleh karena itu, salah satu yang patut
menjadi catatan adalah perbaikan regulasi sistem pemilu kita, perbaikan
regulasi sitem partai politik sebagai pilar demokrasi. Seperti tawaran
Burhan, agar diupayakan konsitensi penyederhanaan partai politik di
parlemen dengan harapan sistem pemerintahan presidensil tidak selamanya
berada dalam “tawanan” parlemen.
Burhanuddin Muhtadi
dengan berkali-kali mengutip pendapat Scott Mainwaring, menyatakan
bahwa dari hasil riset oleh Mainwaring terhadap tiga puluh satu negara
yang pernah menganut sistem pemerintahan presidensil dengan kombinasi
mutippartai, tampaknya gagal total mewujudkan pemerintahan yang efektif,
pemerintahan yang mampu mewujudkan janji politiknya selama masa
pemerintahan.
Hal tersebut disebabkan tidak lain
antara Presiden dan DPR sebagai lembaga legislatif adalah dua lembaga
yang mendapat legitimasi dipilih secara langsung oleh rakyat. Terjadi duel legitimacy
Sehingga sudah merupakan keniscayaan politik bagi Presiden yang
terpilih harus menjaring koalisi di parlemen, dengan mimpi, mampu
menguatkan setiap kebijakannnya.
Tapi apa yang terjadi, dengan sistem
pemerintahan presidensil yang dikombinasikan dengan multipartai ekstrem.
Tampaknya kecurigaan Mainwaring terbukti sudah, yang menjadi
permasalahan adalah munculnya bangunan koalisi yang pragmatis dan
terciptanya koalisi sekedar kepentingan trasaksional.
Sebenarnya Pemerinthan SBY-Boediono
secara kasat mata sudah dapat dikatakan berhasil memenangi pemilu dengan
satu putaran 2009. Permasalahannya, koalisi yang dibangun malah koalisi
obesitas, dan parahnya lagi tidak ada kemampuan SBY mendisiplinkan
gabungan koalisinya. Gabungan koalisi mendukung atau tidak mendukung
sangat ditentukan oleh arah mata angin. Kadang mengikut, kadang mem”beo, berakrobat, bermanuver untuk kepentingan meraih simpati saja.
Selain Burhanuddin Muhtadi
menyoroti masalah sistem kepartain terkait dengan bangunan sistem
presidensial. Juga mendeskripsikan beberapa fakta kegagalan partai
menjalankan fungsinya dalam tiga tahun terakhir.
Partai Demokrat yang dihantam Nazaruddin affect,
dalam kasus korupsi proyek Sport Center Hambalang dan Wisma Atlet
hingga menyeret beberapa pettinggi PD: Angelina Sondakh dari Waksekjen
PD, Andi Mallarangeng, dan terakhir publik tahu semua ending tsunami
PD, kasus Hambalang benar-benar menohok partai Mercy itu, nama Anas
Urbaningrum tak lepas dari ancaman hotel prodeo KPK saat ini.
TAK pelak kasus yang menimpa partai
Demokrat juga diikuti oleh partai lainnya, Partai Golkar meringkus angka
satu korupsi tertinggi, dari kadernya yang telah menduduki kursi
pemerintah daerah. Ditambah kasus pengadaan Al-quraan terhadap ZD. Meski
diakui partai golkar kurang dihjat oleh media dan publik karena seling
poin anti korupsi adalah pruduk politik PD.
Kemudian, disambut dengan politik dagang
sapi yang ditegaskan pembuktiannya oleh pucuk pmpinan PKS sebulan silam
dalam kasus daging inpor sapi. Tersangkanya LHI menjadi bukti tidak ada
partai yang akan memberi harapan kepada calon pemilih kelak. PKS sebagai
partai bersih akhirnyapun terserempet dalam permainan syahwat politik
guna mengumpulkan pundi-pundi “uang” sebagai modal awal. Biaya kampanye
menjelang hujatan pemilu 2014.
Gejala tersebut memperpanjang sinisme
publik terhadap partai politik. Menjelang pemilihan Pileg dan Pilpres
2014. Terjadi “deparpolisai” terhadap calon pemilih. Jangan-jangan
perilaku partai politik yang kena kocok dadu arisan korupsi. Ceruk
pasar pemiluh semakin menjauh dari intermediasi partai politik.
Intermediasi pemilih didefenisikan
sebagai fungsi afeksi yang mengukur tingkat loyalitas pemilih terhadap
partai. Survey yang diakukan oleh Lembaga survei Indonesia pemilih id
tersebut hanya berada dalam kisaran 20 %, sehingga membicarakan prediksi
2014 mungkin saja deretan angka golput semakin bertambah. Sangat besar
peluang tersebut akan terjadi.
Bergesarnya kepercayaan pemilih terhadap
mesin partai politik juga ditunjukan oleh Burhanuddin Muhtadi dalam
Pilgub DKI Jakarta kemarin ketika Jokowi-Ahok berhasil memecundangi
Foke-Nara yang didukung oleh sejumlah partai ‘gajah”. Malah hasil
keputusan KPU real qount banyak konstituen partai
pendukung Foke-Nara berimigrasi ke Jokowi-Ahok. Ini disebabkan apa yang
diistilahkan oleh Burhanuddin Muhtadi, split ticket voting.
Menariknya, Jokowi ia juga berhasil
merespon simpati di berbagi riset sebagai Capres yang digadang-gadang
oleh responden. Jokowi menempati suara elektabilitas diharapkan memimpin
bangsa Indonesia. Magnet elektoral Jokowi sebagai media darling dan blusukannya
memberi sinyal, kalau saat ini pemilih butuh pemimpin yang ‘sederhana”
dan tampil apa adanya saja, serta aktif merangkul rakyat setelah pemilu
sedianya telah diselenggarakan.
Krisis figur dari pemimpin bangsa
Indonesia juga ditampilkan dengan merosotnya kepercayaan publik terhadap
beberapa Capres yang diusung oleh partai-partai besar. Aburizal bakri
yang sudah dideklarasikan Golkar pada akhirnya, dalam survei dua tahun
terakhir, elektabilitasnya hanya bermain dalam angka satu digit (6 % s/d
7 %) merupakan fenomena kegagalan penobatan Capres Golkar. Padahal jika
mau kita fair elektabilitas Partai Golkar sudah menempati ururtan
teraratas.
Hemat saya jika Golkar tetap bertahan
dalam pencapresan ARB mau tidak mau, kursi kekuasaan akan diambil alih
oleh partai lainnya. Dan konsekuensinya, lagi-lagi kita mesti lapang
dada, Presiden terpilih kelak berasal dari partai lain, yang bukan
pemenang legislatif mayoritas. Presiden akan berada dalam pusaran
“sandera” koalisi pragamatis.
Di atas segalanya, memang perlu reformasi
partai politik dengan transparansi keuangan partai politik, terhadap
pemasukan dana Parpol dan pengeluarannya.
Janggalnya, UU parpol kita saat ini,
sebagaimana yang dicamkan oleh Burhanuddin Muhtadi. Adalah caleg yang
tidak pernah diaudit sumbangan yang masuk dikantong pribadinya,
sumbangan tersebut misalnya tidak dilaporkan, sebagaimana pendanaan
parpol yang diterima dari badan usaha.
Masalah lain, Undang-undang Pemilu kita saat ini minus pembatasan spending
kampanye, sehingga potensi penghamburan uang bagi caleg berpotensi
besar. Dan tentunya tidak ada yang mau memberi makan siang gratis,
sehingga caleg terpilih akan berupaya mengembalikan dana pribadinya, di
saat nanti terpilih. Jalannya, sudah pasti dengan laku korupsi disetiap
pos-pos pengeluaran anggaran negara.
Silahkan pembaca membuktikan sendiri, betapa bernasnya karya Burhanuddin Muhtadi
ini, dari bukunya “Perang Bintang 2014”, yang terbagi atas tujuh bab,
bahkan fakta politik yang tidak terpikirkan oleh pembaca diulas dalam
buku tersebut. Seperti Koalisi cinta dua partai biru, peran bintang
para jenderal, mitos bertuah dalam fersi primbon jawa; ternyata SBY
rupanya memeiliki garis tangan dari mertuanya Sarwo Edi. Sehinggi
teripilih sebagai presiden dua kali.
Oleh;
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Co-Owner negarahukum.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar