Kepada team penguji Ahmad Tawakkal Paturusi, pengelolah Blog AN. Damang S.H, mengucapkan permohonan Maaf sebelumnya, karena pengamanan hasil olah data dari Ahmad Tawakkal Paturusi sebelumnya, kami tidak mencantumkan nama dari peneliti inti dari uraian pembahasan tesis tersebut
(sengaja pengelola Blog mencantumkan uraian isi pembahasan dari tesis yang berjudul Prorogasi Sebagai "Perwujudan Asas Peradilan cepat, sederhana dan berbiaya Ringan" guna menghindari penelitian yang dobel ke depannya di berbagai Universitas)
Secara
garis besar klasifikasi hukum terbagi atas dua, yaitu hukum publik dan hukum
privat. Hukum publik merupakan hukum yang memberikan peran terhadap negara
secara total sebagai arbiter melayani kepentingan umum, dengan kata lain
wilayah hukum publik berbicara tentang fungsi negara. Sedangkan hukum privat
adalah instrumen hukum yang mengatur bagamana hubungan antara individu dengan
individu dalam masalah kepentingan pribadi. Oleh karena itu perbedaan yang
paling mencolok antara wilayah hukum publik dan wilayah hukum privat adalah
hukum publik menyangkut fungsi negara sedangkan hukum privat menyangkut kepentingan individu (Peter Mahmud Marzuki, 2008:
211).
Namun dari
klasifiksi perbedaan hukum publik dan hukum privat juga tidak dikatakan bahwa
negara dalam hal pengaturan hukum perdata sama sekali tidak turut andil mengatur
ketertiban warga negaranya. Karena hal itu bertitik tolak dari pijakan peran
negara hukum kesejahteraan, yang mewajibkan kepada negara melalui pejabat
publiknya untuk mengintervensi masalah atau hubungan antara individu dalam peristiwa
dan hubungan hukum yang terjadi antar individu yang menyangkut kepentingan
pribadi.
Berdasarkan
wilayah pembagian hukum di atas, memunculkan lembaga sebagai pengejawantahan
dari pada hukum privat (perdata) sebagai sarana yang akan menegakkan hukum
privat. Untuk mengatur masalah/ hubungan antara individu. Hal tersebut dapat
diamati berdasarkan Pasal 14 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Undang-Undang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang membagi ruang lingkup
peradilan dalam empat bagian, yang terdiri atas: Pengadilan Umum, Pengadilan
Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Militer.
Lembaga
peradilan umum dalam praktiknya merupakan pengadilan berjenjang yang sama
dengan peradilan lainnya. Terdapat pengadilan tingkat pertama, pengadilan
banding, pengadilan kasasi (MA). Ciri khas dari pada pengadilan umum, yang
membedakan dengan peradilan lainnya (PA, PTUN, Pengadilan Militer) adalah
berfungsinya lembaga tersebut untuk menyelesaikan masalah hukum publik dan
masalah hukum privat (keperdataan). Sehingga pengadilan umum merupakan lembaga
judicial paling kompleks menangani berbagai jenis permasalahan hukum. Mulai
dari kasus pidana yang masih terbagi-bagi lagi dalam beberapa jenis tindak
pidana (seperti: tindak pidana di bidang lingkungan, tindak pidana pemilu, tindak
pidana terhadap anak, tindak pidana narkotika, tindak pidana terorisme), hingga
kasus-kasus perdata yang juga tat kala banyak dan rumitnya (misalnya kasus
dalam lapangan HAKI, kasus perlindungan konsumen, kasus perusahaan, persaingan
usaha, dan lain-lain). Oleh karena banyaknya tugas yang diemban oleh peradilan
umum sehingga memunculkan banyak respon, tanggapan dari para pencari keadilan (justiciable) perihal tidak berjalannya
lembaga tersebut (pengadilan umum) secara optimal/ efektif. Begitu banyak kasus
yang bertumpuk karena lembaga tersebut “dihujani” banyak perkara dari para
pencari keadilan. Seorang yang berperkara seringkali rela kehabisan energi, waktu,
tenaga finansial hanya untuk mendapatkan kemenangan, tanpa memikirkan kerugian
dari perilakunya yang sangat mengutamakan peradilan sebagai lembaga yang dapat
menyelesaikan kasus-kasusnya, padahal jika ditaksir dari objek perkara dengan
biaya yang dihabiskan untuk berperkara lebih banyak dari pada nilai objek
gugatan. Dalam kondisi inilah muncul pernyataan, “kadang seorang berperkara gara-gara satu ekor kucing, namun kemenangan
perkaranya dia harus mengorbankan seekor kerbau miliknya. “
Dalam sebuah
kasus/ perkara sengketa tanah Tanah seluas 1346 M2 dengan nilai objek perkara Rp 200 Juta yang pernah
diajukan di Pengadilan Negeri Sidrap. Perkara tersebut diajukan oleh Andi Oddo
Mendong sebagai Penggugat dan sebagai tergugat I Kuwi tergugat I, Syamsuddin
Alias Daeng Nai tergugat II dan BPN Turut Tergugat. Perkara tersebut yang
diregister di Pengadilan negrei pada tahun 1998 (Nomor 06/ Pdt/ 1998/ PN
Rappang) kemudian diajukan banding di PT
ujung Pandang (Nomor 427/ Pdt/ 1998/ PT UJ PDG), kasasi pada tahun 2009 (Nomor 2032
K/ PDT/ 1999/ MA). Parahnya perkara ini yang pada akhirnya dimenangkan oleh
tergugat (Ikuwi) nanti salinanan putusannya sampai di tangan tergugat pada 7
Agustus 2012, itupun tergugatnya sudah meninggal, hingga diterima oleh ahli
warisnya (Awaluddin). Begitu lambannya oeradilan memberikan kepastian, perkara
yang sudah diputus pada tahun 1999, nyatanya dalam waktu tiga tahun putusan
tersebut mengendap di MA.
Sudah
banyak gagasan dari para yuris, praktisi, dan kalangan akademisi yang
menginginkan agar peradilan umum, yang menangani perkara-perkara perdata dan
perkara pidana dapat berjalan secara optimal. Diharapkan agar peradilan
tersebut dapat memenuhi harapan pencari
keadilan tanpa mengorbankan hak-haknya, Oleh karena hukum sudah disadari sejak
kelahirannya adalah memenuhi keadilan, kemanfaatan dan kepastian bagi para
pihak. Berlaku asas yang tidak berat sebelah, peradilan yang nonimparislitas,
hakim harus bersikap netral misalnya
dengan mengacu pada asas Audi Et Alteram
Partem (seorang hakim yang mengadili
perkara harus mendengarkan keterangan kedua belah pihak).
Bersamaan
dengan itu, suara riak yang menginginkan agar peradilan umum lebih optimal
berjalan sebagai lembaga yang menegakkan hukum perdata materil semakin
banyak. Muncul juga gagasan peradilan
yang mengutamakan hak-hak para pencari keadilan. Untuk memperoleh dengan cepat
kepastian hukum dari perkara yang diajukannya di pengadilan, tidak menelan
biaya yang mahal gara-gara pengadilan yang mewajibkan membayar registrasi
perkara, biaya pemeriksaan saksi, biaya
pemeriksaan setempat, dan biaya jasa pengacara.
Kemudian
dalam perkembangannya hukum yang mengutamakan nilai integratif dari hukum yang
substantif (Mochtar Kusumaatmadja: 2006, Sadjipto Rahardjo: 2007, Romli
Atmasasmita: 2012) pengadilan tidak bolah berjalan lamban, berbiaya mahal,
rumit dalam menuntaskan perkara serta
perkara diselesaikan secara manipulatif berdasarkan keinginan dan hasrat
hakim semata. Seperti isu dari kebiasaan
hakim memainkan perkara untuk mendapatkan juga keuntungan tambahan dari perkara
yang ditanganinya.
Dari
berbagai isu dan permasalahan tersebut,
ketika peradilan sudah mendapat stigma sebagai lembaga tempat berkumpulnya para
mafia hukum. Ada mafia kasus, mafia hakim, mafia pengacara, bahkan tak
sungkan-sungkan melibatkan panitera pengadilan sebagai agen perantara dari seorang pengacara,
berhubungan dengan hakim dalam menegosiasi perkara. Kini memunculkan banyak ide
untuk melakukan pengadilan yang transparan, akuntabilitas, profesional, mengutamakan
kepenting pencari keadilan. Sehingga asas peradilan yang hemat, sederhana,
cepat (speiding of administration),
dan biaya ringan semakin penting untuk digalakkan dalam kepentingan hukum
beracara. Terutama fungsi pengadilan umum sebagai lembaga yang menyelesaikan
sengketa hak.
Konsep
hukum yang dipahami tidak hanya berjalan pada konteks yang daitur dalam Undang-undang
semata sebagaimana yang dipikirkan oleh para pemikir hukum dogmatik Kelsen,
pemikir hukum analitik Austin. Lalu hukum harus berfungsi sebagai pembaharu,
sebagai sarana yang hendak membangun kehendak dan kepentingan masyarakat
sebagaimana yang diinginkan oleh para pemiikir hukum realisme. Dengan
sendirinya asas hukum yang menjadi jiwa dan jantungnya hukum dalam tataran
dogmatik juga muncul asas sebagaimana hukum mesti berjalan mengikuti keyataan
di lapangan.
Asas yang
dimaksud di sini adalah asas peradilan yang hemat, cepat sederna, dan biaya
ringan. Gagasan untuk melahirkan
peradilan yang efektif, optimal inilah dibingkai dalam asas peradilan yang
hemat, cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Gaung
untuk malaksanakan peradilan hemat, cepat, sederhana dan biaya ringan.
Sebenarnya bukan barang baru yang hadir pada hari ini. Gagasan tersebut sudah
lama dikemukakan oleh para yuris. Dapat dicermati misalnya dalam pendapat yang
ditulis oleh Subekti (1989: 9) mengemukakan
untuk mmepercepat jalannya peradilan di muka pengadilan kita sekarang
ini, kiranya perlu diperhatikan hal-hal seperti berikut:
1.
Dalam HIR, tidak kita jumpai suatu ketentuan, dalam waktu
berapa lama ketua pengadilan negeri, setelah menerima surat gugat, harus
menetapkan hari sidang. Pasal 122 HIR tidak menyebut suatu jangka waktu.
Sebaiknya mengenai ini oleh Undang-undang hukum acara acara yang baru nanti
ditetapkan suatu jangka waktu (termijn),
misalnya 14 hari. Ketentuan seperti ini akan memberikan sumbangan sekedarnya ke
arah memperpendek proses pengadilan.
2.
Juga suatu ketentuan pembatasan nilai perkara yang dapat
dimintakan pemeriksaan banding (misalnya perkara yang nilainya seratus ribu
rupiah ke atas) akan membantu untuk lekas tercapainya suatu keputusan yang
mempunyai kekuatan mutlak.
3.
Suatu keputusan lagi yang mungkin dapat menyingkatkan waktu
tercapainya putusan pengadilan yang berkekuatan mutlak, adalah yang dinamakan
prorogasi yang adalah suatu persetujuan yang dicapai antara kedua pihak yang
berperkara di muka pengadilan banding, yang dalam hal ini akan bertindak selaku
hakim tingkat pertama seolah-olah mereka itu meloncat dengan melampaui satu
tingkatan. Dalam hukum acara di muka pengadilan negeri yang sekarang terdapat
dalam HIR, lembaga prorogasi tersebut tidak dikenal tetapi lembaga itu, kita
dapatkan dalam RV (titel V, Pasal 424 sampai dengan Pasal 426). Dalam hal adanya prorogasi itu, Pengadilan Tinggi yang
memeriksa perkaranya memutus dalam tingkat pertama dan penghabisan. Tingkat
penghabisan di sini artinya sekedar
mengenai pemeriksaan tentang fakta-fakta, sehingga masih ada kemungkinan untuk
mengajukan permohonan kasasi.
4.
Dalam perundang-undangan sekarang yaitu dalam undang-undang RI
tahun 1947 No. 2 Pasal 11 (2), ada suatu
ketentuan, bahwa berkas perkara, dalam hal adanya permohonan ulangan
(banding), dalam waktu satu bulan harus dikirimkan kepada panitera Pengadilan
Tinggi. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kalau ada permohonan
banding, putusan dan berkas perkara sudah harus diminiatur dalam waktu satu
bulan
5.
Satu cara lagi yang mungkin juga dapat menambah cepatnya suatu
putusan pengadilan mencapai kekuatan mutlak, adalah menetapkan kewajiban kepada
pihak pembanding untuk memasukkan suatu memori banding dalam batas waktu yang
ditentukan. Jika misalnya setelah lewat jangka waktu selama dua minggu setelah
diterimanya permohonan banding, tidak diterima sebuah memori banding, maka
pengadilan tinggi harus menyatakan bandingnya tidak dapat diterima, dengan
akibat bahwa suatu putusan yang dimintakan banding menjadi tetap, dan dapat
dijalankan. Sebagaimana diketahui, dengan perundang-undangan sekarang pemasukan
memori banding itu tidak diwajibkan. Lalu halnya dengan memori kasasi, yang
merupakan syarat mutlak bagi diterimanya permohonan kasasi oleh Mahkamah agung.
6.
Keadaan tata perundang-undangan yang baik adalah, bahwa
tentang kekuasaan mutlak (absolut) dari badan pengadilan diatur dalam suatu
Undang-undang tersendiri dan di samping itu ada Undang-Undang Hukum Acara
Perdata dan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Soal kekuasaan relatif yaitu
pembagian kekuasaan di antara berbagai jenis badan pengadilan yang ada
(distribusi kekuasaan), adalah suatu masalah yang harus diatur dalam hukum
acara.
Sebagian
dari pada gagasan Subekti yang diungkapkan di atas dalam mewujudkan asas
peradilan hemat, cepat, sederhana sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Pasal
2 ayat 4 undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuaaan
kehakiman (UUPKK: dari UU No. 14 / 1970 berubah ke UU No. 35/ 1999, kemudian
berubah ke UU Nomor 4/ 2004, sekarang UU No. 48 Tahun 2009) kini telah banyak
terimplementasikan dalam praktik beracara di ruang lingkup bidang hukum acara
perdata.
Beberapa
aplikasi dari asas tersebut dengan muncul atau lahirnya Undang-undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang ADR dan Arbitrase. Sengketa yang banyak diselesaikan
berdasarkan undang-undang ini sebagai jalur penyelesaian sengketa nonlitigasi
sering digunakan untuk kasus sengketa di bidang ekonomi, perusahaan. Secara
konkrit mislanya kasus wanprestasi yang terjadi dalam kontrak perusahaan ada
kecenderungan diselesaikan dengan jalur nonlitigasi (negosiasi, mediasi,
arbitrase, dan konsiliasi) dalam mencegah kasusnya akan diselesaikan yang begitu lamban dan menelan
biaya yang mahal. Apalagi kelebihan dengan menggunakan jalur nonlitigasi dapat
menghemat biaya, rahasia sengketa terjamin, cepat, dan secara psikologis tidak
ada yang merasa dirugikan karena pada dasarnya menganut prinsip win-win solution.
Bahkan
konsep jalur mediasi sudah menjadi kewajiban bagi pengadilan, untuk menawarkan
kepada para pihak yang akan berperkara di Pengadilan Negeri. Dalam kasus
perdata berdasarkan beberapa surat edaran yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah
Agung. Diantaranya SEMA Nomor 1 tahun 2002 pada tanggal 30 januari 2002 yang
berjudul Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama menerapkan lembaga Damai (eks Pasal
130 HIR). Kemudian umur sema tersebut hanya satu tahun 9 bulan. Pada tanggal 11
september 2003 MA mengeluarkan Perma Nomor 2 Tahun 2003. Dalam konsideran PERMA
tersebut termaktub bahwa tujuan dihadirkannya
PERMA ini adalah untuk mengatasi penumpukan perkara di setiap tingkatan
peradilan. Pada huruf a ditegaskan dalam konsiderans tersebut: (a) Perlu diciptkan
suatu instrumen yang efektif yang mampu mengatasi kemungkinan penumpukan
perkara di pengadilan, tentunya terutama di bidang kasasi; (b) Menurut PERMA,
instrumen yang dianggap efektif adalah sistem mediasi dan (c) caranya dengan
jalan pengintegrasian mediasi ke dalam sistem peradilan.
Selain
itu, demi menghindari penumpukan perkara di MA, gara-gara kecenderungan
penggugat untuk menyelasikan perkara hingga ke upaya terakhir. Dari Pengadilan
Negeri, banding Pengadilan Tinggi, kasasi ke Mahkamah Agung. Kemudian masih
tersedia upaya hukum peninjauan kembali, terhadap putusan MA, hingga upaya
perlawan terhadap pelaksanaan putusan melalui verzet, derdenverzet yang
dapat memperpanjang sebuah kasus. Hingga tidak jelas kapan pelaksanaan putusannya.
Pada tanggal 22 oktober tahun 1992 MA juga
telah mengeluarkan SEMA Nomor 6 Tahun 1992 menggariskan bahwa semua pemeriksaan
perkara perdata mewajibkan kepada semua tingkat peradilan wajib diselesaikan dalam waktu paling lama 6
(enam) bulan. Masa penghitungan enam bulan dari perkara yang ditangani di Pengadilan
Negeri yaitu dimulai hitungan dari pada saat sidang pertama. Sedangkan pada Pengadilan
Tinggi dimulai pada saat perkara yang dibanding tersebut diberi Nomor registrasi
oleh Pengadilan Tinggi.
Namun
dibalik itu semua, SEMA ini masih belum berjalan efektif, dari berbagai
faktor-faktor yang menyebabkan sehingga peradilan di tingkat pertama maupun di
tingkat banding tetap berjalan lamban. Beberapa fakta yang ditemukan oleh
penulis selama melakukan penelitian di pengadilan selain karena faktor hakim
yang kadang menunda sidang, mengikuti kegiatan lain, frekuensi perkara yang
dipegang oleh hakim dalam jumlah yang banyak, tidak hanya kasus perdata tetapi
juga kasus-kasus pidana menyita waktu sang hakim dalam banyak perkara. Selain
itu juga disebabkan oleh para pihak yang berperkara, kadang tidak hadir pada
saat sidang, sehingga hakim mengambil inisiatif untuk melakukan penundaan
sidang, belum lagi pemeriksaan saksi-saksi yang kadang juga membutuhkan waktu
hingga dua sampai empat kali sidang agar semua saksi hadir dipersidangan dalam
pembuktian. Untuk di tingkat banding juga menjadi masalah dari SEMA tersebut
sehingga perkara tidak bisa selesai dalam waktu yang cepat,
Masalahnya
anatara lain, salinan putusan yang ada di Pengadilan Negeri belum selesai
ditulis oleh Panitera, karena Hakim yang tidak membuat secara jelas segala
pertimbangan hukum, diktum, hingga amar putusannya, masih dalam coretan kotor
yang harus ditata ulang oleh panitera pengadilan. Padahal Pengadilan Tinggi
yang akan memeriksa dalam tingkat banding sebagai pengadilan judex fact di tingkat terakhir sudah
ingin memulai memeriksa perkara tersebut. Selain putusan yang ditunggu dari PN,
juga kadang dibutuhkan berkas dari pihak pembanding maupun terbanding untuk
dimulainya diperiksa perkara tersebut.
Dari segi
regulasi SEMA yang memang sedari awal hanya bersifat sebagai peraturan
internal, berisi himbauan aturan tersebut dalam
parktik tidak memiliki kekuatan mengikat yang kuat. Bahkan dalam SEMA Nomor
6 tahun 1992 hanya mewajibkan hakim yang menangani perkara lewat dari enam
bulan agar melapor ke ketua pengadilan. Demikian pula Ketua Pengadilan Negeri
diwajibkan melapor ke pengadilan yang lebih tinggi.
Jika asas
peradilan cepat ingin ditegakkan mestinya SEMA tersebut memiliki sanski
administratif, bukan hanya teguran tetapi juga dapat berupa penundaan kenaikan
pangkat bagi hakim yang terbukti menangani perkara dalam waktu yang melebihi
batas yang ditentukan. Faktor lain sehingga perkara juga lambat di tingkat
pengadilan baik di PN maupun di PT, adanya mutasi yang sering dilakukan oleh MA
terhadap hakim-hakim yang masih sedang menangani kasus di lembaga tempatnya
bekerja, kemudian karena mutasi tempat kerja di Kabupaten lain, banyak
tunggakan perkaranya yang ditinggalkan.
Dengan
lahirnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 juga menjadi awal bagi pengadilan menghindari penumpukan
perkara. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor
20 tahun 1947, permohonan banding hanya dapat diajukan kepada Panitera
Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan dalam tenggang waktu 14 (empat belas)
hari setelah putusan dijatuhkan, atau jika
yang mengajukan banding tidak hadir pada waktu putusan dijatuhkan, di
dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari
setelah putusan itu diberitahukan kepadanya.
Sebenarnya di dalam Undang-undang tersebut di atas,
masih ada ketentuan yang sekiranya dapat menjadi perwujudan peradilan yang
sederhana tanpa lagi ada penumpukan perkara ditingkat selanjutnya. Yaitu dalam Pasal 6, bahwa putusan Pengadilan Negeri yang dapat
dimintakan pemeriksaan banding hanyalah mengenai perkara yang nilai gugatannya
lebih dari RP. 100, 00 (seratus rupiah). Sekarang pembatasan tersebut sudah
tidak ada lagi artinya, karena nilai mata uang terus mengalami kenaikan,
sehingga dapat dikatakan semua perkara perdata yang telah diputuskan pengadilan
negeri dapat dibanding. Oleh karenanya pembatasan nilai perkara yang dapat
dimintakan banding tersebut perlu ditinjau kembali dan disesuaikan dengan nilai
gugatan sekarang. Sebagimana Soedikno Mertokusumo (Varia Peradilan Tahun II No. 24: halaman 90) mengemukakan agar dalam hukum acara nasional nanti dimuat
suatu ketentuan tentang pembatasan nilai perkara yang dapat dimintakan banding
ini, untuk mempercepat tercapainya putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Gagasan
pembatasan perkara berdasarkan nilainya ini berdasarkan wawancara yang telah
dilakukan oleh penulis terhadap DR Zainuddin, SH, M. Hum (wawancara, 23 Desember
2012) sebagai hakim pengadilan Tingi
Makassar mengemukakan:
“Bahwa ide yang kemudian akan dituangkan dalam
bentuk SEMA perihal pembatasn perkara tersebut
yang mana dapat diajukan ke pengadilan tingkat banding adalah perkara
yang nilai objek perkaranya diatas RP 500. 000.000 (lima ratus juta rupiah),
namun ternyata niat baik tersebut kandas di tengah jalan karena banyak
ditentang oleh para Advokat yang bersatu dalam asosiasi mereka.”
Berdasarkan
pendapat yang dikemukakan oleh Subekti sebagaimana telah dikemukan di awal
pembahasan ini. Diantara semua ide yang
sering menjadi bahan kajian sebagai langkah menguatkan peradilan sebagai
lemabaga penyelesaian sengketa diantara para pihak. Hanyalah konsep prorogasi
jarang dimunculkan sebagai salah satu langkah yang dapat digunakan dalam
perkembangan hukum acara ke depannya agar peradilan itu dapat berjalan secara
hemat, cepat, sederhana dan berbiaya ringan.
Meskipun
konsep prorogasi adalah mekanisme beracara yang hanya berlaku sejak dulu untuk
golongan Eropah sebagaimana diatur dalam ketentuan BRV. Kendatipun sering
dikatakan oleh beberapa penulis di lapangan hukum acara perdata bahwa Reglement
of de burgelijke rechtsvordering (BRV) sekarang tidak berlaku lagi, tapi
sebagian penulis seperti Nur Rasaid (1996: 7)
dan Subekti (1987) mengemukakan bahwa “dapat digunakannya RV sebagai
sumber hukum acara perdata sepanjang hal tersebut benar-benar di rasa perlu
dalam praktik peradilan.
Oleh
karena itu berdasarkan hemat penulispun sepakat dengan konsep yang dikemukakan
oleh Soedikno Mertokusumo terkait penggunaan mekanisme prorogasi sebagai
pengadilan lompatan yang mana perkara tidak perlu lagi melalui Pengadilan Negeri,
dengan memberikan kewenangan kepada Pengadilan tinggi. Sekiranya ke depan baik
dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara mengintegrasikan prorogasi sebagai salah satu mekanisme yang
dapat digunakan bagi pencari keadilan. Disamping itu dengan adanya meknisme prorogasi ini yang diberikan
kepada Pengadilan Tinggi (PT) supaya memiliki legalitas (kewenangan)
tersendiri. Undang-undang PT mestinya hadir secara tersendiri agar PT dapat
menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip hukum acara yang berlaku (doelmatigheid).
Konsep
prorogasi sebagai perwujudan agar pengadilan
benar-benar dapat mewujudkan asas peradilan yang hemat, cepat, sederhana dan
biaya ringan, juga beralasan karena ditunjang dengan karir hakim di Pengdilan
Tinggi yang dulunya telah mahir dalam beracara. Hakim di PT merupakan hakim
yang disaring dari Pengadilan Negerii telah lama menangani juga kasus-kasus atau perkara melalui tahapan
penentuan hingga pembuatan putusan pada pengadilan tingkat pertama (PN). Hal
ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Zainuddin Ali, SH. M.Hum
(Hakim Pengadilan Tinggi: wawancara 19 Januari 2013) yang mengemukakan:
“Bahwa ke
depannya memang kita harus mengefektifkan fungsi prorogasi, dan hal itu tepat
jika diberikan kepada PT, oleh karena PT selama ini terkesan sebagai pipa penyambung
saja dalam menangani perkara untuk selanjutnya diadili dan dinilai oleh MA.
Karena itu jika PT dijadikan sebagai lembaga yang diberi tugas secara mutlak
menyelesaikan prorogasi PT bukan lagi sebagai pengadilan yang mengadili perkara numpang lewat saja.”
Dalam
rangka menguraikan secara sistematis agar konsep prorogasi ke depannya dalam
peraturan perundang-undang dapat diintegrasikan menurut hemat penulis perlu
beberapa pengaturan secara jelas, sistematis terhadap syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam
menerapkan konsep prorogasi sebagai rangkaian untuk mewujudkan peradilan yang
hemat, cepat, sederhana dan biaya ringan. Berikut ini akan ditelaah secara
analitis syarat-syarat tersebut untuk mengefektifkan konsep prorogasi dapat
diterapkan di Pengadilan Tinggi (PT):
Sengketa
Hak/ Gugatan Contentiosa sebagai Jenis Gugatan dengan cara Prorogasi
Pasal
2 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999 kemudian diubah menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004.
Sekarang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Tugas dan kewenangan
badan peradilan dibidang perdata adalah menerima, memeriksa, dan mengadili
serta menyelesaikan sengketa diantara para pihak yang berperkara.
Wewenang
mengadili suatu perkara disebut sebagai yurisdiksi atau sering juga disebut
dalam praktik adalah kompetensi peradilan. Sedangkan gugatannya berbentuk
gugatan contetiosa atau disebut juga contentious.
Dalam
menangani perkara sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang tersebut
(UUPKK) pada dasaranya perkara yang ditangani dibagi dua. Pengadilan menangani
gugatan contentiosa dan gugatan volunteir. Gugatan contentiosa adalah gugatan yang mengandung sengketa antara dua
pihak atau lebih. Proses penyelesaian sengketa dalam gugatan contentiosa terjadi dengan proses saling
menyangga dalam bentuk gugatan, jawaban, replik, duplik. Sehingga gugatan jenis
ini disebut juga op tegenspraak yaitu
proses peradilan saling sanggah menyangga.
Berbeda
halnya dnegan gugatan volunteir
adalah permasalahan yang diajukan oleh pihak tersebut tidak mengandung suatu
sengketa, namun hanya permintaan untuk penetapan hak oleh hakim di pengadilan,
dan tidak ada pihak tergugat atau lawan yang berperan untuk menyangga gugatan
yang diajukan.
Dalam
hemat penulis, terlepas dari pendapat para pakar yang mengemukakan, bahwa
gugatan contentiosa ada yang
menyebutnya sebagai ggugatan perdata, dan ada yang menyebutnya sebagai gugatan
saja. Lebih praktis untuk mengatakan bahwa istilah gugatan contentiosa (mengandung sengket hak) disebut sebagai gugatan saja.
Bukankah dalam kebiasaaan pembuatan surat gugatan lebih sering juga digunakan
kata “gugatan” pada kepala surat gugatan itu. Apalagi gugatan yang dinyatakan
sebagai gugatan volunteir dalam
kebiasaan praktik disebut sebagai permohonan saja. Jadi tidak ada alasan yang
jelas dan pasti kalau istilah gugatan perdata yang mau digunakan, karena
istilah volunteir sudah direduksi
dengan istilah permohonan.
Terkait
dengan masalah prorogasi sebagai pengadilan yang melompat langsung ke PT, tanpa
mengikuti proses hukum acara yang lazim, yang berawal di Pengadilan Negeri terlebih
dahulu. Dalam rangka mengefesienkan perkara, prorogasi sebagai bahagian
perwujudan asas peradilan yang hemat cepat sederhana dan biaya ringan lebih
pantas untuk memilih hanya perkara gugatan contentiosa.
Sebagai perakara yang dapat langsung diajukan ke PT melalui mekanisme
prorogasi.
Sementara
untuk jenis perkara gugatan volunteir
atau permohonan seperti penetapan hak mewaris,
perubahan nama, penepatan perwalian, tetap diberikan kewenangan itu ke
Pengadilan Negeri. Hal itu didasarkan bahwa perkara permohonan tidak mungkin
akan menyita banyak waktu dalam proses penyelesaiannya oleh Hakim. Karena tidak
ada proses sanggah menyangga sebagaimanan yang terjadi dalam gugatan contentiosa. Gugatan volunteir mustahil melewati masa
pengajuan yang pnajang dalam penyelesaiannya perkaranya oleh hakim di
pengadilan.
Dalam
fenomena/ praktik beracara lingkup
peradilan kasus perdata. Perkara yang digugat di Pengadilan Negeri biasanya
akan menghabiskan waktu 60 hari terhitung mulai dari pengajuan perkara hingga
penentuan putusan. Kalau diajukan lagi melalui
upaya hukum banding jelas hal ini akan memperpanjang waktu dari salah
satu pihak untuk mendapatkan kepastian hukum. Ditambah dengan masalah
kepribadian salah satu pihak misalnya yang tetap mempertahankan gugatan dan
rasa “hak milik” terhadap objek perkara, sering berjuang habis-habisan, untuk
menempu semua upaya hukum sampai pada upaya peninjauan kembali. Meskipun sudah
sadar diri bahwa segala alat bukti yang
dimiliki pada dasarnya lemah.
Oleh
karena itu, perkara yang mengandung sengketa yang disebut sebagai gugatan
perdata. Mestinya sudah dijadikan sebagai perkara yang mutlak untuk langsung
diajukan di Pengadilan Tinggi.
Namun,
kiranya gugatan itu dibatasi masih untuk perkara perdata biasa atau perkara
sederhana saja. Yang belum memiliki pengaturan tersendiri atau kompleks
regulasinya dalam kententuan undang-undang khusus dibandingkan dengan
kasus-kasus atau perkara yang lahir dari ketentuan BW. Misalnya sengketa hak
milik (tanah), gugatan ganti rugi, perbuatan melawan hukum, sengketa yang
muncul dari jenis perikatan (jual beli, sewa-menyewa, utang piutang, tukar menukar dan lain-lain), wanprestasi dan
lain-lain. Mestinya diselesaikan melalui Pengadilan Tinggi saja secara langsung
dengan mekanisme prorogasi.
Terkait
dengan itu, hukum acara yang berlaku dalam pengadilan Tinggi terhadap gugatan
perdata yang akan ditanganinya. Mengikuti juga hukum acara sebagaimana yang
berlaku di dalam hukum acara Pengadilan Negeri. Yakni yang dimulai dari
gugatan, jawab-menjawab, pembuktian hingga lahir putusan. Hal seperti ini
memang juga yang sudah lama dianut dalam
pengaturan Pasal 326 BRV yang menegaskan “bagi Rad Van Justitie dan HGH dalam proses perkara-perkara ini berlaku
aturan-aturan tentang pemeriksaan dalam tingkat pertama.” Jadi hanya terjadi
lompatan perkara. Langsung di Pengadilan Tinggi namun proses persidangannya
juga tetap mengikuti sebagaimana ketentuan hukum acar biasa.
Bagaimana
dengan surat gugatan yang berlaku dalam RV dan RBg yang masih membolehkan
adanya pengajuan gugatan secara lisan ? apakah mesti harus tertulis ketika hal
itu ingin diajukan langsung melalui PT dengan konsep prorogasi ini ? jelas
tetap masih berlaku karena ketentuan BRV yang mengendaki tertulis pengajuan
surat gugatan. Kemudian dalam HIR tetap mengakui masih bisa lisan. Pengaturan yang
demikian layak dipertahankan, oleh karena penerapan asas dari pada pengadilan
yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Terutama dalam asas berperkara mestinya
berbiaya ringan. Maka ruang yang dibuka oleh hukum, supaya ada perlakuan yang
sama. Ketentuan tersebut tetap layak dipertahankan hingga kini. Termasuk pengajuan gugatan secara insidentil, tanpa kuasa hukum tidak dapat dihapus begitu saja, oleh
karena masih bannyak juga pihak yang
berperkara tidak mampu membayar jasa seorang pengacara.
Tentunya
juga bagi yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara. Karena PT menjalankan
tugasnya, selayaknya Pengadilan Negeri. Bagi pihak yang mengajukan gugatan
dapat mengajukan gugatan dengan Cuma-Cuma. Keberadan prorogasi tidak dapat
meniadakan, pihak yang tidak mampu membayar biaya perkara di pengadilan karena
lahirnya konsep prorogasi tersebut tidak lain untuk menyederhanakan perkara. Agar
pengadilan setidaknya dapat mengurangi banjirnya perkara hingga menumpuk di MA.
Di
samping lebih mengefektifkan kerja dari pada Pengadilan Tinggi selama ini, yang
hanya berfungsi sebagai pengadilan yang mengadili perkara numpang lewat saja.
Dengan memberi kewenangan untuk mengadili gugatan yang mengandung sengketa hak
sebagaimana layaknya dengan penyelesaian perkara di Pengadilan negeri. Fungsi Pengadilan
Tinggi demikian lebih nampak, sebagai lembaga justitia yang dapat mempercepat penyelesaian setiap perkara.
Sebagai
langkah awal, Penulis berpendapat bahwa konsep prorogasi diterapkan untuk
perkara perdata biasa saja dulu. Tetapi untuk perkara dibidang HAKI, Niaga,
Konsumen, tetap diberikan kewenangan tersebut ke Pengadilan Negeri. Oleh
karena hampir semua pengadilan khusus yang dibentuk dari perkara tersebut,
pengadilan khususnya dibawah nauangan Pengadilan Negeri. Kecuali hal itu ke
depan dirasakan PT sudah mampu menyesuaikan diri sebagai peradilan yang menerapkan
konsep prorogasi, maka dapat dipikirkan ulang juga untuk perkara di bidang
ekonomipun. Sudah dapat langsung melompat penanganannya ke PT.
Gugatan
dengan Cara Prorogasi Bersifat Imperatif bagi Tergugat
Makna imperatif yang dimaksud di sini adalah bagaimana ketentuan prorogasi
itu kemudian dapat bersifat mutlak, mengandung perintah yang wajib diikuti oleh
para pihak yang akan menggunakan peradilan sebagai lembaga mencari keadilan.
Doktrin atau istilah dari makna imperatif dapat diidentifikasi melalui pendapat
Hans Kelsen (2009: 11) yang mengemukakan bahwa “makna imperatif kategoris yaitu
sebuah doktrin dimana tindakan seseorang harus ditentukan oleh hanya prinsip
bahwa kehendak seseorang mengikat pada
segenap orang.”
Pendapat yang dikemukakan oleh Kelsen masih pengejawantahan hakiki dari
kekuatan moral yang ingin dikuatkan dalam bentuk aturan yang positif. Sehingga
jika diterapkan dalam lapangan hukum, hukum yang tampil dengan kekuatannya yang
memaksa secara teoritik. Hanya berlaku untuk wilyahnya hukum publik. Dimana
negara memiliki instrumen untuk melakukan pemaksaan terhadap subjek hukum yang
melanggar ketentuan hukum pidana.
Namun dalam hukum perdata, yang selalu membedakan dengan hukum publik,
hukum perdata hanya urusan individu perindividu. Negara tidak terlalu dituntut
untuk campur tangan dalam kepentingan individu. Tetapi pertanyaannya, bagaimana
mungkin melepaskan kepentingan negara di
ranah hukum perdata ketika hukum materil tersebut ingin ditegakkan melalui
pengadilan ? Dalam konteks ini rupanya ketika individu sudah menyentuh pada
perebutan kepentingan dalam rangka masih ingin mempertahankan haknya. Forum yang
digunakan adalah forum lembaga negara melalui lembaga judicial. Sehingga mau
tidak mau para pihak harus tunduk pada prosedur ketentuan hukum acara yang
berlaku dalam hukum perdata.
Pendapat lain yang mengemukan hukum bersifat imperatif, juga dikemukakan
oleh Kansil yang melakukan pembagian
hukum menurut sifatnya terbagi atas dua meliputi: (a) hukum imperatif
dan (b) hukum fakultatif (wwwnegarahukum.com).
Dikatakan hukum impertif adalah karena
memaksa yang dapat juga diartikan
hukum yang dalam keadaan konkret yang harus dipatuhi atau hukum yang
tidak boleh ditinggalkan dan harus diikuti. Ketentuan yang memakksa tersebut
berlaku bagi para pihak yang bersangkutan maupun hakim sehingga hukum itu
sendiri harus diterapkan meskipun para pihak mengatur sendiri hubungan mereka.
Sebagi contoh Pasal 913 BW yang
menegaskan “legitiem portie
adalah bagian warisan menurut
undang-undanglah suatu bagian dari harta benda yang harus diberikan kepada ahli
waris dalam garis lurus menurut
undang-undang, terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan
sesuatu baik sebagi hibah antara orang
yang masih hidup maupun sebagai wasiat.”
Kelihatan memang dalam hukum perdata adalah masalah perorangan, tetapi
tidak berarti tidak memilki kekuatan
hukum yang dapat memeksa kepada para pihak agar mengikuti ketentuan hukum yang
telah diintegrasikan ke dalam Undang-undang.
Oleh sebab itu dalam rangka penerapan konsep prorogasi, lembaga PT yang
akan menangani perkara tersebut ketika
penggugat sudah memasukan atau mendaftar perkara di PT, maka bagi tergugat yang
sudah mengetahui keberadaan dirinya menjadi tergugat dalam sebuah objek perkara
mutlak. Atau dengan kata lain ia wajib untuk mengajukan jawaban, pembuktian di
depan persidangan setelah mengetahu tentang dirinya telah digugat oleh
seseorang, tentunya pemeberitahuan ini disampaikan oleh pegawai pengadilan, melalui
Juru Sita atau panitera Pengadilan Tinggi.
Tentunya di sini muncul pertanyaan, kenapa sebelum mengajukan gugatan ke
PT tidak mesti meminta persetujuan terlebih dahulu dari pihak yang hendak ingin
digugat ? Apakah ini tidak bertentangan dengan hak-hak si tergugat ? Bukankah
dalam pengaturan BRV hanya dapat diajukan prorogasi ke PT kalau para pihak itu
sepakat untuk langsung berperkara di Pengadilan Tinggi. Alasanya, jelas karena
penerapan konsep hukum acara yang hendak dipercepat. Tidak akan terpenuhi bagi
para pihak kalau tetap berpedoman pada ketentuan RV. Dan secara psikologi pasti
lebih disenangi oleh si tergugat untuk mengajukan saja di Pengadilan Negeri
dahulu Pihak yang tergugat pasti merasa
untung jika perkara ketika masih menguasai objek perkara. Dapat leluasa
memperoleh keuntungan dari perkara yang akan melalui tiga tingkatan.
Maka dari itu dengan memberikan sarana kekuatan hukum yang bersifat
imperatif bagi pihak yang tergugat tidak akan mungkin mengambil keuntungan dari sikapnya yang senang
perkaranya dibuat berlama-lama dalam prosese peradilan.
Secara otomatis waktu, fase dan
biaya untuk bersidang ketika si tergugat sudah merasa wajib untuk memberi jawaban atas perkaranya yang digugat
di PT. Konsep prorogasi dapat tercapai. Tanpa lagi ada keinginan sengaja
memperlambat perkara. Jikalaupun dalam pemeriksaan di PT terhadap salah satu
pihak itu tidak hadir maka yang berlaku adalah sama dengan ketentuan hukum
acara biasa, bisa terjadi putusan jatuh, tanpa kehadiran tergugat (verstek), bisa terjadi upaya perlawanan (voeging, vrijswaring, tusenkomst),
demikian halnya juga dapat diajukan sita conservatoir
beslaag.
Kompetensi Pengadilan Tinggi untuk
Memeriksa Perkara dengan Mekanisme Prorogasi
sebelum
lahirnya Undang-Undang Peradilan Umum, masalah pengajuan banding ke pangdilan
Tinggi diatur melalui Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Menurut
undang-undang tersebut peraturan hukum acara untuk pemeriksaan ulang atau
banding pada Pengadilan Tinggi adalah Peraturan-Peraturan Republik Indonesia dahulu
yang telah ada dan berlaku bagi Pengadilan Tinggi dalam daerah Republik
Indonesia dahulu itu. Peraturan-perturan yang digunakan dalam daerah Republik Indonesia
dahulu meliputi:
1. Untuk pemeriksaan ulang atau banding perkara perdata
buat Pengadilan Tinggi di Jawa dan Madura adalah Undang-undang Nomor 20 Tahun
1974.
2. Untuk pemeriksaan ulang atau banding perkara perdata
buat Pengadilan Tinggi di luar Jawa dan Madura adalah RBg.
Dari ketentuan tersebut pada dasarnya Pengadilan Tinggi diberikan fungsi
untuk mengadili perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri, dengan
memeriksa fakta-fakta yang telah diungkap oleh hakim di PN. Oleh karena itu
sering disebut PT sebagai peradilan ulangan. Yang mana putusannya dari
Pengadilan Tinggi dapat menguatkan putusan PN, memperbaiki putusan PN dan membatalkan putusan PN.
Selain itu tugas dan kewenangan Pengadilan tinggi dapat ditemukan dalam
kententuan UU
No.2 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004 dan terjadi lagi
perubahan kedua yaitu UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.
Kekuasaan PT secara umum diatur
dalam BAB III UU No. 2 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 49 Tahun
2009 yang mana sebelumnya terjadi perubahan UU No. 8 Tahun 2004. PT sebagai
Peradilan Tingkat Banding dilimpahi beberapa kekuasaan, yaitu:
1.
Berwenang mengadili perkara di tingkat banding.
2. Bertugas dan berwenang memutus
sengketa kewenangan mengadili.
3. Dapat memberi keterangan, pertimbangan dan
nasihat hukum.
4. Melakukan pengawasan atas pelaksaan
tugas dan tingkah laku hakim, panitera, sekretaris, dan juru sita.
Pengadilan Tinggi yang berkedudukan di ibukota Provinsi tersebut sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor
49 Tahun 2009. Oleh kemudian penulis menambahkan satu tugas dan kewenangan
baru. Sebagai lembaga yang harus mengadili perkara perdata melalui mekanisme
prorogasi. Perkara yang dapat ditangani adalah perkara yang dapat ditaksir
objek perkaranya senilai Rp. 100 milyar ke bawah.
Dengan memberi salah satu tugas dan
kewenngan baru ke PT ini. Berarti PT lagi-lagi tidak hanya menjadi sebagai
Pengadilan yang berfungsi sebagai penyambung pipa saja, kemudian perkara
perdata selanjutnya dikasasi lagi ke MA.
Sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya bahwa dengan adanya pihak yang mengajukan gugatan langsung ke PT melalui
mekanisme prorogasi. Bersifat mutlak bagi tergugat agar langsung dapat
dipanggil oleh pengadilan menyikapi gugatan atas dirinya di PT. Oleh sebab itu
tugas dan kewenangan PT yang ditegaskan dalam undang-undang peradilan umum,
mestinya ditambah lagi salah satu kewenangan yang baru. Dengan dalih peradilan
akan menjadi cepat, sederhana dan berbiaya ringan jika PT berperan sebagai peradilan prorogasi. Dengan ketentuan
hanya dapat menangani objek perkara yang pembatasan perkaranya maksimal 100
milyar ke bawah.
Masalah pembatasan perkara,
sebenarnya sudah pernah dibahas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1974 tentang Pengadilan Banding. Tetapi dalam
pengaturan di Undang-undang ini, bukan kaitannya dengan perkara yang langsung
dapat ditangani oleh PT. Melainkan dalam kaitannya PT sebagai peradilan
banding, yang telah diproses oleh pengadilan negeri. Dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947
ditegaskan bahwa “syarat untuk dapat dimintakan banding bagi perkara yang telah diputus oleh Pengadilan
Negeri adalah apabila nilai gugatan yang
perkara yang telah diputus itu lebih dari Rp. 100 (seratus rupiah).”
Maksud dari pembatasan terhadap
perkara yang dapat dibanding ke PT tersebut. Sebagaimana Subekti (1987) memberi
ulasan bahwa untuk membatasi membanjirnya masuk perkara di PT maka pembatasan
perkara yang dapat masuk Ke PT hanya terhadap perkara yang nilai objeknya
senilai Rp. 100 (seratus rupiah)
Dengan memberikan fungsi pada Pengadilan
Tinggi sebagai peradilan prorogasi. Tanpa lagi diadili oleh Pengadilan Negeri,
langsung melompat di PT. Selain asas peradilan cepat dapat dilaksanakan, juga
dengan maksud membatasi perkara yang dapat langsung diajukan dalam bentuk
prorogasi.
Sama halnya dengan tujuan pembatasan
perkara yang dapat diajukan banding. Maka dalam pengajuan perkara prorogasipun dibatasi
sampai nilai objek perkaranya senilai Rp. 100 milyar. Sengaja penulis memberi
batasan dalam jumlah Rp. 100 Milyar karena berpedoman pada dasar filsufis,
jangan sampai perkara yang nilainya dalam taksiran tersebut kalau harus
menempuh peradilan dalam tiga tingkatan, nilai objek gugatan sudah habis semua
untuk digunakan dalam membayar jasa pengacara saja dalam beracara di
pengadilan.
Lebih dari itu, Pengadilan Tinggi
yang sudah diberikan kewenangan untuk berfungsi sebagai peradilan prorogasi. PT
dalam menjalankan fungsinya supaya peradilannya lebih cepat, sederhana dan
berbiaya ringan. PT mengadili perkara Prorogasi, PT berfungsi sebagai
pengadilan tingkat pertama dan terakhir, yang tetap memberi hak kepada pihak
yang kalah untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
Dari hasil wawancara yang pernah
dilakukan di Pengadilan Tinggi, rata-rata hakim pada umumnya sepakat, ketika PT
diberikan kewenangan untuk mengadili perkara prorogasi. Dengan alasan bahwa
rata-rata hakim yang bekerja di PT adalah hakim yang lebih berpengalaman, tak
kalah hebatnya dengan hakim PN, jam terbangnya dalam melahirkan keputusan sejak
masih menjabat sebagai hakim PN. Dapat menjadi bekal untuk menangani perkara
prorogasi. Dapat memutuskan setiap perkara yang tidak jauh berbeda dengan apa
yang kiranya juga sama dengan kalau
perkara itu diputuskan oleh Pengadilan Negeri.
Tentu dalam konteks ini, ada
pertanyaan, kenapa dalam putusan yang dilahirkan dari PT tersebut, tidak dapat
lagi dikasasi. Bagaimana jika misalnya hakim telah keliru dalam membuat putusan
untuk pihak pencari keadilan ? Alasan yang seperti inilah memang dari dahulu
sehingga tetap dipertahankan peradilan dalam tiga tingkat. Maka untuk tetap
menghindari kekeliruan tersebut, penulis memberi solusi. Memang tidak bisa dikasasi
lagi perkara tersebut setelah jatuh
purusan oleh PT dalam hal menangani perkara prorogasi. Namun tetap terbuka bagi para pihak. Dengan
memberi waktu sebagaimana biasanya waktu untuk mengajukan upaya hukum adalah
terhitung empat belas hari setelah putusan
tersebut dibacakan oleh hakim di pengadilan. Atau dihitung setelah
putusan tersebut sampai ditangan para pihak.
Masalah lain pasti akan menjadi
kendala untuk menerapkan konsep prorogasi ini, oleh keran PT yang diberi
kewenangan berada di Ibukota provinsi. Bagaimana kalau sekiranya pihak yang
mengajukan gugatan berkediaman di Kabupaten ? haruskah para pihak ini datang ke
Ibukota provinsi ketika ingin memasukan gugatannya, pada saat tahap-tahap
pembuktian hingga pembacaan putusan oleh pengadilan ?
Kalau hal ini terjadi, sengaja
dimunculkan konsep prorogasi ternyata malah kemudian merepotkan bagi para pihak
dan menelan biaya lagi, karena harus berkunjung ke Ibukota Provinsi.
Dari sinilah kiranya dengan
memberikan fungsi terbaru pada Pengadilan Tinggi. Perlu ada undang-undang
tersendiri untuk Pengadilan Tinggi ke depannya. Dengan tetap mengakomodasi pemberian
fungsi peradilan prorogasi kepada PT. Tanpa pebentukan lagi lembaga PT di
setiap kabupaten. Efektifnya persidangan dapat dilaksanakan di Pengadilan Negeri.
Tetapi registrasi perkaranya tetap atas nama PT. Pengadilan Negeri dalam posisi
ini diberikan tugas menerima perkara kemudian diteruskan langsung ke PT. Nanti
kemudian pemeriksaan perkaranya tetap melibatkan hakim-hakim yang berasal dari
PT. Agar hakim-hakim yang ada di
Pengadilan Tinggi tidak kekuarangan job,
yang kadang hanya menilai putusan yang pernah di putus di Pengadilan Negeri.
Memberikan pekerjaan baru bagi hakim Pengadilan Tinggi di sini. Bukanlah
masalah baru, tetapi koordnisilah yang paling penting antara setiap tingkatan
pengadilan. Selain hakim PT yang bekerja langsung menangani perkara perdata
biasa dalam mengefektifkan waktu berperkara di pengadilan. Keuntungan lainya
dengan difungsikannya hakim Pengadilan Tinggi. Juga dapat mengurangi beban
kerja bagi hakim PN harus menyidangkan banyak perkara perdata khusus dan
perkara pidana lainnya. Sembari menunggu ide teraplikasikannya kelak
kamar-kamar peradilan dalam Peradilan Negeri, bagi hakim yang benar-benar
profesional satu kasus saja. Dapat menangani satu model perkara di pengadilan
ke depannya.
Minimal dengan difungsikannya hakim
Pengadilan Tinggi melalui konsep prorogasi. Setidaknya saat ini juga dapat
mengurangi kelebihan kasus yang banyak ditangani oleh Hakim PN.
Peninjauan
Kembali sebagai Upaya
Hukum bagi Pihak Yang Kalah Dalam Peradilan Prorogasi
Di atas telah disinggung sebelumnya bahwa peradilan
prorogasi yang dijalankan oleh PT dalam menjatuhkan putusan. Dalam hal ini
sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir, tidak mengenal lagi kasasi
sebagaimana yang diatur dalam ketentuan RV sebelumnya. PT adalah pengadilan
tingkat pertama dan terakhir dalam memutuskan perkara yang mengikuti mekanisme
prorogasi.
Tidak diberikannya juga kewenangan ke pada Pengadilan Negeri untuk menangani kasus perdata biasa. Setelah konsep prorogasi
diwujudkan melalui fungsi PT. Juga didasarkan, pada fungsi dari dua pengadilan
ini yaitu baik pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi masih sama-sama berfungsi
sebagai pengadilan yang mengadili fakta-fakta. Bahkan dalam hal tertentu juga
hakim Pengadilan Tinggi dapat menghadirkan para pihak untuk menggelar sidang
jika diperlukan.
Oleh sebab itu dari pada fungsinya yang masih menilai fakta-fakta yang
kuat dari para pihak yang mengajukan perkara tersebut. Ada baiknya jika
kewenangan untuk mengadili perkara
perdata yang hanya termasuk dalam sengketa hak/ gugatan perdata biasa.
Diserahkan sepenuhnya kepada Pengadilan Tinggi melalui mekanisme peradilan
prorogasi. Dengan maksud mengefektifkan peradilan, tanpa mengbiskan waktu yang
lebih banyak.
Maka dari itu sengaja penulis
memberi tawaran agara PT yang menangani perkara yang sudah memenuhi syarat
perkara prorogasi. Putusannya berakhir pada Pengadilan Tinggi, sebagai
pengadilan pertama sekaligus sebgai pengadilan tingkat terakhir.
Nanti kemudian kalau saat salah satu pihak ada pengajuan peninjauan
kembali. Baru pengajuan PK tersebut
diperiksa oleh Hakim Agung. Terkait dengan itu syarat-syarat untuk diajukan PK
jika putusan pengadilan tinggi ingin diajukan PK, juga tetap dapat mengacu pada
ketentuan Pasal
67 UU No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah UU No. 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa permohonan
peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
1.
Apabila putusan didasarkan pada
suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah
perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim
pidana dinyatakan palsu;
2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang
bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
3. Apabila telah
dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
4. Apabila
mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan
sebab-sebabnya;
5. Apabila
antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang
sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan
yang bertentangan satu dengan yang lain;
6. Apabila
dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang
nyata.”
Penulis memberi solusi
kepada MA sebagai lembaga yang akan menyelesaikan perakara tersebut jika
terjadi upaya hukum peninjauan kembali. Dengan alasan bahwa tidak mungkin
kiranya lagi terdapat kenetralan, bagi hakim di PT. Jika di dalam lembaga
terebut yang akan mengubah lagi putusannya.
Jika diketemukan kesalahan hakim. Misalnya hakim dianggap khilaf atau keliru
terhadap pembuktian perkara.
Hal ini juga sejalan
dengan kewenangan yang diberikan oleh MA sebagai satu-satunya lembaga yang memeriksa
upaya PK. Yaitu MA memeriksa permohonan peninjauan
kembali dalam hal putusan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undang No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung jo. Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan
Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. Undang-undang No. 3
Tahun 2009 tentang Perubahan ketiga Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung), berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam Bab IV Bagian
Keempat Pasal 67 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo.
Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang No. 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung jo. Undang-undang No. 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Ketiga Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Selain itu PK hanya
dapat ditangani oleh Ma. Yakni demi menghindari terjadinya sikap melindungi
para rekan kerja dalam satu lembaga Pengadilan Tinggi. Oleh karena sangat
janggal rasanya jika seorang hakim kemudian dalam satu tempat/ lembaga kemudian
dinilai putusannya oleh satu rekan kerjanya.
Sudah benar jika upaya
hukum terhadap putusan yang diperiksa secara prorogasi. PK nya diperiksa oleh
MA. Apalagi biasanya suasana yang muncul dalam satu lembaga adalah ada kehendak
ingin melindungi masing-masing kesalahan rekan kerja. Maka layak jika upaya
peninjauan kembali tersebut diperiksa oleh Hakim yang bekerja di Mahkamah
Agung.
*Hasil Penelitian Ini adalah Kerja sama antara peneliti Inti A.N Ahmad Tawakkal Paturusi bersama dengan asisten peneliti Inti A.N. Damang, S.H.