Mencermati tulisan Ilham Kadir (Peneliti LPPI Makassar) di halaman (13) harian ini (Tribun Timur Makassar 13/2) yang berjudul “Aceng
Fikri Tak Berpikir”. Meskipun sejauh pengamatan penulis menelaah kata
perkata dari tulisan tersebut. Tidak menemukan sisi atau permukaan yang
mana yang dimaksud oleh Ilham Kadir, Aceng
tak menggunkan pikiran atau nalarnya. Sehingga berimbas pada pemakzulan
dirinya sebagai pejabat Kepala Daerah.Entah beliau setuju atau tidak
setuju dengan pemakzulan terhadap Aceng
Fikri. Namun yang saya amati, dari awal hingga tulisan tersebut
ditutup. Ilham Kadir lebih banyak menyorot masalah syarat sah dan rukun perkawinan. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, yang menjadi poin bagi saya adalah sejauhmana syarat dan rukun perkawinan dapat mempengaruhi seorang sebagai pejabat publik (ambtenaar).
Ketika ia melangsungkan perkawinan tanpa memenuhi syarat dan rukun
perkawinan, yang datur dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) maupun
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Apakah dengan tidak mengikuti rukun dan
syarat perkawinan yang ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinan, dapat
dikategorikan Aceng Fikri telah melanggar sumpah jabatan ?
www.unikgaul.com |
Pertama-tama, yang perlu dijelaskan
adalah apa yang dimaksud rukun perkawinan dan syarat perkawinan. Karena
terminologi inipun tampaknya dikacaukan oleh Ilham Kadir. Rukun
perkawinan adalah faktor penentu bagi sahnya atau tidak sahnya suatu
perkawinan yang terdiri atas: calon mempelai (ada pihak laki-laki dan
perempuan), wali nikah, dua orang saksi (bagian ini yang dilupakan oleh
Iham Kadir), ijab dan kabul. Sedangkan mahar dalam Pasal 34 ayat 1 KHI
adalah bukan rukun nikah. Rukun perkawinan tersebut diatur dalam Pasal
14 KHI yang mana sejalan dengan hadits Rasulullah dalam kitab Al-Bahr
dari Nashir Syafi’i dan Zuhar, sebagaimana dikutip dari kitab Nailur
Authar jilid 5 bahwa “setiap pernikahan yang tidak dihadiri oleh
empat unsur yaitu mempelai laki-laki, aqid yang mengakadkan, dan dua
orang saksi maka perkawinan itu tidak sah.” Artinya dari kesemua
rukun tersebut tidak boleh ada satupun yang tidak terpenuhi. Karena
semuanya bersifat imperatif kumulatif. Atau dengan kata lain tidak ada
perkawinan tanpa semua rukun perkawinan tersebut.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat
perkawinan adalah faktor-faktor yang harus dipenuhi oleh para subjek
hukum yang merupakan unsur atau bagian dari akad perkawinan baik yang
ditentukan secara syar’i maupun yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan. Secara syari’i misalnya ditentukan berdasarkan surah
An-Nisa Ayat 22, 23, dan 24 yang menentukan larangan dilakukannya
perkawinan karena adanya hubungan darah, hubungan semenda, hubungan
sepersusuan dan larangan poliandri. Sementara yang disyaratkan oleh
Peraturan Perundang-undangan misalnya adalah harus melalui pencatatan
oleh Pejabat yang berwenang (yaitu KUA) terhadap keberlangsungan
perkawinan itu (vide Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Perkawinan, Pasal 1 UU Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk, Pasal 15 KHI).
Terkait dengan rukun perkawian dan syarat
perkawinan tersebut diatas. Penting menjadi catatan, adalah kalau
perkawinan itu sudah memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Maka
perkawinan itu adalah sudah sah. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal
2 ayat 1 UUP, “bahwa perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan agama
dan kepercayaan masing-masing”. Artinya kalau perkawinan itu sudah
dilaksanakan berdasarkan agama dan kepercayaan agama Islam, memenuhi
rukun dan syarat perkawinan. Maka perkawinan itu sudah sah. Meskipun
perkawinan tersebut tidak diikuti dengan pencatatan. Saya kira hal ini
yang perlu dicermati oleh Ilham Kadir. Beliau mestinya tidak perlu
menguraikan terlalu jauh bagaimana boleh tidaknya perceraian. Sampai
kehilangan esensi dari judul tulisanya yang tidak substantif dengan
judulnya. Yang terkesan menyalahkan Aceng yang tidak berpikir.
Pertanyaan kemudian, bagaimana kasus
yang menimpah si Aceng sebagai Kepala Daerah. Apakah perkawinanya itu
tidak melalui pencatatan. ? Ya…benar tidak melalui pencatatan.
Namun Aceng melanggar Pasal 4 dan Pasal 5
UUP. Pasal 4 adalah ketentuan yang bersifat wajib bagi suami yang akan
melakukan poligami wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama.
Sedangkan Pasal 5 terkait dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dan
dapat dibuktikan kebenarannya dalam persidangan (mis: istri tidak dapat
melahirkan keturunan). Perkawinan yang melanggar Pasal 4 dan Pasal 5
tersebut adalah perkawian yang tidak dapat dilakukan sesuai Pasal 9 UUP.
Kalau tidak memenuhi Pasal 4 dan Pasal 5 tersebut, tidak ada izin
Pengadilan Agama, untuk berpoligami, kemudian tetap melangsungkan kawin
poligami tanpa ada pencatatan. Maka perkawinan tersebut tetap sah, kalau
telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Meskipun tidak melalui
pencatatan. Karena pencatatan hanya persoalan ketertiban saja. Inilah
yang disebut perkawinan poligami tanpa pencatatan. Jadi bukan perkawian siri sebagaimana yang ditulis oleh Ilham kadir kalau ditelaah dari Undang-Undang Perkawinan. Karena istilah kawin siri
adalah istilah sehari-hari saja. Perkawinan yang tanpa pencatatan
sering juga disebut perkawinan yang sah namun tidak teregistrasi.
Analogi demikian dapat ditarik pada
peristiwa hukum kepemilikan tanah, yang mana pemiliknya tidak memilki
sertifikat hak milik misalnya. Apakah mereka ini disalahkan oleh hukum
dan dapat dipidana dengan tidak melakukannya pencatatan terhadap
tanahnya di BPN. Demikian halnya apakah orang yang melangsungkan
perkawinan kemudian tidak melakukan pencatatan, perkawinan itu tidak
sah, dapat dikenakan sanksi pidana berupa penjara, denda. Di sinilah
letak kesalahan para perancang undang-undang Pencatatan Nikah, Talak,
Dan Rujuk, dahulu. Ketika masalah keperdataan kemudian seorang yang
tidak melakukan pencatatan perkawinan diancam dengan sanksi pidana.
Lebih ekstrim lagi, apakah gara-gara seorang yang menduduki jabatan
pemerintahan (seperti Aceng) karena pelanggarannya dalam hukum privat.
Melakukan perkawinan poligami tanpa pencatatan. Harus diberhentikan dari
jabatanya. Saya kira kita harus menelaah terlebih dahulu perkawinan
dalam ranah hukum yang mana. Dan sebagai Pejabat publik/ kepala daerah
juga dalam ranah hukum yang mana.
Beda Privat Dan Publik
Perkawinan adalah masalah hukum privat
atau perdata. Atau yang menyangkut kepentingan individu. Sedangkan
menjalankan jabatan sebagai kepala daerah adalah ranah hukum publik,
menyangkut fungsi negara. Jadi, masalah yang menyangkut peristiwa hukum
perdata juga diselesaikan melalui jalur hukum perdata. Tidak boleh
karena peristiwa hukum perdata yang terjadi pada individu tersebut
disangkutpautkan sebagai pejabat publik yang menyelenggarakan tugas
negara.
Sederhananya, dapat diajukan pertanyaan,
apakah dengan menikahnya seorang kepala daerah kemudian tidak melakukan
pencatatan di KUA, melakukan poligami tanpa pencatatan dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran sumpah dan jabatan. Sehingga berujung
pada pemakzulan ? Kejadian yang menimpa Aceng Fikri sebenaranya
berbahaya ke depan. Sebuah preseden buruk dari putusan Pengadilan (MA)
bagi sebagian pejabat publik di negara ini. Oleh karena banyak kepala
daerah sebenaranya, selama ini yang melakukan perkawinan hingga
memiliki empat orang isteri. Tanpa melalui pencatatan.
Padahal, ada prosedur hukum yang lebih
bermartabat. Mengapa Aceng tidak digugat melalui pengadilan perdata
saja? Melalui pengadilan Agama, dengan bantuan Komnas HAM, Komnas
Perlindungan Anak. Fani Oktora dengan bantuan Komnas HAM dan Komnas
Perlindungan Anak dapat menggugat Si aceng di Pengadilan Agama. Hingga
jatuh putusan percerain yang benar, dan sah secara hukum. Kemudian si
Aceng bisa juga dituntut membayar nafkah terhadap anak tersebut yang
sudah diceraikannya. Saya kira, ini jalur yang benar dari pada memberi
komentar tanpa tahu benar ranah seorang dapat dikatakan dalam konteks
hukum privat atau hukum publik (HTN). Sekiranya misalnya si Aceng
sebagai Bupati dalam megeluarkan kebijakan terhadap warga daerahnya
salah prosedur/ cacat. Hal Itu baru pantas dapat dijadikan alasan ia
melanggar sumpah jabatan. Ataukah ia dituduh korupsi. Maka pantas dan
sangat wajar saja ia juga dimakzulkan dari jabatannnya sebagai kepala
daerah.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar