Beberapa hari pekan kemarin. Ada dua
tulisan menarik untuk dicermati. Meski kelihatan tidak saling menyangga
tulisan itu. Namun setidaknya, keduanya memiliki persepsi yang berbeda.
Dalam menyikapi, memberi komentar, dan mencoba merasionalkan pernyataan
Prof. Dr. Hamid Awaluddin. Perihal gugatan IA (Ilham- Aziz) ke Mahkamah
Konstitusi (MK). Atas kekalahan IA dalam perhelatan akbar kemarin. Agar
Ilham alias Aco katanya, tidak perlu mengajukan gugatan ke MK. Cukup
menyantuni anak yatim saja.
Tulisan pertama, adalah tulisan Aspianor
Masrie (11/2) yang berjudul “Dosa Turunan Berdemokrasi”. Sedangkan
tulisan kedua adalah tulisan Imran Eka (14/2) dengan judul “MK dan
Rintihan Anak Yatim”.
Patut disayangkan, lagi-lagi saya juga
mengawali tulisan seperti ini. Seorang Imran Eka dengan latar belakang
Ketua Konsorsium Muda Advokat Sul-Sel. Tidak mampu menempatkan dirinya.
Sebagai orang yang rasionalitas melihat, dan memberi kritik terhadap,
fenomena demokrasi kita. Apalagi
dengan latar belakang beliau seorang alumni Fakultas Hukum. Turut
membenarkan pernyataan Prof. Hamid yang telah salah jalan, sebagai sosok
negarawan. Malah beliau menanggalkan teorinya. Seperti teori demokrasi, teori konstitusi, dan sekelumit pengetahuan hukum yang dia miliki saat ini.
Seolah tanggapan Imran Eka, dengan
memberi ruang “teologis” kepada negara ini. Semua persoalan sengkarut
demokrasi akan tuntas. Sebagai seorang jebolan Fakultas Hukum,
seharusnya kita mampu memberi ruang bahkan mampu mengkombinasikan antar
demokrasi dan terminologi negara hukum (rechstaat).
Tidak salah kiranya kalau demokrasi
dikatakan juga adalah bahagian dari wilayah teologis. Namun kalau kita
membuka telaah sejarah perkembangan negara. Dari era klasik (zaman
Romawi) hingga zaman modern (ada demokrasi liberal, demokrasi
konstitusional, demokrasi deliberatif, bahkan demokrasi Pancasila). Maka
cara pendekatan teologis yang melebur memjadi teokrasi. Sudah lama
ditinggalakan oleh karena konsep negara teokrasi sudah demikian bobrok
masa dan era pemerintahannya. Jadi, konsep demokrasi yang ditawarkan
oleh sekian jumlah Filsuf (Hobbes, Hegel, dan Rousseau) mau tidak mau
kita mesti terima hari ini.
Demokrasi dan Hukum
Demokrasi dan hukum ibarat tubuh dan
jiwa. Demokrasi adalah tubuh sedangkan hukum adalah jiwanya, hukum yang
harus membatasinya. Demokrasi yang terkadang liar, membabi buta, penuh
tipu daya/ tipu muslihat, nafsu dan syahwat kuasa. Hingga pada akhirnya
kita bolah jadi ke era perang semua melawan semua (homo homuni lupus). Maka muncullah hukum (nomoi) sebagai instrumen yang membatasi demokrasi yang sangat binal itu.
Mahkamah Konstitusi dihadirkan tidak lain
sebagai anak kandung demokrasi. MK bertindak berdasarkan tugas dan
kewenanganya adalah sebagai pilar konstitusi (UUD NRI Tahun 1945), MK
sebagai pilar demokrasi, MK sebagai tuan pengadilnya rakyat. Karena itu
bukan hal yang salah, kalau Ilham mengajukan gugatran ke MK.
Hukum memang hadir untuk membatasi
demokrasi, yang terkadang culas memanipulasi hasrat. Untuk mendapatakan
kuasa. Cacat demokrasi yang kita bisa lihat. Bahkan kita semua, banyak
kali menyaksikan, misalnya fenomena politik jekkong terjadi. Pada perhelatan kampanye yang lalu. Ada money politic, serangan fajar, hingga serangan ad-duha
menari liar kemana-mana. Gejala yang demikian amerupakan demokrasi yang
sakit, demokrasi yang lepas kendali. Oleh karena para kandidat tidak
“sadar” diri. Untuk berdemokrasi secara sehat.
Di depan publik seolah mengajak kita
semua berdemokrasi yang sehat. Tetapi di belakang panggung malah sang
kandidat menerapkan politik machivellian. Karena itu,
terbukanya ruang untuk menguji hasil demokrasi melalui MK. Adalah hak
bagi Ilham juga untuk mengetahui dimana letak kesalahan-kesalahan
pemikuda kemarin. Juga hak bagi rakyat Sulsel, untuk tahu bagaimana cara
berdemokrasi yang sehat.
Sehatkan Demokrasi !
Nah, pertanyaannya kemudian, apakah
dengan menyantuni anak yatim. Rintihan anak yatim yang didengar
tersebut. Merupakan bagian dari obat, resep negara kita yang terkesan
sakit itu. ? Saya kira persolan memberi santunan adalah wilayah teologis
yang bersifat pribadi. Sebagaimana Aspianor Masrie menyebutnya dalam
wlayah batas vertikal. Menyantuni anak yatim adalah tugas kita semua,
yang tidak pandang apa dan bagaimana jabatannya. Jika ingin beribadah
secara muamalah. Silahkan membagi harta dan rezeki kita kepada kaum
fakir.
Sedangkan persoalan mengajukan gugatan ke
MK, karena ingin inembuktikan kecurangan adalah kepentingan manusia itu
dalam hubungan dengan sesama manusia. Suatu hubungan dalam dimensi
horizontal. Dalam menata keadilan dan memberi kecerdasan politik,
memberi pendidikan berdemokrasi yang sehat, berhukum yang benar bagi
rakyat Sulsel. Bahwa misalnya, ada ruang, ada instutisi/ lembaga.
Seperti MK yang harus kita patuhi. Mari kita dengarkan bersama, jangan
turun ke jalan membabi buta. Membakar ban, melempar bom molotof,
membakar KPU, menyerang pendukung lawan yang sudah dinyatakan menang.
Karena sudah ada lembaga yang menguji kesahihan demokrasi kita.
Meskipun terkesan jauh dari angka,
dimungkinkan Ilham-Aziz menang setelah mengajukan gugatan nanti di MK
(karena sekitar selisih 400 ribu jiwa/ 11 % suara). Namun bukanlah itu
yang diharapkan, dalam impian menuju alam demokrasi yang sehat. Kita
menginginkan supaya tidak ada budaya kekerasan. Dengan cara hukum
bekerja pada ruang dan dimensinya. Melalui institusi pengadilan MK.
Dalam konteks itulah sehingga Immanuel
Kant pernah mengatakan hukum adalah pengejawantahan kekerasan dengan
gaya mulia. Jadi demokrasi yang dipermukaan cenderung berwajah culas.
Hukum di situ tampil meredam aksi dari para pelalu demokaris yang brutal
itu.
Sumber: euro.harianjogja.com |
Mari kita semua menunggu putusan MK. Mau
kalah Ilham bersama pasangannnya Aziz. Yang jelas setelah kita
mengetahui semua hasil keputusan MK kelak. Kita bisa mengambil hikmah.
Bagi rakyat Sulsel supaya tidak melakukan pembiaran terhadap demokrasi
dan politik jekkong, demokrasi yang sakit. Di periode pemilihan
gubernur selanjutnya. Karena kita sudah tahu bahwa ternyata salah satu
yang menyebabkan demokrasi berbiaya mahal. Kita sendiri yang membiarkan
para politisi bermain dalam ruang demokrasi yang sakit.
Akhirnya, bukanlah dengan cara menyantuni anak yatim. Sekali lagi saya tegaskan sebagai langkah mengobati demokrasi yang
cenderung sakit ini. Karena kalau demikian logika yang kita bangun.
Maka dengan latar belakang Eka Imran sebagai Seorang Advokat/
Pengacara. Jangan-jangan, besok lusa jika ingin menangani perkara. Anda
akan menjawab ke klien anda. Dari pada Ibu/ Bpk habis uangnya
berpengadilan. Lebih baik Ibu/ Bpk menyantuni anak yatim saja. Saya
yakin kalau itu prinsip hidup anda. Di samping anda tidak berfungsi
pengetahuan hukum acaranya selama ini. Juga anda akan kehilangan klien
selamanya.***
Oleh:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar