Kamis, 21 Februari 2013

Menyehatkan Demokrasi

Beberapa hari pekan kemarin. Ada dua tulisan menarik untuk dicermati. Meski kelihatan tidak saling menyangga tulisan itu. Namun setidaknya, keduanya memiliki persepsi yang berbeda. Dalam menyikapi, memberi komentar, dan mencoba merasionalkan pernyataan Prof. Dr. Hamid  Awaluddin. Perihal gugatan IA (Ilham- Aziz) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Atas kekalahan IA dalam perhelatan akbar kemarin. Agar Ilham alias Aco katanya, tidak  perlu mengajukan gugatan ke MK. Cukup menyantuni anak yatim saja.
Tulisan pertama, adalah tulisan Aspianor Masrie (11/2) yang berjudul “Dosa Turunan Berdemokrasi”. Sedangkan tulisan kedua adalah tulisan Imran Eka (14/2) dengan judul “MK dan Rintihan Anak Yatim”.

Patut disayangkan, lagi-lagi saya juga mengawali tulisan seperti ini. Seorang Imran Eka dengan latar belakang Ketua Konsorsium Muda Advokat Sul-Sel. Tidak mampu menempatkan dirinya. Sebagai orang yang rasionalitas melihat, dan memberi kritik terhadap, fenomena demokrasi kita. Apalagi dengan latar belakang beliau seorang alumni Fakultas Hukum. Turut membenarkan pernyataan Prof. Hamid yang telah salah jalan, sebagai sosok negarawan. Malah beliau menanggalkan teorinya. Seperti  teori demokrasi, teori konstitusi, dan sekelumit pengetahuan hukum yang dia miliki saat ini.

Seolah tanggapan Imran Eka, dengan memberi ruang “teologis” kepada negara ini. Semua persoalan sengkarut demokrasi akan tuntas. Sebagai seorang jebolan Fakultas Hukum, seharusnya kita mampu memberi ruang bahkan mampu mengkombinasikan antar demokrasi dan terminologi negara hukum (rechstaat).

Tidak salah kiranya kalau demokrasi dikatakan juga adalah bahagian dari wilayah teologis. Namun kalau kita membuka telaah sejarah perkembangan negara. Dari era klasik (zaman Romawi) hingga zaman modern (ada demokrasi liberal, demokrasi konstitusional, demokrasi deliberatif, bahkan demokrasi Pancasila). Maka cara pendekatan teologis yang melebur memjadi teokrasi. Sudah lama ditinggalakan oleh karena konsep negara teokrasi sudah demikian bobrok masa dan era pemerintahannya. Jadi, konsep demokrasi yang ditawarkan oleh sekian jumlah Filsuf  (Hobbes, Hegel, dan Rousseau) mau tidak mau kita mesti terima hari ini.

Demokrasi dan Hukum
Demokrasi dan hukum ibarat tubuh dan jiwa. Demokrasi adalah tubuh sedangkan hukum adalah jiwanya, hukum yang harus membatasinya. Demokrasi yang terkadang liar, membabi buta, penuh tipu daya/ tipu muslihat, nafsu dan syahwat kuasa. Hingga pada akhirnya kita bolah jadi ke era perang semua melawan semua (homo homuni lupus). Maka muncullah hukum  (nomoi) sebagai instrumen yang membatasi demokrasi yang sangat binal itu.

Mahkamah Konstitusi dihadirkan tidak lain sebagai anak kandung demokrasi. MK bertindak berdasarkan tugas dan kewenanganya adalah sebagai pilar konstitusi (UUD NRI Tahun 1945), MK sebagai pilar demokrasi, MK sebagai tuan pengadilnya rakyat. Karena itu bukan hal yang salah, kalau Ilham mengajukan gugatran ke MK.

Hukum memang hadir untuk membatasi demokrasi, yang terkadang culas memanipulasi hasrat. Untuk mendapatakan kuasa. Cacat demokrasi yang kita bisa lihat. Bahkan kita semua, banyak kali menyaksikan, misalnya fenomena politik jekkong terjadi. Pada perhelatan kampanye yang lalu. Ada money politic, serangan fajar, hingga serangan ad-duha menari liar kemana-mana. Gejala yang demikian amerupakan demokrasi yang sakit, demokrasi yang lepas kendali. Oleh karena para kandidat tidak “sadar” diri.  Untuk berdemokrasi secara sehat.

Di depan publik seolah mengajak kita semua berdemokrasi yang sehat. Tetapi di belakang panggung malah sang kandidat menerapkan politik machivellian. Karena itu, terbukanya ruang untuk menguji hasil demokrasi melalui MK. Adalah hak bagi Ilham juga untuk mengetahui dimana letak kesalahan-kesalahan pemikuda kemarin. Juga hak bagi rakyat Sulsel, untuk tahu bagaimana cara berdemokrasi yang sehat.

Sehatkan Demokrasi !
Nah, pertanyaannya kemudian, apakah dengan menyantuni anak yatim. Rintihan anak yatim yang didengar tersebut. Merupakan bagian dari obat, resep negara kita yang terkesan sakit itu. ? Saya kira persolan memberi santunan adalah wilayah teologis yang bersifat pribadi. Sebagaimana Aspianor Masrie menyebutnya dalam wlayah batas vertikal. Menyantuni anak yatim adalah tugas kita semua, yang tidak pandang apa dan bagaimana jabatannya. Jika ingin beribadah secara muamalah. Silahkan membagi harta dan rezeki kita kepada kaum fakir.

Sedangkan persoalan mengajukan gugatan ke MK, karena ingin inembuktikan kecurangan adalah kepentingan manusia itu dalam hubungan dengan sesama manusia. Suatu hubungan dalam dimensi horizontal. Dalam menata keadilan dan memberi kecerdasan politik, memberi pendidikan berdemokrasi yang sehat, berhukum yang benar bagi rakyat Sulsel. Bahwa misalnya, ada ruang, ada instutisi/ lembaga. Seperti MK yang harus kita patuhi. Mari kita dengarkan bersama, jangan turun ke jalan membabi buta. Membakar ban, melempar bom molotof, membakar KPU, menyerang pendukung lawan yang sudah dinyatakan menang. Karena sudah ada lembaga yang menguji kesahihan demokrasi kita.

Meskipun terkesan jauh dari angka, dimungkinkan Ilham-Aziz  menang setelah mengajukan gugatan nanti di MK (karena sekitar selisih 400 ribu jiwa/ 11 % suara). Namun bukanlah itu yang diharapkan, dalam impian menuju alam demokrasi yang sehat. Kita menginginkan supaya tidak ada budaya kekerasan. Dengan cara hukum bekerja pada ruang dan dimensinya. Melalui institusi pengadilan MK.

Dalam konteks itulah sehingga Immanuel Kant pernah mengatakan hukum adalah pengejawantahan kekerasan dengan gaya mulia. Jadi demokrasi yang dipermukaan cenderung berwajah culas. Hukum di situ tampil meredam aksi dari para pelalu demokaris yang brutal itu.

Sumber: euro.harianjogja.com
Mari kita semua  menunggu putusan MK. Mau kalah Ilham bersama pasangannnya Aziz. Yang jelas setelah kita mengetahui semua hasil keputusan MK kelak. Kita bisa mengambil hikmah. Bagi rakyat Sulsel supaya tidak melakukan pembiaran terhadap demokrasi dan politik jekkong, demokrasi yang sakit. Di periode pemilihan gubernur selanjutnya. Karena kita sudah tahu bahwa ternyata salah satu yang menyebabkan demokrasi berbiaya mahal. Kita sendiri yang membiarkan para politisi bermain dalam ruang demokrasi yang sakit.

Akhirnya, bukanlah dengan cara menyantuni anak yatim. Sekali lagi saya tegaskan sebagai langkah mengobati demokrasi yang cenderung sakit ini. Karena kalau demikian logika yang kita bangun. Maka dengan latar belakang Eka Imran  sebagai Seorang Advokat/ Pengacara. Jangan-jangan, besok lusa jika ingin menangani perkara. Anda akan menjawab ke klien anda. Dari pada Ibu/ Bpk habis uangnya berpengadilan. Lebih baik Ibu/ Bpk menyantuni anak yatim saja. Saya yakin kalau itu prinsip hidup anda. Di samping anda tidak berfungsi pengetahuan hukum acaranya selama ini. Juga anda akan kehilangan klien selamanya.***

Oleh:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar