Rabu, 02 Januari 2013

Memaknai Sebuah Pilihan Hidup

Tulisan ini merupakan cerita dari penggalan kisah dan pengalaman saya selama menjadi seorang   tenaga pengajar di Provinsi Gorontalo. Sengaja saya menarasikan dalam bentuk opini supaya saya dan pembaca dapat saling berbagi memaknai kehidupan, memaknai sebuah pilihan demi konsistensi pada prinsip hidup.

Pagi sekali, waktu itu saya mengirim kalimat SMS kepada salah satu teman kolumnis harian Gorontalo Post, namanya Basri Amin. Beliau juga adalah Dosen di Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Menariknya karena orang yang saya sebut itu, hingga hari ini saya belum pernah ketemu dengan orang tersebut. Nomor HP-nya saja saya dapat melalui E-mailnya. Karena saya pernah mengubunginya lewat E-mail dan meminta Nomor HP beliau.

Saya mengirim SMS kepada beliau seperti ini: “pagi yang cerah ini saya merasa bahagia setelah memutuskan untuk mengundurkan diri dari profesi saya demi melanjutkan studi saya S2, entah di mana. Saya belum tentukan”. Cepat gegas beliau menjawab SMS itu yang kira-kira nada jawabannya seperti ini: ” Anda harus bangga dan berdiri tegak disaat anda berani membuat pilihan hidup, karena banyak orang justru terjebak, vakum dalam sebuah idealisme dan kebenaran.”

Namun di saat yang sama. Saya juga mendapat banyak SMS keluhan dari mahasiswa yang mengetahui perihal kemunduran saya. Waktu itu sebagai manusia biasa. Saya bukan seorang “nabi” yang menunggu wahyu dan dapat meminta petunjuk dari Tuhan. Maka Saya teringat dengan segala keluh kesah Ibu saya beberapa hari sebelumya. Ketika menelphon saya.  Agar saya, katanya jangan  terlalu lama mengadu nasib dan menanggung “derita” kehidupan. Sulit ketemu dengan dirinya. Seorang ibu yang telah membesarkan saya dari bayi  hingga dewasa. Hingga seperti sekarang.  Saya mengagumi Ibu saya adalah Ibu yang paling hebat. Dalam kondisinya yang single parent mampu menyekelohkan saya. Hingga katanya bisa berguna (kalau toh saya sudah berguna untuknya).

Memang sungguh  masih berat menentukan pilihan. Jika ada kata selain dilema, Ya …!!! mungkin kata itu saja yang lebih tepat. Antara tanggung jawab, amanah yang harus saya dahulukan atau jeritan tangis orang tua saya. Orang tua yang mengharap saya pulang dan menanggalkan jabatan saat ini sebagai tenaga pengajar. Maka pada saat itu saya balas SMS mahasiswa yang pernah saya ajar: “ada banyak generasi yang lebih baik dari pada saya dan kalau alasan saya mundur itu murni  adalah karena saya mendengar dua dalam kehidupan ini. Yakni, ibu saya dan suara hati saya. Maka saya bertindak bukan semata karena gegabah dan tidak memikirkan nasib dan masa depan kalian.”

Sebuah pilihan jelas kadang ada yang diuntungkan. Kadang ada yang dirugikan. Tetapi sejauh mana kerugian itu lebih besar menimpa kita. Maka saatnya kita pantas meninggalkan sebuah pekerjaan yang kita lakoni. Jangan kita mau terpenjara dalam pekerjaan yang membuat kita mengalami efek kerugian yang berkepanjangan. Kata orang bijak “buat apa menjalani sebuah profesi jika itu membuat kita tidak bahagia”. Artinya carilah pekerjaan dimana anda bahagia dan tidak merasa tertekan dengan pekerjaan yang anda perankan.

Jika saya ditanyapun, kenapa anda meninggalkan pekerjaan anda sebagai tenaga pengajar. Padahal masih banyak yang membutuhkan out put pekerjaanmu ?  Adalah sungguh pertanyaan yang susah juga saya jawab. Karena berat sekali melihat generasi penerus bangsa ini. Disaat calon-calon anak zaman pencerah ini masih membutuhkan kehadiran saya. Kemudian ditinggalkan begitu saja. Kadang sistem memang susah dan teramat berat untuk dilawan. Maka cara melawannya adalah keluar dari lingkaran sistem itu. Agar kita tidak terjebak dalam pusaran yang melanggengkan kekuasaan individual. Kita jangan menambah kerumitan dan malah mengokohkan kepentingan satu orang saja. Padahal ada banyak orang yang dirugikan dari hegemoni kekuasaan individual itu.

Sungguh sebuah perasaan hati sembilu yang miris. Jika kita memang meninggalkan orang yang masih membutuhkan kinerja dan kemampuan yang kita miliki. Namun rasa iba yang nyata-nyata menggunakan  kekuatan emosi saat itu harus ditanggal oleh logika dan nalar sehat kita.  Ada sebuah cerita yang menarik dan saya sengaja akan mengutip di dalam tulisan ini. Ceritanya begini: “Ada sebuah kisah, seorang Ibu yang sangat menyayangi kedua anaknya, yang pertama adalah anak laki lakinya berjualan minuman dingin, sedangkan yang kedua adalah anak perempuannya berjualan payung. Setiap hari Ibu ini selalu dirundung kesedihan yang sangat mendalam, karena di muka jendela rumahnya ia selalu merenungi keadaan hidup kedua anaknya, bila hari sedang panas terik, Ibu ini selalu sedih memikirkan anak perempuannya, karena hasil penjualan payungnya akan turun drastis, dan keesokan harinya bila hari hujan lebat Ibu ini selalu sedih juga karena memikirkan anak laki lakinya yang akan merugi akibat penjualanan minuman Es-nya tidak laku.”

Apa yang dapat dipetik dari kisah diatas? Ya…, Ibu ini melihat arti ‘hidup’ dari sudut pandang kesedihan, sehingga yang datang kepada Ibu ini adalah kemurungan, dan kesedihan. Tapi coba kalau kita ubah cara pandangnya Ibu ini menjadi, bila hari sedang panas terik, ibu ini memikirkan anak laki lakinya, dengan semua keuntungan yang diperoleh anaknya dari hasil penjualanan minuman Es-nya, maka Ibu ini akan bahagia, dan datang kepada Tuhan dengan mengucapkan rasa syukur, dan bila hari sedang hujan lebat, Ibu ini memikirkan anak perempuannya dengan segala keuntungan yang diperoleh anaknya dari hasil penjualan payungnya, maka Ibu ini akan bahagia, dan datang kepada Tuhan dengan mengucapkan rasa syukur. Jadi kesimpulannya proses memaknai sebuah kehidupan adalah tergantung dari sudut dan konteks kita memandangnya. Cara kita menyikapi situasi dan kondisi yang datang menimpa kita. Sepanjang kita sendiri yang memilih pilihan itu, jadi apapun takdir yang digariskan oleh Tuhan maka kita tidak mungkin memaknainya sebagai sebuah laknat tetapi itulah ujian. Dan bukankah para Ulama, Khatib Jum’at selalu juga mengulang-ulang bahwa Allah tidak akan membebani hamba-Nya apa yang tidak dapat ditanggungnya.

Ilustrasi lain juga dapat diamati sebagaimana filsuf eksistensialis Fredrich Nietzche. Juga pernah berujar kepada adik perempuannya. Saat ia tiba-tiba terjatuh di sebuah kota Turin karena penyakit epilepsy yang begitu lama menggerogoti tubuhnya. Adik perempuannya pada waktu itu merintih melihat keadaan kakaknya. Tetapi jawaban yang aneh. Keluar dari celotehan Nietzche, “adikku, bukankah kita masih bahagia.”

Kembali kepada masalah tulisan ini. Saya kembali ingin menegaskan bahwa “suara hati” jauh lebih hebat meluluhlantahkan semangat kehidupan kita. Hati tidak pernah berbohong untuk mengoreksi laku, perbuatan, tutur kata, dan tindakan kita. Sekalipun itu ada banyak yang dikorbankan dengan menanggalkan jabatan yang kita miliki. Tetapi ketika suara hati mampu berbicara dan kita berusaha menginterpretasikan dalam kehidupan sehari-hari. Maka pada saat itu kita akan merenggut kebahagiaan yang kita impikan. Janganlah kita selalu membiarkan suara dan niat baik hati terpenjara dengan kepentingan fisik atau kemauan raga kita. Tuhan menciptakan kita jauh lebih hebat dari makhluk lainnya adalah karena kita memiliki kekuatan jiwa. Kalau hanya dengan nafsu, hasrat, akal tanpa jiwa maka tidak ada yang bisa melakukan koreksi diri. Maka pantas dan wajib kita mensyukuri mendapat peluang untuk menjadi hamba yang paling mulia di sisi-Nya.

Terakhir, saya ingin menutup tulisan ini. Esok lusa, tahun akan berganti. Selamat menanti Tahun baru. Untuk mahasiswaku, (kali ini perkenankan saya menyebut kalian adalah masih mahasiswa saya). Saya banyak berutang budi setelah kalian rela menerima saya berceloteh, menebarkan apa yang saya ketahui untuk kalian di sebuah ruangan kelas. Karena hasil bacaan dan usaha saya selama ini untuk tahu banyak hal. Sesungguhnya pengetahuan dan materi kuliah yang saya sampaikan adalah menyimpan banyak penyakit, yang kadang membuat kepala saya terasa pening. Maka sangat beruntung saya, bisa memuntahkan apa-apa saja yang saya ketahui kepada kalian. Jadi kalian adalah obat mujaran dari apa-apa saya yang saya ketahui. Teruslah keluarkan gelora, semangat dan jiwa Mahasiswa kalian. Jangan pernah kita pelit dan kikir untuk berbagi ilmu. Jangan pernah kita takut ketika orang lebih hebat dengan kita. Seorang yang bijak adalah tidak pernah membiarkan muridnya kerdil. Laksana pisang yang tidak pernah membiarkan anaknya tumbuh besar sebelum ia lekas mati.

Untuk semua Mahasiswa yang pernah mengenal saya. Saya  akan bahagia dan tersenyum suatu waktu dan menepuk dada. Mengangkat topi untuk kalian, mengacungkan jempol untuk kalian. Saat Melihat kalian sukses dan hebat di atas posisi saya. Karena hanya itulah yang saya harapkan dan impikan hingga hari ini dan sampai kapanpun, karena pernah mengenal kalian. Semoga sukses selalu dan kita tetap dalam lindungan-Nya. Fastabiqul Khairat Katziraan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar